Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #27

Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #27

The Twilight Zone – Perahu dan Samudranya

Cerita Cinta Dewasa – Rien terbangun dengan keringat membasahi seluruh tubuhnya yang telanjang. Ia biasa tidur bebas terbuka seperti ini. Sejenak ia mengejap-ngejapkan matanya yang terasa agak pedih. Jam berapa ini? bisiknya dalam hati sambil meraih beker di meja kecil. Warna digital hijau di jam itu menunjukkan pukul 2 pagi.

Huh.., mengapa tiba-tiba aku terbangun? sergah hatinya lagi. Ia bangkit dengan malas. Ditengoknya Tiyar masih terpulas di sampingnya. Malam ini kekasihnya … no!, bukan kekasihnya lagi, melainkan tunangannya… tidur di sini. Dua hari yang lalu mereka bertukar cincin, tepat setelah episode terakhir dari sinetron Rien selesai.

Dengan gerakan letih Rien bangkit dan turun dari ranjang. Ia tiba-tiba merasa haus. Diraihnya sebuah kain yang biasa ia pakai sebagai selimut. Dibungkusnya tubuhnya, lalu ia melangkah ke luar kamar. Di luar, malam masih pekat.

Sejenak Rien menyibak tirai jendela, mengintip ke halaman yang lengang. Ada sedikit kabut tipis, karena rumah ini memang dekat sebuah sungai besar di pinggiran ibukota. Samar-samar terdengar suara air mengalir deras.

Tanpa menyalakan lampu, Rien masuk ke dapur dan duduk dengan segelas air putih di tangannya. Ia senang duduk dalam gelap seperti ini.

Rasanya seperti duduk dalam sebuah gua pertapaan yang hening. Pelan-pelan dihirupnya air yang terasa segar menggelontor kerongkongannya. Mengapa tumben aku terbangun sepagi ini? pikirnya.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kino memutuskan untuk menuruni tangga yang gelap itu. Jiwa petualangannya tiba-tiba muncul, dan pemuda itu ingin sekali tahu ada apa di ujung koridor gelap itu. Pada langkahnya menuruni tangga yang ketiga, Kino bergidik karena diserbu rasa dingin yang mendadak menyelimuti tubuhnya.

Sejenak ia menghentikan langkah dan berniat kembali naik ke atas. Tetapi lalu Kino mencium bau yang sangat dikenalnya: bau lautan!…. Bau angin yang membawa garam, bau pasir hitam yang dijilati ombak tak henti, bau ikan dan ganggang yang mengapung!

Cepat-cepat Kino menuruni anak tangga yang tersisa. Lalu dengan tak sabar dibukanya pintu di ujung koridor. Begitu terbuka, angin pantai menyerbu masuk. Rambut Kino berkibar bebas, dan pemuda itu tersenyum.

Tentu saja!… di hadapannya terhampar pasir hitam dan setelah itu lautan luas membiru. Tidak ada apa-apa selain itu, … selain sebuah perahu berisi rumah-rumahan kecil di tengahnya.

Perahu yang biasa dipakai nelayan untuk berlayar jauh ke tengah samudera mencari ikan. Perahu yang mengapung-apung agak ke tengah, terikat ke pantai oleh seutas tali yang kokoh.

Kino senang sekali melihat kembali pantai yang dulu menjadi tempatnya bermain-main. Pemuda itu berlari menjejak pasir, merasa senang bisa merasakan butir-butir kasar hitam itu menyentuh kembali telapak kakinya yang telanjang.

Dengan gembira, diterjangnya pula lidah-lidah ombak, ia berlari menuju perahu. Belum lagi setengah dari jarak yang harus ditempunya, Kino menghentikan larinya. Ia tertawa melihat siapa yang ada di perahu itu.

“Mba Rien!” jerit Kino dengan kegembiraan yang meluap. Sudah lama sekali ia tidak berjumpa dengan “kakak”-nya itu!

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Rien meneguk habis air di gelas. Selepas dahaganya, kini ia merasakan sebuah aliran lain menyelinap di dadanya. Wahai…, bisiknya dalam hati,… kenapa tiba-tiba aku teringat Kino?

Rien menyandarkan tubuhnya yang terasa letih, walau kini segar setelah minum satu gelas penuh. Ia memejamkan matanya, dan entah kenapa wajah pemuda itu muncul jelas sekali di pelupuk. Rien tersenyum. Pemuda itu selalu mempesonanya sejak dulu.

