Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #52

Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #52

Menguntai Masa Lalu – 2

Cerita Cinta Dewasa – Setelah membantu Indi dengan PR-nya, hubungan Kino dengan gadis itu mencair kembali. Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, hubungan mereka tak pernah membeku secara total.

Tetapi masing-masing pihak memang bersikeras bahwa “tidak ada apa-apa”, sehingga jadinya malah kisruh dan kaku. Masing-masing pihak terlibat oleh kesungkanan dan keraguan yang mereka ciptakan sendiri, seperti seorang nelayan yang terjerat jaring buatan sendiri.

Kino merasa lega, ia bisa berbicara lepas kembali di hadapan Indi. Sesungguhnya pemuda itu menyukai si centil karena mengingatkannya pada sikap lepas-terbuka yang selama ini ia tak bisa lakukan. Indi seperti semacam rujukan bagi Kino tentang betapa mudahnya untuk tidak membohongi diri sendiri.

Gadis itu biasa terus terang, bahkan untuk hal-hal yang sangat pribadi. Jika ia suka pada sesuatu, ia mengatakannya blak-blakan. Jika ia marah, ia menyampaikannya dengan lugas.

Sebaliknya bagi Indi, pemuda yang memikat hatinya itu juga adalah semacam suar yang mengingatkannya kepada kedewasaan. Kino bagi Indi adalah pemuda yang bisa keras-kepala secara baik dan benar! Pemuda yang tak terus-terang dan penuh bimbang, tetapi sekaligus bisa punya prinsip yang sekeras batukarang.

Setiap kali Indi membandingkan Kino dengan berbagai pemuda yang pernah dikenalnya, selalu datang kesimpulan bahwa Kino lebih “aman” untuk diajak mengarungi hidup belia yang penuh godaan sekaligus peluang ini.

Tahu sendiri lah, Indi ! Gadis itu menganggap hidup ini seperti lautan luas yang penuh gelombang, atau dataran pegunungan yang bergunduk-gunduk. Baginya, ombak adalah ayunan yang musti dinikmati walau bisa juga menenggelamkan mu sampai mati.

Pegunungan adalah keteduhan yang nyaman walau kalau meletus bisa juga membawa bencana. Hidup ini, buat Indi, harus diarungi dengan semangat yang membebas-lepaskan, tanpa harus lupa akan risiko dan bahaya di sana-sini.

Sementara bagi Kino, hidup ini bukan lagi cuma mengandung risiko atau kemungkinan bahaya. Ia sudah mengalami sebentuk bahaya dalam hidup ini, yang langsung menjelma tanpa peringatan. Ia sudah pernah terjerembab sangat dalam di jurang hitam asmara yang memabukkan itu.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Bahkan sampai kini pun ia belum sepenuhnya bisa keluar dari jurang tersebut. Itu sebabnya, Kino kini memandang hidup dengan penuh kegundahan dan sekelumit ketak-percayaan.

Kini pemuda itu selalu mempertanyakan keabsahan setiap perasaannya, atau ketepat-gunaan tindakannya. Akibatnya, ia terlihat lebih perenung dari biasanya. Wajahnya makin mengguratkan wajah seorang perenung yang prihatin.

Campuran antara Indi yang bebas-lepas dengan Kino yang gundah-waspada bisa semarak, tetapi juga bisa meruyak. Tergantung bagaimana mereka berdua memainkan peranannya masing-masing. Kita tahu, ada kalanya hidup ini bagai sebuah cerita panggung yang ditetapkan secara jelas oleh seorang sutradara.

Tetapi lebih sering, cerita itu sengaja dibuat oleh Sang Sutradara dalam bentuk lepas terbuka. Para aktor di dalam cerita itu punya peluang untuk menjalankan perannya secara bebas, selama masih dalam kerangka cerita.

Perjumpaan Kino dan Indi yang berikutnya adalah pada suatu kesempatan di Minggu sore, yang seakan-akan tercipta untuk mereka berdua. Tidak ada hujan, langit bersih, tetapi juga tidak terlalu panas karena angin basah bertiup agak kencang.

Suasana sejuk mendominasi sejak siang, dan ketika sore tiba dengan kemegahanNya, udara semakin terasa nyaman.

