Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #38

Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #38

Kembang Semusim (bagian 7)

Cerita Cinta Dewasa – Setiap konspirasi memiliki risiko gagal, walaupun bervariasi dari satu konspirasi ke konspirasi lainnya. Ada konspirasi yang begitu kecil risikonya sehingga memberikan hasil maksimal bagi para konspirator.

Ada konspirasi yang begitu besar risikonya sehingga belum apa-apa sudah gagal terlaksana. Tergantung pula dari para konspirator, terutama pada kesungguhan dan motivasi yang mendasari konspirasi mereka.

Seringkali sebuah konspirasi gagal karena salah satu atau kedua pihak yang berkonspirasi menganggap bahwa segalanya berjalan lancar, sehingga cenderung kurang hati-hati.

Konspirasi antara Ferry dan Pak Rustandi memiliki satu titik kelemahan.

Pada suatu sore yang diselingi gerimis, Pak Rustandi bercerita ke Bu Rustandi sambil menyeruput kopi tubruk dan mengunyah singkong goreng di rumah mereka yang sederhana. Mengapa lelaki itu harus “bernyanyi” tentang konspirasinya?

Sebab Pak Rustandi adalah tipe suami yang rajin memberi laporan kepada istri yang telah menemaninya lebih dari 30 tahun itu. Sebab Pak Rustandi juga ingin segera berbagi mimpi tentang kedudukan dan gaji yang lebih baik daripada sekadar anggota satpam penjaga kebun.

Ia tak sabar menahan rahasia yang ia janjikan ke Ferry, sang manajer muda itu. Maka terbukalah peluang kegagalan konspirasi mereka.

“Apa betul begitu, Pakne!?” sergah Bu Rustandi sambil membetulkan kutang di balik kebaya lusuh yang dikenakannya. Kedua matanya yang sudah mulai rabun itu membelalak, seakan-akan ingin melihat muka suaminya sejelas mungkin.

“Betul, Bune!” sahut Pak Rustandi sambil mengangkat kakinya ke kursi sehingga sarungnya merosot hingga pangkal paha, “Aku yakin kedua anak muda itu bercinta-cintaan di kali!”

“Edan betul,” kata Bu Rustandi, segera bersemangat karena mendapatkan gosip baru yang menghebohkan, “Anak muda jaman sekarang memang edan-edan. Apalagi yang perempuan itu, kan, anak ibukota. Pasti lebih edan lagi!”

“Wah, yaaa … kalau yang laki tidak edan, yang perempuan juga tidak edan tho, Bune!” sela Pak Rustandi, merasa agak perlu membela “yang perempuan” karena notabene gadis itu adalah anak juragan besarnya.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Ah, jaman sekarang laki perempuan sama saja, Pakne!” ujar Bu Rustandi tak mau kalah.
“Iya, ya ….,” sahut Pak Rustandi setengah merenung,
“Jaman kita dulu, mana ada cinta-cintaan di kali!” Bu Rustandi tertawa terkekeh,

“Lha, aku saja masih perawan sampai dua bulan setelah kawin sama Pakne!”
“Lhaa … itu karena Bune yang sempit kepripit, tho!??” sergah Pak Rustandi acuh tak acuh.

Bu Rustandi tertawa gelak,
“Apa tho ‘ke-pri-pit’ itu, Pakne?”
“Ah, pura-pura tidak tahu!” sahut Pak Rustandi sambil mengibaskan tangannya dan melanjutkan menyeruput kopinya.

Dan begitulah akhirnya Bu Rustandi tahu tentang kehebohan antara Iwan dan Karin. Lalu, keesokan harinya ibu tua itu mencuci baju bersama selusin ibu-ibu lain di pinggir sungai.

Lalu, seperti tak sengaja, ibu itu menceritakan sepenggal cerita yang diterimanya dari sang suami kepada salah seorang ibu peserta cuci-bersama tersebut. Lalu, ibu yang menjadi penerima cerita sekunder itu bercerita lagi kepada ibu yang lain ketika sedang berjalan pulang membawa cucian.

Sampai akhirnya, setelah matarantai demi matarantai gosip itu memanjang, seorang ibu menerima cerita yang sudah berkali-kali diberi bumbu tambahan itu. Kebetulan ibu ini bersuamikan salah seorang buruh yang aktif di serikat pekerja perkebunan.

Suaminya inilah yang membawa berita menghebohkan ke lingkungan serikat pekerja, dan kepada sang ketua yang tak lain tak bukan adalah Iwan.

Tetapi berhubung Iwan adalah tokoh yang disegani di kalangan buruh perkebunan, maka berita itu pun disampaikan secara pribadi serta dengan penuh hormat. Selain itu, sebagai wujud solidaritas, para pekerja ikut melacak dari mana gerangan sumber gosip yang menghebohkan itu.

