Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #43

Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #43

Suara Kesunyian – bagian 1

Cerita Cinta Dewasa – Kino pernah mendengar kata-kata itu, yakni “kesunyian terkadang nyaring bunyinya”. Tetapi selama ini, ia tidak pernah secara serius mengartikannya. Ia pikir, itu cuma permainan kata para penulis puisi dan para cerdik cendekia. Ia pikir, itu cuma lagu karang-karangan Simon dan Garfunkel semata, The Sound of Silence.

Tetapi kini, dengan rasa takjub, Kino menemukan sebentuk kebenaran di kata-kata itu. Benar juga! ….. Kesunyian bisa terjadi pada saat yang sangat ramai. Kesunyian bisa terngiang nyaring di telinga. Kesunyian tidak selamanya sepi.

Kesunyian berawal ketika Kino melihat -dan merasakan- betapa perlahan-lahan Ridwan surut dari persahabatan mereka. Pemuda itu perlahan-lahan hilang di tengah kesibukan kuliahnya, karena kini ia punya hobi baru: main musik dengan kelompok anak-anak orang kaya.

Setidaknya tiga kali dalam seminggu, Ridwan ‘menyepi’ bersama kelompoknya ke sebuah vila di selatan kota. Ada 5 pemuda dalam kelompok itu, termasuk Ridwan. Semuanya anak-anak dari wilayah elit kota; pada umumnya anak pedagang atau pembesar kayaraya.

Itu memang kelompoknya, karena Ridwan sendiri adalah anak seorang saudagar besar. Kino pernah diajak ikut, tetapi pemuda itu merasa terasing.

Bukan saja karena kelompok itu lebih suka kepada musik cadas aliran Led Zeppelin, tetapi juga karena mereka semua punya mobil. Kino cuma jalan kaki, dan kenyataan itu agak menggetirkan walaupun tak pernah ditonjolkan oleh siapa pun.

Walaupun Ridwan mengatakan bahwa Kino selalu akan diterima dengan tangan terbuka, tetapi kelompok barunya itu tak selalu ramah. Terkadang mereka seperti susah payah menyembunyikan ketidak-sukaannya pada Kino, sehingga akhirnya pemuda itu sendiri yang mundur teratur.

Kemudian Kino juga terperangah melihat kesibukan Tigor menata kisah kasihnya dengan Lia. Pemuda berangasan itu berubah menjadi sangat jinak dan menumpahkan seluruh perhatiannya ke gadis idamannya. Uniknya, segala tingkahlaku mereka berdua semata-mata untuk melawan orangtua si gadis, yang menentang hubungan mereka.

Semakin ditentang, semakin erat mereka berhubungan, dan semakin menyendiri pula mereka berdua. Perlahan tapi pasti, pemuda itu menjauhi Kino maupun Ridwan dan Rima.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kino yakin, Tigor menjauh tidak dengan sengaja, melainkan seperti orang terhanyut oleh aliran sungai yang pelan. Lagipula, ia seperti seorang penumpang kapal yang melambai-lambai ke para pengantarnya di pelabuhan. Ia menjauh dengan kelegaan yang terasa ganjil.

Selain dari dua sahabat prianya itu, Kino juga menerima pesan halus tetapi menggurat kuat dari Rima. Gadis tomboy yang sekarang memanjangkan rambutnya itu -dan karenanya menjadi lebih feminin- mengatakan bahwa mas Danu memerlukan perhatiannya.

Dengan dahi mengernyit, Kino mencoba mempersoalkan hal itu, tetapi Rima cuma menjawab pendek, “Kita mungkin akan jarang bertemu lagi…”.

“Kamu masih suka naik gunung, kan?” kejar Kino. Rima menggeleng pelan,
“Mas Danu lebih suka ke laut dan memancing. Aku akan menemaninya.” Kino membuka mulutnya untuk membantah, tetapi ia menutupnya lagi setelah melihat ketegasan di kedua mata sahabatnya itu.

Nah, …. ketiga sahabatnya kini menjauh dari dirinya, maupun dari masing-masingnya. Persahabatan yang pada awalnya terlihat begitu ketat-erat, ternyata merapuh.

Tanda-tanda bubar semakin jelas. Mereka memang masih sering berjumpa secara fisik, yakni setiap kali mereka kuliah, atau ketika Kino berkunjung ke kampus. Tetapi percakapan di antara mereka semakin jarang, dan semakin menipis dari segi isi.

