Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #44

Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #44

Suara Kesunyian – bagian 2

Cerita Cinta Dewasa – Indi duduk di meja belajar di kamarnya, tercenung sejak 15 menit yang lalu. Suasana sepi, karena jarum jam telah menunjukkan pukul 11 malam. Di luar terdengar suara serangga malam mencoba meramaikan kesunyian alam.

Tetapi suara mereka terlalu kecil, dan justru menegaskan bahwa tak ada suara apa pun yang bisa mendominasi Sang Malam.

Di depan gadis itu, sebuah buku harian terbuka. Kedua halaman yang kini terpampang itu masih kosong, kecuali oleh sebuah kalimat pembuka yang pendek: Dear diary….

Dari tadi Indi ingin memulai menulis laporan nuraninya di halaman itu; hendak menyampaikan seruan-seruan kalbunya tentang peristiwa kecil di suatu sore yang mencengangkan itu.

Yakni ketika ia sedang makan malam bersama Randi dan melihat Kino terpaku di seberang jalan, lalu menghilang di tengah keramaian (baca cerita sebelumnya – Pen.)

Tetapi darimana ia harus mulai, gadis itu tak merasa pasti. Ia ingin mulai dengan kemarahan, tetapi tak tahu kepada siapa kemarahan itu harus dialamatkan.

Indi mengeluh dalam hati: … Andaikata kak Kino tak muncul di sana, dan tidak tercenung memandang ke arahku, tidak perlu aku merasa repot seperti ini! Aku merasakan kehilangan yang getir, justru pada saat ia kembali dari kepergiannya yang menggelisahkan. Aku membenci perlakuannya kepada Rima, justru pada saat aku begitu ingin memeluknya.

Indi menghela nafas panjang dan menghempaskannya kuat-kuat. Sudah berkali-kali ia melakukan hal ini, tetapi galau di dadanya tak jua usai.

Mengapa harus ada kegeraman yang berbaur dengan kerinduan? gugat hati kecilnya. Haruskah aku mempertanyakan lagi harga diriku yang terlalu kuat, mengorbankan biru-rinduku dengan rona-kecemburuan yang berkobar tak terkendali ini!??

Aku sudah melakukannya berkali-kali! Setiap kali, hati kecil ini bertolak belakang dengan suara kalbuku. Kak Kino tak boleh seenaknya mempermainkan perasaanku; membiarkan aku menumpahkan segala perasaannya, sementara ia enak-enak menolaknya dengan berbagai cara.

Apalagi menolaknya dengan demonstrasi kemesraan di tengah jalan seperti itu! Sungguh tak layak! Sungguh menggeramkan!

Tetapi aku begitu merindukannya! jerit hati kecil Indi, sementara giginya terbenam menggigit bibir yang memerah. Aku ingin bermanja-manja lagi dengannya. Biarlah ia menolakku, mendorongku ke luar dari pelukannya, menolak undangan gairah ciumanku, memaksa ku berhenti mendaki kenikmatan rengkuhan tangannya yang kokoh.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Biarlah … aku tak terlalu merasa menjadi korban, karena terkadang justru permainan-permainan kecil seperti itu adalah pemantik-pemicu perasaan indah di dadaku. Aku bisa berbinar sepanjang hari, berpenuh harap pada suatu saat ia mau menerimaku apa adanya. Bermain-main terus dengan harapan dan impian, adalah sesuatu yang indah juga!

Namun, sampai kapan kak Kino bisa begitu. Sampai kapan ia harus membiarkan aku seperti pohon yang terhuyung-huyung oleh angin yang sesuka hati?

Aku toh punya kesempatan luas, dan cowok-cowok itu sudah lama antri untuk mengajakku nonton, makan malam, atau jalan-jalan keliling kota sambil bercakap-cakap tak tentu arah. Mengapa aku harus menunggu satu pangeran yang sombong dan keraskepala itu, selagi ada ratusan perwira yang siap mengawalku ke mana pun aku mau pergi.

Biarlah pemuda angkuh ini menjadi kukuh oleh prinsipnya sendiri! Biarlah ia membatu di puncak bukit!!

Bulan merah di langit, yang biru kelabu… sayup-sayup terdengar lagu Bimbo dari radio yang sejak tadi volumenya dikecilkan oleh Indi. Gadis itu melepaskan gigitan di bibirnya sendiri, karena ada rasa asin menyeruak dari sebercak luka yang terbit tak sengaja.

