Cerita Cinta – Chapter 103. Biar Air Mata Yang Bercerita

Chapter 103. Biar Air Mata Yang Bercerita

Diri ini sudah tak sejalan dengan apa yang Jovan rasakan. Meski tak jarang saya berfikir bahwa suatu saat nanti saya akan di tinggal olehnya, namun perasaan untuk selalu bertahan di sampingnya membuat saya tak pernah bisa berhenti untuk mencintainya. Sebab apa yang telah kami ukir sejauh ini teramat banyak dan amat menyesakkan jika apa yang telah kami rangkai selama dua tahun ini harus saya lupakan untuk sekejab saja. Namun sebagai seseorang yang akan selalu memandang jalan fikir Jovan menjadi lebih baik, saya mencoba mengerti dan mulai mengiklaskan sama seperti apa yang Jovan katakan. Sebab saya tak ada lagi cara untuk bisa terus bersamanya selain saya harus mengikuti arah fikir Jovan yang terlalu cepat dalam mengiklaskan semua hal.

Masih teringat jelas bagaimana Jovan mengukir sebuah memori yang begitu manis sebelum malaikat menjemputnya. Begitu manis hingga akirnya semua berubah menjadi pedih di ujungnya yang tak bisa saya hapuskan begitu saja. Bagaimana kenangan itu ia ukir di saat itu, jujur belum bisa saya lupakan meski tak jarang hal tersebut menjadi betu kerikil di hubungan saya saat ini.
Kala itu bulan November, tepatnya tanggal 11 November 2010. Ya, saya masih ingat jelas tanggal itu, sebab tanggal yang akan mengantarkan saya pada moment berharga dalam hidup ini.

Bagaimana cara tuhan secara perlahan mengambil fungsi tubuh Jovan secara perlahan, terkadang saya berfikir hidup ini seperti sebuah kisah dongeng yang teramat menyedihkan untuk sekedar di ceritakan kepada orang lain, namun ketahuilah, bahwa semua ini begitu nyata adanaya dan harus saya lewati mau tak mau. Sebab tak ada peran pengganti dalam naskah yang telah tuhan tulis untuk kita, percayalah akan hal itu . . .

Mungkin kemarin sebelumnya saya sudah mengerti tentang resiko apa saja yang akan di hadapi pasca jahit ulang setelah doketr melakukannya. Secara perlahan Jovan mulai kehilangan kemampuan otaknya dalam mengenali orang di sekitarnya bahkan ayahnya sendiri. Apalagi saya ? yang baru dua tahun belakangan ini bisa bersanding bersamanya. Mungkin di benaknya saya bagai kerikil kecil yang sewaktu – waktu bisa tergilas habis oleh sakit yang di alami Jovan. Dengan kata lain, kenangan yang ia punya bersama saya hanyalah sebagian kecil waktu dari hidupnya yang telah ia sisihkan untuk saya. Meski begitu, saya mencoba untuk tak putus asa dalam mengahadapi kemungkinan apa saja yang akan Jovan berikan termasuk hari ini, sebab kedatangan saya kali ini akan begitu di kejutkan dengan beberapa hal yang telah hilang dari diri jovan.

Sore itu saya datang ke rumah sakit dengan perasaan tak banyak harap, pastilah saya tau kemunduran apa saja yang bisa menimpa Jovan sewaktu – waktu. Dengan menguatkan hati terlebih dulu, saya mulai menginjakkan kaki untuk pertama kali di rumah sakit itu. Di setiap langkah yang saya pijakkan untuk Jovan, kini berubah menjadi sebuah langkah yang akan menuju pada sebuah rasa sakit yang mau tak mau saya harus merasakannya. Menyadari hal ini akan terjadi, saya rasa semuanya hampir terlambat. Sebab tangan ini dengan tegasnya telah membuka pintu kamar Jovan dan terus mendorong saya untuk masuk dan segera menemuinya sekedar menanyakan keadaannya.

Kulihat Evan sedang berdiri menepi di sudut jendela memandang langit sore itu, dengan sinar mentari yang hangat dan bersahabat, ia mencoba menanti kakaknya yang saat ini tengah berjuang melawan penyakit. Seperti biasa, saya sapa Evan untuk sekedar mencairkan suasana dan dapat berbincang bersamanya sebelum diri ini jauh tenggelam bersama Jovan yang belum saya tau keadaannya saat ini.

