Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #47

Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #47

Sang Troubadour – bagian 3

Cerita Cinta Dewasa – Menjelang pagi, Kino yang tetap belum bisa tidur, memutuskan untuk meninggalkan kawan-kawan barunya. Tidak ada satu pun di antara mereka yang masih terjaga ketika pemuda itu bangkit dari duduknya yang tidak nyaman di ruang tamu. Ia memutuskan untuk pergi saja, tanpa pamit.

Nanti saja ia akan menelpon, karena toh ia sudah tahu nomor telepon rumah Andang ini. Sambil melurus-luruskan pinggangnya yang terasa pegal, Kino melihat sekelilingnya.
Onie tertidur di sofa dengan rambut awut-awutan dan wajah yang letih walau penuh kepuasan.

Gadis itu membalut tubuhnya hanya dengan sebuah kain, tersingkap di sana-sini memperlihatkan tubuhnya yang mulus agak berpeluh. Terakhir kali, Kino melihat gadis itu terhuyung keluar dari kamar bersama Ganda. Lalu, seenaknya saja gadis berwajah manis tetapi pucat itu merebahkan tubuhnya di sofa.

Gadis lainnya, Andang, terpuruk di dekat televisi, kakinya menopang di atas meja, wajahnya tampak damai. Entah sudah berapa linting ganja yang dihisapnya. Kino sempat menemaninya berbincang, tetapi lalu melihat gadis manis berlesung pipit itu terlanda kantuk berat. Tahu-tahu, ia sudah tertidur.

Obenk mendengkur di bawah sofa, di dekat Onie, dengan rambut gondrongnya terurai bebas. Pemimpin rombongan yang eksentrik ini tidak banyak bicara sejak keluar dari kamar seusai meniduri Onie. Sambil mengisap ganja, ia tadi menenggak sebotol bir tanpa menuang isinya ke gelas.

Wempi tertidur di dekat meja tamu, kepalanya tersembunyi di balik tumpukan majalah. Pemuda itulah yang pertama kali “melayang” ke alam mimpi dan menolak “giliran”-nya meniduri Onie. Sewaktu Ganda keluar bersama Onie, gadis itu sempat menanyakan apakah Wempi mau “ngamar” atau tidak, yang dijawab pemuda itu dengan gumam tak jelas.

Ganda menggeletak, terlentang dengan jeans yang bagian depannya belum terkancing sempurna.

Kino menggeleng-gelengkan kepalanya, memandang sekali lagi ke ruangan yang menyerupai tempat penampungan pengungsi perang. Sambil menghela nafas, pemuda itu membuka pintu ruang tamu dan melangkah keluar menyambut kabut dingin pagi yang memeluknya bagai seorang yang telah lama tak berjumpa.

Bau tanah basah … bau yang amat disukainya …. menerobos masuk ke penciumannya. Segar sekali alam di luar, sangat berbeda dengan suasana ruang tamu yang penuh bau ganja, alkohol dan seks!

Di luar, Kino berdiri sejenak, membetulkan jaketnya. Ia tidak tahu hendak ke mana. Ia tidak begitu mengenal desa atau kota kecil ini. Tetapi, sebagai pendaki dan pencinta alam, Kino terbiasa mengelana dari desa ke desa.

Pasti ada pasar, atau terminal kecil, atau pos ronda, yang berpenghuni sepagi ini. Biasanya, rakyat di kota kecil bangun jauh lebih pagi dari orang-orang di kota besar.

Ia melihat ke sekeliling. Di kejauhan tampak lampu samar-samar menerobos kabut yang sedang bergerak perlahan seperti barisan roh. Juga ada suara kendaraan yang sayup sampai.

Dari muncul-hilangnya suara itu, pastilah kendaraannya sedang mendaki jalan berliku menuju desa ini. Suara serangga masih meraja. Unggas belum lagi bergeming dari tidur mereka.

Sebelum mulai melangkah, Kino memeriksa kantong belakang celananya dan menggerutu kesal. Dompetnya tidak ada! Pasti terjatuh ketika ia duduk di lantai bersama kawan-kawan barunya tadi. Sambil mengumpat pelan, pemuda itu membalik kembali ke dalam rumah.

Bersijingkat untuk mengurangi berisik, Kino membuka pintu ruang tamu. Pintu itu terkuak mudah, karena memang tidak terkunci. Tetapi suaranya sedikit berderit karena engselnya tidak pernah diberi pelumas.

