Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #29

Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #29

Percakapan Dua Cinta

Cerita Cinta Dewasa – Ada sebuah taman kecil asri penuh bunga warna-warni dikelilingi satu-dua pasang kupu-kupu putih kuning. Letaknya tak jauh dari kamar tempat Kino berbaring menunggu kesembuhannya.

Dari jendela kamar itu, sebenarnya Kino bisa melongok ke taman, tetapi dengan tubuh lemah dan kepala dibalut perban, ia tidak bisa banyak bergerak. Hanya saja, Kino bisa mencium kesegaran datang setiap kali angin berhembus dari arah taman.

Di taman itu pula kini duduk Alma dan Trista, pada sebuah bangku kayu bercat putih, di bawah satu-satunya pohon di taman kecil itu: sebuah pohon sengon yang tampaknya sudah berusia panjang, dengan daun amat lebat menciptakan keteduhan.

Ini hari ke-9 sejak Kino lolos dari maut, dan kali kedua Alma datang ke kota B untuk menjenguknya. Ini pula perjumpaan kedua Alma dengan wanita cantik mempesona yang ternyata kekasih Kino itu.

Pada pertemuan pertama, keduanya tak banyak bercakap, selain karena masih tegang menunggu nasib Kino, juga karena memang tak banyak waktu untuk bercakap-cakap.

Tadinya, Alma hendak memanggilnya “mbak”, walau dari raut dan penampilan Alma yakin wanita cantik ini seusia dengannya. Tetapi ia tidak jadi menggunakan sebutan itu.

Ternyata Alma benar, usia mereka tak jauh berpaut, karena Trista cuma lebih dahulu lahir 5 bulan dari Alma. Menurut Trista, “Aku hanya lebih dahulu menikah; itu pun karena desakan keluarga….” Terus terang, pertamakali mereka berjumpa, Alma terusik oleh rasa cemburu. Hatinya sempat bergelora dan menyergah-marah,

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Pantas Kino melupakanku!”. Tetapi kemudian, setelah mendengar cerita perjumpaan Kino dan Trista, gadis itu seperti diguyur air sejuk yang memadamkan kecemburuannya. Dari cerita itu, Alma justru menyimpulkan: Kino berjumpa Trista pada saat yang bersamaan dengan dirinya sendiri membina hubungan kasih dengan Devan. So… who’s sorry now?

“Aku terpikat oleh senyum dan sinar matanya yang tulus, Alma…,” kata Trista ketika mereka mulai duduk berdua, setelah makan siang dua mangkok bakso di kantin rumah sakit.

Alma menunduk, memandangi rumput yang rebah diinjaknya… Hmm, “senyum dan sinar mata”… gumamnya dalam hati. Aku sendiri tak pernah bisa membayangkan Kino tanpa senyumnya yang tulus itu.

Atau Kino tanpa sinar matanya yang tajam sekaligus membelai kalbu itu…. Pemuda itu memikat wanita dengan keduanya. Aku tak bisa berbantahan tentang yang satu ini!

“Aku juga yang menjeratnya dengan kenikmatan…,” bisik Trista nyaris tak terdengar. Alma mengangkat mukanya, menengok memandang wanita di sampingnya yang kini menunduk memainkan saputangan di pangkuannya.

“Maksudmu?” tanya Alma, lalu segera menyesal karena terlalu cepat bertanya! Kenapa, sih, tidak berpikir dulu sebelum bertanya! sergah hati kecilnya. Tris mengangkat mukanya, dan kedua wanita cantik belia itu saling berpandangan, bertukar sapa lewat rasa-jiwa yang tak kasat mata. Lalu Tris berucap pelan,

“Aku berhubungan badan dengannya, … memberikan sesuatu yang terlalu berlebihan kepadanya.” Alma terperangah. Tris sendiri heran kenapa ia begitu ingin berterusterang kepada gadis yang -secara tak langsung- ia ketahui adalah bekas pacar Kino.

