Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #41

Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #41

Kerinduan Indi, Kerinduan Siapa?

Cerita Cinta Dewasa – Jam tangan Kino menunjukkan pukul 3 seperempat sore ketika bis besar yang ditumpangi pemuda itu memasuki terminal pusat kota B dengan suara berderum-derum seperti raksasa yang terengah keletihan. Hujan lebat rupanya baru saja berhenti, tetapi rintik-rintik sisanya masih turun, dan kabut tipis memenuhi udara.

Terminal bis menjadi lebih berkabut lagi oleh asap mesin-mesin disel berbagai kendaraan. Dengan gesit, bis besar yang ditumpangi Kino segera mengambil tempat di jalur kedatangan luarkota. Supirnya jelas sudah sangat hapal ke mana musti membelok, karena dalam waktu dua menit saja bis itu sudah masuk ke lorong khusus yang disediakan untuknya.

Para penumpang sudah tampak sibuk bersiap-siap turun. Demikian pula Kino, mengenakan jaket ponconya karena di luar terlihat hujan rintik-rintik. Ia menurunkan tas tangan dari kompartemen barang di atas tempat duduk, dan membantu seorang ibu menurunkan keranjang oleh-oleh penuh berisi dodol manis.

Dari jendela, Kino melihat Ridwan dan Tigor berdiri di pelataran terminal. Mereka memperhatikan beberapa bis yang masuk satu per satu. Kino melambai-lambaikan tangan, tetapi rupanya jendela bis agak gelap jika dipandang dari luar. Kedua sahabatnya tak melihat Kino sampai pemuda itu turun dari pintu belakang.

“Itu dia!” seru Tigor kepada Ridwan menunjuk ke arah Kino yang melangkah ke arah mereka sambil cengar-cengir.. Keduanya menyambut Kino dengan hangat, bergantian meninju bahu pemuda itu sebagai salam perjumpaan.

“Tambah gemuk kau!” seru Tigor sambil meninju sekali lagi. Kino meringis,
“Tidak ada kerjaan. Makan tidur saja setiap hari!” katanya.

“Sini, kubawakan tas mu. Kau urus sendiri koper besar itu!” kata Ridwan sambil meraih tas dari bahu Kino.
“Aku bawa dus itu saja!” ujar Tigor cepat-cepat sebelum Kino memintanya mengangkat koper.

“Berat, nih!” keluh Kino, karena kopernya memang besar sekali, berisi segala macam oleh-oleh yang dititipkan kedua orangtuanya untuk relasi di B.
“Itu urusanmu, lah!” sahut Tigor seenaknya, disambung tawa Ridwan yang sudah melangkah ke luar terminal.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Terpaksalah Kino terhuyung-huyung menyeret kopernya, tertatih-tatih berusaha menyusul dua sahabatnya yang melangkah cepat ke tempat parkir. Hanya ketika harus menaikkan koper ke bagasi, barulah Ridwan dan Tigor membantunya. Lumayan pegal, menyeret sekitar 60 kg beban sejauh 200 meter.

“Sudah sembuh?” tanya Ridwan sambil menstart mesin mobilnya.

“Harusnya kau tanya itu sebelum sampai di mobil,” gerutu Kino,
“Aku akan menjawab ‘belum’ … dan meminta kau menyeret koper!” Kedua sahabatnya tertawa, dan Tigor berkata,

“Kalau dilihat dari nafasmu yang tetap teratur, pasti kau sudah sembuh benar. Mungkin juga sudah sembuh sejak lama, … cuma pura-pura sakit saja kau!”
“Aku sudah ingin kembali ke sini sejak lama,” kata Kino membela diri,

“Tetapi dokter mengatakan aku belum sembuh benar.”
“Mungkin dokter mu benar,” kata Ridwan sambil membelokkan mobilnya ke luar terminal,
“Gegar otak bisa menyebabkan gangguan mental …”
“Ya,” sela Tigor, “Dokter mu belum yakin apakah kau sudah waras atau belum!” Ridwan terbahak dan Kino tersenyum kecut.

“Kau banyak kehilangan peristiwa menarik,” kata Ridwan ketika mobil sudah meluncur laju.
“Apa itu? Kau dapat pacar baru? Atau Tigor kehilangan motornya?” jawab Kino seenaknya.
“Lebih dari itu,” sela Tigor,
“Rima jatuh cinta!”

Kino tertawa kecil, tentu saja Rima jatuh cinta adalah peristiwa menarik. Tetapi seberapa menarik, tergantung dari kepada siapa gadis tomboy itu jatuh cinta.

“Dia pacaran sama dosen dari fakultas lain!” sambung Tigor bersemangat. Wah, ini memang menarik, kata Kino dalam hati.
“Dosen?” sergahnya,

“Sejak kapan anak itu suka kepada dosen!”
“Pertanyaan menarik,” jawab Ridwan,
“Apalagi dosen itu mengajar filsafat!”

“Hah!?” Kino terperangah,”Pengajar filsafat? Apa yang terjadi pada Rima?”
“Rima bilang, dosen itu juga aktif di politik,” kata Tigor sambil mengeluarkan rokok dari kantong, tapi urung menyalakannya karena Ridwan langsung menunjuk ke tulisan “no smoking” di kaca mobil.

Kino menggeleng-gelengkan kepala. Kalau Rima tertarik pada politik, pastilah ada aspek yang sangat menarik baginya. Salah satu kemungkinannya, pikir pemuda itu, politik si dosen berkaitan dengan kegiatan naik gunung atau lingkungan hidup.

“Ada lagi peristiwa menarik,” kata Ridwan, dan sebelum Kino sempat bertanya ia sudah menyambung, “Tigor jatuh cinta!” Tigor tersipu, dan Kino tertawa keras. Tigor jatuh cinta sama dengan Tigor jatuh dari motor.

