Cerita Cinta – Chapter 84. Kepingan Masa Kecilku

Chapter 84. Kepingan Masa Kecilku

Restu itu turun dari hati bunda dan juga kedua orang tua saya. Begitu pun terhadap kedua orang tua Jovanda. kami mendapat restu dari keempat orang yang paling penting dalam hidup kami. Tenang sudah pikiran ini tanpa harus ada beban di setiap harinya yang harus di emban seperti masa – masa sebelumnya. Meski saya dan Jovan mendapat restu dari kedua belah pihak, namun pesan dari ayah Jovanda selalu saya pegang untuk tidak menyalah gunakannya dalam menyayangi anaknya. Sebab ayah Jovan tak ingin melihat putri kesayangannya untuk berbuat hal yang aneh – aneh dengan saya hingga saatnya tiba. Sehingga, dengan batas kesadaran yang kami punya, kami biasa jika bermadu kasih di atas ranjang namun tak sampai melakukan kegiatan seperti yang pernah di lakukan oleh Ariel Noah.

Semenjak mendapat restu, hubungan kami kian terasa nyaman dan tentram sampai tanpa terasa di bawanya hingga awal semester lima. Ya, ini adalah semester lima dimana musim maba sangatlah banyak dan merepotkan bagi mahasiswa yang betah di Malang dan sekiranya mau untuk di sibukkan dengan hal beginian. Maka tahun ajaran baru itu, untuk mengisi kegiatan saya selain berdua dengan Jovanda selalu, maka saya putuskan untuk menyibukkan diri sesaat dengan moment penerimaan mahasiswa baru di tahun ini. usai mendapat izin dan kesepakatan dengan Jovan, saya ikuti saja itu kegiatan agar hubungan ini tak jenuh dengan Jovanda selalu.

Dalam jabatan ospak mengospeki ini, mahasiswa dengan tahun angkatan 2007 adalah sebagai kadis atau orang yang lebih akrap dengan pekerjaan tukang marah – marah dan selalu mencari kesalahan para maba (mahasiswa baru ). Berhubung suara lembut saya ini tak layak untuk berteriak kasar, maka saya tak dapat masuk dalam jabatan kadis tersebut. Sebab bisa di bayangkan jika saya tengah marah mungkin tak ada bedanya dengan menyanyi maka yang ada para maba justru asik goyang cesar di depan muka saya. Tentu itu hal yang sangat menggelikan.

Untuk mencari jabatan yang lebih tepat, saya mencoba masuk dalam tim medis atau biasa akrab di sapa dengan bagian kesehatan. Berhubung saya mengetahui beberapa macam gejala penyakit dasar seperti pusing, batuk, flu, pilek, demam, hidung tersumbat dan muka pecah – pecah, eh maaf yang terakir bukan. Maka saya di terima dalam bagian kesehatan. Mungkin bisa di bayangkan bagaimana muka ini yang selalu akrab dengan kacamata akan terlihat seperti anak kedokteran di banding sebagai calon sarjana sosial. Sungguh saya sangat beruntung saat itu.

“yan, coba deh kamu liat itu para mabanya cupu banget yah, palanya pada botak kaya klepon gitu, tinggal kasih serutan kelapa terus makan deh, wkwkwkwk” bisikku lirih pada Vian di seberang barisan.

“itu dandanan kita dulu juga gitu Jo, kamu lupa a ??” Vian mencoba mengingatkanku.

“ah, . . . iya jg ya. Ngmong – ngmong liat yang seger gak nih ?? kalo tau bilang dong !!” pintaku sedikit mnggebu pada Vian.

“itu ada Jo, klompok 64 barisan sebelah kiri nomer 4 dari belakang rambutnya di kuncir kuda pita orange”

“owh itu, iya jg sih manis gitu yha. Palingan orang Jakarta ya yan kalo gak bandung ?” tanyaku meragu.

“ya gak juga sih Jo, kadang orang Lumajang jg ada yang cantik gitu. Tapi blesteran sih sama orang barat. Hahahahah” jawabnya asal tanpa pikir panjang.

“ya kalo itu mah orang T.a mau blasteran sama orang jabar ya jadinya bakalan cakep Yan !!” jawabku ketus sambil menampol pala Vian.

Barisan siang itu di bubarkan pertanda ada kegiatan lain yang akan di laksanakan. Sedangkan tim medis, harus patrol sana – sini untuk memantau kesehatan adek mabanya agar tidak kecapaian saat menjalankan ospek. Mulai dari pagi hingga siang saya patrol sana sini dan sudah menangani lebih dari dua puluh orang sehari yang merasa tak enak badan saat ospek di laksanakan. Capai itu pasti, sedangkan sibuk itu sudah jelas. Tak lama Vian datang menghampiri saya ke dalam ruangan kesehatan dan berkeluh kesah mengenai rasa capai yang kami rasakan sebab menjalani sebagai tim medis hari ini.

“duh ya ampun Jooooo . . . kuesel aku Jo hari ini. itu yang sakit kok gada abis – abisnya yo !!” keluhnya dengan giat sambil tiduran di atas kasur pasien.

“ya gak kamu tok yan, tadi ada sekitar 20 ekor yang aku tanganin” jawabku sambil sandaran di kursi sebelah kasur.

“aku tak cari makan sek yo Jo, luaper aku, yoo . .” pintanya melas bagai pengemis kelaparan.

“iya wes iya makan ow seng bnyak aku tak titip aja” sahutku sambil memberikan uang kepada Vian.

