Cerita Cinta – Chapter 169. Mencoba Untuk Iklas

Chapter 169. Mencoba Untuk Iklas

Apakah aku tengah bermimpi. Melihat keadaan ini begitu kacau tak terkendali. Masih memelukku Nabila beradu dengan tangisnya. Sang ibu yang kini berdiri tepat di belakang saya dan Nabila hanya bisa berusaha semampunya untuk meluluhkan hati sang suami yang masih sekeras baja. Sedangkan om Indra, masih dengan parasnya yang tegar seolah tak perduli lagi dengan Nabila, mengambil sebuah keputusan yang di mana keputusan itu membuat saya di lema. Tak mungkin saya tega melihat gadis yang saya cintai ini harus terusir dari istananya sendiri. Namun jika Nabila menerima permintaan sang ayah, jelas sampai mati ia tak akan pernah bahagia dengan lelaki pilihan orang tuanya. Lantas apa yang harus saya lakukan kali ini. saya tak tau, saya kehilangan arah . . .

“kamu gak usah bingung Bil . . papah bisa kasih kamu waktu untuk bicarain ini sama Rakha”

“papah kira ini pilihan macem apa !!!??” bentak tante Alif tak trima.

“jika mamah masih bersikeras bantu Nabila, papah akan tarik semua fasilitas yang udah papah beri ke mamah”

“ambil aja pah . . !! ambil aja semua harta yang papah miliki dari mamah !!! mamah udah gak butuh itu lagi !!!”

“jadi mamah lebih memilih pergi dari rumah ini ??”

“iya !! lebih baik mamah tinggal di desa sama orang tua dalam kecukupan. Gak seperti hidup di rumah ini dengan segala kemewahannya tapi penuh dengan masalah !!”

“baik . . silahkan . .”

“tante jangan gegabah, semua masih bisa di rundingkan . .” tenangku pada tante Alif yang kacau sakau.

“rundingan sama orang kaya gini cuma makan ati aja Kha !!” amarah tante Alif masih di ubun – ubun.

“iya tapi kita masih belum ambil keputusannya sama Nabila kan . . kasian Nabila kalo tante gegabah gini dia malah makin banyak beban. Karena dia sendiri juga gak mau ngliat tante ikut jadi korbannya”

Sejanak saya berbicara dengan tante Alif, kudapati om Indra pergi meninggalkan kami begitu saja di ruang tengah dengan segala pilihan yang tak ada baiknya ini. Kupandang Nabilaku sudah lemah tak berdaya layaknya orang selepas kesurupan. Bola mata itu tak lagi bisa menahan beratnya pilihan hingga Nabila di buatnya shock. Merasa malam ini tidak akan menemukan sebuah jawaban, kuputuskan untuk pulang ke Jakarta di mana pastinya tante Asri sudah menunggu di rumah.

“tante, saya izin pulang dulu . .” pamitku pada tante Alif di depan pintu.

“apa kamu gak tidur sini aja dulu ??” pinta tante Alif masih terasa gelisah.

“enggak tante, saya takut mobilnya mau di pakek tante Alif besok soalnya”

“masalah mobil bisa di anterin sama Joko Kha”

“wah enggak deh tante, salah – salah mobil saya bisa di masukin jurang sama dia”

“apa ???”

“ahahaha . . enggak tante, saya pulang dulu aja. Saya tunggu kabar keputusannya gimana. Tolong kasih tau saya kalo Nabila udah sadar nanti. Kasian dia masih shock di dalem kecapean nangis terus”

“tapi kalo misal kamu besok di suruh ke Bandung bisa kan ???”

“insyaAllah tante, saya usahakan selama tidak ada halangan”

“yaudah ati – ati ya di jalan Kha . .”

“iya tante . . Asalamualaikum”

“ . . . .” hening.

“kok tante diem ??”

“ng . . katanya kamu mau pulang ??”

“mana saya bisa pulang ??”

“lah kenapa ?? kan kamu udah pamitan ??”

“salam saya belum di jawab sama tante, jadi saya ndak bisa pulang”

“oh iya . . walaikumsalam Kha . . maaf, maaf tante banyak pikiran”

“sampe segitunya tante ini . . duluan ya tante”

“iya . . . tiati di jalan”

Kutinggalkan istana itu bersama sang putri yang masih larut dalam keterpurukannya. Kulangkahkan kaki hingga perlahan roda mobil membawaku pergi kian kencang melesat jauh membelah jalanan tanpa Nabila di sampingku. Dan apa yang menjadi keputusannya esok hari, saya akan trima itu semua jika harus Nabila yang memilih. Hingga pukul dua pagi sekiranya saya benar – benar sampai di rumah tante Asri. Rasa lelah yang teramat sangat itu sungguh membuat tubuh ini ingin tumbang di dalam mobil saja. Dengan mengambil sedikit kesadaran, kulangkahkan kaki ini berat menuju ruang tamu di mana TV masih menyala tapi tak ada pemirsanya.