Kino melihat dompetnya tergeletak di lantai dekat kaki kiri Andang. Gadis itu menggeliat mendengar suara pintu, lalu membuka matanya yang masih mengantuk.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kino menunduk meraih dompetnya, tersenyum dan berbisik kepada Andang yang kini memandangnya dengan wajah bertanya-tanya, “Aku pulang, ya!”

“Uuuh… ?? Pulang?” gumam Andang sambil mengusap-usap matanya. Kino mengangguk, memasukkan dompet ke kantong celananya, dan bersiap melangkah keluar.

“Tunggu …,” suara Andang parau masih penuh kantuk, “Bagaimana kau bisa pulang? Naik apa?”

Kino tersenyum, dan berbisik, “Jangan kuatir, aku bisa mencari informasi. Kembali lah tidur.” Tetapi Andang sudah bangkit, membetulkan kaosnya yang agak tersingkap, melangkah terhuyung mendekati Kino.

“Jam berapa ini?” tanya Andang sambil menguap dan langsung menyambung, “Mana ada orang sepagi ini. Tunggu lah sampai agak siang.”
“Tidak, aku harus kembali ke B.” kata Kino sambil mulai melangkah keluar.

“Kino, tunggu …,” sergah Andang sambil mencekal pergelangan pemuda itu. Langkah Kino terhenti.

“Tadi kamu bilang kamu tidak kuliah karena sedang cuti,” kata Andang sambil melangkah mendekat.
“Ya, tapi aku ingin kembali ke B,” jawab Kino bersikeras.

“Kamu tidak betah, ya!?” sergah gadis itu, semakin mendekatkan tubuhnya ke Kino. Kino menggeleng,
“Bukan begitu … aku belum mengenal kalian. Aku merasa tidak sesuai berada di sini.”

Andang tersenyum, “Apa bedanya? Kamu memang tidak betah!”
Kino ikut tersenyum, “Ya, sudah … aku memang tidak betah.”

“Kenapa?” gadis itu melepaskan pegangan tangannya, tetapi kini sudah berada dekat sekali ke tubuh Kino. Dadanya menyerempet lembut punggung tangan pemuda itu. Kino menghela nafas,

“Aku merasa asing. Kalian terlalu mengejutkan buatku.” Andang meletakkan tangannya di punggung Kino, “Terlalu bebas, maksudmu?” Kino merasakan kedua payudara Andang menempel erat, gadis itu tidak memakai beha!

Sambil menyingkir secara sopan, Kino berucap, “Mungkin aku yang terlalu kuno.” Andang tak membiarkan Kino menyingkir, ia memeluk pinggang pemuda itu.

“Kembali lah tidur, aku bisa mencari jalan sendiri,” ucap Kino sambil berusaha melepaskan pelukan Andang.
“Tinggallah lebih lama, supaya kami bisa lebih mengenalmu,” kata Andang yang kini bahkan merebahkan kepalanya di dada Kino. Harum rambutnya membiaskan wangi cempaka.

Kalau dalam keadaan normal, pastilah insting sensual Kino akan terusik oleh pelukan seorang gadis yang tidak berpakain sempurna itu. Tetapi saat ini bukanlah keadaan normal. Pelukan dan bujukan Andang justru melahirkan rasa ganjil dan rikuh bagi pemuda itu.

“Kalau tidak bisa tidur di kamar tamu, ayo ke kamarku,” kata Andang, mempererat pelukannya, membawa nafasnya yang hangat menerobos sela-sela kancing jaket Kino.

Kino menghela nafas panjang, “Kenapa kau begitu memaksa?”
Andang tertawa kecil, “Aku suka kamu. Aku suka pemuda kalem kayak kamu.”

Kino teringat cerita gadis itu ketika mengobrol sebelum ia tertidur tadi. Konon, Andang pernah punya seorang kekasih yang kemudian menghilang entah kemana setelah mereka sempat berhubungan seperti suami-istri. Pemuda itu, kata Andang, sangat pendiam. Apakah ia memproyeksikan kenangannya padaku? pikir Kino gelisah.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Ayo ke kamarku,” kata Andang sambil mulai melangkah membawa pemuda dalam pelukannya. Ketika Kino bertahan, gadis itu mengangkat mukanya dari dada pemuda yang dipeluknya, memandang lekat-lekat dengan matanya yang masih mengantuk, dan berucap pelan,

“Aku tidak menawarkan apa-apa … aku cuma ingin kau istirahat.” Kino jadi tersipu sendiri,
“Aku memang tidak ingin apa-apa dari kamu … ”

Andang tersenyum memperlihatkan lesung pipitnya lagi, “Kalau begitu, ayo tidur di kamarku.” Dengan ragu, Kino mengikuti langkah Andang menuju sebuah kamar yang berbeda dari kamar tempat tadi Onie, Obenk, dan Ganda melampiaskan birahi mereka.