Dengan anak rambut yang menutupi sebagian alisnya… yang memayungi sepasang matanya. Rien tersenyum lagi, mengenang betapa bening dan lembutnya mata itu kalau sedang memandang dirinya.

“Kamu suka tarianku?” Rien ingat pernah bertanya begitu…. dan Kino tersipu karena ia lebih suka melihat tubuh yang berlenggak-lenggok indah… dan Rien tersenyum maklum menangkap rona merah di muka pemuda itu.

“Suka?” Rien juga ingat pernah bertanya begitu setelah Kino meletakkan tangannya di dadanya yang membusung telanjang…. Tanpa sadar Rien mendekap dadanya… tersenyum ingat betapa gugupnya Kino waktu itu!

Di manakah dia sekarang? tanya sebuah suara di hati wanita itu. Apakah ia masih ingat pada buah-buah kenari yang dikumpulkan sepanjang sore itu? Apakah ia masih ingat pada laut yang mereka renangi sambil berlomba dan berteriak-teriak riang itu?

Ya… laut itu. Pantai itu. Perahu itu. Rien ingat mereka pernah membujuk seorang nelayan untuk mengajak dia dan Kino ikut ke tengah laut. Lalu ketika sampai di tengah laut ada hujan cukup deras, sehingga mereka berempat: dia, Kino, dan dua nelayan, basah kuyup, tetapi tertawa-tawa riang. Masih ingatkah Kino tentang hujan di tengah laut itu?

Seperti film tanpa warna, berbagai kejadian melintas di pelupuk mata Rien. Sesekali ia menghentikan aliran “film” itu; mem-freeze salah satu adegan dalam bingkai rasa kangen yang entah kenapa mengental malam ini.

Rien teringat bibir pemuda itu, yang pernah ia cium dan kulum sepenuh hati. Rien teringat getar bibir itu bahna gugup yang tak tertahankan selain juga mengejawantahkan birahi yang diselipkan dalam rasa ingin tahu.

Ah, betapa Rien juga ingat bahwa ciuman-ciuman bergelora itu adalah bagian dari eksperimen perasaannya sendiri. Betapa pemuda itu adalah perahu kecil yang ia naiki untuk meniti gelombang samudera kehidupan belianya.

Betapa berharganya masa itu; ketika segalanya masih bening-murni tanpa pembungkus yang berlebihan. Ketika alam masih dekat sekali di mata-kepala dan di mata-hati. Lewat kedekatan pada alam dan pergaulan-batin dengan pemuda yang pemalu itu, Rien menimba banyak sekali makna hidup.

Kini, setelah tuntutan semakin menjulang dan mendera, keemasan aneka makna itu berbinar bagai pelita di malam kelam. Tanpa itu, Rien merasa pasti ia akan tersesat entah di mana.

Mba Rien kangen sekali, bisik wanita itu dalam hati. Di manakah kamu?

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kino mendayung sambil menghadap Mba Rien di atas perahu yang terombang-ambing pelan. Dengan penuh antusias pemuda itu bercerita tentang kota yang kini ia tinggali. Mba Rien diam dalam senyum manisnya, patuh mendengar setiap tutur Kino.

Tetapi, tentu saja, tak ada ucapan-perkataan yang dipertukarkan. Tidak ada kalimat beruntai-berjuntai dari tenggorokan Kino ke gendang telinga Rien.

Mereka bercakap-cakap dalam diam sediam-diamnya. Hanya hati mereka yang bertaut-tautan seperti rajutan tikar pandan; membentangkan rasa yang amat luas seakan ingin menyaingi luas samudera.

Kino berkisah tentang betapa cerianya kehidupan kampus. Bercerita tentang dosen-dosen yang galak dan yang tidak; yang tegas dan yang plin-plan; yang memukau dan yang membosankan. Terutama juga: dosen-dosen yang tak mengajar tetapi mengajak.

Tidak banyak jumlahnya, tetapi Kino sangat menyukai dosen-dosen yang seperti itu. Mereka, kata Kino kepada Rien, mengingatkannya pada seorang guru tari yang mengajarkan gemuruh kehidupan. Tersenyum lebar, Mba Rien mendengar perumpamaan yang terlalu dekat dengan fakta itu.

Apakah Mba Rien masih mengajarkan kehidupan lewat tari? tanya Kino, yang dijawab Rien dengan anggukan perlahan dan senyum tak lekang. Apakah kehidupan itu bisa segemulai tarian Mba Rien? tanya Kino lagi, yang dijawab Rien dengan gelengan tiga kali.