“loh, udah pulang Kha . .”

“tante kok belom tidur jam segini, tante baru dari mana ??”

“dari kamar mandi, . . tante kira kamu tidur di rumah Nabila Kha . .”

“saya ogah tidur satu rumah sama malaikat Izrail tante . .”

“siapa lagi yang kamu maksud malaikat Izrail Kha . . trus keputusannya gimana ?? papah sama mamahnya Nabila bilang apa ke kamu ??”

“kalo mamahnya Bila sih udah mau support saya, tapi papahnya itu yang berat . . Nabila di kasih dua pilihan tante”

“Alif suport kamu ?? masa ???”

“iya . . besok katanya saya di suruh ke sana lagi buat dengerin keputusannya”

“kamu apain dia sampe bisa support kamu gitu. Emang di kasih pilihan apa kok sampe di ulur besok ??”

“di suruh milih kalo Bila mau nglanjutin tunangannya, saya bakal di kasih pekerjaan dan gaji tinggi di perusahaan. Tapi kalo Bila tetep milih saya, dia di usir dari rumah. Lha gimana ga di tunggu sampe besok tante, orang Nabilanya udah kalap ga sadar kaya orang shock gitu”

“ya tuhan . . masa papahnya Bila setega itu ngasih pilihan ??!!”

“lah sumpah tante, tanya aja tante Alif kalo ga percaya. Anak sendiri di usir bayangin”

“kalo ngliat dia di usir dari rumah pasti kamu gak mau kan ??”

“ya iyalah . . masa terusir dari rumah sendiri . .”

“tapi kalo di posisi Nabila mungkin dia bakal ambil keputusan demi kebaikan kamu. Jadi kamu lebih baik kerja di perusahaan papahnya dia”

“gak tau lah tante . . liat besok aja . . saya udah mentok sama papahnya Bila. Atinya keras banget kaya baja”

“yaudah liat besok aja keputusan Nabila gimana. Tapi kalo di pikir – pikir ajaib juga ya kamu bisa dapetin support Alif”

“emang saya Doraemon punya alat banyak buat ngrubah segalanya, saya Nobita tante . . yang cuma punya dua tangan buat ngrubah dunianya sendiri. Tante, saya ngantuk . . dah dulu ya. Saya mau tidur dulu di kamar”

“iya . . tidur aja duluan Kha . .”

“lah tante gak tidur ????”

“masih asik sama TV, hehehe”

“emang besok ga kerja ???”

“ini kan minggu Kha . . haha”

“ah sudah lah . . lupakan tante”

Perlahan tapi pasti, sayup – saup mata ini terpejam begitu erat. Membawa rasa lelah ini kedalam alam mimpi yang sudah tak indah lagi. Hingga kejadian di rumah itu masuk dalam mimpi, berkeringat dingin saya di buatnya. Dengan sangat tidak nyaman tidurku pagi ini kulalui bersama kepala pusing teramat sangat. Batinku terasa berat ada sesuatu yang tengah menimpaku. Namun saat itu saya masih belum tau ada firasat apa. Jadi kulanjutkan saja pagi pukul enam itu dengan kegiatan menghirup udara segar di teras rumah Fani. Kulihat tante Asri masih dengan pulasnya tidur di depan TV bersama guling kesayangannya. Sungguh malang nasib ibu satu anak ini pikirku. Tiada suami, jauh dari anak. Hanya berteman dengan pembantu di rumah. Ah sudah lah . .

Masih di teras depan rumah ku pandangi hape tiada henti masih tak ada sms atau telfon dari Nabila. Ya wajar saja, ini masih pukul enam pagi. Dimana pada umumnya orang Jakarta minggu pagi itu masih tidur seperti tante Asri. Masih dalam lamunan ini tiba – tiba saja hepeku bergetar hebat memecah fikiran tentang Nabila. Kulihat itu ternyata telfon dari bunda yang tiada saya kira. Dengan sedikit berat suara, saya bersapa jawab dengan bunda via telfon.

“iya halo bun . . ada apa” tanyaku pada bunda.

“ . . . .” tak ada jawban.

“hallo . . bunda ?? bunda masih di situ kan ??” tanyaku kembali memastikan.