“Apa yang terjadi di antara kita?” Ridwan pernah bertanya begitu, ketika mereka duduk-duduk di pinggir lapangan bola, di sebuah sore yang berpayung langit merah. Rima mendesah, tak berkata apa-apa, melanjutkan menggigit-gigit bunga rumput.

“Aku perlu banyak waktu untuk Lia,” ucap Tigor seakan-akan untuk membela diri dari tuduhan memisahkan diri. Ridwan tertawa kecil menepuk bahu Tigor,
“Bukan salahmu, sobat! Aku cuma heran sendiri, kenapa kita sekarang semakin jarang ngobrol berlama-lama.”

“Kita punya persoalan masing-masing,” kata Rima.
“Persoalan yang tidak ada kaitannya dengan persahabatan kita,” tambah Kino. Tigor mengangguk-angguk, “Mungkin itu memang proses yang alamiah.”

“Maksudmu, persahabatan kita akan bubar secara alamiah?” sergah Ridwan.
“Maksudku, kita semua secara alamiah akan mengalami persoalan-persoalan pribadi,” jawab Tigor sambil mengebulkan asap rokoknya.

“Ya,” sahut Kino menyetujui, “Aku rasa kita memang sedang mengalami persoalan-persoalan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan persahabatan ini.”

“Jadi …,” Rima tak meneruskan kata-katanya. Ridwan, yang duduk di sebelahnya, memeluk pundak gadis itu,
“Jadi, kita tak perlu risau … cuttie!” Tigor mendengus nyaring,

“Ya, tidak perlu risau!” Kino menghela nafas panjang,
“Memang tidak perlu risau. Tetapi kita tidak juga tidak punya pilihan lain, selain berpisah.”
“Kita masih bisa terus bertemu,” sergah Rima sambil secara tak langsung memindahkan tangan Ridwan dari bahunya.

“Ya, masih bisa terus bertemu,” kata Ridwan seperti gema.
Tigor mengangguk-angguk. Kino terdiam. Lalu semuanya diam. Bahkan angin pun ikut diam.

Dalam hati tiba-tiba Kino berbisik … nyaring sekali kesunyian ini!

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Itulah awal kesunyian yang terngiang-ngiang di telinga Kino. Apalagi kemudian, pada suatu Sabtu sore yang indah dan cerah, Indi datang dengan seorang pemuda ke tempat kostnya. Mereka berdua muncul bergandengan tangan; wajah Indi penuh senyum ceria.

Dengan riang, gadis centil itu memperkenalkan sang pemuda kepada Kino yang waktu itu masih memakai celana pendek dan kaos dekil, karena baru saja membantu ibu semang membersihkan dapur.

“Kenalin .. ini pacar Indi!” seru gadis itu sambil secara demonstratif memeluk lengan sang pemuda. Kino melongo, tetapi secara sopan menyambut uluran tangan pemuda yang katanya bernama Randi itu.

“Dia kuliah di fakultas teknik juga!” celoteh Indi sambil tak henti-hentinya memeluk-meremas lengan sang pacar.

Kino tak berkata apa-apa, tetapi berusaha tersenyum sekuat tenaga. Kalau ada cermin, ia pasti menyesal tersenyum seperti itu. Seperti kuda yang kehilangan ekornya!

“Udah, ya .. Kak Kino … kita mau nonton dulu!” sergah Indi lalu melangkah pergi bersama Randi yang tak berucap sepatah kata pun. Kino masih diam saja. Telapak tangannya tiba-tiba terasa penuh keringat. Kepalanya penuh pertanyaan: apa yang terjadi dengan Indi? Apa yang ia hendak katakan?

Sambil memandang sepasang kekasih itu menjauh, Kino menemukan sekeping demi sekeping jawaban. Jelas bahwa tingkah Indi yang terakhir ini ada hubungannya dengan berbagai keanehan yang ia tunjukkan sejak gadis itu lari dari sapaannya beberapa minggu yang lalu. Sejak itu, Indi selalu menghindar.

Ia bahkan tidak pernah meminta bantuan untuk menyelesaikan PR matematikanya. Kalau berjumpa, Indi selalu cuma berkata “hai..” lalu cepat-cepat melangkah pergi. Sekali waktu, Kino perlu ke rumah gadis itu untuk meminjam pemotong rumput. Ia tahu Indi ada di dalam, tetapi gadis itu malah menyuruh pembantu rumah tangganya untuk menyerahkan alat yang diperlukannya.