Mengapa begitu? tanya Kino penuh desakan, dan Rien mengatakan bahwa gemulai tariannya adalah penghalusan yang perlu. Bukan peniruan yang persis.

Lalu Kino meraih tangan Mba Rien-nya, mencium ujung jari-jarinya. Dan Rien membiarkan aliran hangat menyerbu dari bibir pemuda itu, menerobos cepat sepanjang lengan untuk berlabuh di dadanya.

Dan Rien bertanya mengapa Kino sendirian datang ke pantai menyongsong samudera yang agaknya sebentar lagi bergelora. Mengapa Kino bertelanjang kaki dan bermuka pucat walau penuh binar senyum kelegaan-kebahagiaan. Terlebih-lebih lagi, mengapa mengajak Mba Rien seperahu-sependayungan?

Dan Kino menjawab bahwa ia sedang dalam sebuah pengembaraan aneh-mengasyikkan. Bahwa ia sedang menikmati berbagai flash-back dari sebagian episode hidupnya. Bahwa sebuah cinta membara lah yang membawanya ke tempat ini.

Mba Rien lalu bertanya dalam tawa renyai, apa tah gerangan “cinta membara” itu, cah bagus?

Kino tak bisa menjawabnya, melainkan malah ikut tertawa renyai. Bersamaan pula dengan itu, ombak mengangkat tinggi perahu yang mereka tumpangi, lalu menghempaskannya kembali ke bawah dengan cepat. Berdua mereka menjerit kaget, tetapi lalu tertawa lagi karena ombak juga tertawa-tawa seperti mengajak bercanda.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Sebuah kerejap kilat di langit menyentak lamunan Rien. Ia membuka matanya, tetapi dapur telah kembali gelap karena kilat itu cuma sepersekian-detik saja memberikan terang. Perlahan-lahan Rien bangkit menuju jendela.

Disibaknya gorden, dalam temaram di lihatnya semak-semak yang bergerombol di halaman belakang. Daun-daun pisang berjuntaian dari pohonnya, melambai-lambai pelan disepoi angin.

Betapa mesranya hubungan daun dengan angin, pikir Rien. Teringat kembali pada kemesraannya pada Kino. Dia lah angin yang membelai pemuda itu, membuatnya bergetar-getar halus. Teringat kembali pada remasan tangan pemuda itu dalam ketidaktahuan dan keterpanaannya.

Ah, siapa yang sebenarnya menjadi daun dan siapa yang menjadi angin? Atau mungkin mereka berdua telah menjadi badai yang mengamuk di masing-masing batin, yang kemudian menghempaskan mereka dalam kepuasan yang meragukan. Keraguan yang memuaskan.

Rien menempelkan wajahnya pada kaca jendela. Hembusan nafasnya menciptakan buram memutih, sehingga terlihatlah pantulan wajahnya sendiri. Mata itu, bisik Rien dalam hati, … mataku itu pernah terpejam dalam buaian nikmat badani yang tercipta lewat ujung-ujung jari Kino.

Mata itu, yang kini tersenyum dalam diam, pernah menjadi telaga bagi gelisah-gundah Kino. Kapan kah terakhir kali pemuda itu berenang di sana? Atau kapankah aku terakhir kali membiarkan deru nafasnya memenuhi leher dan wajahku, membuat aku berenang-renang dalam remang birahi?

Rien meninggalkan jendela. Duduk lagi dalam gelap. Memejamkan lagi matanya dan membiarkan episode-episode lama terpampang bergantian di pelupuk.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kino menghentikan kayuhan dayung lalu memajukan tubuhnya, sehingga wajahnya dekat sekali dengan wajah Mba Rien. Sejenak mereka berpandangan dan Kino pun menemukan lagi telaga sejuk yang luas-linggah itu.

Apalagi kemudian Mba Rien tersenyum lembut, membiarkan pemuda itu berenang-renang di sana. Membiarkan pemuda itu mengecup bibirnya.

Membiarkan nafas pemuda itu menyaput seluruh permukaan wajahnya. Tercipta lah hangat. Tercipta lah rasa yang berakar-berujung jauh di relung tubuh.

