Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #31

Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #31

Ketika Kenari berganti Bunga Cengkeh

Cerita Cinta Dewasa – Kino berdiri diam di pinggir sungai besar yang membelah kota kelahirannya. Air di sungai itu tidak sederas dulu lagi, tetapi masih bening menggoda orang untuk berenang. Ia memasukkan kedua tangan ke kantong jeans dan menghela nafas panjang. Betapa berbedanya kota-kelahiran dari kota B yang kini dia tinggalkan.

Kota kecil ini terkesan damai tetapi statis, desahnya dalam hati. Sementara kota B tentu saja meninggalkan kesan khusus bagi Kino. Kisah cintanya berakhir dramatis di sana. Tidak itu saja, seluruh hidupnya seakan-akan berakhir di sana, lalu berawal baru. Tak salah kiranya, jika kehidupan ‘baru’ itu dimulai di tempat yang sama ia dilahirkan.

Kino memang seperti lahir kembali. Ia merenung: akankah semua yang dulu terjadi berulang lagi? Atau, akankah ada varian baru? Simpangan baru? Ramifikasi?

Ia ingat Mbak Rien yang membukakan gerbang ke dunia misterius-mengasyikkan. Ia tersenyum menerawang ke kejauhan, ke tempat yang dulu penuh pohon kenari di kaki bukit nun di sana.

Kini pohon kenari sudah berkurang karena penduduk kota kini mengubah area itu menjadi perkebunan cengkeh. Komoditi baru itu konon membawa kekayaan mendadak bagi sebagian petani yang cepat tanggap terhadap perkembangan pasar di kota ini.

Sudah dua minggu Kino berada di kota kelahirannya. Secara fisik, ia sudah segarbugar. Badannya yang sempat kehilangan berat, kini sudah seperti semula. Ia sudah bisa berenang di pantai bersama adiknya, Susi.

Adiknya itulah yang terbanyak menyita waktunya selama dua minggu ini. Bagi Susi, kakaknya adalah satu-satunya pria selain Ayah yang bisa diminta menggendong dari pantai ke tempat penitipan sepeda!

Susi pula yang menjadi teman Kino berkeliling kota, ke tempat-tempat yang dulu belum ada ketika pemuda itu merantau sekolah ke B. Susi dengan bangga mengajak kakaknya ke bioskop baru di tengah kota, yang kini fully airconditioned (dulu cuma kipas angin) dan berkursi empuk (dulu cuma kursi plastik).

Setelah itu, mereka berdua berjalan-jalan di satu-satunya mall di kota itu, dan Kino tak habis pikir kenapa ada orang nekad membuka pertokoan modern padahal pembelinya tidak ada. Ia melihat lebih banyak penjaga toko daripada pembeli. Tetapi, menurut Susi, jika hari raya mall ini penuh sesak oleh pengunjung dari desa-desa sekitar sini.

Susi juga membawa kakaknya ke tempat favorit remaja kota itu; sebuah taman yang antara lain memiliki kolam renang dan 8 meja bilyar. Astaga, sergah Kino dalam hati, telah lama rupanya anak-anak muda di kota ini mengabaikan alun-alun sebagai tempat bersantai. Apakah mereka juga tidak lagi naik gunung dan berenang di sungai?

Dengan risau Kino mendengar penjelasan Susi bahwa wilayah perkemahan di pinggir kota kini jarang dikunjungi. Ironis memang. Anak-anak kota besar kini gandrung alam pedesaan, sementara anak-anak di sini justru mengejar hiburan kota besar!

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Lalu Susi mengajak kakaknya ke sekolah SMA-nya dulu. Selama tak kurang dari 10 menit Kino tercenung di gerbang sekolah itu. Masih seperti dulu; setidaknya gerbang besi itu masih seperti dulu.

Gedung sekolahnya sendiri kini bertingkat, tetapi warna cat temboknya sama, putih-abuabu. Kino sebetulnya benci warna itu, tetapi ketika melihat tembok yang sama dengan 6 atau 7 tahun silam itu …. ah, itu barangkali warna terindah dalam hidupnya.

