Cerita Cinta – Chapter 104.Tulang Rusukku Yang Patah (END)

Chapter 104.Tulang Rusukku Yang Patah (END)

Akirnya saya sampai, ya saya sampai juga di penghujung cerita yang akan membawa kisah ini menepi begitu jauh dari angan – angan saya. Entah bagaimana tuhan merangkai ini begitu indah hingga akirnya saya yang sedang dalam keadaan jauh tak ada di sisi Jovanda mendengar sebuah kabar memilukan. Tentunya para reader masihlah ingat usai kejadian malam itu saya mempunyai jadwal untuk berangkat pulang ke Tulungagung. Maka pada esok paginya sebelum saya berangkat pulang, pastilah saya sempatkan satu dua menit untuk sekedar menjenguk Jovan serta berucap terimakasih padanya atas kado yang telah ia beri pada saya. Dengan mengenakan jaket pemberiannya, diri ini berbangga hati menghadap pada sang kekasih.

“sayang, aku mau balik ke rumah pagi ini. mungkin tiga hari, kamu baik – baik ya di sini sama mamah ayah juga Evan” sapaku lirih di sisi Jovan yang masih belum sadarkan diri.

Meski saya tau takan pernah ada sepatah jawaban dari Jovan, namun setidaknya saya tetap memperlakukannya layaknya manusia normal pada umumnya.

“mas balik ke Malang senin berarti ??” tanya Evan yang saat itu tengah bolos sekolah di hari sabtu.

“iya Van, senin pagi aku udah balik ke sini koq. Aku titip Jovan, aku berangkat dulu Van” salamku pada Evan beranjak pergi.

Tiba – tiba perasaan ini terketuk sesaat tertahan di depan pintu. Saya terdiam, entah apa yang saya pikirkan saat itu, saya rasa semua ini begitu aneh. Kenapa saya sebut aneh, sebab tanpa sadar kaki ini berjalan pelan kembali ke dalam kamar dan mencari sosok Jovan yang masih tak sadar di atas ranjang. Dengan heran Evan memandang saya mungkin ia bingung apa yang tengah akan saya lakukan. Tanpa menghiraukan keberadaan Evan, saya tatap wajah Jovan dalam – dalam. Begitu haru batin ini memandang paras kekasih saya yang satu ini. begitu elok nan cantik sebagi bekal saya sebelum pulang. Dengan berucap bismilahiroqmaniroqim, saya kecup kening itu untuk terakir kalinya. Begitu dalam kecupan itu saya sematkan untuk dia hingga tanpa terasa mata saya menguap di sela kelopak yang tengah tertutup ini. mungkin rasa sayang begitu sangat pada Jovan teramat besar untuk saya pikulsendiri. Hingga akirnya saya sadar, saya hilangkan air mata yang sempat menetes dengan sekali usap. Dan kembali menatap Jovan dengan tegar, saya sampaikan padanya untuk kesekian kalinya bahwa saya akan pulang.

Usai berpamitan dengan Jovan, benar saya pergi dari rumah sakit dengan perasaan enteng tanpa ada beban. Meski semua ini terasa tak masuk akal dan terdengar kayal, namun demi tuhan kini perasaan saya jauh lebih lega untuk meninggalkan Jovan jauh ke rumah. Dengan hati yang tarasa enteng ini, maka lekas saya naiki kendaraan dan segera bergegas ke Tulungagung. Selama di perjalanan, saya tak merasakan ada firasat apapun tentang Jovan. Entah mengapa saya justru berfikir Jovan saat ini sedang baik – baik saja. seolah ada yang tengah mengelabuhi pikiran saya untuk lepas dari rasa kawatir terhadap Jovan. Sungguh semua ini terdengar aneh dan sangat membingungkan. Hingga akirnya tanpa terasa saya sudah sampai di rumah dalam tiga jam cepatnya, segera saya menemui bunda tercinta untuk bersalaman padanya sebab sudah lama diri ini tak pulang dan segera ingin berbagi rindu bersama keluarga.

“Asalamualaikum bun . . .” sapaku pada bunda sambil mengecup tangan kanannya.

