Cerita Cinta – Chapter 102. Tak Sejalan Lagi

Chapter 102. Tak Sejalan Lagi

Meski otak ini terasa gila pasca keluar bersama Stevy, namun ketika saya kembali di hadapkan dengan situasi rumah sakit dan kampus, pastilah rasa stress itu datang lagi menghampiri menyapa dengan lembutnya seolah mengingatkan bahwa kedua hal ini adalah hal yang mutlak tak bisa saya tinggalkan begitu saja. Mencoba bangkit dari rasa terpuruk akan situasi ini, saya putuskan untuk menyelesaikan kuliah terlebih dulu agar waktu di belakang bersama Jovan bisa lebih lama untuknya. Maka dengan ini untuk sementara waktu, frekwensi saya bertemu dengan Jovan sedikit berkurang lantaran saya yang lebih sering menghabiskan waktu di kampus untuk konsul kepada dosen pembimbing. Namun meski begitu, bukan berarti saya berada di kampus lantas saya meningglkan Jovan begitu saja. Saya masih tetap di sisinya dengan sesekali menjenguknya ke rumah sakit meski itu hanya satu sampai dua jam setiap harinya.

Selama masa saya memperjuangkan kuliah di waktu itu, sungguh berat saya rasa. Banyak waktu yang harus saya bagi dan sita untuk menyelesaikan persoalan satu persatu. Mulai dari dosen yang sulit saya temui, hingga secara tiba – tiba saya harus pergi ke rumah sakit sebab pasalnya Jovan sedang mencari saya. Di setiap harinya, jika tidak di kampus, pastilah saya berada di rumah sakit atau kontrakan. Ya, hanya tiga tempat itu tempat saya berputar menghabiskan waktu. Pernah suatu hari ketika waktu dua jam saya habiskan untuk menunggu dosen yang telah di janjikan, pada akirnya harus di batalkan karena ada acara mendadak. Dengan hati jengkel pastinya saya marah menanggapi hal semacam ini, lantas pergi ke rumah sakit adalah tempat saya untuk mengadu cerita kepada Jovan mengenai susahnya bertemu dengan dosen dalam melanjutkan skripsi.

Singkat cerita saya telah mendapatkan jadwal ujian untuk sempro dan ujian selanjutnya, terasa pengorbanan waktu saya kini tak sia – sia dengan turunnya jadwal tersebut. Mendapat kabar gembira ini pastilah saya kabarkan pada Jovan untuk membuatnya lebih bersemangat juga dalam menjalani hari – harinya. Maka siang yang panas di bulan September itu segera saya kebut motor menuju rumah sakit dan mencari keberadaan Jovanda sebab rasa gembira ini ingin begitu rasanya saya bagi bersamanya.

Sesampai di rumah sakit, Nampak kamar Jovan di sibukkan oleh beberapa perawat dan satu dokter spesialis yang menangani Jovanda. Dan saya yang saat itu baru datang di rumah sakit tentu tak tau menau mengenai apa yang tengah terjadi dengan Jovanda. sempat ada rasa kawatir tentang apa yang terjadi dengan pacar semata wayang saya tersebut. Sebab bagaimana ekspresi para perwat yang gugup mondar mandir membawa peralatan medis membuat pikiran saya berfikir yang tidak – tidak. Nampak dari sudut kamar saya dapati Evan dan ibunya dengan berwajah kawatir memandang kondisi jovan yang di sibukkan oleh tangan para perawat. Sedangkan saya yang berada di luar ruangan hanya bisa menunggu usainya kejadian ini dan berharap Jovanda masih baik – baik saja. Usai semua perwat keluar, Nampak dokter berbincang dengan ibu Jovan untuk beberapa saat dan lantas keluar meninggalkan ruangan. Dengan ini akirnya saya pun bisa masuk melihat kondisi Jovan dan segera bertanya kepada sang ibu.

“Jovan kenapa tante, kok tadi banyak perawat ama dokter di sini ??” tanyaku sedikit gelisah.

“Jovan pendarahan Rak” tuturnya cemas memandang putri sulungnya.

“pendarahan gimana tante ?? kok bisa ??” terasa hati saya nyut – nyutan mendengar kabar semacam ini.

“itu jahitan di kepala Jovan ada yang kebuka beberapa, trus darahnya merembes keluar. Tante gak sadar, posisi waktu itu kan lagi pada tidur. Tau – taunya ya baru tadi pagi ada bercak darah di bantal Jovan. Dan itu tante taunya posisi Jovan bangunin tante ngeluh kalo kepalanya pusing banget”
“trus kata dokter tadi gimana tante ?? udah di tanganin kan ??”

