Cerita Cinta – Chapter 125. Tiada Yang Lebih Indah Dari Ini

Chapter 125. Tiada Yang Lebih Indah Dari Ini

Untuk kejadian kemarin, baiknya saya lupakan sejenak tentang Nabila yang mengetahui diri ini sedang di peluk mesra oleh Nonik. Sedangkan di sisi lain Nonik tak pernah tau bahwa dirinya secara tidak langsung telah menikam punggung Nabila dengan sebilah pisau yang begitu tajam. Maka mendarah emosilah itu Nabila di buatnya. Hanya dengan tatapan matanya saja saya tau bahwa pitam itu kini naik setinggi ubun – ubun. Tak hanyal diri ini membayangkan jika tidak di tempat umum seperti ini pastilah pipi ini sudah di cap lima jari oleh tangan Nabila. Maka dengan untungnya semua ini dapat berakir dengan pembicaraan kami di dalam café yang dapat mencairkan suasana karena Stevy dan Fany adanya. Meski saya tau sampai saat pulang kemarin Nabila masih memendam sejuta amarah di hatinya. Ya, sebab mata ini mampu membaca mata milik Nabila. Tidak lain, tidak bukan.

Hanya saya yang bisa . . .

Beralih dari hari kemarin, tepatnya lusa ini saya tengah asyik berada di kosan dengan gitar yang baru di kirim oleh sodara ponakan saya di Surabaya. Maka untuk mengisi hari jumat yang selalu di isi dengan shalat jumat dan cuaca cerah ini, maka baiknya saya menyanyikan satu dua tembang lagu agar hari ini terasa makin indah. Namun segala bentuk keasyikan itu tidak berlangsung lama. Sebab secara tiba – tiba terusik oleh kedatangan Nonik selepas saya shalat jumat dengan rengekannya yang mengajak saya untuk mengantar pulang ke kampung halamannya di Sidoarjo jauhnya. Entah hal apa yang membuatnya secara tiba – tiba hendak pulang ke kampung halamannya, yang jelas saya sungguh tak senang dengan segala acara dadakan yang selalu membuat batin ini berucap . . .

GATEL KOE NIK.

“beb anterin aku sekarang yok” melas Nonik usai datang ke kontrakanku siang itu.

“kemana ?? kok dadakan gini sih ?!” keluhku masih bingung dengan ajakan Nonik.

“anterin pulang ke rumah” dengan wajah susah ia ekspresikan padaku.

“da apa sih emang ?? mendingan juga sabtu besok aja beb” jawabku asal masih bermain gitar.

“di suruh mamah pulang hari ini beb, katanya ada perlu gitu, ayo lah” tariknya pada tangan kananku.

“ya ampun beb bisa ga sih jangan dadakan gini !” kesalku mulai naik pitam untuk Nonik.

“lha mamah juga kok yang ngajakinnya dadakan. Prasaanku gaenak beb, ayo ta !”

Ternyata semua bentuk sifat dadakan ini berasal dari emaknya. Tak heran jika anaknya pun ikut – ikutan suka dengan hal yang berbau dadakan seperti ini. sungguh kebiasaan sepele yang dapat menurun kepada anak sendiri dan saya baru tau mengenai hal ini.

“mo naek apa coba ke sananya ?? hm . . !?” tanyaku masih dengan jengkelnya.

“serah kamu deh, motoran juga boleh” usul Nonik seketika.

“yang boneng aja beb, jam seginin motoran, gada artinya tar kamu luluran selama satu bulan kemaren”

“ah bodo amat beb, yang penting nyampe rumah cepet lah. Kalo bawa mobil jam segini bisa kena macet juga pas di Surabayanya ntar”

“lah katanya mo ke Sidoarjo doang, kok sampe ke Surabaya jugak ??”

“tar aku mo ngajak kamu ke suatu tempat soalnya. Jadi mending bawa motor aja deh”

“panas – panasan nih ??”

“iya, udah ayok buru packing sana !!” dorong Nonik dari kursi dudukku.

“eh bentar – bentar, kita nginep ga sih ??” tanyaku penasaran usai diri ini berdiri hendak meninggalkannya packing.

“masih belom tau beb, tapi kalo aku kemungkinan besar bakalan di suruh nginep deh sama mamah”

“yaudah bawa baju ganti doang dah kalo gitu” tuturku asal sambil pergi ke kamar.