Apakah karena mereka “senasib”, mencintai seseorang yang sedang sial terbaring di ranjang rumah sakit itu?

“Kami terlalu banyak melakukannya dalam emosi yang berlebihan..,” ucap Tris lagi, kini tak terbendung, seperti ingin menumpah-ruahkan semua kisah hidupnya ke hadapan Alma. Baru kali ini ia memiliki keberanian-keyakinan untuk mengisahkan kasih-masyuknya kepada orang lain. Bahkan Ibunya sendiri tidak pernah tahu sejauh ini!

“Itu mungkin semua salahku…, aku biarkan dia melakukannya tanpa banyak penolakan,” kata Tris sambil memainkan saputangan, “Tetapi, bagaimana aku bisa menolaknya?… Aku tak pernah punya daya untuk itu, Alma…. Dia begitu memikatku lahir-batin, sehingga aku tak pernah bisa memisahkan yang mana kenikmatan yang mana kecintaan!”

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Alma terdiam, terpesona mendengar kata-kata lancar mengalir dari bibir Trista yang agak bergetar itu, “Aku tak bisa tak ingin bercinta setiap kali bertemu dengannya. Bahkan dalam mimpi pun aku ingin bercinta dengannya… Aku tak tahu apa yang melanda diriku, tidak pagi tidak pula siang, kami melakukannya berkali-kali… Aku seperti tak punya apa-apa lagi selain keinginan berdua dan bercinta dengannya.”

Sepasang kupu-kupu terbang dekat sekali di kepala Trista yang menggeleng-gelengkan pelan sambil berdesah, “Pernah aku mencoba tidak bertemu dengannya…, cuma dua hari, Alma… Aku tidak tahan lagi; aku cari dia di kampus atau di tempatnya kost. Bagaimana mungkin aku bisa menolaknya?”

Alma tidak tahu harus berkata apa, tetapi mulutnya sudah berucap,
“Aku mengerti…” dan setelah mengucapkannya, lagi-lagi Alma mengumpat dalam hati: apa yang kau mengerti!?

Tris tersenyum lembut. Alma terpesona oleh senyum itu, karena seluruh wajah Tris ikut tersenyum, terutama matanya yang indah itu memberi guratan semakin tegas pada senyumnya.

Lalu Alma mendengar ucapan Tris seperti memantulkan ucapan hatinya, “Apa yang kamu mengerti?” Alma tersenyum kikuk dan mengakui kecerobohannya,
“Tidak… aku hanya pura-pura mengerti. Aku hanya mencoba untuk mengerti…” katanya sambil menunduk.

“Aku sendiri masih terus mencoba untuk mengerti..,” kata Trista, ikut menunduk memandangi rumput. Kedua wanita belia itu kini sama-sama mengayun-ayunkan kaki mereka, seperti sepasang bandul jam dinding yang sedang menata waktu.

“Kamu tidak hamil…,” tiba-tiba Alma sudah berkata begitu, dan tidak ada nada jelas di sana: apakah ini pertanyaan atau pernyataan. Alma sendiri memang ingin mengucapkan kalimat itu, tetapi tak begitu yakin, untuk apa ia mengucapkannya.

“Aku hampir hamil,” ucap Trista.
“Kamu tidak menggugurkannya!” sergah Alma sambil memandang Tris lekat-lekat. Ini juga kalimat yang tidak jelas: mengucapkan tuduhan atau menyampaikan kelegaan?

Trista menggeleng sambil tetap menunduk, sambil berucap pelan,
“Dua hari yang lalu aku mens… padahal sudah terlambat hampir tiga minggu.”
“Uhhh…,” Alma menghempaskan nafasnya kuat-kuat, setelah tadi menahannya, menunggu jawaban Trista.

“Aku juga kalut, ketika mendengar Kino kecelakaan, sementara juga tiba-tiba sadar sudah terlambat datang-bulan. Aku pikir, aku akan mengandung dan Kino akan menjadi ayah di liang kubur,” bisik Trista.