Kamar pribadi Andang tertata rapi dengan dominasi warna merah muda. Kamar gadis remaja, memang. Lengkap dengan poster penyanyi-penyanyi pria dan jejeran kaset. Ranjangnya cukup besar untuk dua orang, berkelambu … mengingatkan Kino pada ranjang adiknya di kampung halaman.

“Ayo, lepaskan jaketmu dan tidur di sini,” kata Andang sambil menepuk kasur yang memang menggiurkan.

Kino sebetulnya memang sudah mulai mengantuk, walau tadi tidak bisa tidur karena merasa terlalu rikuh. Kini, tawaran untuk tidur di tempat yang nyaman mengundang kantuknya lagi.

Andang sendiri dengan santai memelorotkan celana panjangnya, lalu masuk ke dalam selimut hanya dengan kaos dan celana dalam nilon tipis. Kino sempat terkesima, lebih karena terkejut daripada terangsang. Dalam hati ia mengumpat sendiri, kenapa membiarkan gadis itu mengajaknya tidur bersama, walau tadi sudah ditegaskan bahwa mereka memang cuma akan tidur.

Setelah menggantung jaket dan melepas sepatu serta kaos kakinya, Kino naik ke tempat tidur dan merebahkan badannya yang kini terasa penat di sebelah gadis itu.

“Aku tidak punya guling, tetapi kamu bisa memelukku,” kata Andang yang sudah memejamkan matanya dan meringkuk menghadap pemuda itu. Kino tertawa kecil,
“Aku biasa tidur terlentang tanpa guling.”
“Terserah lah,” kata Andang dengan suara mengantuk.

Kino tersenyum mendengar jawaban pendek itu. Ia mengatur nafas untuk bersiap tidur, dan tak lama kemudian merasakan matanya tak bisa lagi dibuka.

Keduanya terlelap dalam sekejap.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Ketika pagi datang lewat binar merah di ufuk, tak ada seorang pun dari penghuni rumah Andang yang terbangun. Keramaian subuh oleh unggas, manusia penghuni desa, maupun alam semesta, tak mampu mengusik lelap yang membungkus tubuh-tubuh muda itu.

Kino hanya sempat menggeliat sebentar, membalikkan tubuhnya memungguni Andang, lalu terlelap lagi.

Wempi sempat bangun untuk menuju toilet, lalu kembali tidur tetapi tidak di kamar tamu, melainkan menuju kamar yang tadi dipakai Onie, Obenk dan Ganda.

Tanpa peduli pada bekas-bekas percintaan yang mengering di sana sini di atas seprai, pemuda itu menghempaskan tubuhnya melanjutkan tidur.

Obenk pindah ke atas sofa, seenaknya memeluk Onie yang masih terlelap.

Ganda tak berkutik, mendengkur dengan suara halus, tidak mempedulikan dingin yang menyelinap masuk dari celah sempit di bawah pintu.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Pagi yang sama di kota B …

Indi sudah lama bangun, sudah mandi, sudah rapi karena harus ke sekolah. Ia baru saja menyelesaikan sarapan pagi ketika hati kecilnya meminta kakinya melangkah ke rumah sebelah. Ke tempat kost Kino.

Dengan ragu, gadis itu membuka gerbang halaman dan menengok ke arah kamar Kino. Gelap dan tertutup, tentu saja. Indi tidak tahu bahwa pemuda itu tidak pulang sejak kemarin.

“Cari Kino, nak?” suara ibu semang membuat Indi kaget setengah mati.
“Eh … ibu … eh … iya!” sahut Indi tergagap.

Ibu semang yang ternyata sedang bersiap menyapu halaman tersenyum melihat Indi kikuk terpergok seperti pencuri tertangkap basah. Diam-diam ibu ini tahu tindak-tanduk gadis remaja yang sering menjenguk Kino. Sebagai ibu semang dari puluhan pemuda kost-kost-an, ibu ini hapal betul tingkah laku pengunjungnya.