Dua-duanya peristiwa yang cukup langka, dan dua-duanya membuat Tigor meringis kesakitan! Pemuda itu selalu gagal mendapatkan gadis yang disukainya. Entah kenapa, padahal dia cukup ganteng walau agak berangasan.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Seberapa sakit rasanya jatuh cinta kali ini?” goda Kino sambil menjambak rambut Tigor yang duduk di sebelah Ridwan.
“Sialan kau!” sergah Tigor sambil menjauhkan kepalanya dari jangkauan Kino,
“Sekarang ini aku sungguh-sungguh jatuh cinta!”

“Dia serius, Kino!” ucap Ridwan, “Maksudku … si Tigor yang serius jatuh cinta. Entahlah si gadis yang ia taksir!” Kino tertawa, dan Tigor bersungut-sungut,
“Kalian meremehkan aku. Gadis itu juga jatuh cinta … Tetapi …. ”

“Tetapi tidak serius?” sela Kino.
“Tetapi orang tuanya tidak setuju!” sahut Tigor.
“Ooo …,” gumam Kino, mencoba tidak tersenyum.

“Dia juga mencintai ku,” ucap Tigor penuh kepastian,
“Dia menyatakannya lewat gerak-gerik. Dia selalu mau diajak makan bakso di kantin …”

“Karena kau membayar baksonya!” sela Ridwan.
“Dia selalu minta diantar pulang naik motor,” kata Tigor tidak mempedulikan olok-olok Ridwan.

“Dari pada naik angkot …,” sela Ridwan.
“Dia mengerti perasaanku. Bahkan dia bisa menebak pikiranku. Sebelum aku berkata, dia seakan-akan bisa tahu apa yang akan kuucapkan,” lanjut Tigor lancar.

“Mmm ..,” gumam Kino,
”Tampaknya kau serius!”
“Sayang sekali, kedua orang tuanya mata duitan!” kata Tigor gemas,
“Mereka melarang anak gadis mereka berhubungan lagi dengan ku. Katanya, karena aku cuma punya motor.”

“Kata siapa?” sela Kino.
“Kata orangtuanya!” sergah Tigor.
“Kau dengar sendiri dari mereka?” desak Kino.

“Tidak,” jawab Tigor,
“Aku dengar dari Lia, pacarku itu.”
“Mmmm,” gumam Kino.

“Tetapi kami tidak peduli, lah! Kami tetap berhubungan, dan aku selalu mengantarnya pulang” seru Tigor sambil membuka kaca jendela lebar-lebar, membuat rambutnya yang agak gondrong berkibar-kibar seru.

“Good boy!” kata Ridwan sambil menepuk bahu Tigor.
“Mmm,” gumam Kino lagi, tanpa komentar karena pikirannya agak terganggu oleh kenyataan bahwa masih ada orang tua yang terus terang melarang anaknya berpacaran dengan alasan material.

Mobil sudah semakin dekat ke tempat kost Kino, dan pembicaraan beralih ke hal-hal lain dengan cepat. Ridwan dan Tigor dengan semangat mensuplai informasi-informasi terbaru tentang kampus, tentang kuliah, dan tetek-bengek lainnya. Mereka bilang, pastilah Kino akan ‘turun kelas’ karena tidak mengikuti satu semester penuh. Kino bilang, tidak apa-apa karena ia akan berusaha keras mengejar ketertinggalannya.

Menjelang masuk ke jalan menuju tempat kost, Ridwan memberi informasi pendek tentang Indi.

“Hati-hati dengan Indi,” katanya,
“Dia sudah rindu sekali kepadamu!”
“Mengapa musti hati-hati?” tanya Kino.
“Lihat sendiri saja, lah, nanti!” sahut Ridwan, membuat Kino menggerutu kesal.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Ketika akhirnya mereka tiba di tempat kost Kino, dan ketika pemuda itu sedang sibuk mengangkat koper ke kamarnya sambil menjawab rentetan pertanyaan dari Ibu Kost, barulah ia mengerti apa yang diucapkan Ridwan tentang Indi.

Gadis itu muncul entah dari mana, dan memandang Kino tanpa berkata apa-apa. Bercelana pendek dan berkaos tanpa lengan, ia tampak cantik sekaligus kekanak-kanakan. Apalagi tampaknya ia juga baru selesai mandi. Segar dan semarak di sore bermega-mendung ini.

“Hai, centil!” seru Kino terhuyung-huyung mengangkat koper ke kamarnya,
“Apa kabar?” Indi diam saja, tersenyum tipis dan Kino tambah mengerti apa yang diucapkan Ridwan. Ada sebersit sinar tajam yang cuma bisa diterjemahkan sebagai kerinduan dan kerinduan semata di kedua mata gadis itu.

Setelah meletakkan kopernya, Kino menegakkan badan sambil meringis merasakan pegal di pinggangnya. Indi berdiri kira-kira dua meter darinya, dengan kedua tangan di belakang punggungnya, dengan wajah penuh senyum.

Ia tambah manis, gumam Kino dalam hati. Tambah menggemaskan dengan senyumnya yang nakal, dan tambah dewasa saja. Begitu cepat rasanya ia berubah, walau baru tiga bulan berpisah.

“Malu sama kita-kita, ya!?” goda Ridwan sambil menyinggung lengan Indi dengan sikunya ketika pemuda itu lewat untuk meletakkan tas Kino di dalam kamar.
“Ayo, jangan malu-malu. Kalau mau peluk, yaaa …peluk saja!” goda Tigor sambil meletakkan kardus di atas meja.