Sebenarnya yang benar saja jika jam segini harus berangkat ke Sidoarjo dengan menaiki motor, sebab panasnya itu amat sangat tidak bersahabat dengan kulit manusia yang pada dasarnya tak kuat panas seperti saya ini. Di Malang yang dingin ini saja saya sudah merasa kepanasan jika di tengah siang bolong. Maka pergi ke Sidoarjo bada shalat jumat seperti ini sama halnya dengan wisata lobang neraka yang tengah bocor.

Sekitar pukul satu siang di rasa semua sudah siap. Blady yang masih berada di T.a dengan terpaksa harus saya duakan dengan motor dari sang abang Cbr 150 cc ini. Maka dengan lafadz Al Fateqah serta bismilah saya antar itu dara manisku pulang ke kampung halamannya. Dengan sifat yang masih bertanggung jawab atas keselamatan pacar saya ini, tak jarang saya hanya melaju dengan kecepatan kurang dari 100 km/jam. Sedangkan Nonik di belakang lebih di sibukkan dengan acara pegang pinggang yang sesekali melingkar di perut saya guna menahan kecangnya laju motor kala itu. Namun selama perjalanan, dengan harap – harap cemas jangan sampai itu tangan Nonik yang berada tengah di atas perut saya sampai turun ke bawah oper perseneling. Bisa – bisa gas motor yang tengah saya kendalikan ini bisa melesat 150km/jam cepatnya.

Mungkin kurang lebih selama satu setengah jam kami sampai di sana. Selama di perjalanan kami tak pernah berhenti di suatu tempat, kami terus melaju hingga sampai di kediaman rumah Nonik. Hingga akirnya kudapati rumah dengan pagar warna orange punya sama seperti warna kebanggaan jurusan Fisip. Berpagar tinggi dengan ukiran naga serta banyak bunga anggrek di pojok dindingnya. Cukuplah untuk menggambarkan rumah ini tak terlalu besar di banding rumahku namun sungguh rapi di dalamnya. Mungkin aturan yang ketat ala polisi punya yang membuat rumah ini nampak bersih nan terawat hingga seperti ini. usai gerbang di buka oleh Nonik, masuklah dia dengan segala rasa capai selama berkendara tadi. Sedangkan saya, masih sibuk memparkir motor di tepi halaman rumah Nonik.

“Salamualaikum . . . mah” ucap Nonik masuk rumah seketika mencari iduknya.

“loh Ka, kok cepet kamu. Naek apa ??” tanya ibu Nonik kaget melihat anak pertamanya pulang ke rumah secara tiba – tiba.

“ituh di anter sama Rakha” celetuknya sambil menengok ke belakang.

“mana, kok ga di suruh masuk ??” heran ibu Nonik masih mecari sosokku.

Ya jelas saja, bagaimana saya mau masuk ke dalam rumah Nonik begitu saja. Memang saya ini siapa. Tampang gak jauh beda sama maling sandal jepit kayak gini kok. Salah – salah saya bisa di dor sama bapaknya Nonik. Dengan masih melepas penat, saya masih dudukan di teras depan yang kebetulan di situ memang ada beberapa deret kursi untuk tamu yang tengah menunggu.

“beb, kok ndak masuk sih. Ayok lah ke dalem” ajak Nonik masih sibuk melepas jaketnya.

“dek Rakha masuk sini, masa panas – panas mau di luar”

Dalam hati saya hanya bisa bilang, “dari tedi keg. Panas cuy !!”

Sehabis di persilahkan masuk, duduklah saya di sofa empuk dengan Ac di atasnya. Sungguh surga dunia yang tak tergantikan. Pantas saja selama perjalanan menuju perumahan milik Nonik, rata – rata orang di perumahan ini memasang Ac pada rumahnya. Bagaimana tidak, suhu kala itu hampir di atas 38*celcius. Namun seindah – indahnya surga dunia yang saya rasakan saat itu, lebih indah lagi surga dunia milik Nonik. Bagaimana tidak saya menyebut ia sebagai surga dunia. Nonik keluar dari kamarnya menuju kamar mandi hanya dengan mengenakan boxer tipis warna putih yang sangat ekstrem bisa saya terawang kemana – mana. Paha mulus itu dengan jelasnya menjalar hingga selakangnya. Seperti biasa, otak ini selalu mesum dengan hal semacam ini. maka Nampak jelas sudah itu bulu – bulu tipis yang mengitari slakangan Nonik tumbuh dengan rapi tak semrawut.

“dek Rakha pasti capek ya boncengin Nika dari Malang ke Sidoarjo”

“iya tante, Slakangan saya capek . .eh ??!!!!”

