Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #45

Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #45

Sang Troubadour – bagian 1

Cerita Cinta Dewasa – Ketika berlari menjauh dari kesunyian hati untuk menghampiri keramaian-keriuhan dunia di antara julang-menjulang bukit dan gunung itulah, ketika bersua sesama pendaki dan sesama mereka yang lari itulah, Kino berkenalan dengan Sang Troubadour.

Seorang pemuda gondrong yang belum pernah ia temui sebelumnya, dan yang tampaknya cukup populer di kalangan pendaki lain. Ia sedang turun dari puncak, dan mampir sebentar di perkemahan tempat Kino beristirahat. Gayanya sembarangan, tetapi termasuk ramah untuk ukuran para pendaki yang biasanya acuh-tak-acuh..

“Suaramu boleh juga, cuma nyanyian mu tak punya ideologi!” ujar Obenk, begitu si gondrong itu biasa dipanggil.

Kino terperangah. Baru berkenalan sudah mencecar dengan kritik setajam samurai. Sial-dangkalan juga orang ini! gerutunya dalam hati.

“Memangnya kau ketua partai, ngomong soal ideologi segala!” sahut Kino tak kalah acuh plus ketus, menimpali gaya si gondrong yang dekil tetapi sekaligus penuh gaya itu. Obenk tertawa,
“He .. he .. he, aku memang ketua partai pengamen!”

“Mana pengikutmu?” cecar Kino sambil mengunyah ubi rebus yang kulitnya agak asin. Obenk mengedarkan pandangan,
“Tidak banyak, tetapi yang kurus ompong itu adalah wakil ketua!”

Ganti Kino yang tertawa, “Ha … pantas pengikutmu tak banyak. Mana ada anak buah yang suka pimpinannya ompong!”
“Wah, kau belum kenal si Wempi rupanya!” sahut Obenk membela wakilnya,
“Biar ompong dia sangat populer di kalangan pengamen dan pendaki.”

“Okay … aku percaya,” ujar Kino sambil menahan senyum,
“Tetapi, ngomong-ngomong kenapa kau tiba-tiba mengkritik nyanyianku?”

Obenk menghela nafas membawa masuk asap rokoknya, lalu terbatuk sebelum menjawab serak, “Pilihan lagu-lagu mu tidak karuan. Terkadang cengeng, terkadang riang. Tidak konsisten, dan tidak menyuarakan pendapat mu tentang dunia.”

Kino terbelalak, “Ngomong apa kamu?”
Obenk terkekeh, “He … he … he … begitulah kalau kau kurang bergaul dengan kami dari Partai Pengamen.”

Kino jadi penasaran, “Aku sering mendaki, tapi tak pernah mendengar partai bikin-bikinan itu!”
Obenk mencibir dengan gayanya yang acuh tak acuh, “Salah mu sendiri, bergaul cuma dengan kaum elit.”

“Sialan kau!” sergah Kino,
“Sekarang kau bilang teman-temanku orang elit. Salah besar, bung!”

“Cuma pendaki elit yang tidak mengerti apa gunanya ideologi dalam lagu-lagu yang dinyanyikan di sekitar api unggun,” sahut Obenk kalem.
“Ah, kau ngarang saja!” sergah Kino, tetapi hatinya penasaran.

“Sekarang aku tanya kau,” kata Obenk serius sambil memperbaiki duduknya,
“Untuk apa kau menyanyi di atas gunung ini, padahal 99% isi dunia ada di bawah sana, sebagian besarnya bahkan sedang tidur nyenyak. Untuk apa?” Kino diam saja, sibuk mengunyah ubi, tetapi terutama sibuk mencari jawaban.

“Nah …, kau sendiri tidak tahu, kan?” kata Obenk sambil menyeringai penuh kemenangan,
“Karena kau menyanyi tanpa ideologi.”
“Ah, aku menyanyi apa yang kusukai. Terutama yang enak didengar,” sahut Kino berusaha memperlihatkan ketidakpedulian, padahal hatinya penasaran juga.

