Cerita Cinta – Chapter 168. Menapak Di Atas Bara Api

Chapter 168. Menapak Di Atas Bara Api

“sama kamu, . . tante pasrahkan harapan tante yang dulu sudah hilang entah kemana. Siapapun kamu, dari keluarga macam apa, tante gak peduli lagi . . .”

“jadi tante sekarang mau untuk saya mencobanya ???”

“mungkin tante adalah orang yang cenderung berfikir dengan perasaan, dari apa yang sudah kamu bilang tadi, semua sangat penuh di batin tante. Begitu sesak untuk tante emban sendiri masalahnya. Tapi untuk kali ini semua akan berbeda dan terasa lebih sulit Kha . . ini adalah papahnya Nabila. Beliau adalah orang yang keras hatinya, susah untuk di mengertikan, berfikir selalu dengan logika tanpa memakai perasaan. Tante gak yakin kamu bisa . .”

“asal kesempatan itu ada, kita wajib mencobanya demi suatu perubaha tante . .”

Sesaat tante Alif terdiam, rupanya beliau tengah berfikir tentang apa yang akan saya hadapi nanti. Dan dengan restu dari tante Alif, di ajaklah saya masuk ke dalam rumah menembus dua tuyul beserta ruangan lain yang tidak lain tidak bukan adalah ruangan tengah di mana Nabila dan ayahnya berkumpul.

“ayo ikut tante . . .” ajak tante Alif mendahuluiku.

Sesampai di ruang tengah, kudapati suasana hening sunyi tak berbisik isak tangis sedikitpun. Di balik punggung Nabila kudapati ia tengah duduk seolah tak berdaya menghadapi ayahnya yang ternyata perawakannya jauh dari angan – angan saya. Pasalnya beliau berperawakan tegap tinggi, jauh lebih tinggi dari pada ayah saya di rumah. Dengan gaya rambut di tarik lurus ke belakang, serta tak lupa kumis dan brewok di sekitar pipi hingga dagunya membuat denyut jantung ini berhenti untuk sesaat. Dan tatap mata itu kala memandangku yang baru datang bersama tante Alif begitu membunuh karakterku. Menatapnya tajam seolah sebilah pisau kini tengah bersarang telak di jantungku. Dengan berfikir rasional, Apakah saat ini saya telah bertemu dengan malaikat kematian pikirku dalam hati. Sosok itu, begitu mengerikan hanya dengan memandang matanya saja . .

“kamu duduk di sebelah tante aja . .” bisik tante Alif berjalan lebih dulu mengambil posisi.

“i . . i . .iya tante” balas bisikku sambil berjalan gemetaran di belakang tante Alif.

Usai saya dan tante Alif duduk, semakin dekat saja diri ini dengan tatapan om Indra. Matanya begitu mengentimidasiku hingga sesak nafas saya di buatnya. Entah mengapa saya berfikir bahwa malam ini saya benar – benar bisa mati hanya dengan memperjuangkan Nabila sampai sejauh ini. Masih dengan rasa panik teramat sangat, diri ini di kagetkan dengan sebuah pertanyaan yang untungnya di tujukan bukan untuk saya.

“mamah sudah tanya dia, . . apa pilihannya ???”

“BLAAAAAAAAAAAR !!!!!” bagai tersambar petir di siang bolong diri ini mendengar sepatah kata dari om Indra.

Lama tante Alif di tanya, beliau hanya bisa diam tak berkata. Mungkin juga saya yang menyebapkan hilangnya jawaban itu entah kemana, dan sekarang tante Alif harus mempertanggungjawabkan tugas yang telah di berikan oleh om Indra tadi.

“dia pilih Nabila . .” sepatah kata tante Alif di ucapnya santai dengan tenang.

“hm . . .”

“dia gak mau uang ataupun jabatan. Papah tanya aja sendiri”

Demi tuhan, saya ingin pulang ke Tulungagung saja sebelum pertanyaan itu datang menghampiri. Namun semua itu hanya kayalan semata. Nyatanya, dengan tegas dan suara yang berat, om Indra menanyaiku beserta pertanyaan yang sama untuk tante Alif.

“kamu pilih uang dari perusahaan sejumlah Rp.xxx atau posisi di kantor om ???”

Jelas kali ini saya tak bisa menjawabnya dengan asal seperti jawaban yang sudah saya lontarkan untuk tante Alif tadi. Jika menjawabnya di luar pertanyaan, jelas saya mati di sini. Ya, saya bisa di bunuh orang ini pikirku dalam hati. Kupastikan tak ada samurai atau pistol di pinggangnya, maka kujawab dengan lemah seiring bibir ini yang masih saja gemetar menahan takut.

