Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #46

Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #46

Sang Troubadour – bagian 2

Cerita Cinta Dewasa – Kelompok Obenk, Wempi dan Ganda menyanyikan lagu-lagu country karangan mereka sendiri. Kino yang “terjebak” dalam konspirasi mereka, tidak bisa menolak ketika akhirnya ia harus tampil di panggung memegang gitar.

Di depannya, lirik dan chord lagu terpampang. Sebelumnya, di belakang panggung, Obenk menyanyikan lagu-lagunya agar Kino bisa mengikuti. Memang, lagu-lagu itu sederhana dan pada umumnya hanya memakai empat kunci nada saja.

Rythm and beat – nya pun cukup akrab bagi Kino yang memang suka lagu-lagu John Denver atau the Eagle. Melodinya cukup bervariasi, tetapi karena tidak memegang melodi, ia tak perlu terlalu risau.

Yang menakjubkan Kino adalah lirik-lirik lagu itu. Setelah mendengar Obenk bernyanyi, barulah Kino paham apa yang pemuda ceking gondrong itu maksudkan dengan “ideologi” dalam lagu-lagu mereka.

Misalnya, lirik ini:
Tanah subur, coklat basah / Kita tanam, sayuran tumbuh / Buah-buahan segar, ternak sehat / Tetapi siapa punya?
Peluh petani, cangkul tua / Nasi putih, hanya bergaram / Letih kerja, untuk tanah coklat / Tetapi siapa punya?
Mari, mari, mari bertanya / Tanah ini siapa yang punya / Mengapa bukan punya kita?

Terus terang, Kino bukan tipe pemuda yang mengikuti perkembangan politik secara sungguh-sungguh, tetapi sekali baca ia sudah bisa mengetahui arah “ideologi” Obenk dan kawan-kawannya. Lirik-lirik mereka bicara tentang tanah, buruh, kemiskinan, dan ketidak-adilan.

Ini ideologi kiri! sergah Kino dalam hati. Ia pernah membaca sepintas bahwa kelompok beraliran kiri, atau marxisme, mengedepankan masalah-masalah tersebut dalam propaganda mereka.

Konon, kalangan buruh dan tani adalah kalangan yang akan mendapatkan keadilan dari tegaknya ideologi kiri ini. Celaka, pikir Kino, aku masuk ke kalangan yang sampai saat ini tergolong “terlarang”!

Setelah empat lagu yang disambut gempita para penonton, kelompok Obenk mendapat kesempatan beristirahat di belakang panggung. Segera Kino mengajak Obenk menepi dari kerumunan pemain lainnya.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kelompok apa ini, Obenk?!” hardik Kino sambil mencekal pergelangan si gondrong. Dengan tersenyum kalem, Obenk menjawab, “Sudah aku katakan, ini Partai Pengamen. Pembela petani dan buruh.”

“Kelompok komunis!” sergah Kino setengah berbisik, “Kalian kelompok komunis, bukan!?”
Masih tersenyum, Obenk balas berbisik, “Kelompok komunis tidak boleh ada di negeri ini, bung!”

“Lalu kenapa lagu-lagu kalian berisi lirik tentang buruh, tanah, petani miskin dan yang semacamnya!” desak Kino.
“Lho, … tidak ada salahnya, bukan?!” sahut Obenk sambil menarik tangannya dari cekalan Kino.

“Tetapi itu artinya kalian komunis!” sergah Kino, melepaskan cekalannya.
“Ah …, kau terlalu banyak baca buku!” balas Obenk menghardik, lalu duduk di bangku kayu sambil mengeluarkan sebungkus rokok.

Kino ikut duduk, penasaran dengan tingkah Obenk yang acuh-tak-acuh.
“Aku tidak mau ikut-ikutan kelompok terlarang!” katanya sambil menerima tawaran sebatang rokok.