Terbayang wajah teman-temannya. Terbayang wajah guru-gurunya. Terbayang masa-masa ceria tanpa beban. Terbayang pulang sekolah sambil berlari dan berteriak-teriak. Terbayang ….

“Bagaimana kabarnya Kak Alma?” Susi membuyarkan lamunan Kino. Kino tak langsung menjawab, melainkan merangkul pundak adiknya yang kini sudah setinggi dagunya. Anak ini tumbuh seperti roket!
“Pasti Kak Kino tidak mau menjawab,” kata Susi sambil merangkul pinggang kakaknya.

Ia tahu cerita tentang Kino dan Alma, dan tahu bahwa harapan kedua orangtua mereka untuk saling berbesan telah punah ditelan waktu. Kino tertawa.

Susi memang adik yang penuh rasa ingin tahu. Kino pun tahu, kalau ia tidak menjawab, maka pertanyaan yang sama akan muncul tiga kali sehari, tujuh hari seminggu!

“Bukan tidak mau menjawab,” kata Kino sambil mengajak Susi melangkah masuk ke halaman sekolah yang sedang kosong karena masih masa liburan,

“Kakak memang tidak pernah sering berjumpa dengannya. Terakhir yang Kakak tahu ia sedang puntang-panting mempersiapkan diri untuk ujian. Tidak mudah, lho, menjadi mahasiswa kedokteran.”

“Kenapa putus dengannya?” tanya Susi tak kenal menyerah. Pertanyaan yang satu ini sudah dijawab berkali-kali, tetapi Susi seperti orang pikun kalau sudah menyangkut Alma.

Kino tersenyum dan mengajak adiknya duduk di batu besar yang sejak dulu ada di depan pintu masuk ke kantor Kepala Sekolah, di halaman utama tempat upacara. Di batu itu biasanya Kepala Sekolah berdiri memimpin upacara bendera, tetapi sekarang kata Susi sudah ada podium kayu beroda yang bisa didorong keluar masuk.

“Kami memang memilih jalan masing-masing. Dia dengan jalannya, Kakak dengan jalan kakak,” kata Kino penuh kesabaran.

Lalu ia bercerita ringkas tentang hubungan mereka, tentu saja tidak dengan sangat terinci mengingat umur Susi yang
masih belia.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Apakah karena tante Trista?” potong Susi, dan Kino mengeluh dalam hati, kenapa Ibu dan Ayah harus cerita tentang Trista di depan Susi … atau mungkin anak itu pura-pura tidur ketika orangtua mereka membicarakan Kino dan Trista.

“Bukan karena dia,” kata Kino sambil tertawa,
“Lagipula dia bukan ‘tante’, umurnya hampir sama dengan Kak Alma.”
“Apakah tante … eh, kakak … Trista lebih cantik dari Kak Alma?” desak Susi. Kino tertawa tergelak,

“Kenapa keduanya harus diperbandingkan, Sus?!”
“Susi cuma ingin tahu saja …,” jawab adiknya. Sebuah jawaban klasik dan standar: cuma ingin tahu!

“Tidak, Sus,” kata Kino sambil menghela nafas panjang,
“Keduanya sama-sama cantik, dan Kak Kino tidak pernah memilih di antara keduanya.” Susi terdiam, dan Kino berkata lagi,
“Mereka tak ada bandingannya, Sus …. ”

Lalu kakak-beradik itu terdiam. Membiarkan angin dan gemersik alang-alang mendominasi suasana. Keduanya mendengar jerit suara bangau di kejauhan. Hari tampaknya akan hujan.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Pada minggu ketiga Kino di kota kelahirannya, liburan Susi berakhir. Ayah dan Ibu kembali sibuk di pekerjaan mereka masing-masing. Kino sendirian meniti hari demi hari, dan segera merasa bosan menghabiskan waktu membaca tiga novel yang dibawanya dari B.