“iya udah di tanganin, cuman di suruh tunggu perkembangannya aja. Soalnya tadi dokter bilang kepala Jovan kekerungan darah yang membuat tekanannya jadi nggak stabil. Jadi kemungkinan ada beberapa resiko yang muncul pasca jahit ulang ini”

“moga aja Jovan baek – baek aja ya tante” ucapku kawatir memandang Jovan yang masih tidur akibat obat bius.

Terpaksa kabar gembira ini harus saya tunda untuk beberapa saat mengingat kondisi Jovan yang belum membaik dan masih di bawah pengaruh obat bius. Maka sambil menunggu Jovan siuman, saya habiskan waktu di kamar Jovan bersama sang ibu juga Evan sambil memebenahi beberapa skripsi saya. Lama membunuh waktu, tanpa terasa malam pun tiba. Tapi saat itu juga belum saya dapati kondisi Jovan untuk siuman, mungkin oprasi dan rasa sakit yang harus ia derita begitu sakit hingga tubuh itu tak punya daya lagi untuk sekedar membuka mata. Karena malam telah larut, saya pun di suruh pulang oleh ibu Jovan sebab besok ada ujian sempro yang harus saya selesaikan. Dan terlebih lagi pada malam itu sang ibu juga sedang piket untuk menemani Jovan serta ada Evan di sampingnya, tentu rasa kawatir itu tak teramat sangat saya rasakan. Maka dengan rendah hati, saya pun berpamitan untuk pulang dan akan kembali esok hari usai urusan di kampus selesai.

Ini adalah hari setelah kamarin di mana saya menjenguk jovan semalaman dan belum mendapatinya siuman. Sebenarnya ada beberapa perasaan kawatir nan resah ingin menjenguk Jovan terlebih dulu sebelum ujian sempro agar mendapat restu dari sang kekasih tercinta semoga ujian ini berjalan lancar adanya. Namun apa daya, pagi ini saya bangun kesiangan mungkin karena kecapaian. Jadi saya putuskan untuk langsung ke kampus dan menuju ke rumah sakit usai ujian sempro.

Kini ujian telah usai, perasaan enteng tentang perkuliahan ini pun terasa sedikit berkurang dengan kelarnya ujian ini. Sungguh masa – masa yang melelahkan, bersabarlah wahai diriku saat ini, sebab tak lama lagi masa perkuliahan ini akan segera usai dan saya akan berada di sisi Jovan selamanya tanpa harus terbagi lagi. Dengan perasaan gembira, saya langsung on the way ke rumah sakit dengan maksud sudah jelas itu pasti menjenguk Jovan. Sesampai di sana saya dapati kini sang ayah berada di samping Jovan dengan mimik muka terasa susah meratapi kondisi Jovan di kursi kamar dengan posisi manyandarkan kepala di dinding sedikit mendongak ke atas.

“siang om, kok kayanya capek gitu ??” sapaku pada ayah Jovan yang terlihat lesu.

“loh Rakha, dari mana ?? gimana ujiannya tadi ??” tanya balik sang ayah tanpa memperdulikan sapaanku.

“alhamdulilah lancar om, ini baru dari kampus langsung mampir ke sini. Oiya, gimana perkembangan jovan om ??”

“masih sama Kha kaya kemaren, malahan pagi ini agak ada hal yang aneh sama Jovan pasca di jahit ulang”

“aneh gimana om ??”

“tadi pagi pas dia bangun tidur, om sapa. Tapi respon dia lama, nunggu beberapa detik baru dia jawab. Itu pun ia mandang om kaya mandang orang laen aja. Seolah yang ada di depannya ini bukan bapaknya Kha” keluh ayah Jovan padaku.

“itu kalo ga salah emang efek dari oprasinya om, jadi secara bertahap mungkin Jovan mulai lambat dalam merespon atau mengenali seseorang om” jelasku menuturkan kebenaran ini.

“ya tapi gimana rasanya Kha kalo seorang ayah yang ada di depan, anaknya butuh waktu untuk mengenalinya. Padahal sejak kecil om rawat jovan pake tangan om sendiri. Kalo Evan beda lagi, dia emang deket sama ibunya ketimbang ayahnya. Makanya kalo jovan sampai kenapa – kenapa, yang paling susah itu ya om”

“yang sabar aja om, smua pasti ada hikmahnya. Saya di sini juga ngrasa sedih ngliat Jovan kaya gini. Apa lagi om, saya gak tau harus ngomong gimana lagi” tuturku sedih hanya bisa duduk di sebelah ayah Jovan.