Indi mencoba cemberut, tetapi gagal total. Wajahnya terlalu penuh tumpah-ruah oleh kerinduan dan kebahagian berjumpa lagi dengan ‘kakak’ tersayangnya. Dadanya terlalu sesak oleh letupan-letupan kangen yang menyeruak keluar ke seluruh sinar matanya.

Tak akan pernah ia sanggup menyembunyikan semua itu, walau sekarang ini –saat ini juga– ada kebakaran di dapur, atau ada tembakan meriam di sebelah rumah, atau ada gempa bumi berskala 9 sekalipun. Percuma saja ia memberengut.

Ia tetap tampak cantik, dan tetap tampak kangen. Seorang gadis yang sedang rindu akan selalu tampak berbinar kecantikan-kelembutan. Bahkan kalau pun seluruhnya dibalut kain, sinar kerinduan selalu bisa tembus keluar dan bertebaran ke segala penjuru.

Kino tersenyum lebar, dan mengembangkan kedua tangannya. Ibu Kost sudah letih bertanya dan sudah puas mendapat jawaban, sehingga ia pun sudah kembali ke rumah utama. Indi kini tak lagi ragu-ragu. Ia menubruk Kino, memeluknya erat-erat dan membenamkan kepalanya ke dada pemuda itu.

“Wow .. wow!” seru Ridwan sambil menghenyakkan tubuhnya di kursi,
“Jangan terlalu keras, rusuk Kino masih belum sembuh benar!” Indi tidak peduli, dan malah memeluk lebih keras.

“Perlu bantuan, Kino?” goda Tigor sambil pura-pura ingin memisahkan pasangan itu. Kino tertawa sambil mengusap-usap rambut Indi yang kini dipotong pendek. Harum sabun mandi menyeruak naik ke hidung pemuda itu. Tubuh mereka sejenak bergoyang terhuyung seperti dua pohon kembar yang dilanda angin topan.

“Aduh!” jerit Kino tiba-tiba.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Rupanya Indi menggigit pangkal leher pemuda itu, tetapi cuma sebentar dan ia buru-buru melepaskan pelukannya. Biar bagaimana pun, tak baik menunjukkan semua perasaanmu di depan pemuda-pemuda ini. Namun, tetap harus ada gigitan itu. Kecil saja. Sebentar saja. Yang penting, gigit!

“Mustinya kamu sediakan kopi untuk kami, bukan menggigit seperti itu!” seru Ridwan sambil mengangkat kaki ke meja di depannya.
“Air panasnya sudah ada,” sahut Indi sambil menendang kaki Ridwan,
“Tinggal siram saja ke kalian berdua!”

“Oh, apa salah hamba?!” seru Tigor sambil mengangkat kedua bahunya dengan gerakan dramatis.
“Sudahlah!” sela Kino,
“Kalian terlalu cemburu padaku!”

“Wow … wow!” seru Ridwan, “Sang Pangeran membela Sang Puteri!”
“Kalian mau kopi pakai susu?” tanya Indi yang sudah bersiap-siap menuju dapur di rumah utama.

“Susunya untuk Kino saja,” komentar Tigor, tetapi tidak cukup keras untuk didengar Indi. Kino memelototkan matanya ke Tigor, sementara Ridwan menahan tawanya.
“Hei! Pakai susu atau tidak?” jerit Indi.

Ketiga pemuda itu menggeleng berbarengan seperti mengikuti sebuah komando, dan Indi pun melangkah cepat, ringan dan riang menuju dapur. Ketiga pemuda itu memandangnya pergi. Tigor mendecak halus — Ridwan kemudian melirik Kino, yang membalas lirikan dan menghentak,

“Apa?” — Ridwan cuma menggeleng-geleng — Tigor mendecak halus lagi. Hujan rintik-rintik lagi.

Lalu mereka sama-sama kembali memandang Indi yang sedang melesat cepat ke dapur. Gadis itu seperti peri yang penuh gemerlap kasih, yang terbang ringan seperti kupu-kupu menembus gerimis senja. Baginya, menyiapkan tiga kopi di sore yang sejuk dan basah untuk tiga pemuda yang salah satunya ia rindukan sepenuh hati, bukan pekerjaan berat. Sama sekali tidak berat!

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Dia jatuh cinta padamu, Kino,” ujar Ridwan pelan setelah Indi hilang dari pandangan.

Kino mendengus menyatakan ketak-pedulian, sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. Ia tidak terlalu ingin mengomentari penilaian Ridwan. Selain karena baru tiba dan masih letih, ia juga belum bisa mengambil kesimpulan apa-apa tentang Indi.

Ia tahu gadis itu menyukainya. Ia bisa merasakan intensitas kerinduannya. Tetapi “cinta” …. hmmmmm … itu hal yang lain lagi. Sama sekali lain.

“Kalau aku jadi kamu,” sambung Ridwan,
“aku pacari dia. Cantik dan setia, dan tidak jauh. Tidak perlu ongkos!”

“Sayang sekali, aku bukan kamu,” kata Kino sambil menerima sebatang rokok yang ditawarkan Tigor, tetapi tidak menyalakannya sama sekali.
“Kamu suka padanya, bukan?” tanya Tigor sambil menyulut rokoknya sendiri.

Kino mengangguk, tetapi tidak memberi penjelasan lain. Ia enggan berdiskusi dengan dua sahabat yang tampaknya bersekutu untuk memaksa Kino menerima cinta Indi. Jangan-jangan keduanya mendapat tugas khusus dari si centil yang sedang sibuk membuat kopi di dapur itu!

“Tunggu apa lagi?” desak Tigor.
“Aku tidak menunggu apa-apa, selain kapan kalian pulang dan membiarkan aku istirahat dengan tenang,” sahut Kino kalem.