“sa . . saya gak pilih . . dua – duanya om”

“om sudah kasih kamu dua pilihan kenapa kamu gak mau milih salah satu”

“ka . . karena saya . . . punya pilihan . . . lain”

“kamu mau Nabila ???”

“ . . . . . .” anggukku pelan sambil menekuk wajah.

Masih dengan tatapannya yang tajam, di pandangnya diri ini seolah semut yang setiap saat bisa di injaknya jika beliau berkenan. Dengan terus menyebut lafadz “summun bukmun umyun fahum layarji’un” diri ini berharap semua akan baik – baik saja. Mengapa saya ucapkan lafadz itu kala kudapati om Indra menatapku dengan tajam, karena hanya dengan doa itu, Hati yang tertutup jauh lebih berbahaya daripada telinga yang tuli, Hati yang tertutup jauh lebih berbahaya daripada mata yang buta, Hati yang tertutup jauh lebih berbahaya daripada mulut yang bisu, Dengan hati yang bersihlah kita melihat,mendengar bahkan berkomunikasi.

Jika bisa saya jabarkan arti dari lafadz di atas adalah dengan harapan jika om Indra melihat saya, beliau akan melihat saya sebagai orang yang baik selalu di jalan Allah. Begitu pula dengan pendengarannya, maka setiap kata yang terucap dari bibir ini jadilah sejuk di hati dan telinga om Indra. Namun sejauh saya berlafadz seperti di atas kurang lebih ada jika 100x, nyatanya tetap sja, hati om INdra tidak lekas tembus hanya dengan lafadz seperti itu. Maka bisa di kategorikan jika om Indra adalah seorang sufi, maka saya tak lebih dari seorang bocah pesantren dengan bacaan Fateqah di bibirnya.

“jika om tidak memperbolehkan kamu untuk deketin Nabila lagi gimana . . .”

Sesaat saya memejamkan mata. Menata hati, menata fikir, menata jiwa ini yang sudah hancur oleh aura om Indra. Dengan terus berdoa di bawah lindungan Allah Swt, rasa tenang perlahan merasuk dalam kalbu ini. Terasa hembusan angin menyapa lembut pori – pori kulitku. Dan saat kubuka mata ini untuk kesekian kalinya, saya sudah bukan Rakha yang tadi. Saya siap menjawab pertanyaan apapun dari om Indra dengan tegas tanpa takut lagi.

“sebisa mungkin saya akan memohon pada om untuk bisa bersanding dengan Nabila”

“hm . . .”

Kembali om Indra mengintimidasiku dengan pandangannya yang mematikan, namun percuma, saat ini saya sudah jauh lebih tenang dengan mata yang telah saya jinakkan tersebut.

“kamu tau . . ada banyak peraturan di rumah ini yang sudah om tetapkan beserta konsekwensinya. Dan jika ada salah satu anggota dari keluarga om yang mencoba untuk melanggar aturan tersebut, maka ia juga harus siap dengan segala hukumannya”

“om sudah tetapkan Nabila untuk bertunangan dengan pria pilihan om kamu pasti tau. Tapi masalahnya di sini Nabila masih aja gak mau untuk nuruti kata – kata om. Padahal semua perjanjian undah di tulis di atas materai. Jika sampai acara pertunangan ini di batalkan, om tidak mau keluarga ini di anggap mempermalukan keluarga lain. Jadi om minta tolong sama kamu untuk bilang di depan Nabila bahwasanya dia harus memilih melanjutkan acara pertunangannya kembali”

“satu hal yang ingin saya tanyakan di sini sebelum berucap seperti apa yang om inginkan, apakah om sudah bertanya pada Nabila apa kah dia bahagia dengan lelaki yang sudah om pilihkan”

Dengan melempar senyum sinis, om Indra bertanya pada Nabila apakah sang putri merasa bahagia dengan pilihan sang ayah. Namun apa yang menjadi jawaban Nabila kini telah berubah, seolah saya tak mengenal sosok Nabilaku sebelumnya.

“Bila, apa kamu bersedia melanjutkan tunangan dengan pria yang udah papah pilihkan buat kamu . . ?”

Di angkat wajah Nabila yang sedari tadi tertunduk memandang tanpa bayang, menoleh ia padaku menatap dalam mata ini di iringi dengan tangisnya tanpa suara. Dan saat air mata terjatuh, bibir itu pun berucap . .

“aku nurut sama papah . . .”