“Siapa bilang kelompok ini adalah kelompok terlarang!” hardik Obenk sambil menyalakan korek gas dan menawarkan apinya ke Kino,
“Lihat itu di depan panggung, ada Pak Lurah dan para pejabat desa lainnya. Mana mungkin kami bisa main di sini, kalau terlarang.”

Kino terperangah, mengakui bahwa apa yang dikatakan Obenk adalah benar belaka. Mereka main di atas panggung “resmi”, dalam sebuah acara yang juga formal, karena tadi dibuka oleh Pak Lurah dengan sambutan segala.

“Dengar, Kino ….,” kata Obenk sambil menghisap rokoknya dengan nikmat, “Aku tidak akan memaksamu ikut bersama kami. Ini cuma tawaran pertama. Kau boleh pulang setelah acara ini usai, dan tidak usah bertemu kami lagi. Tetapi, terus terang, kami memerlukan pemain gitar. Kalau kau suka, silakan tetap bergabung. Kalau tidak suka …..”

Obenk tidak melanjutkan kalimatnya, dan Kino tidak begitu menyukai nada ultimatum di ucapan teman barunya itu. Ia mencoba membantah, walau hatinya ragu,

“Tetapi kalian seperti menjebakku. Aku tidak tahu bahwa kalian akan bernyanyi di panggung. Tidak tahu bahwa kalian punya tujuan-tujuan khusus tentang buruh atau petani miskin!” Obenk tertawa pelan, “Lalu, setelah kini kau tahu maksud kami … kau menyesal atau senang?!”

Kino menggerutu, tetapi tidak bisa menjawab pertanyaan Obenk. Dalam hati, ia memarahi dirinya sendiri, karena ternyata ia cukup terpikat oleh apa yang dilakukan Obenk dan kawan-kawannya. Ia tidak terlalu terpikat oleh “ideologi” mereka, tetapi tertarik oleh semangat mereka bermain di atas panggung.

Terlebih-lebih lagi, tanpa terduga sebelumnya, Kino juga menyadari bahwa bermain untuk orang-orang sederhana di desa kecil seperti ini justru mengingatkan dirinya kembali ke asal muasal. Bukankah ia adalah orang desa juga.

Bukankah kedatangannya ke kota besar semacam B hanyalah satu bagian kecil saja dari kehidupannya. Sebagian besar hidupnya ada di desa nun jauh di sana!

Obenk menepuk bahu Kino, mengetahui bahwa pemuda di sebelahnya ini sudah masuk dalam jerat yang sengaja ia pasang sejak pertama bertemu di gunung. Obenk tahu, pemuda ini punya bakat tampil di depan umum, dan punya perilaku yang tidak jauh berbeda dengan dirinya. Suka berkelana, dan suka pada alam bebas.

Tenang saja, lah, No!” ucap Obenk seperti orangtua menenangkan anaknya yang risau menghadapi ujian sekolah, “Mari kita mainkan lima atau enam lagu tambahan, lalu kita minum-minum menghabiskan malam!”

Kino menggerutu lagi, tetapi tak pernah bisa membantah ajakan itu. Ia pun ikut naik panggung lagi pada babak kedua, dan dengan bersemangat mengiringi Obenk menyanyi. Dua di antara enam lagu yang mereka nyanyikan menyelipkan nada-nada dangdut, sehingga para penonton di bagian depan ikut berjoget bersuka-ria.

Sejenak, Kino lupa mempersoalkan lirik-lirik lagu yang dilantunkan Obenk dan kawan-kawan. Ia terhanyut dalam keriangan dan keceriaan yang terbangkit oleh setiap lagu mereka.

Tak sedikit pun ia ingin mempertanyakan lagi, apa maksud kalimat seperti…. ganyang mereka yang menghisap madu / dari tanah subur tercinta ini …. atau ….. kemana kita kan mengadu / tenang perilaku tamak itu ….. atau ….. mari bersatu padu / mengalahkan raksasa gendut / tuan tanah bukan teman kita.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Lepas tengah malam, ketika jarum jam menunjukkan hampir pukul satu pagi, barulah seluruh acara usai. Kelompok Obenk beserta Kino mendapat ucapan terimakasih dari Pak Lurah yang kelihatannya masih sangat muda itu (padahal katanya usianya sudah 43). Kemudian terlihat seseorang memberikan sebuah amplop ke Obenk yang segera dikantongi oleh pemuda itu.