“Hmmm,” gumam Ridwan dengan mata berkedip nakal,
“Kamu ingin berduaan dengan dia sore ini …. di saat hujan rintik-rintik … ”
“Dan udara dingin …,” sambung Tigor setengah berbisik; pemuda ini berbakat menjadi dramawan.

“Memeluk tubuhnya yang lembut …,” lanjut Ridwan, ikut-ikutan berbisik.
“Dan hangat lagi harum …,” sambung Tigor sambil memejamkan mata dan mengangkat muka selayaknya orang yang sedang menghela nafas panjang.

Kino diam saja, menahan tawa melihat tingkah konyol kedua sahabatnya itu. Ia semakin yakin, keduanya sedang bersekutu untuk menjodohkan dirinya dengan Indi. Mungkin juga tanpa sepengetahuan gadis itu, mungkin juga dengan sepengetahuannya.

“Kamu jangan pura-pura tak peduli, lah!” sergah Tigor kesal melihat sahabatnya diam saja. Ridwan mengangkat kakinya lebih tinggi di atas meja, menghela nafas panjang dan menghembuskannya dalam hentakan panjang sambil menggerutu,
“Mungkin dia sudah mati rasa, Gor!”

Kino tersenyum dan tertawa dalam hati. Kedua sahabatnya harus berusaha lebih keras kalau ingin membuka biro jodoh untuk Indi. Kino bersikeras bahwa perasaannya kepada Indi tetap seperti dulu. Ia suka kepada gadis itu, ia sayang kepadanya. Ia juga menghormati perasaan Indi kepadanya. Tetapi di situ lah batasnya. Tak lebih, tak kurang.

“Kenapa kalian tidak cerita tentang Rima saja. Aku kangen kepada si tomboy itu!” ujar Kino melihat kedua sahabatnya bersungut-sungut.

“Dia sedang nonton dengan dosen itu. Kami sudah ajak dia untuk ikut ke terminal, tetapi dia bilang sudah ada janji lebih dulu dengan pacarnya,” sahut Tigor yang memutuskan untuk berhenti membicarakan Indi.

“Rima sudah berubah,” sambung Ridwan yang juga sudah menyerah,
“Dia lebih suka ngomong politik sekarang. Tidak mau diajak jalan-jalan lagi.”
“Politik apa?” tanya Kino.

“Aku tak tahu, lah!” sergah Tigor, “Dia sekarang suka mengutip-ngutip ucapan Karl Marx dan Adam Smith, atau Bung Karno dan Bung Hatta, Syahrir, dan entah siapa lagi …. ”
“Hmmm ..,” gumam Kino,
“aku akan suka sekali berbicara tentang tokoh-tokoh itu dengan dia.”

“Kau?” hentak Ridwan sambil menukar posisi kakinya yang saling bertumpangan,
“Sejak kapan kau suka politik?”
“Ah, aku tidak bilang suka politik,” sahut Kino,
“Aku bilang, aku tertarik membicarakan tokoh-tokoh itu….. Marx, Smith, Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Kennedy, Martin Luther King … mereka semua tokoh yang punya ide menarik.”

“Bagaimana dengan Mickey Mouse?” gerutu Tigor,
“Dia juga tokoh yang menarik …” Ridwan tertawa,
“Atau Robert Plant dari Led Zeppelin … dia juga tokoh yang menarik!”

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Aku lebih suka Sting dari The Police,” sambung Tigor.
“Ya, mereka memang menarik juga,” kata Kino sambil tersenyum, kembali merasa bahwa kedua sahabatnya bersekutu dalam segala hal untuk menentangnya.

“Ah, kamu cuma suka The Eagle dengan musik-musik country-nya!” sergah Tigor sambil menyalakan rokoknya yang kedua.
“Aku suka, karena aku bisa memainkan musik-musiknya kalau camping!” seru Kino membela diri,

“Mana mungkin menyanyikan Immigrant Song-nya Led Zeppelin atau Bring on the Night-nya Police di gunung!”
“Kemarin dulu Ridwan menyanyikan Stairway to Heaven di kampus… keren betul!” sela Tigor sambil mengangkat jempolnya.

Ridwan tersenyum-senyum bangga, membuat Kino tambah yakin bahwa kedua sahabatnya memang betul-betul sekutu yang tangguh. Dia mencoba mematahkan persekutuan itu dengan mengatakan bahwa Ridwan cuma bisa menyanyi, tetapi tidak bisa main gitar.

Tigor membela dengan sengit, mengatakan bahwa dalam setiap supergroup justru penyanyilah yang memegang pemeran utama. Kino membantah dengan mengajukan bukti-bukti pergantian penyanyi yang sangat sering di kelompok Deep Purple.

Perdebatan menjadi seru semarak, sementara hujan juga mulai menderas kembali. Nyaris terjadi kerusuhan total di antara ketiga pemuda itu, kalau saja Indi tidak muncul dengan baki penuh cangkir-cangkir yang mengepulkan asap tipis membawa keharuman kopi tubruk.

Selain keharuman kopi, Indi juga membawa keharuman bunga ke lingkung kecil di depan kamar kost Kino itu. Gadis itu tampil bagai mentari pagi membuyarkan kabut subuh … bagai seorang peri yang memberi komando kepada seribu bunga untuk berbarengan mekar menebarkan semerbak … bagai mother-nature’s daughter yang memerintahkan alam untuk menampilkan keindahan absurdn semata.

Suaranya yang nyaring-riang, “Kopi, kopi … siapa mau!” membelah tegas di antara saling-bantah yang ramai. Ketiga pemuda itu langsung terdiam, dan langsung melupakan perdebatan melihat gadis itu membawa tiga pesona sekaligus: kopi hangat, keharuman bunga, dan kecantikan-kerinduan.