“walaikumsalam nak . . . loh anak bunda pulang . . . sini duduk dulu” seru bunda mengistirahatkanku.

“ayah masih ngantor bun ?? mbak mana ??” cariku pada anggota keluargaku ini.

“ya seperti biasa to Kha ayahmu masih kerja, mbakmu juga” tutur bunda padaku yang seolah tak pulang puluhan tahun ini.

“jadi cuma ada bunda di rumah sama mbak salon di depan ??”

“iya, da apa sih kaya nyariin ayah sama mbakmu abis pulang gini, tumben ??” tanya bunda heran sambil menyiapkan makan untuk saya.

“ya ga papa sih bun, cuma pengen ngumpul aja, huffff” keluhku dengan nafas panjang.

“oiaya Kha, gimana kabar Jovan ?? ada perkembangan ??” kini bunda mulai duduk di sebelahku.

Sesaat mendengar nama Jovan, saya kembali teringat tentang keadaannya yang kini tak kunjung membaik. Hanya bisa terdiam mengacuhkan pertanyaan bunda, saya mengalihkan pandangan pertanda saya sedang tak ingin membahasnya sebab rasa kawatir itu kini mulai bermunculan.

“kok diem nak ?? apa Jovan keadaannya tambah buruk ?? hm . . . . ??”

“ . . . . . .” saya masih diam tak menjawab pertanyaan bunda.

“yaudah gausah jawab juga gak papa, bunda tau kok dari ekspresi kamu. Pokok terus support Jovan dan sayangin dia seperti dia sayang sama kamu”

“nda, aku tanya sesuatu . . .”

“ya , apa nak ??”

“bunda beneran sayang sama Jovan gak saat ini ??”

“kok kamu tanya gitu Kha ??”

“ya tanya aja bun, aku cuma pengen kejelasan aja”

“awalnya bunda agak ragu sama Jovan. Cuman setelah dapet kabar tentang Jovan anaknya gimana, akirnya bunda berfikir untuk bner2 merestui hubungan kamu sama dia. Mulai dari kamu liburan di Lombok itu, pastinya kamu bisa mikir kan. Mana mungkin bunda bakal nglepas kamu liburan ke sana jauhnya sama cewek. Kalo bukan karena restu dan bunda percaya sama kamu, kamu pasti udah gak bunda bolehin ke sana”

“bentar bentar bun, tadi bunda bilang dengar kabar tentang Jovan itu dari siapa ??” tanyaku heran keluar dari pembicaraanku sendiri.

“dari Nabila Kha, dia gak ngabarin kamu ??”

Jelas mata saya melotot di depan bunda serasa tak percaya. Baiamana mungkin Nabila yang sedang jauh di Austria sana tiba – tiba bermain kontak dengan bunda. Saya saja yang sahabatnya kini sudah los kontak dengan Nabila, kenapa malah bunda. Belum habis saya berfikir, saya coba kejar itu pembicaraan dari bunda.

“dia itu udah di luar negri bun satu setengah tahun yang lalu, mana mungkin dia kontak sama bunda ?? orang sama aku aja gak pernah kok !?” eyelku tak percaya pada penuturan bunda.

“iya bunda tau, dia di Austria kan. Masa dia ga ngabarin kamu Kha ??”

“enggak bun, halah bunda ngarang !!”

“ini Kha nomernya Bila di luar negri, liat . . . . ” sambil menunjukkan hape berisi nomer asing yang tersave dengan nama Nabila.

Saya hanya bisa bengong melihat kenyataan ini. bagaimana bisa dia los kontak dengan saya tapi ternyata di belakang malah berselingkuh dengan bunda. Sebenarnya saya tak terima dengan ini, namun mau bagaimana lagi orang yang ada di depan saya ini adalah bunda, jelas tak mungkin saya mau ngomel tak jelas memarahi beliau. Dan andai saja jika saat itu saya memiliki nomer Nabila yang masih aktif, pastilah sudah saya habisi dia lewat telfon. Untuk saat ini, selamatlah engkau wahai sahabat lamaku.