“Tetapi setiap lagu punya waktu dan tempatnya sendiri, bung!” sergah Obenk,
“Tidak semuanya cocok untuk semua orang.”

“Ah, orang-orang suka mendengar aku bernyanyi!” sergah balik Kino.
Obenk tertawa keras sampai ludahnya muncrat ke mana-mana, “Mereka tidak mendengar lagumu, bung. Mereka menonton keluguan dan ke-sukarela-an …. mumpung kau tidak meminta bayaran untuk setiap nyanyian!”

Kino terperangah, “Maksudmu, … aku harus meminta bayaran untuk setiap lagu. Seperti kalian … pengamen?!”

Obenk tertawa lagi, mengangguk-angguk sehingga rambutnya yang berantakan itu tambah berantakan saja, “Ya .. ya .., kau harus mulai meminta imbalan bagi setiap lagu-lagumu!”
“Mata duitan, begitu?!” sergah Kino.

“Duit?” Obenk balas bertanya, “Siapa yang bicara tentang duit?”
“Kau bilang … ‘minta bayaran’ … berarti duit, bukan!?”
“Kalau begitu, kau yang mata duitan!”
“Lalu, kalau bukan duit … apa?!” desak Kino sambil membuang kulit ubi ke sebuah pojok perkemahan yang memang disediakan untuk tempat sampah.

Obenk menopangkan belakang kepalanya di kedua tangan, lalu menyender santai ke batu di belakangnya, sambil berkata kalem, “Kau bisa minta bayaran berupa dukungan moral …. atau loyalitas … atau persetujuan …. atau sekedar tepukan di bahu!”

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kino mengernyitkan keningnya. Biar dekil dan bertingkah-laku sembarangan, ternyata si Obenk ini bisa ngoceh juga rupanya! sergahnya dalam hati.

Lalu Obenk menawarkan sesuatu yang membuat Kino langsung tertarik, “Mau ikut kami mengamen ke kampung-kampung di kaki gunung?”
“Mengamen?” tanya Kino sambil melongo.

Obenk tertawa, “Ya … mengamen …. keliling kampung sambil menyanyi ke orang-orang sederhana yang pada umumnya miskin. Mau nggak?!”

“Aku …. belum pernah …,” jawab Kino ragu-ragu, tetapi itu sudah menunjukkan minatnya.
“Ayolah … suara mu bagus, dan kau mengerti cara menyanyi dengan gitar yang baik!” desak Obenk.
“Sekarang?” tanya Kino, teringat bahwa ia berniat mendaki, bukan mengamen.

“Kami tunggu kau di kedai Pak Ujang di bawah,” jawab Obenk sambil lebih merebahkan tubuhnya, bersiap tidur.

Kino terdiam sejenak. Menimbang-nimbang. Besok dan lusa ia tidak punya jadwal mengajar di tempat kursus. Mungkin ada baiknya aku telpon ibu semang untuk memberitahu bahwa ia mungkin tidak pulang segera.

“Oke … tunggu aku,” jawab Kino, tetapi Obenk tampak sudah memejamkan mata dan bersiap berangkat ke alam mimpi.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kino bangkit dan menuju kemahnya untuk menyiapkan diri. Hari sudah mendekati tengah malam, dan ia harus berkemas untuk mulai mendaki. Beberapa pendaki lain juga tampak sudah sibuk menggendong ransel-ransel mereka.

Serombongan anak-anak SMA yang tampaknya baru sekali mendaki, tampak ekstra sibuk dan jelas sekali terlalu antusias sehingga seakan lupa bahwa perjalanan mendaki bukanlah sesuatu yang enteng.

Kino menitipkan tendanya ke “lurah” perkemahan, seorang senior pendaki yang ia kenal sejak dulu pertamakali mendaki Salak empat tahun silam. Lalu, sendirian, Kino mulai melangkahkan kakinya dengan mantap menuju puncak.