Dengan sigap, Indi meletakkan tiga cangkir kopi di meja setelah mendorong kaki Ridwan dan menyikut pinggang Tigor yang terlalu bersemangat menyambut kedatangannya. Kino tertawa melihat kedua sahabatnya tak berdaya, dan terpesona melihat gadis itu begitu cergas melayani mereka bertiga.

Gadis itu mengingatkannya pada tokoh di sebuah film tentang kisah hidup seorang pelayan restoran. Dalam film itu, si tokoh berjuang melawan kemiskinan dan kegagalan cinta di tengah kesibukan kuliah. Indi pasti cocok untuk main film itu, kalau film itu dibuat kembali dalam bahasa Indonesia, pikir Kino.

Lalu mereka berempat terlibat dalam pembicaraan ramai, penuh canda dan melulu ceria. Ridwan dan Tigor kini tak lagi bisa mendominasi pembicaraan, atau menyerang Kino. Keduanya bahkan jadi pihak yang defensif ketika Kino dan Indi bersekutu menyerang mereka. Ramai sekali celoteh dan tawa mereka terdengar menyaingi suara hujan yang juga semakin menderas.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Indi duduk manja di sebelah Kino, dalam satu kursi, dan jelas-jelas mengandalkan tubuh pemuda itu untuk bersandar. Ridwan dan Tigor sungguh iri melihat Kino menerima perlakuan istimewa di sore yang dingin ini, sebab keduanya lupa membawa jaket. Sedangkan Kino … dia tidak perlu jaket karena punggung Indi adalah kehangatan yang membahagiakan.

Bahkan kalau pun Kino tak mencintainya –yang bagi Ridwan dan Tigor adalah absurd tak-masuk-akal– kedua pemuda itu tetap iri, sekaligus ingin belajar: bagaimana caranya menampilkan kewajaran di tengah kehangatan kasih.

Bagaimana si Kino sialan itu bisa menolak cinta se-abreg-abreg yang tersaji sempurna di depan hidungnya itu, sementara kedua sahabatnya sibuk setengah mati mencari tumpuan kasih di antara tebaran gadis-gadis di kampus. Sungguh tidak adil, si Kino itu, bukan?

Tetapi tentu saja Ridwan dan Tigor tidak bisa lebih jauh merasuk melewati batas penampilan Kino yang tampak tenang menerima banjir kerinduan Indi di sekujur tubuh-fisiknya.

Tentu tak mungkin keduanya bisa menelusup jauh ke relung hati, walau Kino adalah buku yang terbuka lebar bagi semua sahabatnya. Tak bisa lah mereka mengintip tulisan-tulisan tipis di dinding hati yang tersaput bauran pelangi perasaan biru-merah-kuning-hijau.

Kino menerima senderan Indi, menerima keharuman tengkuknya yang halus ditumbuhi rambut-rambut kecil pirang, menerima kehangatan yang menyeruak kuat untuk membalutkan pernyataan rindunya … Menerima semua itu dengan kelegaan sekaligus keletihan.

Bukankah ini hari pertamanya ia kembali ke kota B …. Ke sebuah milleu, wilayah, domain, wadah-ruang, yang tiga bulan lalu penuh nestapa sekaligus badai kasih sekuat taifun di Lautan Pasifik …

Kelegaan adalah rasa yang ia terima dari kenyataan tentang sahabat-sahabatnya yang tetap hangat dalam dinamika anak-anak muda. Kelegaan datang dari kenyataan bahwa kota B tetap membuka langit bermendung baginya.

Kelegaan datang dari kenyataan bahwa Indi menampilkan lagi rindunya dengan polos-jujur seperti ketika pertama kali gadis itu mendesah dalam ciuman yang menggelora dua tahun yang lalu (ah, betapa cepatnya hari berganti!).

Tetapi … keletihan itu. Keletihan yang menyergap dari lubuk jiwa.

Kino mengeluh dalam hati: Sanggupkah aku menjalani lagi hari-hari bersama orang-orang yang bersahabat dan berjiwa cantik ini? Sanggupkah aku menata masa baru di atas puing kekecewaan setelah bidadari itu pergi jauh?

Sanggupkah aku memintal benang hidup setelah terputus-pegat oleh kartu biru undangan pertunangan Alma-Devan itu? Sanggupkah aku menerima Indi seperti ia menerimaku apa adanya kini?

Sanggupkah?

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Apalagi kemudian Ridwan dan Tigor berpamitan, pulang ketika jarum jam menunjukkan pukul 9 malam. Mereka lenyap ditelan malam dan tirai hujan yang tetap deras; langkah mereka menghilang dengan cepat, berkecipak menjejak halaman yang sudah penuh tergenang air sampai mata kaki.

Kino dan Indi tinggal berdua saja. Ketika Kino kembali dari mengantar kedua sahabatnya, Indi masih berdiri menunggu. Lalu mereka berdiri berhadapan di depan pintu kamar kost. Lalu Indi melakukannya lagi: memeluk tubuh ‘kakak’-nya dan me-terusterang-kan permintaannya untuk dicium sebelum tidur.

“Sebaiknya kamu pulang, Indi …,” ucap Kino berusaha keras menenangkan debur jantungnya sendiri di antara keharuman nafas gadis yang menerpa deras sekujur wajahnya.
“Ngga mau,” bisik Indi sambil melingkarkan kedua tangannya di leher pemuda itu.

“Nanti Ibu Kost memergoki kita,” kata Kino sambil melirik ke kiri dan ke kanan, tetapi ia tidak bisa melihat apa-apa karena banyak pohon dan banyak kabut dan banyak air hujan.
“Indi tidak peduli,” bisik gadis itu sambil mendekatkan wajahnya, sehingga tinggal satu milimeter saja ruang yang tersisa antara bibirnya dan bibir Kino.