Alma menghela nafas dalam-dalam. Betapa hebatnya segala yang terjadi dengan Kino, pikirnya. Pemuda itu hampir tewas dan hampir jadi Ayah!

“Kami terlalu ceroboh…,” desah Trista,
“Terlalu naif.”

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Kalian saling mencintai…,” sahut Alma. Wahai, banyak sekali kalimat Alma yang bernada tak jelas seperti ini, karena kalimat terbaru ini pun tak terlalu jelas, apakah bermaksud memuji atau justru menyalahkan.

Apakah “saling mencintai” itu baik, jika disandingkan dengan kecerobohan dan kenaifan? Atau apakah kecerobohan -dan terutama kenaifan- adalah bagian tak terelakkan dari cinta? Trista tertawa kecil dengan tawanya yang mempesona itu.
“Kami mungkin terlalu muda untuk itu…. Maksudku, untuk “cinta” itu…”

“Tetapi kalian memang saling mencintai, bukan?” desak Alma, dan untuk kesekian-kalinya ia merasa tolol. Pertanyaan macam apa ini? Bloon bener gua! sergah hati kecilnya. Trista mengangkat mukanya, memandang Alma lekat-lekat.

Alma pun menatap wanita di sampingnya. Keduanya tahu-tahu sudah tertawa dengan lepas!… Keduanya secara bersamaan melihat ada keriangan di pertanyaan yang maha-bloon itu!

Lalu, setelah selesai tertawa, Trista berkata serius, “Setelah kejadian ini… Setelah melihat tubuhnya penuh darah dan tergeletak tak berdaya.. Aku jadi takut sekali mengakui cinta itu, Alma. Aku bahkan berpikir, cintaku yang sangat tulus dan sangat indah itulah yang memicu bencana ini. … Aku sampai berkesimpulan, cinta itu benar-benar pedang dengan dua mata yang tajam. Cintaku itu begitu mempesona, tetapi….” Trista terdiam.

Alma menunggu akhir kalimat itu. Rasanya lama sekali.

“Begitu mempesona, tetapi begitu mengerikan…,” desah Trista. Ada sedikit airmata terselaput di kedua bola matanya….

Alma seperti tertusuk iba, merasakan bulu romanya berdiri mendengar kalimat terakhir ini. Diraihnya tangan Trista, lalu dicakupkannya kedua telapaktangannya di telapak tangan wanita itu.

Setelah bertaut lewat sinar mata dan kata-kata, kini Alma menautkan pula wadah-fisiknya ke wanita yang mempesona ini. Kini ia bisa merasakan segalanya: cintan wanita itu pada Kino, dan ketakutannya pada maut. Wahai, itulah dua perasaan yang bisa meluluh-lantakkan apa pun!

“Aku sangat mencintainya, Alma..” bisik Trista. Kali ini sebulir airmata sudah terbentuk di satu sudut matanya. Cepat-cepat Alma mengeluarkan tissu, padahal tangan Trista sudah menggenggam saputangan.

Berebutan, keduanya menghapus airmata sebelum turun…. Keduanya tertawa lagi. Aneh, memang, sambil bersedih dan sambil tertawa. Tetapi, adakah yang tidak aneh sepanjang percakapan ini?

“Aku tidak bisa membantah itu, Tris. Kamu memang mencintainya, dan dia mencintaimu,” ucap Alma.

Trista menggeleng kuat-kuat, “Tetapi aku tidak ingin mencintainya lagi…” bisiknya.

Alma tersenyum, “Tidak. Kamu sedang bingung, Trista. Kamu masih mencintainya, dan masih ingin mencintainya….” katanya. Dalam hati ia berbisik pula… hmmm.. look who’s talking…. Trista menggeleng lagi,

“Aku sungguh-sungguh, Alma..,” ucapnya sambil menatap sahabat barunya lekat-lekat,
“Aku tak bisa menghadapi bencana lagi… Cintaku kepadanya terlalu besar. Ia terlalu muda untuk sebuah cinta yang begitu mencekam kalbu. Ia masih punya jalan panjang…”

Alma terdiam, kini menyadari betapa seriusnya wanita di hadapannya.