Demi tuhan ini bukan Nabilaku yang saya kenal. Kemana perginya keberanian itu dari dalam dirinya. Seolah ia telah tunduk dengan kemauan sang ayah yang di luar keinginannya. Dengan tidak percayanya saya hanya bisa terbelalak memandang Nabila serta tante Alif yang menjadi bingung akan karenanya.

“kamu udah denger ?? Nabila barusan bilang apa . .” tukas om Indra semakin tak mempercayakanku.

“papah apain Nabila kok bisa berubah fikiran seperti ini ???” bingung tante Alif bergeser duduk di samping Nabila.

“mamah bisa lihat sendiri Nabila baik – baik aja kan. Dan sekarang dia bilang apa . . .”

“Bila, kamu di apain papah tadi ?? kemana jawaban kamu yang kemarin untuk milih Rakha ???” usap sang ibu di pipi Nabila.

Dengan berfikir jernih, saya tau pasti ada kesalahan di sini. Kulihat Nabilaku pandangannya kosong, tak ada bayang tentang diriku di matanya lagi. Lantas apa yang sudah di lakukan om Indra dengan segala tindakannya yang seolah bisa melakukan apa saja dengan uang. Merasa ada yang tak beres dengan Nabila, beranjak saya berdiri tepat di depan Nabila berusaha menyadarkannya. Dan sekali lagi kutanya ia dengan pertanyaan yang sama seperti pertanyaan om Indra.

“Bila, aku tanya sama kamu. Apa kamu mau nglanjutin tunangan dengan lelaki yang udah di pilihin papahmu”

Mendongak ia memandangku, matanya masih kosong tak ada bayanganku di dalamnya. Seolah ia seperti jasad hidup, maka kubentak ia dengan pertanyaan yang sama berharap ia sadar bahwa saat ini adalah saat di mana semua di pertaruhkan.

“BILA, AKU TANYA SEKALI LAGI SAMA KAMU !!!!”

“APA KAMU BERSEDIA NGLANJUTIN TUNANGAN DENGAN PRIA YANG UDAH DI PILIHIN PAPAH KAMU !!!!!!”

Dengan amat sangat lantang mulut ini berteriak sekeras mungkin di depan Nabila. Mencoba menarik kesadaran itu kembali yang tadi entah pergi kemana. Hingga perlahan mata itu akirnya berembun lirih meneteskan air matanya tepat memandang mataku di depannya. Dan kini, bayanganku sudah kembali lagi di riak mata yang dalam itu beserta air mata tumpah membasahi pipinya.

“aku takut Kha . . .” isak tangis Nabila menderu di pelukan sang ibu.

“om dengar Nabila bilang apa ??? dia takut om . . .” tegasku pada om indra tanpa takut lagi.

“sejauh apa om mengintimidasi Nabila untuk menuruti permintaan om, tapi saat batin yang berbicara, semuanya sudah gak lagi sama”

Terdiam om Indra memandangku penuh amarah. Sepertinya beliau tak trima dengan tindakan saya yang sesaat sudah menyadarkan Nabila. Maka dengan rasa amarahnya, mulailah om indra naik bersama pitamnya masih duduk manis di atas kursi sofa.

“papah rasa mamah sekarang udah gak sejalan ya sama papah, kenapa mamah jadi berpihak sama anak ini” sambil pandang om Indra padaku.

“meski suatu saat pernikahan mereka gak menghasilkan uang, setidaknya mereka masih bisa menghasilkan kebahagiaan mereka sendiri. Gak seperti keluarga kita yang terikat karena harta !!” jawab tante Alif tegas masih memeluk Nabila.

“apa mamah kira mamah gak bahagia dengan harta yang papah miliki. Selama ini mamah hidup dari harta siapa . .”

“iya pah, mamah emang hidup dari harta papah. Dan mamah akui senang dengan itu. Tapi jujur pah, kesenangan itu cuma di awal aja. Liat kluarga kita yang gak harmonis ini, semua karena kita hanya terlalu memikirkan materi !!”

“papah liat Angga sama Anggi, apa pernah papah memperhatikan mereka satu hari saja. papah dewasakan mereka dengan uang selama ini. padahal yang mereka butuhin itu kasih sayang kita pah !!”

“terlebih lagi Nabila, dia kurang nurut apa sama papah selama ini. sejak dia dari kecil papah selalu nentuin jalan hidup dia menjadi seperti yang papah inginkan. Dan untuk kali ini maaf mamah gak bisa ngikutin papah lagi. Karena mamah sadar, gak selamanya harta bisa membahagiakan mereka”

“mamah bisa ngomong seperti itu di ajarin siapa ?? apa mamah berusaha mencari celah di sini untuk ngungkit kejadian kita dulu”

“enggak pah, sama sekali enggak . . !”