MAMPUS !!!! . . .

Gara – gara slakangan milik Nonik sialan . . .

“itu, maksudnya punggung saya yang capek tante. Hehehehe” cengar cengir hanya bisa menahan malu sudah diri ini.

“sampe ga konsen gitu gara – gara kepanasan ya, dek Rakha mau minum apa ??”

Maka dengan sangat hati – hati, saya berusaha menjawab pertanyaan semudah itu dengan cara mengajak kerja sama otak saya terlebih dahulu hingga keluarlah jawaban nama minuman sebagai berikut.

“es teh aja tante” jawabku ramah sambil melempar senyum.

Tak berselang lama, datang Nonik menyapaku degan aroma tubuhnya yang wangi sehabis mandi. Masih dengan boxer yang sempat membuat otak ini konslet, maka dengan sangat hati – hati saya menjaga pikiran ini untuk tidak berfikir mesum lagi. Sebab saat itu juga, ibu Nonik sudah kelar dengan dua buah minuman sirup jeruk di bakinya.

“mamah ada apa sih kok suruh Nika pulang buru – buru hari ini ??” tanya Nonik sambil mengucek – ngucek rambutnya dengan handuk.

“oh itu, Cuma di suruh memperpanjang masa berlaku motor kamu. Kan sekarang udah waktunya. Kamu lupa kan kalo gak di ingetin”

“duh ampir aja lupa mah. Untung aku bawa juga ini STNKnya di dompet. Lha trus aku tar nginep dulu apa gimana”

“ya kalo bisa nginep lah Ka, mamah kan masih kangen sama kamu”

“yeee . . mamah, biasanya juga sering Nika tinggalin ke Malang gitu pas esema”

“kan kalo udah kuliah gini kamu udah deket waktunya buat merit Ka” sempat mata itu melirik ke arah saya.

Dalam hati saya cerucap, “MATIH KOE LEE !!”

Saya yang secar tidak langsung di sindir halus oleh ibu Nonik hanya bisa melempar senyum malu. Sedangkan Nonik hanya bisa acuh sambil tak ingin membahas hal itu lebih lanjut lagi. Maka masih di siang itu, saya habiskan segala rasa capek ini dengan beristirahat di kamar tamu usai berbincang panjang oleh ibunda Nonik. Sedangkan urusan memperpanjang STNK, dengan gampangnya akan di urus oleh ayahnya pada esok hari. Bebaslah Nonik hari ini tanpa harus repot – repot pergi ke kantor satuan polisi lalulintas. Sebab pastinya semua reader sudahlah tau siapa ayah Nonik sesungguhnya adalah seorang penjual bubur kacang hijau. Eh salah, maksud saya satuan polisi kawasan Sidoarjo punya.

“beb ayok kluar, cuacanya bagus nih” ajak Nonik sambil masuk ke dalam kamarku.

“mo kemana sih beb, ga cape apa” keluhku sambil bermain hape.

“gak lah, kan aku di bonceng tadi. Hahahaha . . .” ejeknya padaku sambil tertawa.

“kalo kamu yang bonceng aku baru mau kluar beb, week !!” kini tantangku pada dara manisku satu ini.

“oh nantangin naek motor gede, boleh. Sini kuncinya mana !!” dengan sigapnya ia mengiyakan.

“duh kamu ini, yang bener aja. Masa slakangan cewek mau di buka lebar – lebar naek motor gede kaya gitu. Kalo perawannya pecah bisa berabe tar” keluhku geleng – geleng kepala masih sibuk dengan hape di tanganku.

“lha itu punya kamu juga udah kegencet tangki bensinnya selama Malang sampe Sidoarjo. Aku takut tar malah penyok ga bisa bediri lagi. Wahahahaha !!!” ejeknya sungguh membuat saya berfikir mesum kembali.

“dah udah, emeng epeh kamu ini. ayok berangkat” ajakku segera agar pembicaraan ini semakin tak salah arah.

Kemana diri ini akan di ajak oleh Nonik, sungguhpun saya tak tau menau mengenai hal satu ini. Seolah saya buta arah tak mengerti tentang Sidoarjo. Namun usai memasuki kawasan Surabaya, saya mulai tau beberapa ruas jalan yang sempat saya hafalkan karena dulu saya pernah tinggal beberapa bulan di sini bersama kakak keponakan saya. Maka sore sekitar pukul 3.30 Pm itu saya belah jalur Surabaya dengan Cbr 150 cc hingga akirnya sampailah saya pada sebuah gedung tua di mana gedung itu sungguh tak terawat. Banyak rumput liar tumbuh di dalamnya. Bahkan tempat ini sangat cocok untuk syuting film Pocong Yang Tertukar. Maka dengan perasaan sedikit ngeri dan berfikir Nonik ini adalah wanita yang paranoid atau bahkan mistis.