Entah kenapa, hatinya merasa lega sekali …. lapang dan penuh gairah …. membuat langkah-langkahnya serba menjejak kokoh ke bumi basah. Setelah mengatur nafas dengan berjalan lambat selama 10 menit, Kino mulai mempercepat jalannya, menggunakan seluruh kekuatannya untuk mendaki.

Terkadang, ia memotong jalan, tidak mengikuti jalur umum yang sudah tersedia. Tentu saja, tidak semua pendaki bisa dan boleh melakukan ini. Salah-salah, seorang pendaki bisa tersesat, seperti yang dulu pernah dialami dua anak tanggung.

Mereka hilang tertelan rimba selama seminggu, tetapi beruntung bisa diselamatkan tim SAR sebelum jadi bangkai. Namun, setahun lalu ada seorang pendaki yang tidak begitu beruntung. Mayatnya ditemukan tergeletak di dasar jurang sempit.

Kino menggunakan pengetahuan dan pengalamannya yang cukup lama sebagai pendaki untuk mempercepat perjalanannya ke puncak. Ia juga sedang mengukur, seberapa sehatkah dirinya sekarang. Sebab, sejak di B sebelum berangkat ia sudah punya rencana untuk lebih sering mendaki. Apalagi sekarang ia dapat teman baru yang cukup menarik, … si Obenk itu … Sang Troubadour.

Mungkin ia memang harus lari sejenak dari kesibukan kota B yang ternyata sunyi itu. Mungkin ia memang sejenak harus merenung sendirian …. walau pun sebenarnya ia baru saja tiba kembali di kota yang penuh kenangan itu.

Dengan perasaan agak getir, Kino menyadari bahwa ia memang sedang tidak ada di mana-mana. Tidak di kota kelahirannya, tidak di B, tidak di gunung yang sedang didakinya ini. Ia sedang melalang-buana sendirian.

Tetapi, selain getir, Kino juga lega karena kini ia setidaknya punya kesempatan untuk mengenali dirinya sendiri. Sudah lama ia tidak melakukan itu. Sudah lama ia tidak berupaya memahami dirinya sendiri, karena memperhatikan orang lain.

Sambil berharap hari akan cerah di puncak sana, Kino menguatkan hati, meneruskan langkah-langkahnya yang bergegas.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kino tiba di puncak jauh sebelum fajar. Belum banyak orang di puncak yang penuh semak eidelweis memutih suci lembut mengalun. Kabut tipis melingkupi sebagian puncak, karena ini memang musim kabut.

Tetapi melihat langit yang mulai terang, Kino menduga pagi akan datang membawa fajar cerah. Pemuda itu mengucapkan syukur, karena ia mungkin akan segera berhadapan lagi dengan bola besar merah-kuning yang hangat itu, memandangnya naik ke tahta dengan segala kemegahan dan keindahannya.

Ia meneruskan langkah menuju sebuah pojok yang ia tahu adalah tempat terbaik untuk memandang matahari terbit. Berhati-hati karena wilayah puncak adalah dataran berpasir yang licin, Kino akhirnya tiba di tempat itu dengan nafas terengah-engah.

Ia meletakkan ranselnya dan duduk melipat kaki seperti orang yang akan bersemadi. Lalu pemuda itu mengatur nafas dan menikmati kesegaran yang perlahan-lahan menghapus penatnya.

Dengan ransel sebagai sandaran, Kino akhirnya benar-benar beristirahat sambil memejamkan mata.

Ia baru membuka matanya lagi setelah sinar merah mulai membersit di kaki langit di bawah sana. Juga setelah suara para pendaki lain mulai bermunculan. Sambil menguap dan merentangkan tangannya lebar-lebar, Kino bersiap menyaksikan sang mentari.

Bersama selusin pendaki dan serombongan anak SMA yang ributnya bukan main, Kino menikmati tontonan sajian Sang Kuasa. Berkali-kali pemuda itu memuji keindahan dan kemegahan di hadapannya.