Laut bergelombang pelan dan panjang. Kino mencium lama dan lembut. Mba Rien perlahan memejamkan matanya. Datanglah padaku sesukamu, Kino, bisiknya

.*** Cerita Cinta Dewasa ***

Sebulir air mata turun dari ujung pelupuk Rien, perlahan sekali mengalir turun. Datanglah padaku sesukamu, Kino, bisiknya. Entah darimana, entah hendak ke mana. Datanglah. Janganlah pernah pergi sejauh-langkah.

Rien tak tahu apa yang terjadi dengan hatinya. Tiba-tiba saja perasaan luluh dalam sedih memenuhi dadanya. Ia tiba-tiba merasa betapa jauhnya sudah pemuda itu berjalan meninggalkannya.

Betapa tingginya ia sudah terbang dari sangkar kecil yang dulu mereka bangun di tengah hutan kenari dan pasir asin tepian pantai.

Datanglah padaku. Cium aku. Peluk aku. Tumpahkan segala rasa di tubuhku.

Rien menahan sedu dalam gelap.

Kino memeluk Mba Rien, membawa kepala wanita itu ke dadanya. Mencium rambutnya yang selalu menerpakan harum segar kembang setaman. Betapa senangnya bisa merengkuh tubuh wanita yang dulu menyediakan lapangan penjelajahan tanpa batas itu.

Kino mencium dan mencium lagi. Mengusap dan menelusupkan jemarinya di rambut lebat-legam. Menyentuh tengkuk Mba Rien yang mulus belaka itu.

Ombak bergelora. Perahu terombang-ambing. Kino tak melepaskan pelukannya. Badai datang tiba-tiba. Laut murka dan langit menumpahkan kegelapan. Tak ada yang bisa terlihat kasat mata. Kino tak melepaskan pelukannya. Kino tak berhenti mencium.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Siapkan oksigen ekstra!” perintah dokter Rudy sambil menyodorkan wajahnya ke suster kepala yang dengan sigap melap keringat dari wajah dokter muda itu. Perawat yang lain segera sibuk menjalani perintah.

“Perdarahan sudah berhenti. Balut lukanya dengan baik!” perintah dokter Rudy lagi. Phew! desahnya dalam hati. Luka itu begitu mengerikan dan begitu cepat menumpahkan darah.

Untung pasiennya termasuk kategori sangat sehat, sehingga masih bisa bertahan. Sekarang tinggal menstabilkan terus jantungnya. Baru kemudian memeriksa sejauh mana kerusakan di jaringan otak.

“Persediaan darah cukup?” tanya dokter Rudy yang dijawab dengan anggukan suster kepala.

“Good!” kata dokter itu, “Bawa dia keluar dari ruang operasi. Awasi terus!”

Dokter muda ini harus menangani pasien berikutnya. Ia kini tinggal berharap pasien yang barusan keluar itu tidak terlalu mengalami kerusakan di kepala. Dengan begitu, recovery bisa lebih cepat.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Indi dan Rima yang paling dulu bangkit melihat Kino didorong keluar di atas tempat tidur beroda. Berbagai selang berseliweran di tubuhnya. Ada selang darah, ada selang infus, ada selang oksigen. Seluruh kepala Kino terbalut perban.

Cuma bagian hidung dan mata yang agak terbuka. Itu pun dipenuhi darah yang telah mengering menghitam.

Trista berlarian menuju pintu ruang emergency, dan segera berjalan mengiringi suster yang dengan tegas melarang wanita itu berjalan terlalu dekat.

Trista tak kuasa melihat apa yang dilihatnya. Tangisnya meledak. Indi buru-buru memeluknya. Rima ikut memeluk. Bertiga mereka berdiri membiarkan Kino dibawa masuk ke ruang khusus.

Tigor dan Ridwan mencoba ikut masuk, tetapi dilarang. Pintu ruangan khusus menutup dengan cepat. Tigor melongok lewat jendela, memandang sahabatnya yang terbujur diam dibawa menjauh.

Pemuda itu menarik lengan Ridwan untuk bersama-sama melongok. Dengan hanya pandangan mata, berdua mereka mengantar seorang sahabat. Masing-masing berbisik dalam hati, “Jangan menyerah!”

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Nun di sebuah rumah asri yang indah di pinggir ibukota, Rien berhenti menangis. Dihapusnya air mata. Bangkit dengan gontai, wanita itu menuju kamar tidur. Tubuhnya letih sekali, tetapi entah kenapa dadanya terasa lapang.

*** Cerita Cinta Dewasa ***