Usai memberi uang, ia pun berangkat dengan gembiranya. Bagaimana tidak bahagia, dia ngabur dari jam tugas yang telah di tentukan. Sedangkan teman – teman satu tim yang lain masih sibuk jaga di pos – pos yang telah di tentukan. Maka hanya ada saya dan beberapa teman yang tak begitu akrab di ruangan itu tentunya. Saya sungguh lelah siang itu, maka sayapun hampir terlelap dalam tidur yang membuat saya terlena dalam rasa capai ini. tengah asik tenggelam dalam hawa kantuk teramat sangat, tiba – tiba saja pintu ruang kesehatan di buka dengan kasar oleh beberapa maba yang saat itu terlihat gugup dan kacau. Rupanya ada maba yang tengah pingsan dan membutuhkan pertolongan cepat dalam menyelamatkannya.

“ini temennya kenapa dek ??” tanyaku ikutan gugup melihat kelakuan para maba yang panik saat itu.

“itu dia pingsan kak pas baris tadi, kayanya dia kecapaian” tutur salah satu maba terlihat masih gugup dengan nafas menggebu – gebu.

“trus sekarang kegiatan kalian apa ??” tanyaku kepada beberapa ekor maba yang cupu dan menggelikan ini.

“masih baris kak di depan GKB . .” jawabnya polos dengan segala kebodohannya.

“kok masih di sini ngapain ?? buruan balik sana !!” sedikit bentakku mengagetkan mereka.

“woiya kak . . .!!!” kaburlah mereka tunggang langgang seribu kaki meninggalkan ruangan kesehatan.

Saya amati ini pasien saya rupanya pingsan tak sadarkan diri, lantas segera saya panggil beberapa rekan untuk datang membantu memberikan penanganan pertama. Setelah di rawat dengan ini itu maka saya tinggal menunggu saja itu maba yang tadinya pingsan sepertinya kini berubah menjadi tidur. Sebab bisa saya lihat itu dari detak jantung dan system parnafasannya yang kini sudah terdengar membaik dan mempunyai tempo yang beraturan. Sungguhpun waktu itu saya seperti anak kedokteran saja dengan gaya kacamata dan rambut yang rapih habis di cukur. Tengah menunggu maba yang pingsan ini akirnya ia mulai sadar untuk kali pertama. Maka perbincangan di dalam ruangan itu pastilah wajib hukumnya terjadi.

“hay kak Rakha, maaf ngrepotin” sapa maba itu lemah sambil mencoba membuka mata masih terbaring lemas di atas ranjang.

“gimana keadaannya dek ?? dah mendingan kah ??” tanyaku sambil mendekat di sampingnya.

“masi lemes kak, . .” jawabnya masih lemah dengan segala nyawa yang belum terkumpul.

Saya lihat itu papan nama dia bertulis Tisya Nafira Husna Jurusan komunikasi. Oke, saya sudah tau siapa nama dia. Lantas saya perhatikan wajah pucat nan lemas itu untuk kesekian kalinya, awalnya memang wajah itu berbalut oleh peluh dan keringat serta dandanan yang sudah acak – acakan akibat acara pingsan yang menimpanya tadi, namun setelah saya amati dengan seksama, dia manis 11:12 dengan Nabila. Wajah itu imut sungguh mengingatkanku dengan sosok gadis yang telah meninggalkan saya jauh di sana. Rindu itu tiba – tiba saja muncul menjulang tinggi seolah yang berada didepan saya ini adalah Nabila. Mata ini tak terasa mulai berembun basah mengingat setiap detik yang pernah saya lewatkan dengan Nabila dulu. Paras itu sungguh teramat sakit untuk di rindukan.

“kak Rakha matanya kok sembab gitu, kakak kenapa ??” tanya Tisya yang terlihat membaik menyadarkan saya dari lamunan tentang Nabila.

“owh, gapapa. Klilipan tadi dek. Hehehe . . kamu dah mendingan gitu. Btw tadi kok bisa pingsan kenapa ??” tanyaku sambil menatapnya heran.

“itu tadi pagi aku belom sarapan kak, jadi pingsan deh, hehehehe . .” lempar senyum itu ke arahku dengan ekspresi menahan lapar.

“lah, jadi kamu belom makan dek ?? mau cari makan dulu pa gimana ??” tanyaku menawarkan pada Tisya.

“mang kakak mau nganterin aku buat cari makan ??” tanya Tisya meragukan tawaranku.

“lha kamunya mau gak buat di anterin cari makan ?? hayooo . .” jawabku membingungkan Tisya.

“ya mau lah kak” jawab Tisya bersemangat sambil mencoba bangkit dari atas ranjang

Siang setengah sore itu saya keluar mengantarkan Tisya untuk mencari makan agar dia merasa lebih baikan. Saya bonceng itu gadis naik speda motor menyusuri kampus Brawijaya pada tahun itu yang masih hijau belum banyak bangunan tinggi seperti tahun sekarang ini. dengan malu – malu ia mencoba naik dengan cara menghadap menyamping sambil memegang pinggangku. Dalam perjalanan, saya merasa paras milik Tisya amatlah tak asing dan terasa familiar. Bukan karena mirip Nabila semata, namun cara dia memanggil saya dengan sebutan Rakha sungguh tak asing lagi di telinga ini. lantas siapa ia gerangan. Dan taukah sodara siapa Tisya ini sesungguhnya setelah saya berhasil mengingatnya. Ia adalah . . .

 

Created BY : rakhaprilio KASKUS