Kino memutuskan untuk berjalan-jalan ke pertokoan di pusat kota, mencoba memulai perburuan kado untuk perkawinan Alma dengan Devin. Memakai jeans kesayangan dan kaos t-shirt merah tua, pemuda itu melangkah sambil bersiul-siul riang.

Pada saat yang sama, Indi menuju keluar karena ibunya minta gadis itu membelikan beberapa gulung benang. Rok selutut bercorak kembang biru-hijau dan kemeja ketat warna khaki membuat si centil tampak ceria sekaligus menggoda.

Keduanya bertemu di gang menuju jalan raya. Sama-sama tersenyum, mereka segera beriringan, melangkah ringan seperti di atas bantalan berkwintal-kwintal kapuk.

“Mau kemana?” adalah pembukaan yang terlontar dari mulut Kino.

“Kak Kino mau kemana?” balas Indi sambil tetap menjaga kemanisan senyum yang berhias lesung pipit samar-samar itu.

“Tidak baik menjawab pertanyaan dengan pertanyaan,” kata Kino sambil mengira-ngira berapa sendok gula pasir diperlukan untuk membuat senyum semanis senyum Indi.

“Tak baik menanyakan ke mana seorang gadis pergi sendirian,” sahut Indi sambil tertawa kecil karena ia memang suka tertawa kalau ada di sebelah pemuda itu.

“Jadi, aku harus menawarkan diri untuk mengawal. Bukan malah bertanya. Begitu?” kata Kino sambil menahan keinginannya untuk men-cowel pipi bersemburat merah muda yang menggemaskan di sebelahnya itu.

“Indi ngga berkata begitu, lho!” sergah Indi cepat, “Kak Kino yang mau mengawal, kan?!”

“Mana mungkin aku bisa mengawal kalau tidak tahu kemana kamu mau pergi,” sahut Kino.

“Tidak jauh-jauh, kok!” ujar Indi sambil mendekatkan diri, sehingga kini mereka berjalan nyaris bersentuhan lengan.

“Jauh-dekat ongkosnya sama,” goda Kino menikmati rasa dekat yang menyeruak di antara mereka.

“Ongkosnya es krim, cukup ngga?” tanya Indi sambil berpikir keras mencari alasan untuk mama kalau nanti ia pulang agak terlambat.

Kino tertawa, tentu saja ia suka es krim, apalagi kalau sambil ngobrol dengan si centil yang punya segudang kekenesan. Lagipula, sore ini ia tidak ada acara apa-apa selain mencari kado. Maka ia menyatakan persetujuannya dengan perjanjian bahwa yang mentraktir adalah dirinya.

Biar bagaimana pun ia adalah pihak yang lebih “mampu”, karena punya penghasilan dari mengajar kursus. Sementara Indi toh cuma mengandalkan uang saku. Setelah agak membantah (karena bukan Indi namanya, kalau tidak membantah), akhirnya Indi setuju.

Mereka sudah tiba di tepi jalan raya, dan langsung naik ke angkot pertama yang muncul. Indi mengatakan kepada Kino ke mana ia harus pergi membeli benang, dan keduanya sepakat untuk mencari pesanan itu dulu sebelum mampir di kedai es krim favorit anak-anak tanggung kota B.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Benang pesanan ibu tidaklah susah dicari, karena Indi sudah tahu nama dan lokasi toko langganannya. Segera setelah keluar dari toko itu, Indi langsung menggamit lengan Kino dan menyeret pemuda itu ke kedai es krim yang kira-kira 10 menit jauhnya berjalan kaki.

Walau Kino membiarkan Indi menggandengnya, namun pemuda itu punya perasaan kurang nyaman berada di tempat umum dengan seorang gadis yang bukan pacarnya.

Tetapi Indi seperti menganggap bergandengan tangan adalah kelumrahan yang tak perlu dipersoalkan. Maka tanpa berusaha menolak, Kino membiarkan lengannya terpeluk dan terhenyak nyaman di dada si centil yang lembut itu.

Indi selalu bisa menerka perasaan Kino, maka ia berkata setengah berbisik, “Anggap aja menggandeng adik!” Kino menggerutu, “Adikku tidak secentil kamu, dan juga tidak nakal!” Indi malah mempererat pelukannya di lengan Kino, menekan keras-keras dada sebelah kirinya.