Selain itu, atas anjuran kedua orangtuanya, Kino mengurangi frekuensi membaca karena kepalanya sering berdenyut jika ia terlalu lama membaca.

Kino memutuskan untuk kembali ke alam, menyesuaikan kekuatan fisiknya setahap demi setahap sebelum nanti mencoba lagi mendaki gunung. Ia memutuskan untuk mengunjungi hutan kenari …. ah, bekas hutan kenari , yang kini sudah menjadi kebun cengkeh itu.

Ia menahan nalurinya untuk berenang di sungai, karena air di musim hujan ini berwarna kecoklatan dan cukup deras mengalir. Tetapi, yang lebih penting lagi, Kino ingin melihat apakah gua peninggalan tentara Jepang itu masih ada. Entah kenapa, ia ingin melihat tempat yang dulu membuat hubungannya dengan Mba Rien berubah total!

Tetapi perubahan dari hutan kenari ke kebun cengkeh membuat situasi wilayah itu berubah pula. Kino tidak bisa menemukan gua itu karena kehilangan orientasi. Dulu rasanya ada pohon besar dekat gua itu, kini pohon itu telah tiada. Dulu ada jalan setapak berliku, kini jalannya lurus dan diperkeras dengan batu-batu kali. Kino kebingungan.

“Mencari apa, nak?” sebuah suara parau membuat Kino tersentak. Seorang lelaki tua dengan seragam hijau pekat telah berdiri di dekatnya.

“Oh, Pak Penjaga!” ujar Kino setelah melihat lambang perusahaan perkebunan dan jabatan di dada Pak Tua itu,

“Saya sedang mencari gua Jepang yang dulu ada di sini.” Pak Tua itu (dari tulisan di dadanya, bernama Rustandi) memandang Kino dari ujung rambut sampai ujung kaki sebelum berkata,
“Kamu anak sini atau pendatang?”

Kino tersenyum, “Keduanya, Pak Rustandi. Saya lahir di sini, tetapi baru datang lagi setelah lama tak pulang.” Pak Rustandi terkekeh pendek, “Seperti biasanya. Lahir di sini, tetapi nyaris melupakan kampung halaman.” Kino tersipu, tetapi membela diri,

“Bukan lupa, Pak! Memang belum sempat pulang saja.” Pak Rustandi mengangguk-angguk, lalu menunjuk ke arah timur, “Di sana. Gua itu masih di sana, bahkan sekarang sudah bersih karena dipakai sebagai tempat berteduh. Lihatlah sendiri.”

Setelah mengucapkan terimakasih, Kino melangkah ke arah yang ditunjuk. Benar saja, gua itu masih ada di sana. Permukaannya masih ditutupi lumut tebal, tetapi bagian dalamnya kini disemen.

Ada sebuah bangku beton di bagian belakang gua, dan Kino pun duduk di sana, merasakan senyap melingkupinya dengan cepat. Gua ini tidak terlalu dalam, tetapi sanggup menyumbat suara-suara ramai dari luar karena terletak menjorok ke dalam gundukan tanah yang berbatuan keras.

Kino tersenyum sendiri mengingat ciuman hangat Mba Rien di gua ini bertahun-tahun yang silam. Ah, apa yang kini dikerjakan wanita mempesona itu? Ia telah mendengar semua kabar tentang bintang baru itu, sudah pula menonton sinetron-nya di televisi (tetapi terus terang Kino tidak suka cerita di sinteron itu!).

Ia membayangkan, pastilah Mba Rien sudah lupa pada semua yang terjadi di kota kecil terpencil ini. Apalagi tentang gua ini, pastilah ia tidak ingat bahwa gara-gara ciumannya Kino melangkah lebih pasti ke dunia pria dewasa.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Ahoooy!” terdengar suara Pak Rustandi di kejauhan, meyentak lamunan Kino. Sebetulnya penjaga tua itu tidak jauh, cuma beberapa langkah di samping pintu gua. Kino bangkit mendengar suaranya memanggil-manggil,
“Apakah kamu di dalam sana, Anak Muda?”