“Aku cuma tidak tahu,” desah Trista, “…tidak tahu, bagaimana menyampaikan ini kepada Kino. Bukan saja aku tak tahu apa reaksinya.. tetapi aku sendiri tak tahu apakah aku bisa menyampaikannya…”

“Kamu masih bingung, Tris..,” ucap Alma mencoba menghibur.

“Tidak, Alma. Kamu belum mengerti seluruh persoalanku,” potong Trista, lalu ia bercerita panjanglebar tentang pernikahannya, tentang Sony dan Ria, dan tentang rencana mereka pergi ke London. Semuanya ia ceritakan, termasuk kecelakaan maut yang merengut nyawa kakaknya, dan yang akhirnya mengurungnya dalam sangkar pernikahan.

Alma tertegun. Memang, baru kali ini ia mendapatkan gambaran utuh tentang hubungan Kino dengan Trista. Ia sempat tahu sepintas, bahwa Kino menciptakan semacam skandal di kalangan sahabatnya ketika berpacaran dengan seorang yang sudah berkeluarga, tetapi ia belum pernah mendengarnya langsung dari Trista.

Kini ia seperti membaca sebuah buku lengkap, dari Kata Pengantar sampai Daftar Bacaan… lengkap dan jelas!

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Lalu, apa rencanamu?” tanya Alma setelah Trista selesai bercerita dan setelah sejenak mereka berdua terdiam.
“Aku akan pergi diam-diam setelah dia agak sembuh,” kata Trista,
“Aku tak kan sanggup berpamitan kepadanya. Begitu aku melihatnya, begitu aku ingin memeluk dan membawanya pulang!”

“Dia akan sangat kecewa, Tris..,” desah Alma. Dalam hati ia berkata pula, dua kali pemuda itu kecewa. Salah satunya olehku jua!
“Dia harus kecewa,” sahut Trista, “Dia harus marah kepadaku, harus mengutukku dan melupakan semua cintanya.”

“Itu bukan pekerjaan yang mudah,” kata Alma.
“Ia bisa menghadapi maut,” sergah Trista, tiba-tiba penuh determinasi dan ketegasan, “Ia pasti bisa menghadapi sekadar kehilangan kekasih…”

“Tetapi ia bisa menghadapi itu semua karena cintanya, bukan? Kalau ia kehilangan kamu, ia mungkin akan kehilangan segalanya!” kata Alma, kini juga penuh determinasi untuk membela Kino. Ia tidak ingin Kino kecewa lagi… dan bukankah ini adalah rasa bersalah juga!

“Aku pasti bukan satu-satunya yang ia cintai!” sahut Trista sengit.
“Itu cuma dugaanmu, Tris!” sergah Alma tak kalah sengit.
“Dia masih punya kamu!” tiba-tiba Trista berkata begitu. Alma terperanjat. Lalu Trista juga terperanjat.

“Kamu betul-betul sedang bingung!” kata Alma ketus. Tersinggung juga ia mendengar nada sengit di ucapan Trista yang terakhir. Ucapan itu seperti hendak menghakimi perasaannya sendiri. Alma tak terlalu suka dihakimi, walau ia sering bertanya-tanya tentang sejauhmana Kino masih mencintainya.

“Maaf…,” bisik Trista setelah sadar apa yang diucapkannya. Alma menghela nafas panjang dan menghempaskannya dalam hembusan kuat.
“Tak apa…, kamu memang sedang bingung,” katanya.

Trista ikut menghela nafas, lalu berkata, “Maaf kalau aku melibatkan kamu, Alma. Tetapi kepada siapa lagi aku harus bertukar-pikiran..” Alma tersenyum lembut, merasa bersalah kalau menambah kalut pikiran Trista.