“Biarin! Indi memang suka nakal kalau di dekat Kak Kino!”

“Bagaimana kalau pacar mu memergoki kita!” sergah Kino dengan kekuatiran yang sesungguhnya.

“Siapa? … Si Randi yang Indi kenalin dulu itu?” sentak Indi dengan nada tak suka.

“Bukankah itu pacarmu?” desak Kino. Indi mencibirkan bibirnya, “Aku ngga suka sama dia!”

“Sudah putus?” tanya Kino, tiba-tiba ingin tahu lebih banyak.

“Resminya, sih, belum putus!” kata Indi dengan ketus, “Tapi sudah lama Indi ngga mau jalan sama dia lagi!”

“Jangan terlalu galak, dong. Kasihan …,” kata Kino sekenanya.

“Ah, apa peduli Kak Kino. Biarin saja dia marah sama Indi. Memang Indi pengin dia begitu!” sergah Indi.

“Kenapa kamu tidak suka lagi kepadanya?” tanya Kino.

Indi tidak segera menjawab karena kedai yang mereka tuju sudah tampak. Gadis itu hanya menggumam tak jelas lalu mempercepat langkahnya menyeret Kino.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Mereka duduk di sebuah meja yang cuma punya dua kursi, agak ke dalam kedai yang belum begitu ramai.

“Boleh Indi terus terang sama Kak Kino?” ucap Indi di antara suapan es krim. Kino menggumam meng-iyakan, sibuk menikmati coklat moka yang disukainya.

“Indi sudah terlalu banyak kenal cowok,” kata Indi, “Kadang-kadang Indi merasa terlalu pemilih, dan terlalu gampangan.”

“Berapa, sih, pacar kamu?” tanya Kino sekenanya, ia masih sibuk menikmati es krimnya, belum terlalu serius menanggapi Indi.

“Mungkin sudah lebih dari selusin!” kata gadis itu sambil tertawa kecil,

“Indi ngga pernah bikin daftarnya! Tetapi pokoknya sudah banyak!”

“Kenapa kamu terlalu pemilih?” tanya Kino sekadar menimpali.

“Sebetulnya Indi ngga mau asal pacaran, tetapi soalnya banyak banget yang mau sama Indi,” celoteh gadis itu sambil terus menyuap, ”Jadi Indi asal terima saja kalau ada yang ngajak jalan-jalan atau nonton. Lagipula, Indi senang bergaul. Indi senang punya banyak teman.”

“Ya, kalau begitu tidak ada salahnya,” ujar Kino mencoba serius, “Malah bagus, punya teman banyak, punya pacar banyak.”

“Kak Kino ini serius atau asal bunyi, sih!?” sentak Indi.

“Eh … serius, dong!” sahut Kino mencoba sekali lagi untuk terlihat serius, tetapi tentu saja tampangnya tak mendukung.

“Kenapa malah bilang banyak pacar adalah bagus?” cecar Indi sambil membelalakan matanya yang indah itu.

“Lho … katanya kamu suka banyak teman. Bukankah pacar juga teman?” ucap Kino membela diri.

“Lain, dong!” sergah Indi kesal, “Teman tidak mungkin mencium Indi, megang-megang Indi, atau yang lain-lain itu!” Kino melongo, “Yang lain-lain itu?”

“Iya! Yang lain-lain itu. Kak Kino pura-pura bego!” sergah Indi dan tahu-tahu tangannya sudah mencubit. Kino menahan tawanya, melihat Indi cemberut tanpa kehilangan kekenesan, kecentilan dan kemanisannya.

“Si Randi itu, misalnya, terlalu doyan!” sergah Indi sambil mengaduk-aduk es krimnya dengan gemas, “Lama-lama Indi sebel dan muak!”

“Orang doyan, kok, dipermasalahkan, sih!?” kata Kino.

“Bukan doyan bakso!” hentak Indi kesal, “Dia doyan megang-megang Indi dan ngajakin yang aneh-aneh!” Kino tak bisa menahan tawanya.