“Ya, saya di dalam sini!” sahut Kino sambil melangkah keluar, “Ada apa, Pak?!” Di luar gua tentu saja jauh lebih terang daripada di dalam, dan Kino memayungi matanya dari serbuan sinar mentari. Untuk sejenak ia tidak bisa melihat dengan jelas, tetapi ia tahu Pak Rustandi tidak sendirian. Di sebelahnya berdiri seseorang bercelana panjang khaki dan berkaos t-shirt coklat.

“Ada orang lain yang ingin lihat gua ini juga,” kata penjaga itu sambil menoleh ke seseorang di sebelahnya.

Kino mengernyitkan dahi, mencoba memandang lebih jelas. ‘Seseorang’ itu ternyata seorang gadis berambut pendek, dengan tustel tergantung di bahunya, dan sebuah notes kecil di tangan kirinya.

Sebuah tangan mengacung kepadanya, dan Kino menerimanya dengan ragu-ragu. Mereka bersalaman cepat, saling menukarkan nama. Gadis itu bernama Karin dan “saya mahasiswa sejarah, sedang mengadakan penelitian ringkas…” ucapnya nyaring, mengingatkan Kino pada suara burung di alam bebas.

Pak Ruslandi menuturkan maksud kedatangan si burung berkicau itu, yang konon sedang menulis makalah tentang sejarah pendudukan Jepang di sekitar sini.

Kino berdiri menyingkir dan bergumam menyilahkan Karin masuk ke gua bersama Pak Ruslandi.

“Sedang apa di sini?” tanya gadis itu ketika melintas dekat Kino.
“Ah, tidak. Hanya melihat-lihat saja,” sahut Kino sambil menimbang-nimbang apakah akan ikut masuk, atau pulang saja.

“Sering kemari?” tanya Karin lagi di pintu gua, sementara Pak Ruslandi sudah di dalam.
“Mmm … tidak juga. Dulu sering, tetapi sekarang tidak,” jawab Kino sambil ikut melangkah ke arah gua. Ia belum memutuskan untuk tinggal lebih lama, walaupun ia memang bermaksud duduk-duduk di gua ini sebelum terganggu oleh dua mahluk itu.

“Oh, kamu tinggal di sini,” suara Karin berubah riang dengan logat ibukotanya,
“Bisa bantu memberi informasi, dong!”

“Tetapi saya belum lahir ketika Jepang membangun gua ini,” kata Kino, dibalas tawa renyai Karin yang memantulkan gema di dalam gua.
“Aku tidak bermaksud menanyakan keadaan di jaman Jepang,” sergah Karin membuat Kino tersipu malu karena salah menginterpretasi ucapan si burung berkicau itu.

“Aku ingin tahu, apa yang terakhir ada di gua ini sebelum berubah menjadi ….,” Karin menunjukkan muka tak setujunya, ” … sebelum menjadi tempat seperti ini.” (tadinya, Karin ingin mengatakan ‘sebelum menjadi kampungan seperti ini’ .. tetapi ia takut Pak Rustlandi tersinggung).

Kino tersenyum. Ia juga tak setuju gua ini berubah menjadi tempat berteduh yang tidak berselera ini. Katanya, “Ya, memang gua ini sudah berubah total, walau masih berupa gua.”

Pak Rustandi berdehem keras, berusaha menyatakan kehadirannya di antara dua orang muda yang kini tampak sudah lupa bahwa ada orang ketiga.