Pemuda itu mengeluh dalam hati, terutama karena dada Indi yang lembut itu mendominasi seluruh rasa. Kaos gadis itu terlalu tipis bagi tonjolan penuh degup kerinduan yang menerpa-nerpa dadanya, membuat nafasnya sesak oleh deru revolusi perasaan yang saling bertentangan.

Indi menarik leher Kino perlahan tetapi penuh determinasi. Percuma saja pemuda itu menahannya, karena energi fisik tak pernah bisa mengalahkan dorongan-tarikan perasaan. Wadah tak selalu bisa mengukung isi. Jika isi ingin tumpah, wadah sering tak berdaya. Ingatlah selalu, bahwa dam yang terbuat dari beton perkasa pun bisa retak dan jebol oleh air yang ingin bergerak bebas.

Maka Indi memejamkan matanya yang tadi membias-binarkan sinar rindu itu … maka kegelapan yang mencekam memenuhi ruang kecil sepi di depan kamar kost Kino.

Sepi, kecuali oleh desah nafas keduanya. Sepi, kecuali oleh debur ramai di kedua ruang dada mereka.

Lidah Indi yang kecil dan basah dan hangat adalah sebuah kenakalan yang sangat cekatan, menelusup dan mengajak bercanda di dalam sana. Bibir merah-muda yang lembut sekaligus kenyal sekaligus hangat adalah bantalan-bantalan tempat Kino bisa bertumpu dalam kenikmatan yang melenakan.

Nafas gadis itu, hembusan-hembusan hangat itu, aroma semerbak rindu itu … tak bisa lah Kino mengalihkan dirinya dari itu semua. Terlalu mempesona untuk diabaikan … Wahai, semua itu terlalu kental oleh rasa batin. Siapa pun tak bisa mengabaikan rasa batin.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Mmmmm…,” Indi menggumam manja dan perlahan-lahan membuka kedua kelopak matanya.

“Kenapa kau lakukan ini Indi?” bisik Kino setelah terbebas dari belengu yang sesungguhnya ia ingin nikmati lebih lama lagi. Senyum memenuhi wajah gadis itu. Matanya tersenyum. Bibirnya tersenyum. Pipinya yang memerah itu tersenyum.

“Pulang, lah …,” kata Kino dengan lemah, tak yakin apakah ia memang ingin gadis itu menghilang di balik tirai hujan sekarang juga, detik ini juga. Indi menggeleng pelan, nyaris tak terlihat.

“Sudah malam …,” kata Kino lagi dengan lemah, sementara sang malam menolak pernyataan itu karena memang baru pukul 9 lebih sedikit. Indi mendekatkan lagi wajahnya, menarik lagi leher Kino, memejamkan lagi kedua matanya.

Mereka dalam posisi berdiri … terhuyung … mungkin lebih tepat bergoyang-goyang perlahan mengikuti irama musik yang cuma bermain di dalam diri mereka. Indi melangkah maju, mendorong Kino mundur ke arah kamar. Terhuyung. Bergoyang. Menari.

Kino memaksa berhenti selangkah setelah mereka melewati pintu kamar yang terbuka lebar. Indi mencoba mendorong lagi. Kino bersikeras, walau sempat selangkah mundur.

“Mmmmm…,” Indi kembali menggumam manja dan perlahan-lahan membuka kedua kelopak matanya.

Di tengah kamar yang lampunya tidak dinyalakan, Kino tak bisa melihat wajah Indi, selain kedua bola matanya yang berkerejap indah. Sinar-sinar redup datang dari sana, menari-nari riang sekaligus penuh keinginan, penuh permintaan yang mendesak. Kino mengangkat tangan kanannya, mengusap pipi gadis itu dan mencoba tersenyum walau pasti terlihat kikuk.

“Kamu memang nakal, nDi …,” bisik Kino,
“nakal sekali!” Indi merangkulkan tangannya di pinggang pemuda itu, mendorong dadanya lebih rapat, juga mendesakkan pinggulnya lebih dekat. Perangkap sempurna yang sangat sulit untuk dihindari!

“Sekarang pulanglah,” ucap Kino menemukan sekelumit ketegasan. Indi menggeleng sambil menggesek-gesekkan dadanya seperti tak sengaja. Kino membawa kedua tangannya ke pinggang gadis itu, lalu mulai mendorong,

“Tidak, nDi … kamu musti pulang sekarang juga!” Pinggang itu menggelinjang, dan sebuah tawa kecil keluar dari mulut Indi.

Jemari Kino merasakan kelembutan dan kehalusan di balik kaos gadis itu. Ah, betapa sulitnya mengatur koordinasi antara tangan, jemari, kaki, pinggang, kepala …. keluh Kino dalam hati. Ia mendorong lebih keras, tetapi justru Indi merasakan kegelian yang nikmat dan gadis itu tertawa lagi dengan suaranya yang manja.

Lalu Indi merangkul leher pemuda itu lagi, dan tentu saja kaosnya tertarik ke atas, dan tentu saja kini pinggangnya tersingkap. Jemari Kino menyentuh kulit halus lembut hangat mempesona, yang adalah pinggang seorang gadis yang sedang terlanda rindu.

Seperti aliran listrik, kehangatan itu menjalar cepat dari jemari Kino ke seluruh tubuhnya. Seperti aliran listrik pula, kehangatan itu bagai menegaskan bahwa apa yang dirasakan Indi kini dirasakan Kino pula.