“Sudahlah… lupakan yang barusan itu. Aku mau dilibatkan, kok!” katanya.
“Tahukah kamu, kenapa aku langsung merasa dekat kepadamu?” tanya Trista sambil memandang dengan matanya yang jernih itu.

Alma menggeleng. Ia sendiri merasa dekat dengan Trista karena terpesona oleh cinta wanita itu kepada Kino. Ia melihat seorang bidadari yang dengan luarbiasa mengorbankan segalanya demi cinta kepada seorang pemuda yang sebetulnya tak punya apa-apa. Sekarang, apakah Trista merasa dekat kepadaku karena…..

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Belum sempat Alma menyelesaikan dialog di hatinya, terdengar Trista berkata pelan namun tegas, “Karena kamu masih mencintainya…”

“Ah!… Kamu mulai lagi!” sergah Alma sengit, tetapi kali ini dengan senyum merebak di kedua matanya!

Trista tertawa dan membiarkan Alma mencubit lengannya. Tidak sakit, dicubit oleh seseorang yang tiba-tiba ada dekat di hatimu! sergah hati kecilnya.

“Percakapan ini sudah kelewatan!” sergah Alma sambil mencubit kedua kalinya.
“Kita tengok Kino, yuk?!”

Trista membiarkan Alma menarik tangannya, bangkit dan terseret mengikuti langkah calon dokter yang rupanya sudah membiasakan diri untuk tergesa-gesa itu. Berdua mereka melintasi taman dengan cepat, menuju bangsal Melati, tempat Kino beristirahat.

Sewaktu mereka masuk, Ayah Kino sedang bersiap keluar. Trista mengangguk sopan, dan lelaki yang masih tegar tetapi selalu tampak letih itu menjawab dengan senyum ramah. Lelaki itu dalam berbagai kesempatan telah akrab berbincang dengan pacar anaknya -si bidadari itu.

Tetapi ia belum tahu cerita keseluruhan, karena terlalu risau memikirkan keselamatan Kino. Bahkan sampai kini ia belum begitu yakin, betulkah yang dimaksud dengan “pacar” itu adalah sebagaimana yang ia pahami dulu waktu berpacaran dengan Ibu Kino?

Ataukah sudah ada definisi baru tentang “pacar”? Dan bagaimana pula dengan Alma, gadis manis sekota-kelahiran itu? Apakah dia juga “pacar”?

Untuk lelaki yang lahir di “Jaman Belanda” itu, sudah tentu segala sesuatunya kabur belaka. Ia tak bisa menangkap nuansa lain, selain sebagaimana yang ia ketahui dulu-dulu itu. Tigapuluh atau empatpuluh tahun yang lalu, “pacar” atau “cinta” tidaklah terlalu sulit dimengerti!

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Ketika Kino membuka matanya, wajah itu sudah ada di depannya. Senyumnya yang indah itu sudah pula ada di sana. Matanya yang bening bagai telaga itu berkerejap mempesona.

“Hai..,” sapa Trista lembut sambil menggenggam jemari Kino yang terasa dingin. Sesekali ia itu mengusap punggung tangan pemuda kesayangannya itu, menebarkan kehangatan.
“Selamat pagi, bidadari..,” bisik Kino sambil tersenyum,

“Atau selamat siang?”
“Sudah hampir sore,” ucap Trista pelan, mengangkat tangan dalam genggamannya, menciumi jari-jari Kino dengan penuh kasih. Bau obat memenuhi hidungnya, tetapi ia terus mencium.

“Sendiri?” tanya Kino lemah. Susah sekali rasanya berbicara, tetapi ia ingin banyak berbicara dengan orang yang tak pernah berhenti mempesonanya ini. Trista menggeleng, lalu menunjuk dengan dagunya ke arah ujung bangsal,

“Ada Alma di sana, sedang ngobrol dengan dokter Rudy” katanya. Kino mencoba bangkit dan menengok, tetapi lehernya terasa kaku. Ia meringis kesakitan. Trista segera menyuruhnya tidur kembali.