Ia mengeluh keras-keras, lalu mulai menulis melanjutkan kalimat dear diary..

hari ini aku benci sekali kepada seluruh dunia … benci melihat orang-orang berseliweran seperti tak punya persoalan…

Indi menghentikan goretan penanya. Denting suara gitar Bimbo mengalun indah.. berhembus, badai di hati,…. kelam, kelam jatuh di bumi… Dengan tekanan ekstra kuat yang hampir merobek halaman buku hariannya, ia menulis lagi ..

aku benci kepada diriku sendiri… ingin memaki-maki diri sendiri di depan cermin… berteriak ‘bangsat!’ sekuat tenaga… kalau bisa, sampai cermin itu pecah berantakan… sebal betul rasanya!

Pena berhenti, tintanya menyebar membentuk bulatan kasar. Indi menekan lebih keras, sehingga kertas itu akhirnya menyerah, bolong tembus ke halaman sebelumnya. Indi cepat-cepat mengangkat pena itu, sadar akan kerusakan yang ditimbulkan oleh kegeraman hatinya.

Dengan suara cukup keras, Indi akhirnya menutup buku harian yang baru terisi tiga baris kalimat itu. Ia tak sanggup melanjutkan menulis, sekaligus kuatir akan merobek buku kesayangannya jika ia tak berhasil mengendalikan perasaannya sendiri. Disingkirkannya buku itu jauh-jauh, dilemparkannya pena ke pojok meja, sebelum ia bangkit untuk berganti baju.

Dengan gemas ia menanggalkan celana pendeknya, menendangnya sembarangan ke pojok kamar. Setelah itu, ia lepaskan pula celana dalam nilon tipis yang terasa erat mencekal pinggangnya itu. Dengan cepat ia buka kait beha di punggungnya, membiarkan kedua bukit sintal-indah di dadanya terbebas lepas, berguncang pelan.

Nah, kini ia merasa terbebas-terlepas dari himpitan pakaian. Setidaknya, kini ia merasa agak lega, walau himpitan perasaan masih membalut tubuhnya. Untuk sekedar menghalangi dingin, secepat kilat ia meraih daster di gantungan di belakang pintu, lalu mengenakannya tergesa-gesa.

Dalam lima menit ia sudah menghempaskan tubuhnya yang terasa lapang tak terkukung oleh pakaian sehari-hari itu ke kasur yang sejuk. Terlentang dengan mata lalang, Indi ingin menjerit keras-keras membuang galau. Tetapi tentu saja suara itu tak pernah keluar, kecuali kalau ia ingin membangunkan seisi rumah.

Tidak, itu tidak baik! jerit hati kecilnya. Tak baik mengajak semua orang di rumah ini untuk ikut menderita oleh perasaanku sendiri. Bahkan tidak juga Ibu, yang biasanya selalu ingin ikut membantu menyelesaikan persoalan anak gadisnya. Biarlah ini jadi persoalan paling pribadiku! hardik Indi dalam hati.

Ia berbalik ke kanan, memeluk guling yang harum karena sarungnya baru diganti tadi pagi. Ia membenamkan mukanya di kasur, menggigit seprai kuat-kuat dan membayangkan bahwa itu adalah daging di salah satu bagian tubuh Kino. Biar tahu rasa! jerit Indi dalam hati, … biar sakit dan menjerit!

Indi ingin tertawa sekaligus menangis. Kenapa justru pada saat menyebalkan seperti ini ia ingin menggigit gemas pemuda itu!?? Keterlaluan sekali kamu Indi, jerit salah satu suara di kalbunya. Membayangkan Kino pada saat marah kepadanya! Ganjil sekali kamu Indi.

Indi mendesah keras-keras dan kembali terlentang melepaskan guling yang bergulir menjauh. Ah! … Aku ternyata sangat merindukannya. Aku ternyata ingin sekali memeluknya dan mencium … lalu menggigit! …. bibirnya yang pura-pura tak mau melumat itu.

Apalagi kalau ia membalas memeluk, meraih pinggangku yang kelewat sensitif ini! … Ingin rasanya ia menjepit tubuh atletis itu kuat-kuat, dan tak melepaskannya lagi. Kalau perlu, menjadikannya satu dengan tubuh ini, yang selalu minta diremas-remas oleh jemarinya yang sopan tapi nakal itu!