“katanya sih dia mau pulang bulan ini tapi belum pasti. Soalnya dia mau jenguk Jovanda juga katanya. Pokok kalo udah di Malang dia pasti nyariin kamu Kha”

Apa – apaan sekarang ?? lama dia meninggalkan saya bersama segala penderitaan yang harus saya emban sendiri, sekarang dia berpesan pada bunda bahwa ia ingin menjenguk Jovan serta mencari saya. What The F*king Hell, dengan ini, saya hanya bisa merebah dada menahan perasaan yang campur aduk tak karuan. Hanya bisa terdiam menahan semuanya, lantas segera saya lahap itu nasi yang sedari tadi sudah bunda suapkan untuk saya.

Ini adalah hari esok dimana saya sudah berada di rumah selama satu hari. Lebih tepatnya ini minggu, hari dimana biasa di gunakan untuk berlibur para pegawa negri seperti ayah serta kakak saya. Tanpa ada firasat apapun, hati hari ini terasa senang bisa berkumpul dengan keluarga dalam acara renang bersama yang kami lakukan di sekitar kota Tulungagung. Berbagai bekal telah kami siapkan sebagai penghias liburan kecil di hari minggu pagi ini. Sungguh ayah adalah bapak yang berbakat dalam membuat acara liburan seperti ini menjadi lebihi hidup dan dapat mendongkrak semangat hidup saya.

Meski merasa senang bisa berkumpul dengan keluarga di acara berenang saat itu, namun saya entah mengapa saya masih enggan untuk masuk ke dalam kolam. Sebab saya lebih senang dengan melihat eksprsi ayah bunda serta kakak yang bisa membuat saya sesekali tertawa cekikikan atas kelakuan mereka sebagai penghibur hati. Beda dengan kondisi di Malang yang saya rasakan, setiap harinya saya harus bertemu dengan wajah – wajah lesu yang terhimpit oleh skripsi serta kondisi rumah sakit dimana Jovan berada. Serasa senyum ini hampir hilang di ambil oleh tuhan sebab stress itu ternyata tanpa sadar perlahan telah mengambil tawa di hidup ini.

Merasa tenang melihat kelakuan keluarga di tepi kolam, tiba – tiba saja hati saya terasa sakit begitu dalam dan membuat saya sesak nafas. Demi tuhan bulu kuduk ini sempat merinding merasakan kejadian ini. Entah seperti ada sesuatu yang menikam perasaan saya begitu sakitnya hingga air mata ini mengembun lirih di bawah kelopak mata. Apa gerangan yang tengah saya rasakan, saya tak tau. Dengan masih memegang dimana dada ini menahan rasa sakit, saya mencoba mengatur nafas dan mengambil beberapa kesadaran. Lambat laun perasaan saya semakin tak enak merasakan semua ini. Hanya bisa mendongak ke atas langit memandang awan putih yang berkumpul mengembun menjadi mendung, saya mencoba mengartikan tentang kejadian yang baru saya alami dan hanya saya yang tau tanpa terkecuali.

Tak lama hape ini berbunyi dengan kerasnya menyadarkan saya dari rasa sakit yang sempat menyiksa sesaat. Dengan melirik siapa yang menelfon saat itu, terlihat nama Fany kini tengah menelfon saya dengan gencarnya berdering lawat hape di genggaman tangan saya.

“hallo Fan, ada apa ??” sapaku langsung pada Fany.

“ . . . . . . . . . . . . . . . “ tardengar sunyi tak ada jawaban.

“hallo ?? Fan, lo masih di situ kan ??” tebakku penasaran.

“ . . . . . . . . . . . . . . .” saya mulai mendengar suara Fany sesenggukan di balik telfon.

“lo nangis Fan ?? hallo . . . ngomong dong Fan gw bingung lo telfon kaya gini ada apa ??”

“Jovan Kha . . . !!”