“hay Van, gimana keadaan mbak Jojo ??” sapaku lirih di belakang Evan.

“ . . . . . . . . .” tak ada respon yang saya dapati darinya.

“Van, kok di tepian jendela gitu, ini mbak kamu keadaannya gimana ??” tanyaku kedua kalinya.

“ . . . . . . . . .” masaih saja ia tak merespon apa yang saya bicarakan.

“Van kalo di tanya itu jawab !! kamu kenapa !!?” kini bentakku pada adik Jovan yang satu ini.

“aku gak pernah ngerti kenapa mbak Jojo bisa segitu sayangnya sama mas . . .” ucap Evan sepotong sambil berbalik memandangku tajam.

“kenapa kamu ngomong kaya gitu ??”

Sesaat ia terdiam sambil mengalihakan padangannya dari saya, dengan perasaan tak mengerti saya masih menunggu jawaban Evan untuk kejelasan yang akan saya dapatkan.

“aku gak ngerti apa yang istimewa dari mas sampe bisa gantiin posisi bang Deri yang sebelumnya bisa jalan sama mbak Jojo. Dan terlebih lagi, di saat kondisi mbak Jojo yang mulai memburuk ini, sempet – sempetnya dia masih inget tentang mas. Aku sebagai tangan kanan mbak Jojo jujur kadang ngrasa berat buat nglakuin semua apa yang di mintain tolong buat di sampein ke mas. Aku di sini bisa ngrasa segitu sayangnya mbak sama mas sampe di sisa waktunya selalu di sisihin buat mas. Saat ini mas gak akan tau hal itu apa, tapi liat aja ntar setelah tau kondisi mbak Jojo”

Belum sempat saya bertanya lebih lanjut, Evan dengan segera meninggalkan saya sendirian bersama Jovan di dalam kamar. Tak mengerti apa yang tengah Evan bicarakan, saya mencoba bertanya pada Jovan sekiranya saya tau apa yang tengah Evan rasakan dari sang kakak.

“yank, . . . sayang” sapaku lirih mencoba membangunkan Jovan.

Perlahan mata itu terbuka untuk pertama kalinya dan melihat saya sebagai kekasih yang ada di depannya. Sejenak menunggu untuk mendapat sapaan balik dari Jovan, namun tak kunjung saya dapati setelah menunggu beberapa saat.

“yank, kamu masih sadar kan ?? ini aku Rakha . . .” yakinku mencoba mengingatkan Jovan yang memjamkan matanya menahan rasa sakit tanpa sepatah kata apapun.

Mata itu bergerak kesana kemari seolah berbicara kepada saya. Entah apa lagi yang salah kini dengan Jovan, namun sesaat saya menyadari bahwa ingatan Jovan sekarang ini masih ada tentang saya. Tapi keanehan itu muncul seiring bibir mungil Jovan tak kunjung mengucap sepatah kata apapun. Tuhan, sekarang apa yang kau ambil dari dia !! teriakku dalam hati menahan air mata yang terasa mengembun lirih di bawah kelopak mataku.
Dengan air mata, seolah Jovan berbicara padaku bahwa saat ini ia tak lagi sanggup untuk berbicara. Entah apa yang salah dengan semua ini saya tak tau. Air mata itu mengisyaratkan bawha ia masih mengenali saya sebagai kekasihnya, namun bibir itu tidak.

“sayang kamu gak bisa nyapa aku ??” tuturku menahan tangis teramat sangat.

Semakin saya bertanya pada Jovan, air mata itu semakin berderai dengan peliknya. Seolah berkata bahwa jangan tanya aku lebih dari ini, sebab bibir ini kini tak lagi sanggup untuk menjawab semua pertanyaan darimu. Rasa sakit melihat kenyataan ini begitu menusuk relung hati saya, entah berapa kali tuhan melakukan ini meski saya mulai terbiasa dengan rasa sakit yang di berikan, namun tetap saja, setiap saya menyadari ada sesuatu yang hilang dari Jovan, dengan amat pedihnya hati ini terkoyak habis tiada tersisa.