“beb ini tempat apaan ?? horror gini” keluhku enggan turun dari motor.

“cuman bangunan tua gini doang takut, udah ayok turun !” ajaknya dengan sedkit memaksaku.

“beb kita mo ngapain sih di tempat sepi kaya gini, kalo mau gituan aku jabanin di hotel aja deh gapapa aku yang bayar. Tapi jangan di tempat angker kaya gini. Ya . .” tawarku asal ceplos karena sudah tak mampu berfikir lagi.

“gituan apaan ?? kamu ini mikirnya jorok muluh ah. Udah ayok jalan. Keburu sore tar gaenak” tariknya pada tangan kiriku sambil jalan.

“beb, . . beb . . . bentar beb. Jangan – jangan kamu mau mutilasi aku di sini ya ?? beb aku beneran sayang sama kamu sekarang. Aku sama Bila udah gada apa – apa. foto di kamar juga udah aku masukin lemari. Aku udah punya plaining panjang buat idup sama kamu. Tolong jangan bunuh aku di sini beb. Aku pingin mati di tempat laen kaya taman wisata gitu ato di mana lah asal jangan di tempat angker kaya gini. Kalo aku mati di sini bisa – bisa aku jadi stuntmannya film Pocong Yang Tertukar. Plis beb aku mohon jangan . . sayangi nyawaku satu ini” rengekku bak orang yang benar – benar akan di mutilasi saja.

“ini orang kacau kenapa sih, baru liat gedung tua gini doang fikirannya udah nglantur kemana – mana. Yang gituan ke hotel lah, di mutilasi lah. Tar apa lagi coba. Ini udah hampir jam empat beb. Tar kita bisa kehilangan moment di spot yang biasa aku tongkrongin sama Jovan”

“nongkrong sama Jovan di tempat kaya gini ?? yang bener aja ?!!”

“udah deh kamu ikut naek dulu sampe ke lantai 7, tar smua bakal ke jawab di sana. Serah kamu mo mikir apa sesampae di atas, yang jelas aku mau nunjukin sesuatu sama kamu !!” dengan masih berbalut kesal, di tinggallah saya sendirian berteman dengan motor di lantai 1.

Bisa terlihat kala itu Nonik berjalan tengah sampai pada lantai 2. Sebab dinding gedung itu sudah tak ada lagi, atau tepatnya ini hanyalah kerangka gedungnya saja. mungkin bisa lebih cocok di sebut dengan proyek yang setengah jalan. Maka dengan memberanikan diri, saya coba tepis rasa takut serta fikiran macam – macam itu untuk segera menyusul Nonik naik ke lantai 7. Dan sesampai di atas, saya lihat Nonik asyik dudukan di tepi bangunan tak berpagar yang cukup membahayakan. Dirinya tengah asyik menghabiskan sebatang coklat sambil kakinya di ayun – ayunkan seolah ia sangat menikmati suasana ini. Sedangkan saya saat itu, masa saja belum mengerti tentang apa yang ingin Nonik tunjukan hingga pada akirnya saya tanya kembali itu dara manisku.

“beb, mang mau ngapain sih kita di sini. Anginnya kenceng banget” keluhku sambil duduk di sebelah Nonik dengan perasaan ngeri. Sebab jika salah duduk sedikit saja, saya bisa terjun bebas ke dasar lantai satu bak telor ceplok jatuh dari pantat ayam.

“kamu masih belom ngerti beb ?? hm . . kamu gak nyadar ??” sahut Nonik masih asyik menghabiskan coklat batangannya.

“apa sih, cuman ada angin kenceng doang gini. Emang sih fewnya asyik di ketinggian kaya gini. cuman . . . .”