Cepat-cepat ia menutup mulutnya dengan punggung tangan, kuatir es krim muncrat ke mana-mana. Juga kuatir Indi tersinggung. Tentu saja Indi tersinggung, dan menghentak sambil mencubit lengan Kino, “Brengsek! … Kak Kino malah ngeledek. Bukannya bantuin!” Kino membiarkan tangannya dicubit, toh tidak terlalu sakit.

Ia membela diri, “Lho … aku bukan meledek kamu. Aku tertawa karena cara kamu menjelaskan sikap pacar kamu!”

“Tapi dia memang kelewat doyan!” sergah Indi.

“Kamu juga, sih .., yang membuat dia doyan!” balas Kino. Indi sekali lagi mendelikkan matanya yang mempesona, “Eh … Kak Kino sekarang malah belain dia, yaaa!!”

“Bukan membela, tapi kamu sendiri yang bilang bahwa kamu terlalu mudah, terlalu ….. apa itu? …. terlalu gampangan,” sahut Kino tak mau kalah. Indi menggerutu, mencibirkan bibirnya yang basah oleh es krim sampai berkilat-kilat, “Kalau sekali-sekali, sih, Indi ngga keberatan. Tetapi dia selalu mengajak yang aneh-aneh, bikin Indi sebel!”

“Apa, sih, yang aneh-aneh itu?” tanya Kino karena ia memang tidak terlalu mengerti. Indi menatap pemuda di depannya dengan tajam, sampai Kino merasa agak rikuh juga dan menyesal telah bertanya.

“Kalau Indi cerita, Kak Kino janji ngga ngetawain yaaa!” tuntut gadis itu dengan kedua matanya tajam berderang.

“Kenapa musti tertawa?” tanya Kino.

“Pokoknya … tidak boleh tertawa. ….. Janji???” sentak Indi.

Kino mengangguk. Indi menghela nafas, lalu berucap agak pelan, “Dia suka mengajak Indi oral sex .. ” Kino melongo. Bukan cuma karena kaget mendengar pengakuan Indi, tetapi juga karena perlu sejenak mencerna apa yang dimaksud dengan “oral sex” itu.

Setelah otaknya berhasil menghubungkan kata “oral” dengan “mulut”, barulah Kino mengucapkan, “Oooo … begitu.” Indi mendelik, mengancam dengan pandangannya yang sekaligus menakjubkan tetapi juga menakutkan. Setidaknya, menakutkan dalam ukuran seorang gadis centil yang ceria seperti dia.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Kenapa musti mendelik begitu, sih?” sergah Kino.

“Awas kalau Kak Kino tertawa!” ancam Indi sambil bersiap mencubit.

“Apakah kamu penuhi permintaannya?” tanya Kino mencoba kembali ke persoalan yang mengagetkan itu. Indi menggeleng cepat.

“Ngga mau dan ngga akan mau!” Kino melepas nafas lega. Tadinya ia kuatir akan ada cerita-cerita lebih seram keluar dari mulut gadis yang mudah “berkicau” seperti burung parkit ini.

“Untuk Indi, itu sudah kelewatan,” ujar Indi dengan muka serius, “Pasti dia terlalu banyak nonton be-ef … menyangka semua cewek mau diajak yang begituan!”

“Apa itu be-ef?” sela Kino, sungguh-sungguh tidak tahu. Indi mendelik lagi, kali ini bukan untuk marah tetapi untuk menunjukkan keheranannya.

“Kak Kino ngga tahu apa itu be-ef?” Kino menggeleng jujur.

“Ya ampun!” desis Indi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Itu, lho .. video-video porno yang berisi adegan orang begituan!”

“Oooooh ..,” Kino menepuk dahinya sendiri mengakui kebodohan dan kenaifannya,

“Maksud kamu blue film!”

“Ck .. ck .. ck!” Indi menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat rambutnya tergerai-gerai ramai, “Kak Kino lama-lama semakin bloon!” Kino tertawa, mengakui ke-bloon-an itu tanpa tersinggung.

“Jangan bilang sama Indi bahwa Kak Kino ngga pernah nonton be-ef!” sergah Indi.

“Pernah. Tapi aku tidak suka,” jawab Kino cepat, teringat kenakalan-kenakalan di masa awal kuliah di rumah Ridwan yang punya selusin film biru.