Beruntung sekali ia masih diijinkan hidup untuk menyaksikan dan mengakui keagungan seperti ini. Kino merasa hidupnya penuh berkah. Belum pernah ia merasa seperti ini sebelumnya, walau ia tahu bahwa pendakian dan pertemuan dengan alam lepas biasanya memang religius.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kino berada di puncak sepanjang hari, lebih banyak tidur di sleeping bag di sebuah pojok yang cukup tersembunyi dari keriuh-rendahan puncak gunung yang kini menyerupai pasar minggu itu.

Untuk sekedar sopan-santun, ia sudah bercakap-cakap dengan beberapa pendaki dan beberapa anggota rombongan SMA yang cerewet. Tetapi setelah itu ia diam-diam menghilang, dan meringkuk tidur sendirian.

Setelah menyantap makan siangnya yang cuma terdiri dari dendeng dan singkong rebus yang sudah dingin, Kino kembali meringkuk di kantong tidurnya. Tetapi ia tidak lagi mengantuk. Maka dikeluarkannya buku yang sengaja ia bawa untuk saat-saat seperti ini.

Tanpa terganggu oleh keadaan sekeliling yang semakin lama semakin ramai, Kino mulai membaca The Animal Farm karya Orwell itu dalam bahasa Inggris yang sudah disederhanakan. Kino sengaja membawa buku ini untuk sekedar menambah perbendaharaan katanya.

Sepanjang hari ia menikmati buku itu tanpa gangguan. Kecuali oleh beberapa tegur sapa basa basi dari beberapa pendaki yang ia kenal. Juga ada dua anak SMA, laki dan perempuan, yang menghampiri dan mencoba mengajak bercakap-cakap. Tetapi Kino terlalu enggan meladeni mereka, dan setelah beberapa saat pasangan itu pamit entah ke mana.

Menjelang sore, akhirnya Kino merasa sudah cukup lama berada di puncak. Ia segera bersiap dan tak lama kemudian mulai melangkah turun gunung. Setelah mampir sebentar di base camp untuk membongkar dan merapikan tenda, Kino langsung pulang.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Sebelum menuju kedai Pak Ujang di kaki gunung, Kino menyempatkan diri menuju kantor kepala desa yang sudah ia kenal baik. Di situ ia meminjam telepon untuk mengontak ibu semangnya.

“Bu, saya masih di Salak,” kata Kino di telepon,
“Mungkin baru pulang lusa.”

“Duh .. nak Kino,” sahut ibu semangnya penuh nada kuatir,
“Apakah kamu sudah benar-benar sembuh?” Kino tertawa kecil,
“Sudah,Bu …… Saya sudah ke dokter untuk memeriksakan kesehatan. Katanya, saya sudah cukup sehat untuk mendaki.”

“Tetapi, mbok ya jangan diforsir,” ucap ibu semang itu masih kuatir.
“Terimakasih atas peringatannya,Bu. Tetapi, percayalah, ….. saya akan sangat hati-hati dan tahu diri,” jawab Kino untuk menenangkan perempuan tua itu. Penting baginya untuk membuat ibu itu tenang, karena kalau tidak ia akan menelpon ke orangtua Kino menyampaikan kekuatirannya. Kino tak ingin itu terjadi.

Setelah menelpon dan meninggalkan dua lembar uang sekedar pengganti biaya telepon yang diterima pak kepala desa sambil pura-pura menolak, Kino menuju kedai Pak Ujang di seberang jalan.

Kedai itu adalah tempat paling populer untuk para pendaki yang ingin rendevouz sebelum maupun sesudah pendakian. Selain makanan dan minumannya murah, kedai itu juga menyediakan beberapa perlengkapan pendakian sederhana.

Putri-putri pak Ujang juga menjadi daya tarik tersendiri. Mereka cantik, ramah, dan punya pengetahuan cukup luas tentang pendakian.