Tak lama saya pun tak mampu berucap, bibir ini seolah terkunci karena pemandangan yang begitu elok di atas gedung ini. Matahari yang mulai tenggelam bersama hangatnya, bagaikan diri ini tengah menghabiskan sunset di tepi pantai kuta. Terasa hangat masuk kedalam kalbu, angin yang berhembus kencang seolah berbisik bahwa ini adalah keindahan dari tuhan sang pencipta. Hanya bisa berucap kagum dalam lafadz islam, mata ini amat terpukau oleh pemandangan kota Surabaya yang akan memasuki pergantian malam. Terlihat lampu – lampu kota mulai gemerlapan, bersinar kecil melawan cahaya matahari. Beradu terang kian mewarnai kota Surabaya begitu indah. Dengan haru kutengok gadisku satu ini karna telah menunjukkan sesuatu yang teramat indah untuk ku lukiskan. Maka terimakasih itu, usdah sepantasnya ia dapat dari bibir yang telah lancang ini.

“beb, maaf tadi udah mikir yang enggak – enggak. Aku baru nyadar kalo tempat ini indah banget di atasnya” tuturku haru sambil hanyut dalam paras milik Nonik.

“kamu sih, di ajakin lama banget. Indah kan kota Surabaya itu”

“ya, indah banget. Meskipun di siang harinya bisa lebih panas dari Sidoarjo, tapi aku gak nyangka kalo ada Spot seindah ini di tengah – tengah kota. Liat, kita bisa tau kota Surabaya yang padet ini dengan lampu mulai gemerlapan di bawahnya”

“aku sering habisin masa esemaku dulu di sini kalo lagi bengong di rumah. Sambil makan coklat gini, aku ngrasa lebih damai. Fikiranku bisa ngalir kaya angin yang berhembus kenceng saat ini. Bisa buat moodku naik drastis dari sedih hingga jadi gembira”

“kok kamu tau tempat kaya gini di Surabaya. Kan kamu tinggal di Sidoarjo ??”

“Jovan yang kasih tau tempat ini, pertama kali aku di ajak kluar sama Jovan pas ke Surabaya ya aku di ajakin ke sini. Makanya, aku pengen kamu ngrasain hal yang sama. Sama seperti damainya aku ngliat pemandangan ini waktu bersama Jovan”

“kamu masih inget masa – masa indah itu sampe sekarang ya. Sayang banget jovan udah ga ada lagi di antara kita. Mungkin jika ia masih ada, aku rasa yang duduk di sebelahmu ini bukan lagi aku. Tapi Jovan . .”

“iya lah, dia yang selalu duduk di sampingku ngabisin sore kaya gini sambil makan coklat sebagai bentuk kebiasaanku sama dia. Kadang selepas aku sama dia musuhan, aku masih sering ketemu dia di sini untuk ngabisin sore bareng. Tanpa sepatah kata, tanpa sapaan, dan tanpa berbicara sedikitpun. Tapi aku sama dia benar – benar tetap di sini seolah kita gak saling kenal”

“kok bisa gitu ya, seolah cuma tempat ini yang bisa nyatuin batin kalian. Aku gak pernah tau kalo persahabatan kamu sama Jovan sampe sedalem ini”

“yah, namanya juga masa lalu. Mo di apain juga gak bakal berubah. Yang penting sekarang aku seneng bisa ajak kamu di sini dan ngabisin sore ini bareng – bareng. Oiya, kamu lupa ini tanggal berapa !”

“tanggal berapa ?? ini tanggal empat belas kan. Kenapa emang sama tanggal empat belas ??”

“masih belom inget jugak ?? nih aku kasih sesuatu buat kamu”

Masih belum habis saya berfikir tentang tanggal empat belas hari ini, saya justru di sibukkan dengan sebungkus kado kecil dari Nonik. Lama membuka isi kado itu, rupanya coklat batangan di dalamnya saya dapati. Usai menyadari coklat adalah barang yang saya dapatkan, dengan berucap mesra Nonik katakan padaku bahwa . .

“Happy Valentine Beb . . .”

Siapa sangka ini hari Valentine, saya sungguh tak memperdulikan hal romantis semacam itu. Maka tanpa basa basi lagi, tanpa harus ragu ada Sri di sini, kucium mesra bibir Nonik hanyut dalam melodi cinta yang bersemi di ujung gedung sore ini. begitu dalam, begitu hangat, dan tentunya moment indah ini saya habiskan teramat lama dengan mengulum bibir Nonik hingga merah karenakau. Tak jarang tangannya yang masih asyik memegang sebatang coklat di lingkarkannya tepat di atas leherku. Maka bisa saya jabarkan bagaimana rasa bibir Nonik kala kucium saat itu, rasanya seperti . . .
“Ciuman Rasa Coklat . . .”

 

Created BY : rakhaprilio KASKUS