Entah apa yang dimiliki Kak Kino, bisik hatinya, kenapa bayangannya selalu muncul seperti ini. Selalu menyelinap seperti bayangan di senja hari, menelusup ke pojok-pojok tersembunyi di tubuhnya yang bergetar halus tapi nyata.

Bahkan bayangan cowok kalem yang menggemaskan itu terkadang menyeruak sewaktu orang lain mencium-mencumbuku. Percuma saja ia pura-pura memejamkan mata menikmati ciuman Randi, karena sebenarnya ia membayangkan Kino melakukan semua itu.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kino selalu bisa membuatnya terlena. Mungkinkah pemuda itu menyadari kekuatan magnit di tubuhnya, lalu mempermainkan perasaanku? bisik hati Indi gelisah. Tetapi … ah! … aku juga suka dipermainkan seperti itu. Aku suka jika ia menarik-narik benang batinku dari kejauhan, lewat pandang matanya yang lantang tapi lembut itu.

Lalu, setelah terbetot lekat ke tubuhnya, aku biarkan ia mendorongku menjauh. Membiarkan bekas-bekas nikmat yang sekelumit itu melekat di mana-mana di tubuhku. Sehingga sehari penuh, setelah terjamah olehnya, aku bisa berenang tenang dalam lautan gairah yang samar.

Mungkin seperti itulah rasanya menjadi layang-layang. Ditarik dan diulur di langit luas!

Sialan! Indi mendesah kuat, karena tiba-tiba perasaan itu telah memenuhi sekujur tubuh. Perasaan ganjil yang menimbulkan debur jantung itu. Sialan! Sialan! Sialan! … perasaan geli yang menggelisahkan itu datang merayap-rayap. Aku merindukannya. Sialan! Sialan!

Indi memeluk lagi guling yang tadi tersisihkan. Sebuah keluh samar keluar dari bibirnya yang sedikit tergores. Di balik kedua payudaranya yang mengencang, terasa debur jantungnya meningkat sekian denyut lebih cepat. Bukan itu saja. Sebuah kehangatan yang ramah; yang sudah amat dikenalnya, kini menjalar pelan dari sumbernya ke seluruh sendi dan otot dan permukaan kulit ….

Guling pun menjadi sasaran pelukan Indi yang kini merasa gelisah sekaligus nyaman. Terjepit di antara kedua paha yang tersingkap oleh semrawutnya daster tidur, guling itu pasrah saja menjadi obyek tumpahan perasaan sang pemilik.

Guling itu tak melawan ketika si pemilik menambah erat pelukan. Guling itu menurut saja, ketika Indi mendorong, menggesek dan meremas, menjepit dan memilin. Guling itu diam saja!

Sialan! … gerutu Indi sebelum membiarkan salah satu tangannya merayap di antara guling dan kedua kakinya …

Sang Malam menyembunyikan suara-suara selanjutnya. Bulan di langit bersembunyi di balik awan, seperti malu menyaksikan pergumulan gelisah di dalam kamar Indi. Jarum jam bergeser pelan, seperti mengiringi jemari nakal yang tahu kemana harus menelusup pada saat-saat seperti ini. Dinding kamar yang dingin membantu meredam sebuah erangan pendek tersekat di kerongkongan.

Oooh … betapa menggemaskannya rindu itu. Sialan! maki Indi lagi, sebelum akhirnya menyerah pada tuntutan yang semakin sengit meminta pemenuhan di bawah sana.

Oooh … gadis itu mulai merasakan kejang yang mendatangkan nikmat itu menguntai di sekujur pinggul dan perutnya. Datanglah ke mimpiku Kak Kino … bisiknya sebelum membiarkan erangan demi erangan keluar dari bibirnya yang basah di sana-sini.

Datanglah. Datanglah. Segera!

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Tetapi tentu saja Kino tak mendengar imbauan yang melantun dari kamar Indi itu. Sebab ia sedang terengah-engah mendaki kaki gunung. Sendirian, dengan sebuah ransel besar di punggung, Kino sore tadi memutuskan untuk naik gunung mengusir rasa sunyi.

Ia sudah bertanya ke dokter jaga di klinik kampusnya, dan dokter muda itu mengatakan bahwa ia cukup sehat untuk mendaki, asal jangan gunung Merapi atau Jayawijaya.