“justru di sini mamah pengen papah sadar kalo jalan yang udah kita ambil selama ini salah. Mamah pengen memulainya dari awal sebagai istri dan ibu yang baik bagi keluarga. Mamah ingin berbakti sama papah layaknya istri – istri yang semestinya. Bukannya sibuk sendiri dengan urusan kantor hingga nelantarin anak juga suami”

“sejak kapan mamah punya perspektif kaya gitu. Kalo mamah ingin merubah semuanya, rasanya juga udah terlambat mah. Kontrak dengan keluarga bersangkutan sudah di tanda tangani. Mamah tau berapa kerugian perusahaan kalo kita ngebatalinnya gitu aja”

“tapi yang jadi korban itu anak kita pah !! DARAH DAGING PAPAH SENDIRI !!!”

Di tengah suasana kacau nan gaduh ini, Nabilaku terlihat sudah tak berdaya duduk di samping sang ibu. Pandangannya tak lagi fokus dengan pembicaraan yang sedari tadi tak ada henti – hentinya ini. sedangkan sang ibu yang berusaha mati – matian untuk membelaku juga tengah berjuang semampunya untuk merubah keadaan. Namun semua tak semudah ini, hati om Indra terlalu keras untuk di lumpuhkan oleh orang sepertiku.

“om, berapa kerugian perusahaan jika pertunangan Nabila di batalkan . . .” Seketika kutanya om Indra di tengah perdebatannya bersama tante Alif.

“kenapa kamu tanya seperti itu . .” bingung om indra di buatku.

“saya bakal tebus kerugian itu agar Nabila bisa di bebasin”

“hahahaha . . mau kamu bayar pakai apa ?? lulusan sarjana sosiologi muda, belum kerja pula. Mau kamu tebus pakai cinta ??” tawa om Indra meremehkanku.

Sebenarnya saya berkata seperti itu juga bingung sendiri. Mau uang segede gaban dari mana untuk melunasi kerugian perusahaan ayah Nabila. Betapa bodohnya saya kali ini berucap tanpa berfikir. Namun di sela ketidak yakinan itu hal yang selalu saya percayai adalah tuhan selalu bersama umatnya yang sedang kesusahan. Ya, hanya itu yang bisa saya percaya sejauh ini.

“saya akan cari kerja, dan mencicilnya sampai lunas om . .” tegasku pada om Indra.

Merengek Nabila menangis meraihku melepas diri dari peluk ibunya. Begitu keras jerit tangis itu sudah tak perduli lagi di hadapan sang ayah seperti apa, yang jelas saat ini ia sangat tertekan. Dengan sambil memelukku, saya masih menatap om Indra dengan tegar agar permintaan saya di kabulkan.

“liat pah . . !! apa yang udah papah lakuin sama anak kita sampai kayak gini !!!” bentak tante Alif tak kuasa melihat kelakuan anaknya terus memelukku.

“mau kamu bayar sampai mati, hutang kamu juga gak akan bakalan lunas” tukas om Indra melanjutkan pembicaraannya padaku.

“kalo saya harus mati demi kebahagiaan Nabila, silahkan ambil nyawa saya om. Tapi dengan syarat, batalin pertungan Nabila dengan lelaki pilihan om. Saya ingin Nabila yang nentuin pilihannya sendiri !” tantangku pada om Indra sudah tak pikir panjang.

“rakha . . . jangan . . . . jangan Kha !!!” isak tangis Nabila menjerit keras memelukku.

“papah jangan seperti ini terus !!! kasian anak kita pah !!!!” bentak tante Alif pada sang suami yang berhati baja.

Di tengah kekacauan yang saya buat, terdiam om Indra memikirkan perkataanku. Mungkin iya bisa jadi sehabis ini AK 47 akan di kokang tepat di depan mataku seperti yang sudah saya bayangkan sebelumnya. Dan tercerai berailah otak saya kemana – mana mengotori seisi rumah itu. Namun jauh dari dugaan saya, om Indra memberikan pilihan kepada Nabila yang rasanya masih saja membuat batin ini terasa tak tenang.

“papah kasih 2 pilihan . .”

“jika kamu milih untuk nglanjutin acara pertunangan kemarin, papah janji akan memberi Rakha pekerjaan dengan gaji tinggi di perusahaan”

“tapi jika kamu tetep milih Rakha, silahkan angkat kaki dan jangan pernah kembali lagi ke rumah”

Jika mengingat saat ini, rasanya seperti baru kemarin sore saja. Masih sakit dan memilukan untuk sekedar meyakini bahwa hal ini benar – benar terjadi saat itu . .

 

Created BY : rakhaprilio KASKUS