Sesaat mendengar nama Jovan, jantung saya berhenti sejenak. Dengan ekspresi Fany yang terlebih lagi di iringi dengan tangis, membuat pikiran saya membayangkan hal tak karuan. Meski tau kabar apa yang akan saya dapat sewaktu – waktu, namun saya berpura – pura bodoh tak percaya atas apa yang akan Fany sampaikan setelah ini.

“kenapa Jovan, masih baik – baik aja kan ?? ada perubahan sama dia ?? lo baru jenguk di rumah sakit Fan ??” tanyaku meracau tak karuan menahan rasa tangis berpura – pura bodoh.

“cepet balik ke malang sekarang Kha !!” pinta Fany memelas berisak tangis menahan pilu.

“kenapa gw mesti ke Malang sekarang ??” bergetar sudah jiwa ini menahan tangis yang sedari tadi saya sembunyikan.

“JOVANDA UDAH GA ADA KHA !!!!!!!!!!” teriak Fany menjerit tangis bersimbah air mata.

Hanya bisa bersandar pada dinding dimana tempat yang bisa saya jadikan sandaran, kini tiba juga saat saya untuk mengiklaskan kepergian Jovanda. saat itu saya lantas tak langsung menangis menerima kenyataan semacam ini dari Fany. Justru saya tersenyum manis mengingat apa yang selama ini pernah saya lalui dengan Jovan. Semua begitu manis dan indah, hingga tanpa terasa saya meneteskan air mata ketika mengingat Jovan sudah tiada. Ya, saya menangis sebisa mungkin melampiaskan rasa sakit ini.

“loh Kha kamu kenapa kok nangis nak ??” sapa bunda menyanding di sebelahku.

“Jovan udah gak ada bun . .” jawabku berisak tangis memeluk bunda.

“inalilahi wainailaihirojuin . . . .” ucap bunda lirih menguatkanku.

Seketika saya bergegas menuju Malang pada saat itu juga usai berpamitan. Dengan perasaan amat terpaksa meninggalkan moment penting ini demi menyempatkan diri untuk hadir dalam pemakaman kekasih semata wayang saya. Karena kondisi langit pada saat itu sedang tak bersahabat, maka saya pun di sarankan oleh ayah untuk membawa mobil agar lebih aman di jalan. Berharap pikiran ini akan tenang tak bergejolak selama perjalanan saya terus membaca doa yang mungkin sekiranya dapat menenangkan hati.

Mulai berangkat dari Tulungagung sendiri, saya masih merasa tenang dan baik – baik saja masih fokus dengan perjalanan ini. namun semakin dekat jarak saya menuju kota Malang, pikiran ini mulai rancu tak karuan, bayangan tentang Jovan mulai membayangi saya bahwa ini rasanya seperti mimpi bukan kenyataan sebelum mata kepala saya melihat sendiri bahwa Jovan telah tiada. Sesampai di Malang, dengan bodohnya tempat yang saya tuju pertama adalah rumah sakit tempat Jovan di rawat. Bukannya saya tak percaya dengan apa yang di katakan oleh Fany, sebab secara tidak sadar saya ingin memastikan mungkin Jovan saat ini masih berbaring di atas tempat tidurnya menunggu kepulangan saya. Namun ketika melihat kamar Jovan, benar adanya ia tak ada di sana beserta keluarga. Bahkan barang yang berhubungan dengan Jovan pun tak ada. Menyadari hal ini, saya mulai menerima apa yang Fany katakan. Dan sekarang, dengan perasaan tak karuan saya berangkat ke kediaman Jovanda.

Semakin dekat saya sampai pada rumah Jovanda, seolah diri ini tak percaya bahwa kekasih semata wayang yang selama ini saya cintai kini telah tiada. Hati selalu berucap bahwa ini hanya kebohongan belaka. Hal yang saya yakini saat itu adalah, sebelum mata ini melihat Jovan di selimuti dengan kain kafan, saya menganggap bahwa Jovan masih hidup untuk bertahan demi saya. Namun kayalan itu sirna seketika, saat kudapati . .

JASAD JOVAN TELAH BERSELIMUT KAIN KAFAN . .