“Nanti dia ke sini. Ngga sabar amat, sih!” goda Trista sambil membantu Kino meletakkan kembali kepalanya di bantal. Kino tertawa kecil, itu pun dengan meringis lagi,

“Aku belum sempat melihat dan berbicara dengan jelas kepadanya,” kata Kino, karena memang sejak kondisinya membaik, Alma pulang ke Ibukota dan sekarang kembali lagi untuk menjenguk.

“Tuh… dia datang,” kata Trista melihat Alma sudah selesai berbicara dan sedang melangkah menuju ke arah mereka.

Tak lama kemudian Alma tiba di sisi ranjang, berdiri di sebelah Trista. Ah, Kino melihat wajah itu lagi. Masih seperti dulu. Manis dan innocent, walau kini tampak jauh lebih dewasa.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Halo, Kino…,” sapa Alma dengan jantung berdegup agak lebih kencang dari biasanya. Baru sekarang ia bisa melihat Kino dalam kondisi “normal”, setelah sebelumnya wajah dan kepala itu penuh darah.

Baru sekarang ia bisa melihat kembali matanya yang …. Ah! masih seperti dulu…. memandangnya dengan pandangan yang bisa membuat lemas kedua lututnya!
Kino tersenyum riang melihat gadis yang dulu selalu menggamit lengannya kalau memintas di pematang sawah itu.

“Sudah periksa jantung dan paru-paru saya, Dok?” tanya Kino menggoda. Alma dan Trista tertawa.
“Persoalannya bukan di jantungmu, Kino!” sergah Alma sambil menahan senyum,
“Tetapi di kepala kamu!” Kino meringis, merasakan memang kepalanya berdenyut-denyut.

“Bisa dicopot sebentar, untuk diperbaiki?” tanyanya.
“Bisa!” sahut Alma cepat, “Nanti aku panggil tukang tambal ban di depan rumahsakit!” Trista tertawa terbahak. Kino cuma bisa meringis.

Alma tersenyum, memandang lekat-lekat wajah orang yang dulu pernah dikasihinya sepenuh hati. Ah,… betulkah penggunaan kata “pernah” itu? bisiknya dalam hati.

“Kenal Trista di mana?” tanya Kino kepada Alma ketika lelucon telah reda. Ini memang pertanyaan yang tadinya ingin ia ucapkan pertamakali.

“Kamu yang mengundang kami datang berdua, Kino!” kata Trista sambil memberi tempat kepada Alma untuk duduk di sebelahnya, di kasur tempat Kino berbaring. Kino tersenyum, memahami sepenuhnya gurauan kekasihnya.

“Trista…, ini Alma pacar saya di SMA,” katanya, “Alma…., ini Trista pacar saya sekarang.” Alma mencibirkan bibirnya yang menggemaskan itu,
“Di SMA juga ngga penuh… Cuma di kelas tiga, kan!?.” katanya.

Kino tersenyum sambil meringis, “Tetapi kamu naksir-nya sejak kelas satu, kan?!”
“Enak aja!” sergah Alma merajuk, “Aku kecantol-nya juga karena kamu tukang camping. Lumayan, kan, punya pacar yang bisa bantuin pasang tenda!”

Trista tertawa riang mendengar perdebatan “anak-anak” itu. Dia sendiri tidak mengalami masa SMA seindah Kino dan Alma. Sekolahnya dulu di sekolah khusus anak-anak wanita. Sungguh senang rasanya mendengar sekelumit kisah riang dari masa penuh keindahan itu!

Lalu Kino dan Alma terlibat pembicaraan tentang teman-teman mereka. Dengan bersemangat keduanya saling menceritakan alumnus yang sempat mereka temui di masing-masing kota tempat menuntut ilmu.

Kino bercerita tentang si Wati, gadis paling kurus di SMA dulu yang sekarang jadi gemuk karena tinggal dengan Pamannya yang punya restoran… Alma bercerita tentang si Dodi yang sekarang sibuk main band sehingga kuliahnya terkatung-katung… Sesekali mereka merujuk pula ke peristiwa-peristiwa lucu ketika masih di SMA.