Kenapa Indi begitu, Kino pada awalnya tak tahu. Sampai pada suatu hari ia bertemu Mutia secara tak sengaja di atas angkot. Gadis itu sendirian saja, dan langsung mengenali Kino, bahkan menyapa terlebih dahulu. Setelah basa-basi, tiba-tiba gadis itu mengatakan bahwa Indi marah kepadanya. Kino terperangah,

“Marah kenapa?”
“Karena Kak Kino terlalu dekat dengan Rima,” jawab Mutia mengatasi keriuh-rendahan suara angkot.

“Rima?!” sergah Kino bertambah heran.
“Ya, kami melihat Kak Kino berjalan mesra berduaan waktu itu,” jawab Mutia.

Kino melongo tambah lebar. Begitu lebarnya sehingga seorang ibu yang duduk di seberang mereka memandang was-was. Mungkin ibu itu berpikir, apakah pemuda itu akan berteriak nyaring atau memuntahkan isi perutnya.

“Indi sangat tersinggung!” sambung Mutia tak memperdulikan pemuda di sebelahnya.
“Tapi …,” Kino tak bisa meneruskan kalimatnya.
“Pokoknya, Indi marah!” sergah Mutia, lalu mengatakan permisi karena ia akan segera turun.

Kino terdiam penuh kebingungan setelah gadis itu turun. Ia bahkan begitu bingungnya sehingga melewati tempat seharusnya ia turun.

Kini, setelah Indi memperkenalkan secara demonstratif pacar barunya, Kino menemukan jawaban dari semua teka-teki itu. Walaupun baginya terasa cukup menggelikan, namun Kino kini bisa memahaminya. Indi ternyata sangat pencemburu.

Demonstrasi Sabtu itu adalah pernyataan tegas tentang kecemburuannya. Indi memberikan sebuah ancaman yang sangat jelas: ia akan menjauhi Kino.

Apa yang harus kulakukan? pikir Kino risau.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Untung bagi Kino, ia masih bisa mengisi hari-harinya dengan kesibukan. Ia melamar ke sebuah kursus bimbingan belajar untuk menjadi pengajar matematika. Ia langsung diterima, dan keesokan harinya langsung mendapat 5 siswa untuk dibimbing.

Bagi Kino, pekerjaan ini tidaklah sulit, mengingat ia biasa membimbing Indi atau teman-temannya kalau punya masalah dengan PR matematika. Kelima siswa yang ia bimbing, semuanya pria, bukanlah anak-anak yang terlalu sulit untuk diajak menyelesaikan masalah. Kino bersyukur pula, karena pekerjaan sambilan ini mendatangkan uang saku tambahan yang lumayan.

Tiga kali seminggu, dari pukul 4 sore sampai pukul 6, Kino datang ke tempat kursus dengan naik angkot. Dan karena waktu kursus ini adalah seusai jam sekolah, tak sekalipun pemuda itu bertemu dengan Indi, baik di rumah maupun di perjalanan.

Perlahan tapi pasti, kesibukan Kino menyita perhatiannya sehingga ia tak terlalu merasa kehilangan gadis itu.
Tetapi, benarkah demikian?

Sepulang mengajar, pada suatu senja yang cerah, Kino melangkah sendirian ke sebuah bioskop tempat dulu ia biasa nonton bersama Ridwan atau Tigor. Ketika membelok di tikungan menuju gedung bioskop itu, langkahnya tertahan. Ia berdiri terpaku.

Kira-kira 10 meter darinya, di sebuah restoran yang biasa menjadi tempat rendesvouz anak-anak tanggung, Kino melihat Indi duduk berduaan dengan Randi menghadapi dua gelas jus alpukat.

Mereka duduk dekat jendela kaca yang besar, yang bening dan transparan, sehingga keduanya seperti isi sebuah lukisan dengan bingkai raksasa. Indi tampak ceria, dan walaupun suaranya tak terdengar, Kino tahu gadis itu sedang berceloteh dengan suaranya yang manja-centil itu.

Sesekali, gadis itu tampak mencubit lengan Randi atau menumpangkan tangannya secara ringan di pergelangan pemuda itu. Penampilannya mempesona, karena Indi memang cantik. Apalagi kalau ia sedang ceria dan sumringah seperti itu. Bagai bunga yang berbinar di pagi cerah saja layaknya.

Diam-diam Kino memperhatikan adegan itu dengan perasaan aneh. Ada getar-getar geram yang ia rasakan menyekat di kerongkongannya. Berkali-kali pemuda itu batuk untuk membersihkan kerongkongannya, tetapi perasaan itu tetap muncul kembali.