Penonton pun sudah bubar satu per satu. Panitia sudah berkemas-kemas pula. Kino sedang menimbang-nimbang, ke mana akan pulang setelah ini, ketika dua orang gadis datang mendekat.

“Keren betul lagu-lagunya!” kata salah seorang di antara mereka yang bercelana ketat dan memakai jaket parasut warna merah menyala. Obenk menengok dan segera berseru, “Halo, Andang! … aduuh, sampai lupa mampir karena kami tadi terlambat!”

Gadis yang dipanggil Andang itu mencibir, “Ah, … kamu selalu lupa mampir, padahal janjinya akan datang satu jam sebelum acara!” Obenk menggaruk-garuk kepalanya yang gondrong,

“Bukan begitu! … Kami harus menunggu teman baru kami,” katanya, lalu menengok ke arah Kino, “Ini, pemain gitar kami yang baru!” Kino agak terkejut mendengar namanya disebut, dan segera menyambut tangan Andang yang sudah terulur.

“Kino, ini Andang …. Andang, ini Kino,” kata Obenk yang berdiri di tengah-tengah,
“Andang adalah pemilik rumah tempat kita akan menginap malam ini. Kino adalah pemain baru di kelompok kami!” Andang tersenyum, dan Kino melihat sebuah lesung pipit terbit di pipi kanannya, “Bagus sekali main gitarnya!” katanya.

“Ah … biasa saja!” sahut Kino tersipu, “Terimakasih.”
Obenk menarik lengan gadis yang satu lagi,  “Sini … Onie! Perkenalkan teman baru kami.”

Gadis yang dipanggil Onie, yang memakai celana ketat pula dan kaos pullover warna hijau tentara, mengulurkan tangannya. Kino menyambut tergesa-gesa, dan menggumamkan namanya.

“Sudah sering, ya …, main sama Obenk?” tanya Onik sambil tersenyum.
“Ah … tidak,” sahut Kino cepat, “Baru berjumpa tadi sore!”
“Ck … ck … ck!” Onie dan Andang berdecak berbarengan.

“Dia adalah permata yang tersembunyi!” ucap Obenk dengan gaya puitisnya.
“Sialan kau!” sergah Kino sambil meninju punggung Obenk.

“Ikut menginap di rumahku?” tanya Andang sambil tersenyum lagi. Belum sempat Kino menjawab, Obenk sudah mengangguk dan berseru,
“Ya … dia ikut kami. Ayo kita berangkat!”

Kino melongo, hendak memprotes, tetapi seseorang terasa sudah mendorong punggungnya untuk berjalan mengikuti Obenk, Andang, dan Onie. Ternyata Ganda dan Wempi sudah ada di belakangnya, dan tadi mereka lah yang mendorong.

“Tetapi …,” Kino mencoba memprotes.
“Kamu suka mie rebus dengan ayam, bukan?!” sergah Ganda sambil merangkul pundak Kino.

“Hah .. apa?” tanya Kino gelagapan.
“Kopi susu hangat, dan wedang jahe …. sedap!” kata Wempi sambil mendorong punggung Kino.

“Apa maksudmu?” Kino terhuyung-huyung mengikuti langkah rombongan. Ganda berbisik dekat ke telinga,
“Pilih salah satu … Andang atau Onie?”

“Hah!?” sergah Kino dengan suara keras. Wempi dan Ganda tertawa berderai-derai, senang melihat Kino seperti orang bego. Kedua gadis yang sudah lima langkah di depan bersama Obenk menengok.