Dalam waktu dua hari, Iwan dan para buruh perkebunan sudah tahu bahwa Pak Rustandi lah awal dari segalanya.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Ferry memarkir motornya setelah tadi mengirim satu rol film ke ibukota, ke salah seorang sahabatnya yang memiliki studio foto. Ia telah menginterlokal temannya itu dari kantor telpon di M, dan mengabarkan maksud-tujuannya secara hati-hati.

Ia mengingatkan sahabatnya pula, bahwa kalau film itu gagal dicuci, maka segala tujuannya akan gagal. Tentu saja ia belum tahu bahwa Pak Rustandi telah membuka peluang kegagalan itu, dan ia sama sekali tak punya prasangka ketika melihat satpam senior itu berlari tergopoh-gopoh ke arahnya.

Ferry baru saja menaruh kunci motor di sakunya, ketika Pak Rustandi sampai di depannya. Manajer muda itu membuka kacamata hitamnya dan segera terkejut melihat wajah rekan konspirasinya. Sebuah lingkaran biru-hitam kemerahan terlihat jelas di mata kiri Pak Rustandi. Sebuah lebam karena tinju!

“Mereka memukuli saya, Tuan Ferry!” seru Pak Rustandi terengah-engah sambil memegangi pipi kanannya yang terlihat membengkak pula. Ferry terkejut,
“Siapa mereka?”
“Tiga orang buruh muda berbadan kekar!” sahut satpam itu sambil meringis.

Insting Ferry segera menyatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Cepat-cepat ia menarik lengan Pak Rustandi untuk masuk ke kantornya sambil bertanya,

“Kenapa mereka memukuli bapak?”
“Tidak tahu, mereka tiba-tiba mengamuk!” sahut Pak Rustandi berbohong. Ketiga buruh itu sempat bertanya-tanya tentang gosip Iwan-Karin sebelum memukulinya.

“Tidak mungkin mereka tiba-tiba mengamuk tanpa alasan!” sergah Ferry sambil membuka lemari es kecil untuk mengambil es sebagai kompres sementara yang bisa mengurangi rasa sakit di muka satpam malang itu.

“Mereka memang sering mengamuk, terutama buruh-buruh muda sering marah tanpa alasan!” kata Pak Rustandi mempertahankan cerita bohongnya. Ia ingin membangun simpati di manajer muda yang memang sering bertentangan dengan para buruh dalam segala soal, mulai dari jam kerja sampai upah harian.

“Ya, mereka memang banyak menuntut!” sahut Ferry menyetujui, “Tetapi kenapa mereka memukuli Pak Rustandi? Apa salah bapak?!”

“Tidak tahu, Tuan!” sahut Pak Rustandi sambil menerima sepotong es yang sudah dibungkus saputangan, dan segera menempelkannya ke lebam di sekitar mata.
“Apakah bukan karena soal yang lain?” sergah Ferry, kali ini dengan nada menyelidik.

“Tidak tahu, Tuan!” kata satpam itu mempertahankan diri. Ia kini sadar bahwa kedudukannya agak terjepit. Kalau Ferry tahu bahwa mereka mengamuk karena gosip tentang Iwan-Karin, maka tamatlah sudah hubungan konspirasi mereka.

“Apakah bukan karena persoalan pribadi?” desak Ferry sambil memutar telpon. Ini urusan serius yang perlu dilaporkan ke kantor serikat buruh di kota kabupaten.

Pak Rustandi melihat Ferry memutar telpon, dan lelaki itu menjerit mencegah, “Jangan telpon polisi atau yang lain, Tuan!” Ferry menghentikan gerakan jarinya. Kedua matanya menatap tajam dan instingnya semakin keras mengatakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Pak Rustandi darinya.

“Kita selesaikan saja dulu persoalan ini secara baik-baik, Tuan,” rengek Pak Rustandi sambil meringis merasakan pedih di pipi dan mata kirinya.

“Baik-baik bagaimana?” umpat Ferry, tak sabar melihat tingkah satpam yang mencla-mencle itu, “Bapak dipukuli sampai babak belur begitu, dan sekarang mengajak saya menyelesaikan persoalan ini baik-baik. Bagaimana kalau buruh-buruh keparat itu tidak mau diajak bicara baik-baik?”

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Pak Rustandi meringis lagi. Selain sakit di mukanya, ia juga meringis mendengar istilah “buruh keparat” yang digunakan Ferry. Biar bagaimana pun, buruh-buruh itu adalah penduduk sekitar yang sebagian besarnya ia kenal sejak mereka masih anak-anak.

