Cerita Cinta – Chapter 167. Harapan itu Aku

Chapter 167. Harapan itu Aku

“kenapa kamu gak tanya ini ke aku sebelumnya Kha . .”

isak tangis itu masih berdiri di belakangku tepat memandang diri ini yang bersimpuh di depan makam sang mantan. Terenyuh hatiku mendengar apa yang Nabila katakan, perlahan sendi kaki ini memaksa untuk berdiri dan menghampiri Nabila. Kini tepat di depanku dan di depan makam sang mantan, ia akan berucap tentang perasaannya.

“maaf aku terlalu takut terima kenyataan itu jika aku hanya sebagai pengganti Rangga”

“awalnya memang iya . . , aku suka kamu karena kamu mirip dengan Rangga. Tapi semakin jauh aku mengenal kamu, semuanya terasa berbeda . .”

“perbedaan apa yang kamu rasa . . hm”

“Rangga ya rangga, kamu tetep Rakha yang aku kenal dengan segala kelebihan dan kekurangan yang tak pernah di miliki Rangga sekalipun. Dan aku mulai bisa menerima itu . .”

“jadi sekarang apa . .”

“aku sayang banget sama kamu, kamu satu – satunya lelaki yang mau memperjuangin aku sampai akir seperti ini. dan aku bangga sama kamu . . aku mohon . . .”

“mohon apa . . . hm . . .”

“aku mohon jangan tinggalin aku sama seperti Rangga ninggalin aku ya Kha . . .”

Sesaat saya tersenyum melihat kelakuan polos Nabila. Kupandang dalam paras itu begitu kehilangan sosok Rangga dan untuk kesekian kalinya, ia tak ingin kehilangan orang yang di sayanginya dengan cara apapun. Dan untuk di sisi Nabila, saya pastikan . .

“aku gak akan ninggalin kamu . .”

“apapun yang terjadi . .”

“cukup sekali aku kehilangan kamu”

“dan aku harap . .”

“harapan Jovan bersemayam di dalam diri kamu”

Hari mulai semakin larut, menenggelamkan matahari bersama jawaban yang selama ini menjadi tanya di hati. Dengan lembaran dan perasaan baru, kubuka cerita ini yang masih putih bersama Nabila mengarungi kerasnya hidup.

Hingga tanpa terasa hari makin pentang menjelang, kulaju mobilku menyusuri jalanan Jakarta mencari makan di pinggir jalan. Sebab mau tak mau, hari ini juga saya akan mengantar Nabila pulang ke Bandung guna menyelesaikan masalah yang sudah di ujung tanduk. Dengan bersantap lalapan di pinggir jalan, Nabilaku tampaknya masih terasa takut dengan perjalanan pulang yang sebentar lagi akan ia hadapi.

“fikiran kamu kemana aja Bil . . fokus dulu sama makanannya ya” tegasku pada Nabila yang terasa tak enak makan.

“ng . . iya Kha”

Sampai acara makan usai, kami sudah siap untuk bergegas ke dalam mobil. Namun Nabilaku tidak, fikirnya masih tertahan di Jakarta dan enggan untuk meninggalkannya. Mungkin ia takut berpisah denganku, mungkin juga ia tak mau di pisahkan dariku.

“Kha . . .” sepatah Nabila memanggil sebelum kami menaiki mobil.

“iya . . . ada apa ???” sahutku mendekat di sampingnya.

“apa kamu gak takut . . .” tanya Nabila gelisah tanpa arah.

“takut ?? apa yang perlu aku takutin . .”

“papah gak semudah yang kita kira Kha . . mamah juga”

“gak ada hal di dunia ini yang aku takutin selain Allah. Dan selama kamu masih terus sayang di sampingku, maaf . . aku gak punya alasan untuk takut”

Dengan tetap terus menguatkannya, beranjaklah kami masuk ke dalam mobil bersama kala magrib itu di tengah macet. Perlahan perjalanan panjang ini kami mulai. Dan untuk tante Asri di rumah, sudah saya kabari terlebih dulu perihal keperluan saya di Bandung untuk memulangkan Nabila. Masalah jalanan Jakarta, rasanya kini saya tak perlu kawatir lagi. Sebab GPS yang saya percaya cukup akurat menunjukkan lokasi dimana saya berada. Terlebih lagi sudah beberapa kali saya pernah melewati jalanan Jakarata – Bandung. Maka jika kemungkinan terburuk malam ini saya tak pulang bersama Nabila, tentu tante Asri tak perlu kawatir lagi.