Kino segera menuju ruang belakang kedai dan menemui Obenk dan Wempi di sana.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Mau istirahat dulu, atau langsung berangkat?” tanya Obenk tanpa basa-basi.
“Makan malam dan minum kopi dulu,” sahut Kino sambil meletakkan ranselnya di lantai.
“Oke,” kata Obenk sambil melanjutkan menonton televisi hitam-putih.

Nunik, putri tertua pak Ujang, muncul di pintu menyapa Kino dan menawarkan makan malam. Kino membalas sapanya sambil menggoda

“makin cakep saja kamu, Nik!” … lalu meminta nasi goreng dan kopi tubruk … yang disahuti Ninuk dengan senyum kenes sambil balas menggoda “kamu juga makin cakep”.

Wempi menimpali dengan, “Jangan coba-coba menyentuh Nunik, kecuali kalau mau disabet golok pak Ujang.”

Nunik mencibir, “Wempi mengada-ada saja. Bapak ngga pernah bawa golok!”
“Kalau begitu, mungkin ia menyembunyikan pistol di balik sarungnya?” goda Wempi.

Kino dan Nunik tertawa lebar, mengerti apa yang dimaksud Wempi.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Pukul 8 malam, Kino sudah ada di boncengan motor butut milik Obenk, sementara Wempi membonceng Ganda, seorang anggota pengamen lain yang bertugas menabuh tambourin. Berempat mereka menembus malam, menuju sebuah desa yang sedang mengadakan hajatan kecil.

Setelah kurang lebih setengah jam naik motor menembus malam dingin, mereka berempat tiba di balai desa kecil. Sudah banyak orang berkumpul di sana, dan sebuah panggung sederhana diterangi empat lampu neon berdiri di tengah kerumunan.

Di atas panggung sedang ada tari-tarian tradisional yang disajikan oleh murid-murid sekolah dasar. Janur dan dedaunan menjadi penghias panggung, selain beberapa bendera merah-putih yang sudah agak lusuh.

Obenk memarkir motornya agak jauh dari panggung, dekat sebuah warung yang tutup. Kino belum sempat bertanya, pemimpin Partai Pengamen itu sudah berucap, “Itu panggung tempat kita manggung.”

“Kita?” sergah Kino terperanjat, “Termasuk aku?”
“Ya,” jawab Obenk acuh-tak acuh sambil memanggul gitar yang tadi dipegangi Kino di boncengan.

“Hei!” sergah Kino tambah terperanjat, “Aku tak tahu akan main di panggung. Lagipula, apa lagunya?” Obenk seperti tak peduli, mulai melangkah menuju panggung.

Katanya, “Nanti aku berikan catatan lagunya, lengkap dengan chord gitar. Kau pasti bisa mengiringi kami.”
Kino mengejar langkah Obenk, mengomel, “Sialan kau! Bagaimana aku bisa main tanpa latihan!” Wempi dan Ganda tertawa melihat kerisauan Kino dan pemuda itu jadi tambah risau.

“Kalian mau menjebakku atau apa, nih?!” sergah Kino sambil mengiringi langkah ketiga ‘penculik’-nya. Wempi yang menyahut, “Tenang sajalah, … lagu-lagu kami sederhana dan masuk akal.”

“Gila kalian!” sergah Kino merasa heran melihat ketenangan dan ketidakpedulian para penculiknya.

Obenk tertawa terkekeh. Pemuda itu sudah jauh di depan. Biar pun kerempeng, langkahnya ternyata lebar dan cepat pula. Tiba-tiba Kino menyesal melayani kegilaan pemuda yang baru dikenalnya itu. Jantungnya berdegup kencang, dan selain menyesal ternyata diam-diam Kino juga merasa tertantang untuk mencoba sesuatu yang baru!

Tantangan yang datang tanpa terduga seperti ini terkadang mengasyikkan juga!!

*** Cerita Cinta Dewasa ***