Jujur saya merasa lemah dengan semua ini, apa daya saya tak lagi sanggup untuk bersandar pada sebuah rasa perih yang setiap kali tuhan berikan untuk saya, saya hanya bisa menangis dan semakin menangis setiap harinya. Meski saya tau bahwa Jovan sebelumnya telah melarang diri ini untuk tidak menangis di depannya lagi, namun bila bisa kalian bayangkan lelaki mana yang tak menangis melihat kondisi Jovan seperti ini di ambil fungsi tubuhnya setiap hari secara satu – persatu. Biar saja saya menagis di depan Jovan saat ini, agar dia tau betapa saya rapuh menghadapi kenyataan yang tuhan berikan saat ini.

Melihat saya menangis, Jovan hanya bisa menggeleng – gelengkan kepalanya. Pertanda bahwa ia tak ingin melihat saya tersiksa untuk kesekian kalinya. Tangan itu kini tak sanggup untuk mengusap air mata saya, dan sekarang, bibir itu kini tak sanggup untuk sekedar melarang saya berhenti menangis. Maka jelas saya tumpahkan saja air mata itu di depan Jovan meski saya tau ia juga terluka melihat saya seperti ini.

“sejak kapan kamu gak bisa bicara kaya gini yank ?? apa karena masalah kemaren waktu kita renggang ?? maaf aku gak ada di samping kamu . . .”

Semakin saya berbicara, semakin pelik mata Jovan untuk terpejam pertanda ia menahan rasa sakit teramat sangat di hatinya. Entah apa yang harus saya ucap kali ini, sebab semakin saya berbicara, itu hanya akan menyakiti perasaan Jovan di tambah dengan air mata ini yang sesekali masih menetes menangisi Jovan.

“aku gak tau harus berbuat apa lagi, aku cuma bisa di samping kamu sore ini. sebab malam ini bunda nyuruh aku pulang. Gak tau apa yang mau bunda bicarain, mungkin di rumah ada acara. Jadi sekarang aku pingin ngabisin waktu ini sama kamu. Biar kamu gak bisa jawab sepatah katapun, tapi seenggaknya kamu bisa anggukin kepala kamu jika aku tanya kamu masih sayang sama aku apa enggak”

Merasa seperti orang gila, sebab saya hanya berbicara sendiri di depan Jovan meski tak sepatah kata pun saya dengar darinya. Namun sejauh ini saya sudah mulai terbiasa, terbiasa dengan cara tuhan menyiksa batin saya secara perlahan. Ya, sungguh nikmat di setiap detiknya dengan potongan penderitaan yang di taburi rasa perih. Meski begitu, saya tetap menghabiskan sore itu di samping Jovan dengan mendongenginya berbagai hal. Hingga ia terlelap di sisi saya, dan diri ini mulai meninggalnya pulang pada malam hari usai sang ibu datang untuk menggantikan saya.

Ini adalah malam hari di mana saya akan berangkat pulang ke Tulungagung dengan berkendara motor. Semua persiapan telah saya kemasi untuk kebutuhan tiga hari di rumah, namun entah apa yang menahan perasaan saya untuk sejenak berada di kota Malang. Terasa ada seseorang yang tak mingiklaskan saya untuk pergi meninggalkan kota dingin ini. Jam mulai beranjak naik pukul sebelas malam. Dan benar saja saya belum berangkat pulang masih duduk saja di teras kontrakan memandangi langit malam. Apakah ini perasaan Jovan yang menahan saya di sini saya juga tak tahu, yang jelas tadi sore sudah saya sampaikan padanya bahwa diri ini akan berangkat pulang ke Tulungagung bada isya.

Tak beberapa lama, hape saya berbunyi dari nomor asing untuk kedua kalinya. Dengan perasaan malas, saya angkat saja telfon itu sudah tak ambil banyak pusing.

“hallo, siapa ya ??” sapaku terlebih dulu.

“mas kamu di mana ??” terdengar suara anak laki – laki mencari dimana saya berada.

“ini masih di kontrakan, ini Evan ??” tanyaku penasaran.