Beberapa jam kemudian camer saya pun pamit untuk menjemput sang ibu serta Evan untuk menggantikan sift jaga yang telah di jadwal oleh keluarga. Maka saya di amanatkan utuk menjaga Jovan sesaat menunggu kedatangan sift berikutnya, jelas dengan enteng saya pasti mengiyakan dengan baik jika dalam hal mengurus Jovan seperti ini.

Usai mengantar kepergian camer sampai depan pintu kamar, saya lekas masuk kembali dan berharap Jovan sudah lumayan mendingan terbangun dari rasa pusing yang menyelimutinya. Dengan derap langkah pelan tapi pasti, saya dorong kaki ini untuk terus maju menghampiri sang kekasih. Kini matanya terbuka sipit mencoba sadar dari rasa pusingnya. Terus menatapku dengan ragu berharap diri ini akan di sapanya dengan senyuman yang bisa menyejukkan hati. Namun benar apa yang saya rasakan setelah beberapa saat menatap ekspresi wajah Jovan terdapat keanehan seperti apa yang telah di katakan sang ayah.

Jovan mulai tak mengenaliku . . .

“yank, udah bangun ??” sapaku sedikit ragu pada Jovan.

“ . . . . ng . . . . ???” ia menatapku seolah saya adalah orang yang aneh di hidupnya.

“kok diem ?? masih sakit ya kepalanya ??” tanyaku kembali berharap ada jawaban dari Jovan.

“ . . . . ng . . . . ???” masih menatapku dengan ragu ia belum berucap apapun.

“kalo masih sakit gausah di paksain mikir yank, mending buat istirahat aja” tuturku berpura pura tegar menerima keadaan Jovan saat ini.
Merasa tak kuat dengan keadan Jovan, ingin rasanya saya keluar kamar untuk sekiranya meneteskan air mata yang sedari tadi membelenggu mata saya di depan Jovan.

“yank . . . . .” sapa Jovan padaku yang setengah langkah meninggalkannya.

“ya . . . .??” jawabku reflek menoleh ke arah Jovan dengan perasan sedikit tak percaya.

“kamu mau kemana ?” tanya Jovan lirih menahan langkahku.

“itu mau keluar cari angin yank” masih tak percaya maka saya kembali mendekat padanya.

“emang di sini kaya ga da angin aja yank, ckkckc . . kamu ini” jawabnya menggodaiku kini.

“iya ada sih, cuman pengen kluar bentar aja kok. Btw tadi aku sapa kamu kok diem aja yank ??”

“oh, masih loading yank, hehehe . . maklum rada lemot sekarang” jawabnya sambil canda.

“lha kemren itu gimana critanya kok jahitan kamu bisa lepas yank ?? kamu buat mangguk – mangguk kaya orang dugem gitu ya pala kamu ??”

“yeee, ya enggak lah yank, buat mikir aja pusing, masa mau di goyangin kaya orang dugem. Kamu ini ngayalnya kejauhan”

“lha trus gimana kok bisa lepas ?? hm . . ??”

“kan semlem aku tidur kaya biasanya yank, nah pas tengah malem aku pusing buat sandaran di bantal, akirnya aku geser – geser dikit gitu palaku sampe ngrasa nyaman. Udah ngrasa enak, ehh paginya ga tau darahnya mrembes kluar, trus aku gak sadar, di jahit ulang deh. Hehehehe” sungguhpun penuturan tiada berdosa itu di iringi oleh parasnya yang teramat polos.

“inalilahi yank, laen kali kalo mau gerak ati – ati ya sayang. Jangan asal geraknya. Kamu tau kan efek dari jahitan ulang kamu sekarang itu apa ?? hm . . .??”

“iya aku tau, aku jg ngrasa kok. Aku jadi lambat banget buat mikir ke suatu hal yang baru atau ngenalin seseorang. Butuh waktu beberapa detik atau menit hingga aku sadar siapa orang yang sedang komunikasi sama aku. Tadi papah juga sempet mau nangis karena aku di ajak bicara jawabnya lama dan hampir gak ngenalin papah”

“nah itu kamu tau, tadi papahmu juga cerita tentang hal itu. Aku kasian juga sama beliau kalo harus ngliat kamu kaya gini”

“iya gimana lagi yank, ini udah takdirku, aku udah berusaha sebisa mungkin”

“iya aku tau, tapi aku juga sempet sedih yank tadi kamu lambat banget buat ngenalin aku. Hari ini masih mending kamu bisa ngenalin aku meski butuh waktu agak lama, apa kamu bisa jamin kalo besok kamu bakal tetep inget aku ??”