“ . . . .” terdengar isak tangis di seberang sana.

“bunda nangis ?? hallo . . . bun, bunda ??”

“nenek Kha . .”

“kenapa nenek ??”

“nenek meninggal dunia” tukas bunda menangis mengiris batin ini.

“inalilahiwainailaihirojiun . . .”

“kamu pulang sekarang ya Kha . .”

“ke Tulungagung bun ???”

“iya . . semua keluarga sudah kumpul”

“ah . . . I . . . I . . . iya bun, aku usahain”

Bingung, sedih, kalut, pusing, resah, gelisah semua menjadi satu tak menentu rasanya seperti apa. Di sisi fikiran yang masih menunggu jawab dari Nabila, satu masalah tiba. Ya, nenek satu – satunya yang masih saya miliki kini telah tiada. Sedih sungguh hati ini jika mengingat saat ini saya sudah tak punya nenek lagi. Ingin berangkat pulang ke Tulungagung, tapi urusan dengan Nabila belum usai. Padahal tinggal sedikit lagi saya akan tau jawabnya. Tapi kenapa harus sekarang musibah ini secara satu persatu menimpa saya tiada henti. Tetap berfikir bahwa ini adalah yang terbaik dari Allah untuk saya, dengan iklas saya menjalaninya tanpa mengeluh pada siapapun. Dan dengan perasaan sedih, maka kubangunkan tante Asri mengenai agenda kepulanganku hari ini yang secara mendadak.

“tante . .” bangunku pada tante Asri.

“hm . . .” respon tante Asri menahan matanya.

“saya mau bilang sesuatu . .”

“ng . . iya . . apa” jawabnya dengan suara serak – serak basah.

“saya mau pulang hari ini tante”

“lah !! kenapa . . ???” melek tante Asri karenaku.

“itu . . . nenek di Tulungagung meninggal. Bunda minta saya untuk pulang hari ini”

“lha urusan kamu sama Bila gimana ???”

“ya gak tau tante, mungkin saya bakal denger jawaban itu dari tulungagung saja”

“apa baiknya gak kamu tunggu jawaban dari Nabila dulu kaya gimana ???”

“kalo kesiangan saya takut ga bisa ikut acara pemakaman nenek sore hari”

“oh gitu ya . . berati mesti beli tiket pesawat dong hari ini”

“iya tante, naek pesawat. Ga sempet kalo naek kreta. Keburu masuk liang lahat nenek saya nanti”

“oke . . oke kamu tenang dulu jangan panik !!”

“tante . . saya itu udah tenang dari tadi. Tante tuh yang kaya orang kebakaran jenggot”

“duh, kamu ngomongnya dadakan sih Kha . .”

“tante, emang ada orang meninggal ngasih taunya gak dadakan ?? mau kita lagi boker atau jemur pakaian di lante 7 kalo ada kabar orang meninggal ya udah trima aja”

“iya . . iya . . tante siap – siap dulu kalo gitu. Kamu mandi aja di atas biar cepet”

“iya tante . . awas kepleset loh. Ga usah buru – buru”

Dalam persiapanku menuju Bandara, kucoba telfon Nabila namun tak ada respon. Berkali – kali saya coba semuanya tetap saja nihil tak ada jawaban. Merasa putus asa dengan ini, maka saya hanya bisa berpesan untuk Nabila di rumah bahwasanya hari ini saya akan berangkat pulang ke Tulungagung karena berita duka.

“Bila, aku pamit pulang hari ini . maaf kalo dadakan. Di rumah lagi ada berita duka meninggalnya nenek. Maaf aku gak bisa nunnggu jawaban kamu lebih lama lagi. Berkali – kali aku telfon kamu tapi gak ada jawaban. Entah kamu sedang sibuk apa di rumah, aku cuma bisa berharap kamu akan ambil keputusan yang tepat. Semuanya aku pasrahkan di kamu. Jika kita harus berpisah dengan cara seperti ini aku sudah iklas. Aku iklaskan kamu demi kebahagiaan yang lain. Karena aku udah perjuangin kamu sampai pada batasku, aku hanya bisa menunggu jawaban dari kamu. Baik – baik kamu di rumah, aku brangkat pagi ini”

Dengan pemberangkatan kurang lebih pukul Sembilan pagi, diri ini sudah bersiap dengan segala barang bawaan yang akan saya usung ke Tulungagung. Bersama tante Asri, kulangkahkan kaki ini berat meninggalkan Jakarta bersama orang yang saya sayangi. Kadang saya berfikir, jika harus dengan cara seperti ini tuhan memisahkan saya dan Nabila, saya bisa apa. Saya hanya manusia biasa yang berusaha semampunya. Berusaha sekuat apapun jika takdirnya harus berpisah dengan Nabila maka ini pula hal yang harus saya relakan nantinya.