“Indi juga ngga suka!” kata Indi sambil menyingkirkan gelas es-krim yang tinggal berisi sendoknya. Kino tertawa sebentar, lalu cepat-cepat melanjutkan makan es-krim yang tertunda. Dalam tiga suap, kosong sudah gelasnya.

“Kak Kino,” Indi berkata pelan, “Boleh Indi tanya hal yang pribadi?”

“Hmmm ..,” gumam Kino sambil mengangguk. Ia tiba-tiba merasa dekat sekali dengan gadis manis di depannya; apalagi setelah Indi berterus terang tentang pacarnya tadi.

“Seberapa jauh hubungan Kak Kino dengan Kak Trista ..,” tanya Indi hati-hati, sambil memandang lekat-lekat pemuda di depannya, memantau dengan seksama reaksinya. Kino sejenak ragu-ragu, mengangkat mukanya dan membalas menatap Indi. Apakah ia akan berterus terang?

“OK …,” Indi menghela nafas panjang, “Tidak perlu dijawab, kalau Kak Kino ngga mau cerita … ”

“Bukan begitu …,” ucap Kino cepat, “Bukan aku tidak mau cerita.”

Indi diam, menunggu kelanjutan penjelasan pemuda yang entah kenapa semakin lama semakin ia sukai ini. Bukan wajahnya (walaupun wajah itu tergolong cakep). Bukan juga penampilannya (terkadang ia berpakaian sembrono, pikir Indi).

Bukan juga latar belakangnya (dia, kan, anak desa!). Bukan semua itu yang menarik perhatian Indi, melainkan kepolosan dan sekelumit misteri yang menyelimutinya. Indi seperti berhadapan dengan sebuah buku cerita yang menarik dan perlu dibaca sampai tamat berkali-kali!

Kino menghela nafas panjang sebelum berkata,

“Sebetulnya aku justru mencari orang yang bisa aku ajak bercerita … ” Indi tetap diam. Menunggu penuh harap, memainkan tissu dengan jemarinya yang lentik.

“Aku punya banyak cerita tentang dia,” lanjut Kino dengan suara pelan,

“Sering sekali cerita itu berulang-ulang di kepalaku, aku ceritakan kepada diriku sendiri. Sebenarnya, aku akan senang kalau ada orang lain yang mau mendengar.” Kino terdiam, sehingga Indi merasa perlu menyela,

“Kenapa ngga cerita sama Indi?” Kino memandang gadis di depannya,

“Aku tidak tahu bahwa kamu tertarik mendengar cerita tentang dia.” Indi balas menatap, menyiratkan pengakuan sejujurnya bahwa ia tertarik kepada cerita pemuda itu. Tertarik kepada si empunya cerita itu juga!

“Tidak seorang pun yang pernah mendengar cerita itu,” ucap Kino pelan sambil mengalihkan pandangan ke luar. Malam sudah menjelang, walau masih belia.

“Pasti ceritanya serem ..,” goda Indi. Kino tertawa,

“Betul …. Memang terkadang menakutkan. Terutama kalau aku ingat bahwa aku hampir tewas.”

Indi menggigit bibirnya, merasa tidak enak menyinggung peristiwa yang nyaris berakhir tragis itu. Tetapi dia juga masih ingin tahu lebih banyak. Maka ia diam saja, memandang seksama pemuda yang kini menunduk dan menggurat-guratkan jarinnya menggambarkan sesuatu yang abstrak di taplak meja.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Kami sering berhubungan,” ucap Kino pelan, nyaris tidak terdengar.

Indi menahan rasa kagetnya sekuat tenaga. Ia tidak pernah menyangka begitu jauh. Kini ia mendengar dari pemuda yang ia sukai itu, ternyata tidak se-“suci” yang ia duga.

Indi tak tahu harus bereaksi bagaimana terhadap pengakuan terbuka ini! Kino mengangkat mukanya, menatap sepasang bola bening yang sedang menembus raganya menelusup ke relung-relung dadanya mencari-cari kebenaran.