“iya, kontrakanmu daerah mana mas, aku mau ke situ” pinta Evan secara tiba – tiba.

“lho ada apa Van, dah malem gini, ini mau stengah dua belas kamu mana boleh keluar rumah. Apa kamu juga gak jagain kakakmu ??”

“ini mbak Jojo yang minta, jadi aku bisa kluar. Syukur kalo mas belom berangkat pulang. Aku mau kesitu mas”

“iya ada apa emang, kok kayaknya ada yg perlu di sampein ?? mbak kamu kenapa – kenapa ??” tanyaku kini mulai panik.

“enggak kok, mbak jo masih tidur itu di sebelahku. Ini ada mamah yang jagain. Gak usah kawatir, aku otw situ mas, asalamualaikum . . .” tutur Evan dengan salam di seberang telfon.

Lama saya berfikir apa yang tengah mendorong Evan untuk datang kemari, saya rasa ini semua karena Jovanda. Sebab sebelumnya saya tak pernah ada urusan dengan Evan kecuali terkait dengan masalah Jovanda. mengingat bagaimana Evan memperlakukan saya tadi sore sewaktu di rumah sakit itu pun juga membuat diri ini semkin heran dan terus berfikir menunggu kedatangan Evan ada apa gerangan. Sekitar pukul dua belas malam kurang, akirnya ia tiba di depan kontrakan saya, dengan memperlakukannya seperti adek saya sendiri, saya suruh ia masuk untuk duduk dan mengobrol di teras depan.

“da apa Van, tengah malem gini nyariin aku ??” tanyaku terlebih dulu usai Evan duduk di sebelahku dengan tas besar di punggungnya.

“mbak Jo yang nyuruh sebenernya. Tapi aku jug ada beberapa hal yang pengen aku sampein ke mas”

“oh ya ?? apa . . ngomong aja”

“soal tadi sore aku minta maaf banget kalo sikapku ga berkenan di hati mas” dengan rasa menyesal ia ungkapkan itu terlebih dulu.

“oh itu, santai aja Van, aku tau posisi kamu kok. Pasti berat bgt kan, kamu udah bilang ke mbak kalo kamu sayang sama dia ??”

“udah mas, awal mbak Jojo masuk RS aku udah bilang smuanya”

“nah gitu dong, kamu bisa jadi adek yang baek tar, trus ada apa lagi Van ?? kayanya ada yang penting buat kamu sampain ke aku selain hal itu . .”

Dengan merenung terlebih dulu, saya merasa Evan butuh waktu beberapa saat untuk menata hatinya sebelum menyampaikan hal ini kepada saya. Di rasa sudah siap, Evan pun mulai unjuk bicara.

“mas tau sendiri kan kalo tadi di rumah sakit kondisi mbak Jojo kaya gimana ?? dia mulai gak bias bicara mas. Dia cuma bisa gerakin kepalanya doang sebagai bahasa isyarat. Tapi ada hal yang mesti mas tau sebelum kejadian itu, mbak Jojo bilang ke aku kalo dia ada permintaan buat di berikan ke mas. Jadi kejadiaanya sekitar tanggal 8 November mbak Jo bilang sama aku tentang apa yang mau di ungkapin ke mas lewat surat”

“mau ngungkapin apa ?? kenapa gak telfon aja ??” tanyaku heran dengan penuturan Evan.

“dia gak mau telfon kalo di tengah pembicaraanya mesti nangis. Sebab mbak tau dia ga bkal bisa tahan air matanya buat mas. Dan lewat tanganku, dia ungkapin apa yang ingin dia katakan ke mas. Juga ada barang yang pingin dia berikan”

“emang ada apa kok Jovan pingin kasih barang sama surat segala ??”

“mas lupa ??”

“lupa sama apa ??”

“gak inget ini hari apa ??”

“ini kamis kan ??”

“bukan, ini jumat pagi mas. Liat jam tangan mas”

“emang kenapa sama jumat pagi ??”