“Jangan mempermainkan teman baru, dong!” seru Andang sambil tersenyum,
“Nanti dia ngambek!” Onie tertawa merdu,

“Tetapi, dia tidak bisa ke mana-mana, tidak ada angkot dari desa ini ke luar!” Sialan, gerutu Kino dalam hati, mengapa aku biarkan diriku terjebak semakin dalam?
“Tenang saja, lah, Kino!” seru Obenk di depan,
“Kamu tidak akan menyesal ikut kami!”

Kino menggerutu lagi, tetapi langkahnya semakin pasti mengikuti rombongan barunya itu, menuju sebuah rumah yang tampak agak terpencil dari rumah-rumah lainnya.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Mie rebus yang berisi serpihan ayam goreng kering memang sedap dinikmati di malam menjelang pagi. Apalagi ada kopi susu dan wedang jahe sebagai penutupnya.

Sehabis main di atas panggung, Kino memang merasa sangat lapar walau tadi sudah sempat makan malam. Ketegangan ketika pertama naik panggung, dan energi yang habis untuk memainkan gitar dalam ritme yang cepat, membuat pemuda itu lapar lagi.

Sepanjang makan, terlihat Obenk, Wempi dan Ganda bercengkrama akrab dengan kedua gadis yang bertindak sebagai tuan rumah itu. Kino tak sempat bertanya, rumah siapa gerangan yang mereka huni ini. Tetapi sepintas tadi ia mendengar tentang orangtua Andang yang ada ibukota, dan tentang “markas” kelompok Obenk.

Kesimpulannya, rumah ini milik orangtua Andang, tetapi mereka tidak tinggal di sini sepanjang tahun. Kalau Obenk sedang main di desa ini, maka kelompoknya menjadikan rumah gadis itu sebagai markas sementara.

Lalu Onie, gadis centil yang tampaknya sangat dekat dengan Obenk adalah “teman dekat” pemuda gondrong itu. Seberapa dekat hubungan mereka, pada awalnya Kino tak terlalu peduli. Namun menjelang selesai menikmati makanan dan minuman, keduanya tampak semakin sering berduaan, bahkan semakin sering menyendiri.

Apakah mereka pacaran? pikir Kino.
Belum sempat tanya itu terjawab, seusai makan Andang mengeluarkan sebungkus amplop dan menyerahkannya ke Wempi. Pemuda itu, bersama Ganda, lalu menuju meja kecil di ruang makan dan mengeluarkan isi amplop.

“Sudah pernah coba yang ini, Kino?” teriak Ganda kepada Kino yang masih duduk menghadap mie rebusnya. Kino mengangkat kepala, “Apa itu?”
“Gele … ganja!” sahut Wempi yang terlihat sedang mengeluarkan kertas untuk membuat rokok.

Kino terpana. Kejutan demi kejutan datang dari kelompok barunya ini. Tadi mereka menyanyikan lagu-lagu berideologi kiri. Sekarang mereka menawarkan ganja kepadanya! Ganda tertawa melihat Kino melongo, “Kau terlalu banyak bengong, Kino!”

Andang datang mendekat, duduk di sebelah Kino, dan berucap ramah, “Jangan pedulikan mereka. Kerjanya cuma mengganggu orang!” Kino tersipu, merasakan mukanya merah padam karena malu dan tidak tahu musti bereaksi apa.

“Mereka memang begitu,” kata Andang sambil menopang dagu, memandang Kino yang kikuk menyuap mie rebusnya, “Selalu menganggap semua orang bisa diajak bercanda.”

“Aku cuma kaget saja …,” ucap Kino lirih, membela diri dari kejengahan karena menjadi orang asing di tengah kelompok yang serba mengejutkan baginya ini. Andang tersenyum, dan Kino melihat lagi lesung pipit terbit di pipi gadis itu.

“Kuliah di mana?” tanya Andang pelan. Kino menyebut tempat kuliahnya, merasa agak tenang berbicara dengan gadis yang tampaknya tak suka menggoda ini.