Apakah Indi betul-betul senang kepada pemuda itu? tanya hatinya tiba-tiba. Ah, pertanyaan yang konyol! Mengapa mempertanyakan kesungguhan perasaan gadis itu? Bukankah gadis itu berhak memiliki perasaan terhadap siapa pun? Bukankah pertanyaan konyol ini cuma kompensasi dari sebuah ketercampakan, datang dari seseorang yang ditinggalkan?

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kino mengeluh dalam hati; merisaukan sebentuk perasaannya sendiri. Ia menggugat hati kecilnya sendiri; mengapa kini kau merasa bahwa Indi seharusnya tidak menyukai pemuda itu. Kini kau mempersoalkan kepada siapa gadis itu menaruh perhatian, padahal dunia ini masih lapang-luas untuk apapun yang gadis itu ingin lakukan.

Siapa kau, sehingga merasa punya hak mempersoalkan kepada siapa Indi ingin pergi dan bercengkrama? Siapa kau, sehingga berani membangun asumsi bahwa kepada siapa Indi menaruh perhatian haruslah memenuhi syarat tertentu. Dan apa syarat itu? Apakah kau punya hak untuk membuat daftar prasyarat itu!

Dengan mulut yang tiba-tiba terasa pahit, Kino melanjutkan langkahnya cepat-cepat. Ia mengurungkan niatnya untuk menonton. Ia merasa sebaiknya menjauh saja dari lingkungan yang di dalamnya ada Indi sedang bercengkrama dengan pemuda pujaannya.

Sebelum meninggalkan lingkungan yang bagi Kino terasa mencekam itu, ia menengok terakhir kalinya ke jendela restoran.

Tepat pada saat yang sama, Indi sedang memandang keluar.

Kino ingin segera berbalik, tetapi hati kecilnya menuntut: pandanglah, dan cari tahu apa yang ada di sepasang mata bening itu.

Kino berdiri kikuk di trotoar.

Randi mengucapkan sesuatu, tetapi Indi tidak mendengarnya. Dari tempatnya duduk, Indi tak perlu terlalu memalingkan muka untuk bisa melihat Kino berdiri nun di sana. Randi masih bicara tentang sesuatu, tetapi gadis itu tak menyimaknya.

Sedang apa ia? bisik hati Indi. Sendiri, berdiri di trotoar seperti tiang lampu. Hello lamp-post, what you’re doing… Sendiri di antara seliweran orang, memandang ke sini. Apa yang ia lihat menembus kaca bening ini? bisik hatinya lagi.

Through this thick glass, seeing and believing… Rambutnya yang agak gondrong berkibar pelan; kedua tangan di saku celana. Sedang apa dia; hendak ke mana? tanya Indi, lalu menyambungnya lagi: Dengan siapa?

“Apa, dong?” terdengar suara Randi agak keras. Indi tersentak dan tergagap,
“Eh, sorry … Apa?”

“Kamu mau pesan apa?” sergah Randi sambil tertawa,
“Dari tadi aku tanya, kamu bengong!”
“Eh, ya …,” Indi tergagap sambil meraih menu dan memeriksa isinya.

Gadis itu lalu mengatakan tidak terlalu lapar, dan ingin memesan dua potong risol saja. Lalu ia mengangkat muka dan melihat keluar lagi. Tapi ia tak melihat pemuda yang tadi berdiri sendirian di trotoar seperti lampu jalanan ….

“Siapa?” tanya Randi ikut menengok ke luar.
“Ah, tidak!” sahut Indi cepat-cepat, ”
Aku pikir tadi temanku lewat di luar sana!”

Kino sudah melangkah cepat, menjauhi tempat yang mencekam itu. Seorang ibu nyaris terserempet, dan pemuda itu buru-buru menggumamkan maafnya. Ia bahkan lalu berlari kecil, pura-pura mengejar sebuah angkot.

Padahal, ia lari dari perasaannya sendiri. Menghindari kegalauannya sendiri. Meninggalkan kesunyiannya di antara keramaian mall yang ceria itu. Tetapi tentu saja, tak seorang pun bisa lari dari kesunyian. Tak seorang pun, termasuk pula Kino.

Camkanlah ini baik-baik: …. kesunyian ada di kalbu, menyeruak pelan di dada, dan membungkus raga ke mana pun kita pergi. Walaupun kita bisa lari dari kesunyian, tetapi ke mana kita menuju? Ke arah keramaian? Bukankah keramaian adalah sebentuk kesunyian pula, manakala tak seorang pun ada di dekat hati kita!

*** Cerita Cinta Dewasa ***