Trista mendengarkan dengan takjub, lalu diam-diam mencari alasan untuk meninggalkan mereka berdua. Ketika Kino sedang asyik bercerita, Trista menyela,

“Sebentar, ya… aku mau pipis”. Trista menghilang cukup lama. Terlalu lama, bahkan. Sehingga ketika cerita-cerita sudah habis, Kino dan Alma terjerat sepi yang tiba-tiba tercipta.

“Siapa sekarang…” Kino berkata pada saat yang sama dengan Alma berucap, “Aku ingin ..”
“Ya sudah,.. kamu duluan,” kata Alma setelah tertawa.
“Tidak. Kamu saja,” kata Kino.

“Aku sudah lupa, mau bilang apa,” kata Alma berbohong. Ia sedang menyusun kekuatan hati untuk mengatakan sesuatu tentang surat yang tak pernah terkirim itu!
“Baik. Kalau begitu, aku yang tanya dulu, ya!” kata Kino, lalu segera menyambung, “Siapa pacarmu sekarang?”

“Aku sudah menulis surat tentang itu…,” kata Alma tak langsung menjawab pertanyaan Kino, sehingga pemuda itu mengernyitkan dahinya tak paham. Rasanya ia tak pernah menerima surat “tentang itu”. Tentang apa? Alma memandang kedua mata Kino yang terheran itu. Lalu berucap pelan,

“Aku sudah akan bertunangan dengannya, Kino… Aku pernah menulis surat tentang dia, tetapi surat itu tak pernah aku kirim.”

“Kenapa tidak dikirim?” tanya Kino membalas tatapan Alma. Sejenak keduanya hanya bertatapan, saling mempertukarkan kata-kata bisu yang diambil dari memori 5 atau 6 tahun silam. Lalu Alma menunduk dan berucap pelan,

“Aku tak tahu, kenapa surat itu tak pernah terkirimkan. Sungguh-sungguh tak tahu…”
Terdengar langkah-langkah mendekat. Trista sudah selesai dengan urusannya. Ternyata ia tidak cuma ke toilet, tetapi juga ke toko mini di sebelah rumahsakit.

Di kedua tangannya kini ada bungkusan buah-buahan. Kalau sudah begitu, Trista memperlihatkan sekali tingkah ke-ibu-annya!

Percakapan Alma dan Kino tentang surat itu pun terhenti. Kino masih punya banyak pertanyaan, tetapi ia tak ingin mengulas hal ini di depan Trista. Sedangkan Alma memutuskan bahwa ia sudah cukup mengatakan yang sesungguhnya. Ia tak akan mengungkit hal itu lagi. Ia sendiri tak pernah tahu kenapa surat itu tidak jadi dikirim!

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Lalu percakapan-percakapan ringan melanda mereka bertiga. Sambil memaksa Kino makan buah, Trista “bersekutu” dengan Alma menggoda Kino yang dengan sabar meladeni celoteh dua wanita penuh pesona itu.

Baginya, tak apalah digoda sehari penuh, sebulan atau setahun bahkan, oleh dua orang yang memberikan padanya apa arti kasih itu!

Kalau tidak diperingatkan oleh dokter Rudy, mungkin Alma dan Trista betul-betul menggoda Kino sampai pagi. Dokter Rudy mengingatkan, Kino perlu banyak istirahat.

Trista buru-buru minta maaf, dan Alma tersipu malu ditegur oleh “senior”-nya. Akhirnya, keduanya pulang. Alma berjanji menerima tawaran Trista untuk menginap di rumahnya yang luas itu.

Kino pun beristirahat sendirian. Malam itu, entah kenapa, ia menemukan makna kesepian yang baru.

Begini kah rasanya ditinggal sekaligus -secara bersama- oleh dua orang yang engkau kasihi? tanyanya dalam hati. Sampai ia tertidur, belum ada jawaban untuk tanya itu.

*** Cerita Cinta Dewasa ***