“Wow!” seru Andang, “Itu sekolahnya orang-orang pintar!” Kino tersenyum, “Tidak juga. Banyak yang goblok juga.” Andang tertawa renyai, “Masak ada yang goblok, sih? Seleksinya saja sudah sulit, pasti yang lulus cuma orang pintar.”

“Yah, mungkin yang menyeleksi yang goblok,” sahut Kino sekenanya, kini sudah merasa tenang sepenuhnya. Andang tertawa lebih keras lagi,
“Kamu termasuk yang goblok atau yang pintar?”

“Yang goblok,” kata Kino, “Kalau tidak, mana mungkin aku bisa terjebak oleh Obenk!” Wempi dan Ganda mendengar ucapan Kino, tertawa terbahak-bahak, tidak tersinggung sama sekali oleh ucapan rekan baru mereka, walau jelas itu mengarah ke penghinaan terhadap ketua mereka.

“Obenk memang pintar ngomong!” sergah Andang,
“Tetapi dia orang paling baik yang pernah ku kenal.” Kino tersenyum mendengar pujian gadis itu, “Eh … kemana dia?” tanyanya sambil melihat berkeliling. Andang tersenyum dan memainkan taplak meja,
“Dia bersama Onie …. di kamar.”

Kino menghentikan suapannya. Mulutnya kembali melongo. Ia hendak bertanya lebih lanjut, tetapi lidahnya terasa kelu. Andang tertawa pelan,

“Sudahlah … habiskan mie rebus kamu!” Kino merasakan lagi mukanya merah padam. Ia merasa jengah lagi, mempertanyakan keberadaan Obenk, yang memang sejak tadi sudah menghilang dari ruang makan.

Bau ganja memenuhi ruangan karena Wempi dan Ganda sudah masing-masing menyalakan lintingan mereka, duduk santai di lantai menyender ke sofa dan tampak asyik menikmati asap yang memabukkan itu.

Andang bangkit dari duduknya di sebelah Kino, bergabung bersama dua pemuda di lantai, dan segera menyalakan salah satu lintingan yang telah dipersiapkan. Gadis itu dengan rileks menghisap asapnya dalam-dalam dan menuju rak yang berisi stereo set.

Terlihat ia memilih di antara beberapa kaset yang terpajang di sana. Sejenak kemudian, terdengar lagu milik Pink Floyd mengalun pelan, menambahkan suasana di awang-awang ke dalam ruangan yang sudah penuh asap itu.

Kino menyelesaikan makannya, menuju ke dapur untuk meletakkan piring kotor. Ketika melewati salah satu kamar, ia mendengar derit ranjang dan erangan seseorang. Ia mengenali suara itu, suara Onie dan Obenk. Bergegas, ia kembali ke ruang makan. Jantungnya berdegup kencang.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Di ruang makan Andang tersenyum kepadanya, mengajaknya ikut duduk di lantai. Wempi dan Ganda masih tetap tampak menyandarkan kepala mereka di sofa, memejamkan mata seperti orang sedang kemasukan.

“Tak usah mencoba, kalau kau tidak mau,” ucap Andang lembut sambil menarik tangan Kino. Pemuda itu duduk dengan kikuk di sebelah Andang.

“Kamu sudah mengantuk?” tanya gadis itu. Kino menggeleng. Kopi yang tadi diminumnya cukup kuat untuk menahan kantuk.
“Mau merokok?” tanya Andang lagi, matanya meredup seperti lampu 10 watt, tetapi sinar mukanya berbinar seperti neon di tepi jalan.

Kino mengiyakan, dan menerima sebungkus kretek. Sebenarnya, ia bukan perokok. Tetapi ia tidak tahu harus berbuat apa, dan tidak mau mencoba ganja yang sudah tersedia dalam lintingan-lintingan rapih di depannya.

Andang memeluk lututnya, meletakkan kepalanya di atas kedua lututnya, memandang ke arah Kino sambil tersenyum dengan lesung pipit yang kini semakin kentara itu.