“Dia naik gunung dan belum pulang sejak kemarin,” kata ibu itu sambil mulai menyapu.

Indi mengernyitkan kening, sambil melangkah mendekat. Mendaki? Kenapa tidak bilang-bilang kepadaku? sergahnya dalam hati. Tetapi, kenapa musti bilang-bilang segala!?

“Nak Indi tidak tahu dia naik gunung?” tanya ibu semang memancing. Indi tersipu, merasa bahwa ibu di depannya itu bisa membaca pikirannya. Ia memutuskan untuk terus terang,
“Tidak, bu. Sudah lama Indi tidak berbincang-bincang dengannya.”

“Iya, ya ..,” ucap ibu semang mengulur pancingannya, “Sudah lama Indi tidak main ke mari.”
“Sibuk, bu,” jawab Indi setengah berbohong, karena toh ia memang sibuk belajar. Dan juga sibuk pacaran, tentunya.

“Nak Kino juga sibuk, dia sekarang mengajar di tempat kursus untuk anak SMA,” ucap ibu semang sambil pura-pura sibuk dengan kegiatan menyapunya. Padahal, ia juga yakin Indi tidak tahu bahwa Kino sekarang sibuk mengajar.

Indi memang tidak tahu, dan kesal sekali mendapat informasi dari tangan kedua seperti ini. Kenapa dia tidak bilang-bilang bahwa sekarang mengajar kursus? umpatnya dalam hati. Tetapi kenapa musti bilang-bilang juga?!

“Indi juga sekarang harus siap-siap ujian akhir dan ujian seleksi perguruan tinggi,” ucap Indi sedatar mungkin, menetralisasi gundahnya sendiri.

“Nak Indi bisa ikut kursusnya nak Kino … pasti lebih menyenangkan,” ucap ibu semang seakan-akan tanpa maksud apa-apa. Padahal jelas ucapan itu adalah sebuah pancingan yang sangat sulit untuk dihindari. Tetapi bukanlah Indi namanya kalau ia tidak pandai menghindari pancingan seperti itu.

Dengan sambil lalu, gadis centil itu berucap, “Indi lebih suka belajar kelompok dengan teman-teman …. Permisi dulu, ya bu … Indi mau sekolah.”

Ibu menyilahkan Indi pergi, dalam hati tersenyum melihat tingkah gadis itu. Ia tiba-tiba begitu merindukan seorang anak gadis, dan teringat kepada semua anak-anak lakinya yang kini sudah bekerja di mana-mana.

Teringat pula pada almarhum suaminya yang dulu menggembleng anak mereka secara cukup keras. Ia menghela nafas panjang, mencegah bulir airmata merebak keluar dari matanya yang renta.

Indi melangkah cepat kembali ke rumahnya. Pikirannya sibuk menimbang-nimbang usul yang tadi diajukan ibu semang. Mungkin memang ada baiknya aku ikut kursus, terutama kursus matematika. Mungkin aku bisa membujuk ayah untuk membiayai kursus matematik itu. Tetapi, …. ah, kursus matematika di kota ini bukan cuma satu.

Kenapa musti kursus di tempat kak Kino mengajar. Nanti ayah malah bilang, kenapa tidak belajar privat saja di rumah? … Nah, lo … bagaimana kalau ayah mengusulkan seperti itu. Ah … GR kamu Indi … sergah hati kecilnya. Lagipula, apa kamu berani ngomong ke dia untuk meminta dia mengajar kamu secara privat. Bagaimana dengan marah dan bencimu?
Pagi itu, dengan pikiran masih berkecamuk oleh pertimbangan-pertimbangan rasional maupun irasional, Indi berangkat ke sekolah. Setibanya di sekolah, ia segera mencurahkan isi kalbunya ke Mutia sang sahabat.

“Kamu, sih … pake ngambek segala!” sergah Mutia yang memang tidak selalu bisa menjadi penasihat yang baik.
“Lho .. kamu sendiri yang dulu nyuruh aku ngambek!” tukas Indi kesal.
“Iyaaaa … tapi jangan lama-lama, dong!” balas Mutia tak kalah kesal.

“Aku tidak ngambek lama-lama. Aku cuma ingin dia tahu bahwa aku marah. Tetapi dia memang begitu …. ngga peduli sama aku. Sebel betul, deh!!” ucap Indi sambil melemparkan kerikil yang tadi dipungutnya.