Karin cepat menengok ke arah orang tua itu, menyadari ketidak-sopanannya melupakan penunjuk jalannya. Gadis itu lalu bercakap-cakap dengan Pak Rustandi tentang perkebunan cengkeh dan motivasi perusahaan perkebunan untuk me-‘renovasi’ (begitu lah istilah sopan dari ‘merusak bangunan bersejarah!’) gua Jepang itu.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kino tersenyum sambil melangkah keluar mendengar cara Karin menggali informasi tanpa menyinggung perasaan pegawai perkebunan itu. Entah kenapa Kino yakin, Karin bermaksud memprotes upaya mengubah bangunan bersejarah itu, tetapi mungkin lewat tulisan ilmiah.

Bukan secara langsung kepada seorang pegawai semacam Pak Ruslandi yang pasti tak pernah mengerti kenapa sejarah harus dikenang, apalagi kalau di dalam sejarah itu ada kekejaman tentara. Diam-diam, tanpa sepengetahuan Karin maupun Pak Ruslandi, Kino meninggalkan mereka, berjalan menjauhi gua.

Udara segar membuatnya melamunkan masa-masa lalu kembali. Membaca sejarah kembali. Ah, … sejarah adalah sesuatu yang harus ada dalam kehidupan. Kadang sejarah terasa menyakitkan, kadang terasa indah. Apa pun juga, tak ada hidup tanpa sejarah.

Kino lalu ingat guru sejarahnya, dan tersenyum sendiri mengenang betapa membosankannya cara Ibu Suwarti menerangkan Jaman Jepang, dan betapa nakal ia dan teman-temanya menggambar wajah ibu guru malang itu di secarik kertas.

Lalu kertas itu diam-diam beredar ke seluruh kelas, dan ketika kembali ke bangku Kino, ibu guru itu sudah punya kumis dan jenggot di wajahnya!

Sekarang semua kenangan indah itu lewat sudah. Kino sebenarnya tidah terlalu yakin, apakah patut mengatakan segala sesuatu yang telah dialaminya sebagai ‘indah’. Sebagian dari yang ‘indah’ itu sebenarnya menyakitkan. Sebagian lainnya justru membingungkan. Lalu sebagian lagi benar-benar memalukan.

Demikian pula ‘sejarah’, bukan!? Banyak sekali bagian-bagian dari sejarah yang justru jauh dari indah. Tetapi, tetap saja ada yang mempelajari sejarah. Seperti si burung berkicau itu, mempelajari gua Jepang untuk mengetahui apa yang dulu terjadi.

Bagaimana kalau ia kemudian menemukan kenyataan bahwa tentara yang dulu bersembunyi di gua itu adalah pembunuh-pembunuh kejam? Bagaimana kalau ternyata ada ratusan, mungkin ribuan, orang muda di daerah ini mati dalam perang.

Kino tahu, ada banyak orang dari kota ini yang dikirim ke Burma untuk membela Asia Raya dan jadi tumbal ambisi Nippon untuk menguasai dunia. Mungkin sebagian besar dari orang itu menolak pergi, dan mungkin tentara Dai Nippon menyeret mereka ke atas truk setelah menyiksa dengan bayonet.

Tak terasa, langkah Kino telah membawa pemuda itu ke pagar gudang cengkeh dan kantor perkebunan. Beberapa pekerja tampak sibuk mengangkat bakul-bakul berisi bunga-bunga cengkeh.

Seorang laki-laki kekar tampaknya bertindak menjadi mandor, bertolak pinggang mengawasi para pekerja dari kejauhan. Kino tak bisa melihat muka lelaki itu, karena lelaki itu berdiri membelakangi pagar tempat Kino kini berdiri.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kesibukan para pekerja mengusik pikiran Kino yang masih penuh diliputi sejarah Jepang, dan entah kenapa kini pemuda itu menghubungkan keduanya. Apakah para pekerja yang sering disebut sebagai ‘kuli’ itu benar-benar mau melakukan pekerjaannya? Tidakkah mereka seperti para pemuda yang menjadi Romusha, cuma mungkin sekarang lebih baik nasibnya karena mendapat upah?