“Sudah sering menghisap ganja?” tanya Kino penuh rasa ingin tahu. Ia belum pernah punya teman yang menghisap ganja, walau sering mendengar tentang candu itu. Ia tahu, beberapa mahasiswa juga menggemarinya, tetapi belum pernah langsung melihat mereka menghisapnya. Andang mengangguk pelan,

“Sudah sejak SMA.”
“Apa, sih, enaknya?” tanya Kino sambil mengamati Wempi dan Ganda yang tampaknya sedang terbang bersama lagu-lagu Pink Floyd. Andang tertawa kecil,
“Itu pertanyaan klasik dari orang yang belum pernah mencoba ganja. Tetapi sebaiknya aku tidak usah menjawab.”

“Kenapa?”
“Karena nanti kamu penasaran, lalu ingin mencoba.” Kino mengernyitkan dahinya. Kenapa Andang peduli tentang kepenasarannya. Andang tersenyum lagi, melihat Kino mengernyitkan kening,

“Sudahlah … kalau tidak mau mencoba, tidak usah tanya seperti apa rasanya. Nikmati saja rokok kretekmu. Atau kalau mau bir, ambil sendiri di lemari es.”

Kino menggeleng. Ia juga tidak suka alkohol, walau pernah mencoba minum bir beberapa kali bersama Ridwan. Ia tidak bisa menikmati rasanya yang pahit dan baunya yang tengik. Suasana sepi cuma dihuni oleh musik Pink Floyd. Lalu terdengar erangan Onie agak keras dari arah kamar. Wempi tertawa kecil. Ganda membuka matanya dan bergumam,

“Asyik betul mereka!”
“Sabar …., ada gilirannya,” bisik Andang. Kino terperangah. Giliran apa lagi ini?

Erangan Onie semakin jelas terdengar, di antara derit ranjang yang juga semakin ramai. Lalu terdengar suara Obenk menggeram. Derit ranjang terhenti. Lalu sepi lagi. Musik Pink Floyd terus mengalun, mengisi relung-relung sunyi.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Tak berapa lama, terlihat Obenk muncul sendirian dengan rambut kusut masai dan sedikit peluh di muka dan lehernya. Pemuda itu tersenyum ke arah Kino yang sedang menimbang-nimbang dengan risau, apa yang hendak dikerjakannya di lingkungan serba mengejutkan ini? Obenk seperti bisa membaca pikirannya,

“Tak usah terlalu rikuh, lah! Santai saja!” katanya sambil duduk dan meraih salah satu lintingan di depannya.

Ganda tampak bangkit, dan tanpa banyak bicara menghilang menuju kamar dari mana tadi Obenk muncul. Wempi tetap menyandarkan kepalanya di sofa, seperti tak pernah peduli pada apa pun yang terjadi di sekelilingnya. Mulutnya tersenyum, dan ia tampak seperti sedang menonton sebuah kejadian lucu yang menggembirakan di kepalanya.

Andang mengangkat muka sebentar ketika Obenk muncul, bergumam setengah berbisik,

“Tumben cuma sebentar …” Obenk melirik ke arah gadis itu, balas menggumam,
“Ngiri, ya!?” Andang mendengus sambil menahan senyum,
“Bosen sama kamu…,” sergahnya.

Obenk tertawa sambil menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Kino melongo lagi mendengar percakapan di antara mereka. Apalagi kemudian juga terdengar derit ranjang lagi dari arah kamar. Onie mengerang-erang lagi walau lebih pelan dari sebelumnya.

Wempi tetap tersenyum-senyum dalam buaian asap candunya. Obenk menyalakan lintingan yang terselip di bibirnya, lalu ikut menyandarkan kepalanya ke sofa. Andang kembali memeluk lutut dan merebahkan kepalanya.

Kino merasa sendirian di tengah belantara yang aneh ini.

Betul-betul sendirian!

*** Cerita Cinta Dewasa ***