“aku gak tau apa rencana tuhan besok yank, kalo cerita esok hari aku harus lupa sama kamu, aku bisa apa ?? ingatanku tentang kamu di ambil pun aku gak bisa bilang enggak sama tuhan”

Sejenak saya terdiam, bayangan esok hari yang mungkin bisa jadi lebih parah dari hari ini mulai datang membayangiku. Bagaimana tuhan mengambil ingatan Jovan secara perlahan sungguh membuat hati saya terasa tersayat secara pedih. Bayangkan apa saja yang telah saya lalui dengan Jovan selama ini, harus hilang secara tiba – tiba esok hari. Meski bibir itu berkata tidak, nyatanya tetap saja semua memori tentang saya akan di hapuskan. Tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi esok hari, maka saya ucap syukur untuk detik ini sebab Jovan maish di beri ingatan untuk sekedar mengingat saya dan segala kenangan yang pernah kami jalani.

“yank, kalo suatu hari kamu bakal lupa sama aku, aku harus gimana yank ??”

“ya kamu tetep jadi diri kamu sendiri yank, jangan kehilangan arah dan terus cintai aku meski aku gak tau kalo kamu saat itu sayang sama aku” tuturnya tegas memandangku lurus nan dalam.

“bukankah itu buat aku semakin sakit jika harus terima kenyataan kaya gitu ??”

“apa kamu mau berhenti untuk gak sayang sama aku saat ini ??”

“aku ga bakal bisa berhenti sayang sama kamu, cuman aku gak bisa bayangin gimana aku yang masih ada di samping kamu harus ngliat kamu nglupain aku”

“yank, meski suatu saat ingatanku bakal di ambil sama tuhan, seenggaknya aku bersyukur karena detik ini aku masih di beri kesempatan ngukir cerita sama kamu. Kamu juga harus bisa syukuri itu. Kalau pun suatu saat aku harus ninggalin kamu atas kehendak tuhan, kamu ga usah sedih, kerena memori kita tetap tersimpan rapi di sini” dengan melirik dimana hatinya berada, ia menyimpan memorinya di situ.

“Udah lah yank, aku gak mau bahas hal ini lebih lanjut lagi. Aku belum siap . . .” tuturku sendu ingin mengalihkan pembicaraan.

“aku tau kamu gak siap dan gak akan pernah siap, tapi maaf yank, jujur saat ini aku udah siap jika sewaktu – waktu tuhan manggil aku”

“kok kamu malah ngomong gitu sih !!??” tanyaku sedikit marah terhadap Jovan.

“maaf yank, bukannya aku mau ninggalin kamu enggak. Sebenernya aku juga gak akan pernah mau jika harus ninggalin kamu dengan cara kaya gini. Tapi nyawa ini milik siapa, aku udah gak punya hak untuk itu. Jadi kalo tuhan mau ngambil kapanpun ia mau, aku udah iklas yank. Aku cuma bisa titip kamu sama tuhan moga tetep di jaga dunia akirat dan dapetin orang yang lebih baik dari aku” tuturnya tegas solah ia telah siap di ambil kapanpun olah sang maha kuasa.

“kenapa pemikiran kita sekarang berbeda gini . . .” ucapku lirih serasa tak menerima keadaan ini.

Kami hanya bisa terdiam dan saling memandang. Sungguh esok hari yang akan kami hadapi terasa lebih berat dari hari ini. Bagaimana cara tuhan untuk memisahkan kami secara perlahan atas ideologi yang kini mulai tak sejalan lagi terasa begitu indah. Lambat tapi pasti, di setiap detiknya kenangan dari benak Jovan akan hilang dan saya akan terhapuskan dari ingatannya. Meski ia telah berucap bahwa semua itu akan ia kenang dalam hati, namun tetap saja, secara nyata kami terpisah karena salah satu memori yang telah terhapuskan. Kini kami tak lagi sejalan, di ujung cerita yang hampir pada puncaknya ini, lebih tepatnya kami renggang. Tak ada satu pun yang mau untuk mengalah tentang pemikiran yang tak lagi sama seperti dulu lagi. Di saat mendekati masa akir yang sudah jelas kedepannya, saya merasa begitu takut dan enggan untuk di tinggal oleh Jovan. Namun lain halnya dengan Jovan, ia merasa semakin siap untuk meningglkan dan mengiklaskan ini semua lebih cepat dari saya. Entah apa yang akan ia berikan esok hari, saat ini saya hanya bisa . .

Pasrah . . .

 

Created BY : rakhaprilio KASKUS