“Kamu kaget?” tanya Kino hati-hati, karena sebetulnya dirinyalah yang terkejut. Mengapa begitu mudah ia “buka kartu” di depan Indi? Indi mengangguk pelan. Tak sanggup berkata-kata. Keceriwisan dan kekenesannya sirna begitu saja. Kino menatap tajam gadis di depannya,

“Kamu minta aku cerita. Maaf kalau mengagetkan dan membuat kamu kecewa.” Indi cepat-cepat menggeleng, balas menatap tak kalah tajam. Keduanya saling pandang bertukar-tukar pesan rahasia yang tak seluruhnya bisa dimengerti bahkan oleh si empunya pesan.

“Sampai begitu jauh, Kak Kino berhubungan ..,” akhirnya Indi berbisik, seperti takut terdengar orang lain padahal kedai es-krim cuma berisi mereka dan sepasang muda-mudi lain di pojok sebelah sana.

“Ya ..,” sahut Kino sambil menghela dan menghempaskan nafas panjang,

“Kami berhubungan hampir setiap kali berjumpa. Aku seperti orang mabuk, Indi … tidak bisa menolak ajakannya, dan juga tak berhenti membujuknya untuk melakukan berulang-ulang.”

“Tidak takut hamil?” bisik Indi lagi.

Kino menunduk, mengenang rasa kuatirnya yang sempat muncul ketika ia tersadar dari pingsan setelah kecelakaan. Ia memang tidak mengatakan kekuatirannya kepada Trista waktu itu, dan ia merasa itulah salah satu bentuk ke-pengecut-annya.

Kepada Indi kini ia mengakuinya, “Aku sempat takut …. Tetapi kami memang tidak pernah membicarakan risiko itu.”

“Kak Kino menyesal?” tanya Indi pelan, perasaan iba muncul menggantikan rasa kaget. Padahal Indi bisa marah, atau jijik mendengar pengakuan seorang yang ia puja tetapi ternyata sudah ternoda.

Tetapi gadis itu terlalu sulit memutuskan, apakah ia patut membuat penilaian tentang baik-buruknya Kino. Kino menghela nafas panjang lagi sebelum berkata,

“Ya, aku menyesal sekali dan sekaligus bertanya-tanya mengapa kami sampai melakukannya dengan begitu bernafsu dan tak pikir panjang.”

“Itu kah yang namanya cinta?” tanya Indi pelan.

Kino mengangkat muka dan menatap wajah Indi yang kini menunduk. Ada perasaan janggal pada diri pemuda itu mendengar pertanyaan yang datang dari seorang gadis centil-kenes dan nakal di depannya. Pertanyaan itu sederhana sekali, tetapi Kino tahu jawabannya tidak mudah.

“Barangkali …, ya. Barangkali memang itu namanya cinta,” jawab Kino.

Indi diam, memainkan telapak tangan dan menggigit-gigit kecil bibirnya yang masih basah oleh air putih penyerta es-krim.

“Barangkali juga bukan …,” bisik Kino. Indi mengangkat mukanya, memandang pemuda yang kini bermuka keruh seperti air sungai yang kebanyakan lumpur.

“Kak Kino tidak mencintainya?” tanya Indi pelan, entah kenapa dia menaruh harapan besar pada jawaban “tidak”.

Sejenak Kino diam saja, mengalihkan pandangan kembali ke luar. Malam beringsut menuju kelam. Lampu-lampu jalanan sudah menguasai suasana menggantikan Sang Surya yang telah lama beristirahat. Keramaian tak lagi seperti siang hari, tetapi juga belum sama sekali reda.

“Aku tidak tahu, Indi …,” akhirnya Kino menjawab, “Aku sekarang selalu meragukan perasaanku sendiri. Aku tidak berani lagi mengatakan apa-apa tentang cinta.”

“Tetapi Kak Kino masih terus merindukannya,” desak Indi. Kino menatap Indi, “Aku memang merindukannya. Aku selalu teringat masa-masa bersamanya. Tetapi aku juga tersiksa oleh perasaan menyesal dan bersalah. Itu sebabnya, aku tak merasa bahagia kalau merindukan dia.”

Indi tak bisa menahan tangannya mengusap lembut lengan Kino; ia ingin bersimpati sepenuhnya pada apa yang Kino hadapi, walaupun sekelumit cemburu dan iri tak henti-hentinya mendera minta perhatian. Indi berkuat-hati memendam kedua perasaan itu, dan menggantikannya dengan simpati.

“Indi tidak setuju kalau Kak Kino menyalahkan diri sendiri,” kata gadis itu dengan sungguh-sungguh.