“Apakah dia benar-benar tahu bahwa kamu marah?” tanya Mutia, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada mereka berdua. Dia sudah pernah menyatakan kepada pemuda itu, di atas angkot, bahwa Indi marah. Sesuai permintaan Indi waktu itu. Tetapi kini ia ragu, apakah pemuda itu mengerti artinya “marah”.

“Ngga tau, ah!” sergah Indi kesal, meremas-remas saputangannya,
“Dia ngga pernah jelas … marah atau tidak marah sama saja buat dia. Bener-bener keras kepala dan ngga peduli kepadaku.”

“Tetapi kamu pernah bilang, dia seperti masih ingin ketemu,” kata Mutia sambil melambaikan tangan membalas salam seorang rekan yang lewat.

“Siapa yang bilang begitu!” sergah Indi,
“Aku bilang dia melihatku makan sama Randi … sepertinya kaget, atau mungkin juga kecewa … atau …. Ngga tau, ah!!”

Bel yang terbuat dari potongan rel kereta api terdengar dipukul bertalu-talu. Percakapan seru antara kedua sahabat itu terhenti. Dengan gontai mereka melangkah masuk ke kelas. Pelajaran pertama kali ini adalah pelajaran paling menyebalkan bagi Indi.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Sinar mentari siang menerobos masuk lewat lubang angin, menerangi ranjang yang tertutup kelambu setengahnya. Kino menggeliat dan memicingkan matanya. Sejenak ia kaget, bertanya-tanya di mana dirinya berada. Tetapi lalu ia sadar, ketika tangannya menyentuh tubuh lunak di sebelahnya.

Dengan hati-hati Kino membalikkan tubuh, takut membangunkan Andang.

“Selamat pagi …eh … siang,” suara Andang cukup pelan, tetapi tetap saja membuat Kino tersentak. Gadis itu ternyata sudah bangun lebih dulu. Gadis itu tertawa pelan, masih terbalut kantuk, “Kaget, ya … tidur di sebelah cewek yang baru kamu kenal!”

Kino mencoba ikut tertawa, walau kikuk, “Ya … kamu memang sering membuat kaget.”
“Belum pernah tidur dengan seorang wanita?” tanya Andang menembak langsung.
“Kenapa tidak tanya yang lain …, misalnya ‘mau sarapan atau tidak’?” sahut Kino menghindar.

“Okay ..,” jawab Andang tertawa, “Aku ganti pertanyaannya: belum pernah sarapan setelah tidur dengan seorang wanita?” Kino tertawa,
“Belum. Kalau pertanyaannya seperti itu, memang jawabnya belum!” Andang meraih leher Kino, membawa tubuhnya mendekat, memeluk pemuda itu tanpa aba-aba.

“Hei ..,” seru Kino, “Aku sudah menjawab pertanyaan mu dengan benar!”
“Aku sudah mendengar jawabannya!” sahut Andang menenggelamkan kepalanya di leher Kino, “Sekarang aku ingin memelukmu. Aku punya kebiasaan begitu setiap bangun tidur.”

Sebetulnya nyaman jika seorang gadis yang cuma memakai kaos dan celana dalam memeluk seperti ini. Tetapi Kino benar-benar tidak siap menerima perlakuan Andang yang serba lepas. Lagipula, ia tidak tahu musti membalas dengan reaksi apa. Dia tidak menolak tubuh itu, tidak juga menerimanya sepenuh hati.

“Aku juga punya kebiasaan buruk lainnya …,” bisik Andang karena Kino diam saja.
“Aku tidak ingin tahu …,” jawab Kino, kini merasa gelisah karena tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

Andang tertawa, menebarkan nafasnya yang hangat di sekujur leher dan dada Kino, “Kamu pasti menyukainya … semua pemuda menyukainya …” bisiknya.
“Andang … aku …,” Kino terbata, berusaha mendorong tubuh gadis itu dengan sopan.

Tetapi kesopanan juga seringkali berarti keraguan. Dorongan itu tidak cukup keras bagi Andang yang kini mengangkat tubuhnya, lalu seperti sambil lalu menyingkap kaosnya sendiri. Kedua bukit putih-coklat di dadanya terpampang dalam keindahan remang sinar yang tersaring kelambu.