Perlahan tapi pasti, jalanan Jakarta magrib itu saya belah perlahan seiring macet yang tiada akir ini. Mungkin di tengah keadaan macet ini ada syukur yang terucap di batin Nabila kala mobil yang kami tumpangi secara perlahan melaju dengan kecepatan yang maha lambat. Namun waktu taak pernah mau untuk berkompromi, nyatanya pukul tujuh selepas memecah kemaceta magrib tadi, kini jalanan mulai terasa lenggang. Beranjaklah saya berpacu dengan kecepatan tinggi kala kami masuk tol bersama detak jantung Nabila yang terdengar berdegup kencang. Hingga tanpa terasa pukul Sembilan malamm, kami sampai. Ya, kami sampai tepat di depan rumah Nabila dengan gerbang rumah yang menjulang tinggi telah menyambut kedatangan kami. Tak berhenti sampai di situ, diri ini rupanya telah di sambut oleh Joko beserta satu ajudan lainnya tepat di depan pintu rumah Nabila kala usai kuparkir mobil di tempatnya.

“bapak sudah nunggu di dalem non . .” ujar Joko menginformasikan tepat di depan pintu.

“papah di temenin mamah juga ??” tanya Nabila berusaha tegar.

“iya non, nyonya sama bapak juga di ruang tengah. Sini saya bawakan tasnya non”

“ga usah mas, aku bisa sendiri”

Usai berbicara dengan Joko, Nabila datang menghampiriku dengan memintaku untuk menunggu di ruang depan. Sebab ia sendiri tak tau apa yang bakal di hadapinya. Maka masih sejauh ini pastilah Nabila tak mau melibatkan saya terlebih dulu.

“Rakha kamu tunggu di sini dulu sama dua orang ini ya” pinta Nabila padaku untuk menunggu.

“ya . . kamu masuk aja duluan” iklasku pada Nabila yang akan beranjak masuk.

Jadilah diri ini menunggu di ruang depan bersama dua algojo yang rasa – rasanya gak ada seramnya sama sekali. Malahan mereka terlihat seperti dua tokoh iklan marimas di mana ada tuyul yang kurus juga yang gendut. Tak ingin di gigit oleh mereka, saya pun ambil jarak agak berjauhan dudukan di sebelah meja sambil sandaran. Kulihat sekelilingku suasananya sunyi hanya ada saya dan dua algojo ini saja. Lantas apa yang tengah Nabila lakukan di dalam. Entah rumah ini yang terlalu besar atau memang percakapan Nabila terbilang privat, yang jelas saya tak bisa mendengar adanya tanda – tanda perbincangan.

Hingga satu jam berlalu saya tunggu di sini, masih saja tak ada panggilan dari Nabila atau setidaknya giliran saya masuk untuk di habisi. Merasa tak tenang dengan keadaan ini, kutanya Joko yang masih berdiri agak berjauhan dariku.

“mas, btw Nabila ada di ruang sebelah mana sih . . kok suaranya ndak kedengeran ya”

Ia hanya menoleh dan memandangku seperti robot. Sambil mangguk – mangguk saya mengerti, Joko saat ini tengah bertugas. Ya, ia bertugas sebagai robot yang mengamankan saya. Bukannya menemani saya ngobrol seperti yang di harapkan. Tak lama pun si Mbok lewat dengan mukanya yang sudah pucat pasi lemah lesu tak berdaya.

“mbok . . mbok . . !!” lambaiku pada si Mbok yang kebetulan lewat.

“kok pucet gitu, ada apa Mbok di ruang tengah ?? keadaan Nabila gimana ??” tanyaku usai Mbok datang padaku.

Melihat saya yang bertanya seperti ini pada mbok, lantas itu mata si Joko menoleh dan memperhatikan setiap gerak – gerik tubuh mbok seolah mengintimidasi bahwasanya mulut itu harus terbungkam serapat mungkin. Jengkel dengan kelakuan si Joko, saya pun ambil bicara sebagai oleh – oleh telinga Joko.

“paan mas liat – liat ??!!! ga pernah liat cewek bening dikit aja ??? emak – emak masi aja di liatin. fokus sama kerjaan aja jagain pintu sana gak usah noleh – noleh. Lama – lama tu mata gw colok pake gagang telfon jadul ini nih !!” geramku sambil meremas telfon jadul di salah satu meja.

Kembali Joko bertugas, mata itu sudah lepas dari pandangan mbok. Dan kini saya harap si Mbok sekiranya mau sedikit bercerita tentang keadaan di ruang tengah seperti apa.

“gimana mbok keadaan di dalem ?? bila gak papa kan ??” gelisahku menepuk pundak si Mbok.

“neng Bila nangis den . .” sepatah kata dari si Mbok.