“Kalau perlu kita selesaikan di pengadilan. Buruh-buruh itu perlu diberi pelajaran!” hentak Ferry sambil melanjutkan memutar nomor telpon.
“Mohon dengarkan saya dulu, Tuan Ferry!” sergah Pak Rustandi dan dengan tangannya yang legam terbakar matahari ia menahan gerakan tangan Ferry.

Ferry terkejut campur geram. Berani betul satpam ini menahan keputusanku? jeritnya dalam hati. Pak Rustandi tidak mempedulikan sinar mata marah Ferry yang terpancar tajam. Ia memohon sekali lagi,

“Ijinkan saya menceritakan kejadiannya, Tuan Ferry!”

Ferry menggebrak meja. Kemarahannya kini memuncak. Ia tidak suka kekuasaannya diganggu gugat. Apalagi oleh buruh atau petugas rendahan semacam satpam di depannya ini. Ia sudah bosan menghadapi orang-orang yang banyak menuntut dan menurutnya pemalas serta bodoh itu.

“Bapak membuat saya muak!” jerit Ferry membuat Pak Rustandi terperangah.

“Sejak saya bekerja di sini, tujuan saya adalah menertibkan kalian!” sambung Ferry dengan nada tinggi, “Kalian adalah orang-orang yang tidak tahu diri. Kami memberi pekerjaan yang baik dan gaji yang cukup. Tetapi kalian tetap malas dan kini bahkan buruh-buruh itu bertindak ugal-ugalan. Saya tidak mau melihat ada yang ugal-ugalan di daerah kekuasaan saya!”

Pak Rustandi terdiam dan membuka mulutnya tanpa mengeluarkan suara. Kata-kata terakhir Ferry, terutama tentang “daerah kekuasaan” membuat lelaki tua ini merasa sekaligus sedih bercampur geram. Bagiamana mungkin orang kota yang tidak lahir di sini bisa mengakui bahwa tanah tempatnya bekerja adalah “daerah kekuasaan”-nya?

“Sekarang bapak diam saja di sini, sementara saya menelpon polisi dan serikat buruh. Persoalan ini harus diselesaikan secara hukum!” lanjut Ferry sambil langsung memutar nomor telepon.

Pak Rustandi menundukkan kepalanya, menekuri lantai kantor yang licin dan tampak dingin. Menyesal sekali ia menceritakan gosip Iwan-Karin kepada istrinya. Tetapi lebih menyesal lagi ketika ia kini tahu bahwa orang yang diajaknya berkonspirasi untuk kedudukan dan gaji yang lebih baik ternyata seorang keparat pula.

Seorang yang dengan pongah mengklaim tanah leluhurnya sebagai daerah kekuasaan. Layaknya seorang raja kecil saja dia! Seorang raja kecil yang berbakat zalim! sergah hati lelaki tua ini dengan getir.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Sementara itu, di tengah kesibukan buruh yang mengangkati karung-karung cengkeh ke atas truk, tiga orang buruh muda mendekati Iwan yang sedang berdiri mengawasi kerja mereka.

“Kami sudah memberesi dia, Mas Iwan,” ucap Gatot, seorang buruh muda yang jarang memakai baju dan yang ototnya memang seperti Gatotkaca. Iwan mengernyitkan dahi,

“Memberesi siapa? Apa yang diberesi?” Suadi, buruh muda yang lain dan yang bertubuh kerempeng tetapi liat, menyela dengan suara bangga,
“Satpam tua itu, Mas Iwan, kami sudah pukuli biar kapok!”

“Hah!?” Iwan membelalakkan mata ketika menyadari bahwa mereka sedang membicarakan sang sumber gosip, “Kenapa kalian pukuli Pak Rustandi?”

“Biar kapok dia, Mas!” sergah Rodin, buruh lain yang tadi ikut meninju pipi Pak Rustandi.
“Kalian sudah gila!” bentak Iwan, kini sepenuhnya sadar bahwa anak buahnya telah melakukan langkah ilegal. Ia memang sudah memikirkan persoalan gosip yang menyangkut dirinya, tetapi ia punya rencana lain yang tidak melibatkan tinju sama sekali.

“Lho … kami cuma mau membela Mas Iwan!” sahut Gatot terkejut karena dibentak, padahal tadinya berharap menerima pujian. Iwan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras,
“Bukan begitu caranya! Kalian memukuli orang yang tak bersalah!”

“Tetapi dia merusak nama baik Mas Iwan!” sahut Suadi membela diri. Seperti halnya Gatot, buruh ceking ini juga berharap mendapat pujian dari pimpinannya.

“Kita harus menjaga martabat pekerja, Mas!” sambung Rodin bersemangat. Buruh muda ini memang selalu bersemangat kalau sudah berkaitan dengan serikat pekerja tempatnya bergabung bersama buruh lain.