Maka itu lah kini ia mendaki Gedeh dan mengejar tengah malam untuk sampai di Kandang Badak. Ia berencana untuk beristirahat di lokasi itu, sebelum naik ke puncak menjelang pagi.

Tepat pukul 10 malam ia tiba di Kandang Badak, yang ternyata tak sesunyi yang disangkanya. Ada lima tenda ukuran sedang sudah berdiri ketika ia tiba, dan sebuah api unggun berkobar ramai. Bahkan seorang di antara pendaki mengenalinya.

“Sudah lama tidak kelihatan .. ke mana saja?” kata pemuda ceking gondrong yang jaketnya kedodoran itu. Kino tersenyum dan secara singkat menjelaskan kemana ia menghilang. Tentu saja, tidak ada drama dalam berita pendek itu.

“Ayo bergabung!” seru pemuda itu sambil mengulurkan sebuah rantang penuh berisi singkong bakar yang agak gosong.

Kino tersenyum lagi sambil menurunkan ransel dari punggungnya. Lega sekali melepas beban dan menemukan dirinya berada di tengah orang-orang yang senasib. Ha! Kino tertawa dalam hati. Betulkah mereka senasib?! Biasanya begitu: para pendaki ini adalah orang-orang yang lari dari kesunyian di tengah keramaian kota.

Kino dengan cekatan mendirikan tenda kecil di salah satu pojok dekat api unggun. Dikeluarkannya pula termos berisi kopi susu hangat yang telah ia siapkan di rumah dengan bantuan ibu semangnya.

Lalu ia bergabung dengan selusin pendaki yang sedang menyanyikan balada … all the leaves are brown, and the sky is red … dengan iringan suara gitar yang agak sumbang.

Tetapi alam kelam dingin dan pohon-pohon tegar di sekitar mereka memberikan gaung latarbelakang yang memaafkan kesumbangan itu. Segalanya menjadi lebih indah di gunung. Segalanya menjadi ramah dan terbuka lapang.

Seorang pendaki menerima tawaran kopi-susu dari Kino. Setelah bertukar basa-basi, keduanya duduk berdekatan di seberang pemain gitar yang giginya ompong karena seminggu lalu tersungkur di dekat puncak.

Seorang pendaki lain, yang terlalu gemuk dibandingkan rekan-rekannya, tampak menyanyi paling keras tetapi juga paling sumbang. Suaranya menonjol, justru karena sering salah nada. Teman-temannya berkali-kali mengolok, tetapi si gendut tidak peduli.

Lagipula, olok-olokan di atas gunung memang tidak untuk ditanggapi secara serius. Olok-olokan itu justru adalah bagian dari kegembiraan, sehingga harus dibiarkan berlanjut sepanjang waktu. Bahkan kalau pun kau menyanyi dengan baik, pasti ada saja orang yang mengolok mengatakan bahwa kau menyombongkan diri.

Lalu si gondrong ceking yang mengenali Kino tadi, berteriak di ujung lagu, “Hei, teman-teman … di sini ada veteran pendaki yang jago main gitar!”

Para pendaki menengok ke arah yang ditunjuk si ceking. Kino tersipu, tetapi segera menerima uluran gitar yang berpindah-pindah tangan dengan cepat ke arahnya. Setelah menyetel senar untuk merapikan nada, Kino memulai showmanship-nya. Berdenting nyaring, dawai-dawai gitar di pelukannya segera melantunkan pembukaan lagu merdu milik Chrisye, Lilin-Lilin Kecil.

Semua orang ikut menyanyi. Ada yang hapal pembukaannya, ada yang hapal bagian tengahnya, ada yang cuma bisa ikut pada bagian refrain. Semua ikut menyumbangkan suara. Entah diminta ataupun ditolak. Dan kau lilin-lilin kecil, sanggupkah kau berpijar… Sanggupkah kau memberi seberkas cahaya…

Lalu beberapa lagu bersambungan muncul dari gitar di tangan Kino. Banyak pendaki bermunculan dari kemah menerima undangan lagu-lagu Beatles, Eagles, John Denver, Koes Plus, Bimbo …. juga lagu-lagu dang-dut.

Sementara kesunyian di hati Kino tetap berlanjut. Ia melihat ke sekeliling, mencari Rima atau Tigor. Mereka tidak ada di sekitar sini… Kemana mereka?

*** Cerita Cinta Dewasa ***