Kino terpana ketika dengan sebuah gerakan sensual, Andang membawa salah satu puting susunya ke muka pemuda itu.

Entah apa yang bisa dilakukan oleh seseorang dalam keadaan seperti ini. Entah apakah ada rumus-rumus matematika atau mungkin biologi yang bisa menjelaskan keadaan seperti itu. Entahlah. Yang jelas, puting itu tahu-tahu sudah menerima perlakuan yang memang sepatutnya. Andang mendesah. Kino tergagap, tetapi melakukan apa yang menurutnya diinginkan oleh seorang wanita normal yang menyodorkan diri seperti itu.

“Mmmmm …,” terdengar erangan Andang; kedua matanya terpejam.

Salah satu tangannya memegangi pangkal payudara yang puncaknya sedang tenggelam dalam kuluman pemuda itu. Tangan lainnya bertelektekan di kasur, menjaga posisi seperti seorang ibu sedang menyusui bayinya di tempat tidur.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Satu demi satu tirai pembatas antara sepasang manusia itu tertanggalkan oleh gerakan-gerakan yang seperti tak sengaja. Nafas Kino pun seperti tak lagi ingin diatur oleh norma atau nilai yang biasanya mengekang setiap gerak tubuh.

Desah gelisah bersusulan keluar dari mulut Andang. Puncak payudaranya basah sudah. Bahkan payudara yang lain kini berada dalam remasan tangan pemuda itu. Pemiliknya menggeliat-geliat keenakan menerima perlakuan yang sebenarnya tak senonoh jika dilakukan dalam situasi normal itu.

Pemiliknya juga menjepitkan kedua kakinya di kaki Kino, memberikan tekanan-tekanan khusus kepada tempat yang memerlukan tekanan pada saat seperti ini.

Sebuah rasa indah belaka telah terbit di sela-sela di bawah sana, bersama dengan awal mengalirnya cairan-cairan cinta. Segalanya, tampaknya, akan lancar-lancar belaka. Mulus dan langsung semata. Tetapi … Terdengar teriakan seseorang di luar kamar yang menyentak perhatian Kino.

“Andang! Di mana kamu simpan kopi?” itu suara Obenk yang memang terbiasa berteriak kepada anak buahnya. Andang mengerang penuh protes karena Kino menghentikan perlakuan sensualnya.

“Biar saja … nanti dia bisa menemukannya sendiri!” bisik gadis itu sambil membawa lagi payudaranya ke muka Kino.

Tetapi Kino tidak bisa melakukan kegilaan-kegilaan sebagaimana Andang dan kawan-kawannya. Baginya, semua orang di rumah ini adalah mahluk-mahluk asing yang masih penuh misteri. Ia tidak terbiasa. Ia tidak merasa nyaman.

Mungkin kalau tidak di rumah ini, kalau dilakukan di tempat yang cukup terasing, mungkin saja Kino akan melanjutkan permainan yang bergairah dan tanpa tedeng aling-aling itu. Tetapi rumah ini, lingkungan ini, kamar ini, terlalu menakutkan baginya.

Kali ini dorongan tangan Kino cukup kuat untuk melepaskan pelukan Andang. Tidak ada kesopanan dalam gerakan pemuda itu.

Andang menghela nafas panjang, dan menghempaskannya dengan kesal. Rona mukanya yang memerah muda menandakan betapa gadis itu sedang berada dalam awal pendakian panjang menuju puncak birahi.

Tidaklah enak diperlakukan seperti ini, ditolak pada saat mengasyikkan seperti ini …. Tetapi, yah sudahlah … ia masih baru! sergah gadis itu dalam hati.

Kino bangkit dengan tergesa, berdiri dan melangkah menuju pintu tanpa berkata apa-apa.
Andang ikut bangkit dengan lesu, mengenakan celana panjangnya dengan enggan, dan menyusul pemuda itu dengan gontai. Di luar terdengar Obenk menyapa Kino dengan santai,

“Halo, bung! … enak tidur di kamar tuan rumah?” Terdengar pula Kino menggerutu tidak jelas. Obenk tertawa dan berkata, “Take it easy!” Lalu kesibukan mulai bangkit di rumah itu.

Onie terdengar berteriak menyuruh Wempi cepat-cepat keluar dari toilet. Ganda bahkan sudah menyetel tape recorder yang segera mengumandangkan lagu-lagu rock kelompok Aerosmith.

*** Cerita Cinta Dewasa ***