Kino tersenyum kecut mendengar ucapan simpatik yang datang dari gadis centil yang menggemaskan itu. Sudah sering ia menemukan banyak kedewasaan di balik penampilan Indi yang serampangan, nakal, dan berani itu. Sudah sering ia bersyukur berteman dengan Indi; kali ini ia bahkan semakin bersyukur.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Menurut Indi, orang yang saling mencintai memang wajar kalau ingin berhubungan seks,” kata Indi lagi, kini kembali dengan gaya “sok-tahu”-nya.

“Kamu, kok, tiba-tiba menjadi ahli, sih?” goda Kino. Indi tertawa kecil, “Bukan ahli … tapi Indi pernah baca seperti itu di majalah.”

“Lalu, apa lagi kata majalah itu?” tanya Kino, senang karena persoalannya bisa dibicarakan secara lebih ringan.

“Katanya, memang wajar kalau dua orang yang saling menyukai ingin melakukan hubungan-hubungan yang lebih jauh. Makanya, keduanya harus bisa mengendalikan diri,” kata Indi serius, mengalahkan keseriusan seorang penasihat psikologi.

“Bagaimana cara mengendalikan diri?” tanya Kino, lebih untuk menggoda katimbang mencari jawaban sesungguhnya.

“Katanya, harus menghindari peluang berduaan dan jangan terlalu sering bertemu,” jawab Indi, lalu buru-buru menambahkan, “Itu kata majalahnya, lho!”

“Kalau menurut kamu sendiri bagaimana?” desak Kino.

“Menurut Indi?” tanya Indi sambil mengangkat alisnya menambah lebar kedua matanya, “Menurut Indi …. itu cuma teori. Pada kenyataannya, susah!” Lalu gadis itu tertawa lepas dan riang. Kino pun ikut tertawa, sungguh-sungguh senang mendapatkan teman bicara yang bisa menetralisir kegundahan.

“Menurut Indi, orang yang nulis di majalah itu ngga pernah jatuh cinta!” sergah gadis itu di antara tawanya.

“Kenapa?” tanya Kino.

“Karena … kalau dia pernah jatuh cinta, pasti dia tahu bagaimana susahnya menghindari pertemuan dengan orang tersayang. Iya, kan?” kata Indi.

“Ah, kamu sok tahu saja!” goda Kino. Indi tertawa renyai, tak mau terpancing oleh godaan Kino.

“Kak Kino pura-pura membantah, padahal dalam hati bilang ya!”

“Memangnya kamu pernah jatuh cinta?” tanya Kino tiba-tiba.

Indi terdiam, dan sejenak tidak bisa menjawab. Kino tertawa senang melihat gadis itu kehilangan kata-kata. Indi memberengutkan mukanya, walau tentu saja malah membuatnya semakin menggemaskan.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Pernah atau tidak?” desak Kino.

“Mau tambah es-krim?” Indi malah balik bertanya mengalihkan pembicaraan. Kino tergelak. Indi semakin merengut dan semakin manis. Ia juga semakin rajin mencubit lengan Kino.

Lalu pembicaraan mereka tak lagi teratur, melainkan penuh canda ringan yang tak banyak makna. Humor dan gosip menggantikan topik-topik sendu tentang rindu dan cinta.

Kino senang sekali bisa lepas dari topik itu, sekaligus lega karena ternyata ceritanya tidaklah terlalu sulit untuk disampaikan kepada orang lain.

Tentu saja Kino juga sadar bahwa Indi kini menjadi salah satu teman teristimewa dalam hidupnya. Belum ada orang lain yang tahu tentang Trista sampai sejauh itu.

Sebaliknya, Indi pun merasa mendapat kehormatan tersendiri dari pemuda yang memang ia kagumi ini. Menjelang pulang, Indi sempat bertanya dalam hati: apakah aku akan mendapat tempat istimewa di hatinya?

Pertanyaan itu tetap ia simpan sampai mereka berpisah di gang tempat mereka tinggal.

Dan Kino menepuk dahinya sendiri di kamar, ketika menyadari bahwa ia sama sekali belum membeli kado untuk Alma dan Devan!

*** Cerita Cinta Dewasa ***