Terdengar isak tangis di mana – mana, jeritan histeris dari keluarga terdengar jelas bergema di telinga ini. bagaimana semua orang menangisi Jovan begitu terdengar pilu menyiksa hati. Saya yang masih berdiri jauh dengan tegar memandang jasad Jovan untuk kesekian kalinya. Banyaknya peziarah yang berdatangan saat itu, membuat keberadaan diri ini tak di sadari oleh semua orang, hingga akirnya ibu Jovan yang melihat saya berdiri jauh memandang pun berlari menghampiri saya seraya memeluk dengan penuh isak tangis.

“Jovan udah ga ada Kha . . .” tangis ibu Jovan memelukku seraya melepas rasa sakit di hatinya.

“iya tante, yang sabar ya. Jovan pasti tenang di sana” dengan tegarnya saya berucap sewajar mungkin masih menahan parasaan untuk tak menangis di depan Jasad Jovan meski hati menjerit sekeras mungkin untuk menumpahkan segalanya yang telah terbendung di mata ini.

“kamu juga Rak, nanti ikut ke pemakaman Jovan ya” masih berisak tangis di pelukan saya, bunda Jovan berpesan.

Selama di sana, pikiran saya masih stabil. Dengan kuatnya air mata ini tak tumpah setetespun. Ramainya orang yang berziarah ke rumah Jovan membuat saya sesekali teralihkan dari Jasad Jovan yang tertutp kain kafan tepat di depan saya. Usai Sholat jenazah bersama dan mendoakannya, kini tiba saat untuk melepas sang ke kasih kembali ke sang pencipta. Sebagai kekasih yang masih menunjukkan kasih sayangnya, saya gotong itu Jasad Jovan hingga sampai di tanah pemakaman bersama penglayat yang lain

Langit sore itu mendung, namun tak turun hujan hingga acara pengebumian Jovan usai. Secara satu persatu para penglayat mulai berhamburan pulang. Masih saja terdengar isak tangis di telinga ini yang seolah mengajajak saya untuk ikut meneteskan air mata menangisi sang kekasih. Saya masih berdiri memandang gundukan tanah di depan mata ini meyakini bahwa ini adalah makam Jovan. Hingga tanpa terasa, saya adalah penglayat terakir yang berada di area pemakaman. Meski saya tau hari mulai sore, namun entah mengapa diri ini tak mau beranjak pulang meninggalkan makam Jovan. Dengan Fany dan Stevy yang ternyata menunggu di belakang saya, diri ini hampir tak menyadarinya. Mungkin fikiran saya terlalu fokus dengan apa yang tengah saya lihat saat ini.

Dan perasaan itu, tiba – tiba muncul . . .

Mata ini mulai mengembun lirih membasahi kelopak mata. Dengan segenap hati, saya tahan mata ini untuk tidak menetes di depan makam Jovan. Sebab saya tau bahwa menangis adalah hal yang paling di haramkan dari Jovan untuk saya. Namun apa daya, secara perlahan memori tentang Jovan terkelupas habis di benak saya dan kini tumpah sudah air mata saya jatuh tepat di depan makam Jovan. Tak sanggup untuk berdiri, kaki ini memaksa untuk berlutut di hadapan makam sang pacar. Saya tau ini adalah hal yang paling di benci dari Jovan, tapi setidaknya ia tau, bahwa saya saat ini benar – benar kehilangan dia. Dengan teganya tuhan merenggut pacar semata wayang dari tangan saya. Tak pernah letih hati ini untuk tetap mencintai Jovan sampai akir tapi nyatanya tetap saja, saya kehilangannya. Dan untuk terakir kalinya, saya akan berucap salam kepada sang kekasih meski saya tau tak akan mendengar suara manis itu lagi.

“sayang, maaf kalo di saat kritis kemarin aku gak ada di samping kamu. Pasti sakit ketika maut harus menjemputmu. Dan saat itu setidaknya kamu gak bisa megang tanganku untuk ngurangin rasa sakitnya, maaf . .”

“sayang, maaf untuk kesekian kalinya aku nangis lagi. Bahkan di depan makam kamu, aku tau kamu benci ini, tapi aku janji, ini air mata terakirku untuk kamu. Aku janji . .”