Lalu Indi mencium lagi, dan Kino tak bisa menolak lagi karena memang nikmat mencium gadis yang nafasnya harum dan jiwa-raganya penuh rindu. Apalagi kemudian tangan Kino –kedua-duanya, seperti sudah saling bersepakat– naik ke atas menerobos di balik kaos yang terangkat-tersingkap.

Indi mengerang pelan di antara nafasnya yang memburu ketika merasakan salah satu jemari Kino –entah yang mana, ia tak peduli– menyentuh bagian bawah payudaranya yang terbungkus beha nilon tipis. Material buatan manusia itu tak bisa menghalangi rasa-batin, sehingga Indi pun mengerang lagi. Mendesah lagi sambil memeluk lebih rapat.

Kino tidak merencanakan ini, tidak menyusun strategi ini sebelumnya, tidak mengambil keputusan apa pun. Tetapi kedua tangannya sudah tiba di atas beha yang menggelembung sempurna, dan kedua telapak tangannya sudah mengusap-usap mesra. Ini bukan rencana. Ini bukan strategi. Ini bukan keputusan. Betulkah bukan?

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Indi mengerang lebih keras, merasakan kedua putingnya menegang tersentuh telapak tangan yang berputar-putar agak menekan.

Oh, .. ratusan picu di sekujur tubuhnya seperti tersentak bangkit membuat seluruh ototnya –baik otot halus maupun otot kasar, otot yang terlihat maupun yang tersembunyi, otot di atas, di samping, di bawah, di mana-mana– menggeliat-geliat.

Oh, .. kini salah satu bagian tubuhnya seperti mencair layaknya lilin terkena panas … di bawah sana, kedua kakinya menjadi lemas.

Kino tersentak sadar ketika merasakan tubuh dalam pelukannya mulai merosot.

“Indi!” sergah Kino melepaskan ciuman dengan nafas terengah-engah.
“Ahhh..,” Indi memprotes dalam keluh-kesah.

“Indi … sudah-sudah …,” sergah Kino lagi sambil menarik tubuh gadis itu agar tegak kembali, karena ia sudah hampir merosot ke lantai. Indi melepaskan pelukannya, mencoba berdiri tegak, melawan getaran hebat di sekujur tubuhnya, menghalau lemas yang membuat kedua kakinya bagai terbuat dari donat. Lalu tiba-tiba gadis itu tertawa kecil, membuat Kino terperangah.

“Hampir saja ….,” kata Indi di antara tawanya.
“Hampir apa?” sergah Kino masih terperangah, sambil mundur membuka jarak di antara keduanya.

“Hampir pipis di celana!” sahut Indi sambil melanjutkan tawa yang membuat tubuhnya berguncang-guncang kecil.

Kino melongo dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak SMA yang menggemaskan itu tak pernah gagal membuat kejutan! keluhnya dalam hati sambil melangkah keluar ke udara bebas.

“Kamu pipis di rumah saja, nDi!” ujar Kino sambil menghempaskan tubuhnya di kursi depan, lega sekali rasanya terterpa angin sejuk di luar.

Tetapi Indi sudah masuk ke kamar mandi kecil yang tersedia di kamar kost Kino. Terdengar pintunya dibuka, tetapi tidak ditutup lagi. Kino tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Terdengar suara air selayaknya orang buang air kecil, lalu disusul suara air lain.

Lalu Indi sudah berada di sampingnya lagi, merapikan kaos dan rambutnya yang agak teracak-acak oleh permainan kecil yang berbahaya tadi.

Hujan mulai mereda, tetapi air tetap masih seperti enggan berhenti. Suara ramai dari genting masih mendominasi malam, walau kini ada suara kodok bersahut-sahutan. Indi duduk di sebelah Kino, mengikuti tatapan pemuda itu memandang air yang tergenang di halaman.

Kino merangkul pundak gadis itu, dan menggoyang-goyangkan tubuhnya sambil berkata,

“Kenapa musti selalu begitu, Indi?”
“Selalu bagaimana?” gadis itu balik bertanya, tak melepaskan pandangannya dari air yang beriak-riak.

“Kita selalu nyaris bercumbu, padahal ….,” Kino tak meneruskan kata-katanya.
“Padahal Kak Kino ingin terus!” sergah Indi menyela.
“Tidak, aku tidak ingin meneruskannya,” kata Kino membela diri.

“Selalu begitu …,” balik Indi yang menggunakan kata pembuka yang tadi dipakai Kino.
“Selalu bagaimana?”
“Selalu mengatakan tak ingin, padahal Indi tahu sebaliknya.” Kino menghela nafas panjang,
“Sebaliknya bagaimana?”

“Ahhh … sudahlah!” sergah Indi sambil bersandar ke dada Kino,
“Percuma ngomong … Kak Kino pasti akan membantah lagi. Pasti akan mengatakan ..’tidak baik, Indi’ …. ‘jangan, Indi’ … ‘nanti kita terlanjur, Indi’ …. Pasti begitu.”

“Tetapi itu benar, bukan?” Indi mengangguk. Rambutnya menerpa-nerpa hidung Kino.
“Benar,” katanya,
“Tetapi benar juga bahwa Kak Kino suka kalau Indi mencium … suka kalau Indi nakal … suka kalau Indi memulai duluan … Tetapi lalu Kak Kino berhenti … lalu kita berdebat seperti ini lagi … Selalu.”

Kino tersenyum. Semua yang diucapkan gadis centil ini benar belaka. Lalu terdengar celotehnya lagi:
“Indi kangen … sejak Kak Kino berangkat tiga bulan yang lalu, Indi sudah kangen … Indi sudah tulis semuanya di surat-surat. Indi sudah terus terang. Buat apa menyembunyikan perasaan, kalau memang kangen .. yaa kangen. Tiap malam Indi ingat Kak Kino … ingat yang indah-indah, ingat yang nakal-nakal. Semuanya. …. Betul, lho … Indi ngga mau bohong. Semuanya Indi ingat. Yang sedih-sedih juga Indi ingat. Yang enak-enak, apalagi …” Kino tertawa.