“Ya … ya… ya!” sahut Iwan jengkel, “Tetapi memukuli Pak Rustandi yang tua itu sama dengan memukuli diri kalian sendiri. Dia juga anggota serikat pekerja, dungu!”

Gatot terbengong. Otaknya belum bisa menangkap logika Iwan. Baginya, seorang semacam Pak Rustandi musti dihajar agar kapok. Suadi juga melongo, sadar bahwa ucapan sang ketua yang cerdik ini memang benar. Rodin menggaruk kepalanya yang terasa gatal.

“Sekarang urusannya jadi pelik!” kata Iwan dengan suara tinggi, membuat beberapa buruh wanita menengok kearah mereka.

Segera ia menurunkan nada suaranya dan berkata, “Kalian tutup mulut, dan bekerja lagi. Biar saya urus persoalan ini dengan Pak Rustandi!” Gatot, Suadi dan Rodin membungkamkan protes yang sudah ada ditenggorokan mereka. Kalau Iwan sudah berkata tegas begitu, tak ada yang perlu diprotes. Sambil menunduk lesu, ketiga buruh muda itu kembali bekerja.

Iwan bergegas melangkah menuju markas satuan pengaman di sebelah kantornya. Ia tidak melihat sebuah jip berisi tiga orang polisi memasuki halaman perkebunan dan menuju kantor pusat.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kino sedang asik membaca sebuah buku tentang misteri piramida di Mesir ketika di pintu rumah muncul Karin dan Dani.

“Hei, apa kabar!” sapanya riang sambil bangkit dari kursi menuju pintu.

Dani melambaikan tangan dan tersenyum manis. Karin mengucap “halo” samar-samar sambil berdiri kikuk. Ia dan Dani belum pernah datang ke rumah Kino.

“Ayo masuk!” seru Kino melangkah mendekat. Dani dan Karin saling pandang sejenak, lalu melangkah masuk dengan ragu-ragu. Kino menarik mundur dua kursi tamu dan melemparkan buku yang dibacanya secara sembarangan.

“Ayo jangan malu-malu. Kalian tumben muncul!” kata Kino dengan riang untuk mencairkan suasana. Sudah lama juga ia tidak bersua keduanya. Mungkin sudah dua minggu lebih.
“Maaf, kami tidak bilang-bilang mau datang,” kata Karin sambil mengambil tempat duduk. Dani bergumam tidak jelas.

“Tidak apa-apa. Aku juga sedang tidak punya teman!” sahut Kino terus terang menyatakan kegembiraannya mendapat teman di siang yang sepi menjemukan ini. Ia segera ikut duduk dan berbasa-basi menanyakan kabar kedua gadis cantik di depannya.

“Kami ingin menyampaikan kabar tentang Iwan,” kata Karin dengan suara pelan. Kino mengernyitkan dahinya. Mengapa harus berkata-kata dengan pelan dan serius begitu? Biasanya gadis ini periang dan blak-blakan saja. Apalagi Dani juga terlihat menunduk.

“Ada apa?” tanya Kino ketika Karin tidak melanjutkan ucapannya.
“Kamu belum mendengarnya?” Karin balik bertanya. Kino menggeleng.
“Iwan ditahan di kantor polisi,” kata Dani karena Karin tidak terlihat hendak berkata-kata.

Kino melongo, memandang kedua gadis di depannya secara bergantian. Ia memang telah lama tidak bersua dengan Iwan, sejak terakhir berdebat tentang petualangan cintanya. Kini salah satu gadis pasangan kencannya itu datang dengan berita mengagetkan. Amboi, hidup ini penuh variasi, bukan!?

“Gara-gara saya …,” bisik Karin menunduk, seperti burung kecil yang basah kuyup tersiram air hujan. Beda sekali dengan saat ia berteriak-teriak riang di sungai!

Kino masih melongo, mencoba mencerna segala berita singkat yang barusan diterimanya. Segala sesuatunya masih membingungkan, walaupun ia sudah membuat sebuah dugaan samar-samar. Apa yang ia dulu kuatirkan, tampaknya kini menjadi kenyataan. Iwan dan Karin berbuat terlalu jauh, … terlalu jauh untuk kota sekecil ini.

Lalu, kini polisi ikut campur. Ketika akhirnya Karin dan Dani menceritakan secara ringkas duduk perkaranya, barulah Kino bisa menghela nafas panjang. Ia tercenung sekian menit, lalu meminta kedua gadis itu menunggu sejenak sementara ia berganti pakaian. Mereka bertiga akan pergi ke kantor polisi menjenguk Iwan.

*** Cerita Cinta Dewasa ***