Dalam hati saya jelas kacau, sebab mendengar kabar Nabilaku menangis. Kucoba menenangkan diri ini lebih jauh, saya kembali bertanya perihal apa yang tengah terjadi.

“emang bapak di dalem bahas apa Mbok ?? kok bila sampe nangis gitu . .”

“saya ndak tau den, yang jelas bapak marah besar. Dan denger – denger neng Bila di suruh milih tapi diem aja . . mbok kawatir den sama neng Bila. Tapi mbok bisa apa . . mbok cuma pembantu di sini. Kasian neng Bila den di delam ya Allah . .” rintih Mbok semakin membuat bantin saya teriris.

Tak lama si Mbok pun pergi sambil mengusap peluhnya untuk Nabila. Entah seperti apa keadaan di ruang tengah saya juga tak tau. Dan saat ini yang bisa saya lakukan hanyalah menunggu dan terus menunggu sampai pada akirnya, diri ini di hampiri oleh tante Alif yang tidak lain tidak bukan adalah ibunda Nabila.

“bisa ikut tante sebentar ???” ajak tante Alif seketika berjalan mendahuluiku.

“iya tante . . .”

Dengan sangat menurut, diri ini di asingkan di luar rumah. Tepatnya saya di giring ke area taman di mana tempat itu makin jauh dari ruang tengah dan tentunya makin jauh pula dari pengawasan dua tuyul iklan marimas tersebut.

“ada apa tante . . .” tanyaku tak enak hati masih memikirkan keberadaan Nabila.

“seandainya kamu di suruh milih, kamu pilih mana. Uang tunai dari perusahaan atau pekerjaan dengan gaji tinggi ??”

Sesaat saya diam, mencermati apa yang tengah menjadi arah pembicaraan tante Alif. Dan kini saya mengerti kemana maksud tersebut ingin di salurkan. Maka dengan tegas saya menjawab . .

“saya pilih Nabila tante”

“ha . .??”

“iya . . saya pilih Nabila, putri tante”

“apa Nabila ada dalam pilihan tante kamu fikir”

Dengan melempar senyum seasam jeruk purut, saya berharap diri ini masih punya rasa bersopan santun kepada tante Alif dalam setiap membalas perkataannya.

“jika tante menawari saya uang atau pekerjaan, maka Nabila adalah prioritas utama saya untuk membahagiakannya kelak dengan tahta maupun harta”

“tante memberi pilihan terbaik untuk kamu saat ini, semua demi kebaikan bersama”

“tapi saya tak akan pernah merasa baik jika di jauhkan dari Nabila, jadi ini bukan yang terbaik untuk saya. Melainkan ini kebaikan untuk kepentingan keluarga tante sendiri”

“kamu gak tau kondisi di dalem kaya gimana Kha !! tante udah capek ngadepin Nabila juga papahnya dalam masalah ini !!!”

“jika tante sudah lelah menghadapi Nabila dan menganggapnya sebagai beban, saya bersedia berbagi beban itu untuk tante”

“kenapa kamu dari tadi selalu jawab dengan Nabila, Nabila dan Nabila terus !!!”

“karena dia tujuan saya ada di Jakarta saat ini. apapun yang terjadi, saya akan memeperjuangkan kebahagian Nabila”

“kebahagiaan ?? tau apa kamu tentang bahagia ?? semua rasa bahagia dari keturunan tante udah di rampas semenjak keturunan itu di lahirkan termasuk Nabila !!”

“setau saya, bahagia itu saat kita bisa berada di sisi orang yang kita sayangi”
Mendengar apa yang saya katakan, seketika tante Alif terdiam. Mungkin jawab itu kini tengah bersarang di hatinya atau mungkin batin itu sedang bergejolak menolak apa yang saya katakan.

“andai aja waktu itu tante mau berusaha untuk meraih rasa bahagia itu, saya yakin tante sekarang pasti sudah menjadi ibu yang hebat untuk anak – anak tante. Tapi tak kurang – kurang saya ucapkan terimakasih pada tante karena telah mau menerima kenyataan pahit itu, kini tante di anugrahi Nabila karenanya”

“semua ini gak perlu di teruskan lagi tante, cukup tante berkorban sebagai keturunan terakir yang merasakan pahitnya kehilangan orang yang di sayangi. Maka beri kesempatan pada keturunan tante untuk merasakan kebahagiaan yang semestinya ia dapatkan. Biar Nabila yang mewujudkan kabahagiaan tante yang tertunda”

“Apa yang bisa kamu lakukan untuk keluarga ini ?? semua seolah sudah gak bisa di perbaiki semanjak tradisi perjodohan nenek moyang di mulai”

“saya bisa merubah keadaan ini jika tante mau beri saya kesempatan untuk membuktikannya”

“lantas apa yang harus tante lakukan sama kamu ???”