Sesampai di bandara, kudapati pembarangkatanku masih tersisa enam puluh menit lagi. Ya, rasanya waktu yang cukup lama untuk sekiranya bisa berucap terima kasih pada tante Asri karena sudah mau me bantu saya sejauh ini meski hasilnya belum di ketahui.

“tante, makasih selama di Jakarta udah kasih tumpangan untuk saya walaupun udah gak ada Fany” tukasku pada tante Asri di ruang tunggu.

“iya sama – sama Kha. Tante udah anggep kamu kaya anak tante sendiri kok. Jangan kapok ya main di Jakarta”

“kalo ada waktu, pasti saya main ke sini tante. Ntar acara nikahan Fany saya pasti dateng kok”

“iya tunggu aja undangannya moga cepet jadi. Lha trus nasib kamu sama Nabila gimana ???”

“gak tau lah tante, urusannya belom kelar saya sudah harus balik gini ke Tulungagung”

“yaudah kontak aja di Tulungagung tar gimana jawabannya. Tapi kalo missal Bila harus keluar dari rumah tar dia mau tinggal dimana ya Kha ??”

“ya gak tau tante, yang jelas gak di bandung atau Jakarta lagi. Pusing lah mikirinnya . .”

“sabar ya Kha . . kamu pasti dapet keputusan yang terbaik kok”

“amin . . semoga aja tante”

Dalam kegelisahan tak menentu ini, waktu kian berpacu akan segera habis membawaku pergi ke dalam lobi pesawat. Karena merasa tak ada pesan dari Nabila, maka kumatikan saja hapeku demi keamanan saat mengudara. Namun sesaat usai saya mematikan hape, tiba – tiba saja tante Asri menerima telfon yang ternyata dari ibunda Nabila dengan percakapan kurang lebih sebagai berikut.

“Ass, kamu di mana ??”

“aku di bandara nganterin temennya anakku”

“Rakha masih sama kamu ?? masih di bandara ??”

“iya masih di bandara, tapi bentar lagi dia mau masuk lobi Lif”

“hapenya kok ga aktif sih”

“barusan di matiin, kan mau masuk lobi”

“suruh tunggu sebentar Ass, aku otw ini”

“lah kmau di mana emang Lif???”

“aku di jalan, lima belas menit lagi sampai kok. Tahan Rakha jangan sampai berangkat dulu, kalo perlu cancel penerbangannya”

“mana mungkin Lif, dia ada urusan di Tulungagung neneknya . . .”

“tut . . tut . . tut . .”

Melihat tante Asri usai bertelfon dengan tante Alif, maka saya sedikit mendapat titik cerah mungkin sehabis ini akan kah ada jawabnya dari pilihan kemarin hari. Dengan penasaran saya tanya itu tante Asri apa yang barusan mereka bicarakan.

“siapa tante ?? tante Alif ya ???”

“iya mamahnya Bila . . mau ke sini Kha katanya”

“hah ?? mau ngapain ??”

“ya ndak tau . . orang di suruh nunggu kok. Minta penerbangannya di cancel, masa tante mau bilang pemakaman nenek kamu di cancel juga ??”

“buseeet . . yang boneng aja tante ?? ini urusan orang mati nih. Wah kacau itu maknya Bila”

“maka dari itu, ya gitulah si Alif . . sifat kerasnya gak pernah berubah”

“lha Nabila ikut juga ndak katanya ??”

“wah gak tau Kha, tante gak tanya tadi . .”

“oh . . yaudah lah. Mungkin saya udah tau pilihan Bila apa . .”

Kutunggu dengan harap cemas kabar apa yang ingin di sampaikan tante Alif. Masih dalam ketidak pastian ini, saya menghabiskan sisa waktu yang sudah tak panjang bersama gelisah di hati. Jauh sebelum tante Alif datang, saya sudah mempersiapkan diri, jika Nabila memang bukan jodohku maka dengan ini saya hanya bisa iklas. Yang penting saya sudah berusaha semampu mungkin. Dan akir dari penantian itu pun terjawab. Kulihat tante Alif berlari menuju arah saya dan Tante Asri berada. Namun na’as, kudapati Nabilaku tengah tak bersama sang bunda. Maka dengan ini saya sudah tau seperti apa pilihan Nabila saat itu . . .

 

Created BY : rakhaprilio KASKUS