Kino tersenyum kecut. Ia merasa tolol karena membiarkan angan dan pikirannya bergerak serampangan, seperti daun kering yang dibawa angin ke sana ke mari. Tetapi begitulah kalau orang tidak ada kerjaan, dan kalau orang melamun di tengah kebun!

Tiba-tiba mandor di depannya memutar badan, seperti merasa ada orang memandanginya dari belakang. Wajahnya agak tersembunyi di balik topi pet abu-abu berisi logo perkebunan.

Sejenak Kino dan lelaki kekar itu bertukar pandang, lalu Kino mengangguk sopan dan bergerak ingin melanjutkan pengembaraannya. Tetapi langkahnya segera berhenti, karena tiba-tiba ia seperti mengenal wajah itu. Demikian pula sang mandor, tampak mengernyitkan dahi dan melangkah mendekati tempat Kino berdiri.

“Kino?” tanya lelaki itu ragu-ragu. Kino mengangguk, dan segera menyeringai lebar. Tentu saja ia ingat siapa si kekar yang suaranya menggelegar ini. “Hai, Iwan!”

“Astaga!” seru Iwan, “Sedang apa kau di sini?”
“Melihat-lihat kebun,” sahut Kino sekenanya sambil menyambut uluran tangan Iwan, teman sekelasnya di SMA dulu.

Mereka berjabat tangan erat-erat, saling mengguncangkan tubuh masing-masing. Kino langsung teringat masa lalu, ketika mereka berdua berlatih karate di satu-satunya perguruan di kota ini.

“Aku kerja di sini!” kata Iwan bersemangat,
“Kudengar kamu kuliah di B.” Ah, temanku sudah bekerja sementara aku masih kuliah, bisik Kino dalam hati. Ada sedikit sesal di hatinya, walaupun ia mempertahankan senyum dan berucap,
“Ya, aku sedang beristirahat di sini.”

Iwan mengajak Kino masuk ke kantornya di dalam gudang. Mereka langsung terlibat pembicaraan seru dan Kino diam-diam memuji temannya.

Masih begini muda, sudah punya kantor sendiri walau cuma berisi meja kayu tua dan sebuah brankas yang berkarat di sana-sini. Terlebih-lebih lagi, Iwan tampak bangga dengan pekerjaannya dan tak ragu mengatakan bahwa ia tidak melanjutkan kuliah karena orang tuanya tak mampu.

“Hebat kamu, Wan!” kata Kino sungguh-sungguh,
“Punya kantor sendiri dan sudah bisa menerima gaji!” Iwan tergelak sampai tubuhnya yang kekar berkeringat itu berguncang,

“Kalau bukan kamu yang mengatakannya, pujian itu pasti sudah kuanggap ledekan!” katanya dengan suara keras. Dari dulu Iwan memang bersuara lantang.
“Lama sekali kita tidak berjumpa; apa saja kerjamu di B selain kuliah?” tanya Iwan setelah selesai tertawa.

“Pacaran,” kata Kino, “Apa lagi yang bisa kukerjakan selain itu!”

Iwan tergelak lagi, lalu keduanya terlibat pembicaraan tentang masa-masa pacaran mereka di SMA dulu. Tentu saja nama Alma segera disebut-sebut dan Iwan tak henti-hentinya mencecar Kino dengan pertanyaan tentang gadis itu. Untung saja Kino ahli mengalihkan pembicaraan, sehingga sebentar kemudian pembicaraan beralih ke perkebunan cengkeh, lalu ke persoalan-persoalan lain yang lebih umum.

Terutama, Kino lalu banyak mendengar cerita-cerita tentang perubahan yang terjadi di kota kelahiran mereka berdua. Iwan seperti seorang sejarahwan khusus tentang kota kecil ini, dan Kino bersukur dalam hati karena bertemu dengan salah seorang yang bisa membawanya begitu jauh ke masa lalu.

Masa lalu, ternyata memang jauh di lubuk hati manusia-manusia yang mengalaminya.

*** Cerita Cinta Dewasa ***