“Indi bilang sama Mutia … tahu, kan, sahabat Indi itu? … Indi bilang sama dia bahwa Indi rasanya jatuh cinta sama Kak Kino … trus dia bilang ngga percaya … seperti Kak Kino saja, dia ngga langsung percaya. Katanya, Indi terlalu gampang jatuh cinta. Sama siapa saja jatuh cinta …. sialan itu anak … enak saja mengambil kesimpulan sembarangan…”

Kino tertawa lebih keras.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Padahal …. bener … berani sumpah … Indi merasakan ada perbedaan antara Kak Kino dengan yang lainnya … dengan siapa tuh … Indi juga ngga ingat lagi … Banyak, sih!” Kino tertawa terbahak. Indi juga ikut tertawa. Hujan nyaris berhenti, mungkin karena ingin ikut tertawa juga.

“Tetapi ….. gimana, yaaa?? … Kak Kino seperti tidak mengerti perasaan Indi … seperti ngga peduli. Padahal Indi sudah terus terang, blak-blakan … tidak sembunyi-sembunyi … Indi ngga suka main petak-umpet … dari dulu juga sudah ngga suka!”

Kino meraih pundak Indi, merangkul gadis itu lebih dalam. Rasa sayang menyeruak di dalam dirinya.

“Mungkin Indi terlalu terus terang, ya ….. ” ucapan Indi menggantung di udara. Kino mengusap rambutnya dari belakang,
“Memang kamu selalu terus terang,” katanya.

“Apakah itu tidak baik?” Kino menggeleng,
“Justru Kak Kino kagum kepadamu. Kamu selalu bisa terus-terang, sementara Kak Kino terlalu banyak basa-basi.” Indi tersenyum,

“Apakah Indi tidak boleh jatuh cinta sama Kak Kino?”
“Bukan tidak boleh …”
“Lalu apa, dong?”

“Belum boleh .. ” Cepat sekali Indi membalikkan tubuhnya,
“Berarti nanti boleh, dong?” Kino tertawa, mencubit pipi gadis nakal yang kini mengingatkannya pada Susi nun di sana,
“Kenapa tidak? Kita lihat saja nanti. Siapa tahu kita bisa pacaran sampai menikah …”

“Betul-betul keras kepala …,” bisik Indi sambil menatap lekat kedua mata pemuda yang sangat dirindukannya itu. Kino tertawa, lalu bangkit mendorong Indi ikut berdiri.
“Sekarang aku mau istirahat!” kata Kino sambil menggeliatkan tubuhnya yang memang pegal.

“Mau Indi pijit?” bisik Indi kembali dengan kenakalannya yang alamiah.
“Tidak. Aku tidak suka dipijit!” ujar Kino sambil mendorong tubuh gadis itu pelan-pelan ke arah lorong yang menghubungkan kamar kost dengan rumah utama.
“Anterin!” ujar Indi merajuk.

Kino tak menyahut. Ia merangkul pundak gadis itu, meraih payung besar yang selalu tersedia di sebuah pojok, dan mengantarnya pulang ke rumah yang cuma terletak di seberang tembok. Hujan telah berhenti sama sekali, ketika akhirnya Kino tiba di kamarnya kembali. Pemuda itu segera berganti baju dan merebahkan tubuhnya yang letih. Tak lama kemudian, ia sudah terlelap dan mendengkur halus.

Di kamarnya sendiri, Indi juga berganti baju dan segera masuk ke bawah selimut. Tetapi tidak seperti Kino, gadis itu gelisah tak bisa tidur. Ia mencoba membaca sebuah novel, tetapi baru dua halaman sudah merasa bosan. Ia bangun kembali untuk menonton televisi, tetapi acaranya juga membosankan, dan ayahnya tidur di ruang tamu dengan radio yang menyiarkan wayang dengan suara keras.

Akhirnya ia kembali ke kamar, masuk ke bawah selimut dan memejamkan matanya erat-erat. Yang segera terbayang justru wajah Kino … ciumannya yang lembut menyembunyikan gairah yang sesungguhnya … jemarinya yang selalu tahu ke mana harus menjalar …

Lalu gadis itu mendesah sendiri karena kini jemarinya sendiri telah berada di atas salah satu puting payudaranya. Melingkar-lingkar pelan, membuat garis-garis maya yang menjalar-jalarkan kegelian. Lalu jemarinya menjalar ke mana-mana. Ke tempat-tempat yang tersembunyi, yang ia sangat ketahui akan menimbulkan percik-percik kenikmatan.

Indi mengerang ketika telapak tangannya tiba di bawah sana, di antara kedua pahanya yang membuka perlahan seperti kelopak bunga berkembang dalam gerakan slow motion. Indi mendesah. Indi mengeluh.

Salah satu jemarinya bermain-main dalam basah yang terbit perlahan di lipatan-lipatan rahasia itu. Lalu semakin cepat. Semakin gelisah. Lalu Indi menahan jerit kecil yang keluar dari mulutnya. Indi menggigit ujung selimut yang sudah terkuak di sana-sini di terjang kakinya yang menggelepar resah.

Barulah kantuk kemudian tiba, menyelimuti tubuhnya yang letih tetapi terbungkus sisa kenikmatan itu. Damai sekali tidurnya, dengan senyum tipis tersungging di bibir. Ia bermimpi duduk berduaan dengan Kino di atas sebuah batu, memandangi air sungai yang mengalir deras.

Sungai kehidupan.

*** Cerita Cinta Dewasa ***