“sayang, apa kamu masih inget punya banyak kenangan sama aku ?? waktu kamu bilang kamu ingin segera bersanding sama aku. Aku masih inget itu yank, aku inget . .”

“tapi sekarang apa ?? tuhan ngambil kamu dari aku yank, aku gak tau harus gimana lagi. Duniaku gelap saat ini. duniaku gelap . .”

“dan sampai detik ini kamu udah berada di sisi tuhan, aku cuma bisa berharap surga adalah tempat terindah untuk gadis sebaik kamu. Dengan ini, aku akan tetap sayang sama kamu sampai kapanpun. Entah kapan rasa sayang itu bakal menepi buat kamu, yang jelas sulit buatku untuk nglupain semua tentang kita. Baik – baik kamu di sana, aku akan selalu doain kamu dari sini. Tunggu aku sampai berada di sisi kamu lagi . . “

“tunggu aku . . .”

Perlahan pundak ini di angkat oleh Fany, secara batin ia ingin memberikan support kepada saya yang kini benar2 rapuh atas kepergian Jovan. Tangan ini di genggam erat oleh kedua tangan sahabat saya, di bawanya jauh meninggalkan tempat peristirahatan Jovan yang terakir. Dan selamat tinggal Jovanda, pacarmu yang rapuh ini akan selalu sayang sama kamu sapai kapanpun.

Sampai kapanpun . . .

Dear Alm.Jovanda
enak nya sih sambil dengerin lagunya westlife yg judulnya leaving
untukmu yang jauh di sana

entah kenapa rindu ini semakin menggebu
setiap ku ingat indah senyum mu
senyum mu yang dulu selalu ada untuku
disaat kita bersama melewati waktu

ku tahu kini kau ada di sana
dibalik rembulan yang kini tak bisa ku gapai
namun sinarmu selalu ada untuku
menemani malamku yang semu

tak ada alasan ku untuk melupakan kengangan ini
kenangan yg terlalu dalam bersemayam dalam hati

sayang apakah kau ingat saat kita bersama
saat kita merajut semua asa
asa yang kini tiada artinya
karena kau kini telah tiada

hari berganti hari kau selalu menemani
memeluku dalam kegundahan rasa ini
tapi kini kau tak pernah ada lagi
menemani jiwa ku yang sepi
walau berat ku coba ikhlaskan kau pergi

terbanglah kau kesana, tuhan pasti telah menunggumu dengan senyum
tak perlu kau pikirkan ku disini,,
ku tak akan pernah melupakan mu
karena rindu ini hanya untukmu

 

jangan lupa sambil lagu Leaving nya westlife
Puisi ini ane persembahkan untuk agan rakha dan alm.Jovanda
biar tambah semangat buat lanjutin chap selanjutnya

terperangkap dalam rindu
saat bayangmu menyelinap dalam kalbu
bayangan indah saat masih bersamamu
bersama melawati masa lalu

masa dimana penuh canda tawa
melewati indahnya kepingan cinta
kepingan yang kita susun bersama

kini ragamu tak dapat ku sentuh
namun rindu ini kan selalu utuh
takan goyah walau langit kan runtuh
takan hilang meski terbalut peluh

kau tahu kenangan di pantai itu
saat kita melewati sunset bersama
kenangan itu takan pernah kulupa
walau itu membuatku sangat terluka

hati ini terkoyak
rindu ini melekat
inginku menemanimu kesana
ketempat dimana tak ada lagi kesedihan
ketempat dimana tak ada lagi tangisan

tak terasa air mata ini menetes
mengalir deras tak tertahan
mengingatmu yang pernah mengajarkanku
arti dari sebuah kesetiaan
arti dari sebuah kesabaran
arti dari sebuah harapan
dan arti dari sebuah perpisaan

Tuhan jagalah dia untuku
bersama malaikat penjaga surgamu

for Alm,Jovanda (End)

 

Created BY : rakhaprilio KASKUS


Kembali ke Index

⇒ Part 105 >