“bawa saya ketemu sama Nabila”

“apa hanya dengan membawa ke hadapan Nabila itu bisa membuat kamu merubah segalanya ???”

“kita gak pernah tau apa yang akan terjadi sebelum mencobanya tante. Setidaknya saya mendapatkan kesempatan untuk mencobanya dari pada harus diam menunggu takdir saya di tentukan orang lain. Pilihan itu ada di tangan kita masing – masing”

“kamu tau . . akibat dari pertunangan ini semua juga berdampak pada keadaan keluarga tante yang kurang harmonis. Seolah tante udah gak punya pilihan untuk merubahnya . . .”

“jika tante gak bisa merubahnya, tante masih bisa memperbaikinya kok”

“memperbaiki ?? apa yang bisa di perbaiki dari keadaan keluarga tante kalo saat ini aja udah ada Nabila sampe kedua anak tante yang masih kecil. Semua orang di rumah ini selalu sibuk dengan urusannya sendiri – sendiri. Bahkan tante yang dulu sangat menginginkan anak perempuan untuk tante rawat dengan tangan tante sediri juga udah hilang entah kemana parasaan itu”

“tante gak perlu bingung kemana harus mencari perasaan itu. Yang pertama syukuri dulu bahwasanya keluarga tante saat ini masih dalam lindungan Allah di beri kenikmatan harta hingga kesehatan. Apa tante fikir itu kenikmatan biasa yang bisa di dapatkan semua orang ?? masih banyak tante orang di luar sana yang rela menghabiskan seluruh uangnya hanya demi untuk menyambung hidup di atas penyakit mereka. Sedangkan keluarga tante ?? harta sudah berlimpah banyak sudah tak tau lagi mau di buang kemana, dan kesehatan yang di miki keluarga tante saat ini juga merupakan anugrah yang semestinya tante syukuri terlebih dulu”

“apa hanya dengan syukur bisa memperbaiki segalanya ?? ini gak semudah yang kamu kira. Kamu gak usah ngomong tentang rasa syukur !”

“hanya dengan syukur kita bisa membersihkan noda di hati. Rasa benci, dengki, iri, syirik semua bisa hilang lambat laun seiring rasa syukur itu selalu kita panjatkan. Apa tante fikir Allah akan tinggal diam setelah melihat umatnya yang mau untuk bersyukur ???”

Kembali terdiam tante Alif tenggelam dalam perkataanku, kulanjutkan pembicaraan ini jauh lebih dalam untuk menyentuh relung hatinya yang rupanya teramat dalam jatuh dalam keterpurukan. Dengan kata lain, saya harus mengembalikan harapan yang hilang dari hati tante Alif.

“sayangi suami tante seperti tante pernah menyayangi orang yang tante sayangi dulu. Perlakukan beliau layaknya imam yang harus tante hormati. Meski saya tau bahwasanya hati itu berkeinginan lain, tapi tante sudah terlanjur menjalani ini semua hingga mempunyai Nabila sampai Angga dan Anggi. Dan untuk ketiga anak tante ini, mereka adalah permata yang semestinya tante jaga dengan kasih sayang. Bukannya dengan uang. Untuk apa mereka tumbuh dewasa jika hanya di besarkan dengan uang. Apa suatu saat jika tante sudah tua nanti tante juga bersedia di bahagiakan oleh uang dari anak – anak tante ??”

Dan mata itu berembun lirih, menguap hingga ke atas mencairkan batu es yang selama ini telah membeku lama di relung hati tante Alif. Apa mungkin saya sudah menyentuh hatinya ?? entahlah . . .

“tante gak tau harus gimana lagi buat ngadepin keluarga ini Kha . . tante kehilangan arah . .” isak tangis tante Alif menahan batinnya teramat sangat.

“tante harus kuat, tante gak boleh rapuh. Tante adalah harapan pertama Nabila untuk merubah keadaan ini. jika tante takut sendirian, ayo mari kita rubah sama – sama keadaan ini. saya bersedia merasakan penderitaan yang sama dengan tante” pegangku pada tangan tante Alif yang dingin.

“satu hal yang tante tau saat ini . . .” tahan isak tangis itu berhenti mengalir.

“tau apa tante ????”

“akirnya tante tau apa alasan Nabila memilih kamu . . .”

Akirnya perasaan itu tersampaikan, tertanam manis di relung hati tante Alif sebagai orang pertama yang akan merestui hubungan ini. Ya, jalan ini masih panjang. Dan saya masih akan terus berjalan menuju ujung dunia yang entah saya sendiri tak tau di mana letaknya.

 

Created BY : rakhaprilio KASKUS