Tak banyak penjelasan dari Evan, ia langsung mengeluarkan sebuah kotak kardus yang di balut dengan kertas kado dan memberikannya pada saya. Masih bingung apa yang salah dengan hari jumat pagi, maka saya segera membuka kado tersebut usai Evan berpamitan pergi meninggalkan saya. Meski berulang kali saya bertanya padanya ada apa gerang Jovan memberikan semua ini, namun ia bersikeras untuk diam dan memilih pergi begitu saja tanpa menghiraukan saya. Dan usai saya membuka kado tersebut, saya dapati sebuah boneka beruang kecil sepasang berwarna coklat dengan Jaket basebaal warna merah abu – abu dan satu lagi, sebuah foto saya bersama Jovan yang ia rangkai menjadi cerita. Dengan perasaan heran, maka saya baca isi surat Jovan sebagai berikut.

Spoiler for isi surat Jovan seinget ane ( kurang lebih ): Hide
“Selamat Ulang Tahun sayangku Rakha Novembrio yang ke 22. Semoga dengan bertambahnya umur kamu saat ini, kamu bisa jadi anak yang soleh, imam yang baik, dan tambah sayang ke semua orang kususnya aku. Maaf aku gak bisa kasih kadonya secara langsung. Aku titipin ini lewat Evan buat kamu. Aku yakin kamu pasti lupa sama hari ulang tahun kamu saat ini karena banyak mikirin aku dan mikir ujian. Maaf aku udah banyak nyita waktu kamu buat aku. Mulai dari kamu ngejagain aku dan ada di sisiku hingga waktunya tiba, aku bener2 seneng dan bersyukur punya pacar kaya kamu. Meski kemarin kita sempet renggang karena jalan fikir kita yang udah mulai beda, tapi aku tau pada akirnya kamu nyoba buat ngerti tentang apa yang aku rasain. Pasti sakit banget bukan ?? maaf aku cuma bisa buat kamu menderita sampai sejauh ini. gak tau kata apa lagi yang bisa aku ungkapin ke kamu selain maaf, rasanya hanya itu yang bisa mewakili perasaanku sekarang. Aku cuma bisa berpesan sama kamu, jika suatu saat kamu jenguk aku di rumah sakit aku udah gak sama kaya dulu lagi, aku mohon kamu jangan nangis lagi di depanku. Sebab air mata kamu itu adalah alasan aku untuk semakin sakit ngerasain ini. aku tau ini berat buat kamu, tapi tunjukin ke smua orang bahwa kamu itu cowokku yang tegar dan kuat. Saat ini mungkin aku bisa bicara buat ngungkapin semuanya ke kamu lewat surat, tapi jika suatu saat nanti aku udah ga bisa berucap sepatah kata pun sama kamu, aku harap jangan tanyakan apapun tentang kita sama aku. Sebab berapa kali kamu tanya, aku gak akan bisa buat jawab dan semua pertanyaan kamu itu justru akan semakin nyakitin aku. Kamu ngerti kan apa yang aku rasain, pastinya cuma kamu yang bisa ngertiin aku dan di tuntut untuk ngertiin keadaanku yang tak kunjung membaik ini. Begitu indah cara tuhan mempertemukan umatnya untuk saling mencinta, namun hal yang harus kamu tau, bahwa cerita sedih ini juga harus kita jalani jika tuhan berkehandak untuk memisahkan kita dengan cara seperti ini. sayangi aku apapun yang terjadi, tetap di sisiku sampai ajal menjemputku. Jika usai waktuku bersamamu, aku iklas kamu pergi dengan hati yang lain. Tapi untuk saat ini, aku mohon . . cintai aku dengan sepenuh hati kamu dan jangan pernah pergi tinggalin aku.
Orang yang selalu sayang sama kamu “Jovanda Salsabila Putri”
Kaki ini bersimpuh tak kuasa menahan apa yang Jovan ucapkan lewat surat. Dengan teramat sesak batinku membaca setiap bait Jovan membuat saya menangis untuk kesekian kalinya. Dengan menggenggam foto yang telah Jovan rangkai, semakin pelik terasa batin ini tersayat begitu dalam. Terdengar hatiku menjerit keras memanggail Jovanda untuk berada di sisi saya selamanya, namun semua itu sia – sia. Yang tersisa kini hanyalah . . .

AIR MATA !!!

 

Created BY : rakhaprilio KASKUS