Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #48

Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #48

Sang Troubadour – bagian 4 (habis)

Cerita Cinta Dewasa – Kino masih tinggal bersama kelompok Obenk untuk sekali lagi main di atas sebuah panggung di desa yang lain. Ia meminjam telpon Andang untuk memberi tahu ibu semangnya di B, bahwa ia belum akan pulang hari itu.

“Iya, Bu .. saya dalam keadaan baik-baik,” kata Kino di telepon mendengar ibu semangnya kuatir.
“Betul, Bu … saya memang masih mengajar kursus,” kata Kino lagi dengan sabar,
“Tetapi giliran saya bukan besok, melainkan lusa. Jadi masih ada waktu.”

Lalu ibu semang yang agak ceriwis itu mengatakan bahwa Indi tempo hari mampir mencari Kino. Sejenak, pemuda itu merasakan jantungnya berdegup agak kencang. Kenapa si centil itu mencariku?

“Dia bilang ingin bertemu nak Kino, tetapi ibu bilang kamu sedang pergi,” terdengar suara ibu semang di antara kresek-kresek telepon jarak jauh ini. Kino ingin bertanya, kenapa gadis itu mencarinya padahal katanya sedang marah.

Tetapi yang keluar dari mulutnya justru, “Mungkin dia perlu bertanya soal matematika, Bu … biasalah, dia memang sering tanya soal PR-nya.”

Lalu ibu semang mencoba memancing gosip, tetapi Kino dengan sopan mengatakan bahwa ia meminjam telpon seseorang. Tidak enak rasanya terlalu lama ngobrol, apalagi itu telpon interlokal. Untunglah ibu semangnya mau mengerti, dan setelah sekali lagi mengingatkan agar menjaga diri baik-baik, hubungan telepon itu pun usai.

“Laporan sama mama, yaaa..!?” goda Andang yang sedang membantu Wempi memasukkan gitar ke sarungnya.

“Itu ibu semangku. Tempat kost,” jawab Kino pendek sambil melangkah menuju Obenk yang sedang menyanyi pelan-pelan di ruang tengah. Lagu baru, berjudul “Senandung Cangkul”.

Ada-ada saja cara Obenk membuat judul lagu dan liriknya. Diam-diam Kino kagum juga kepada si gondrong kerempeng yang eksentrik ini. Tetapi terus terang ia juga kurang sreg dengan beberapa ide dalam lagu-lagu itu.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Apalagi setelah mengetahui gaya hidup kelompok ini yang sangat bebas dan semaunya. Bagaimana mereka bisa lantang bernyanyi tentang kemiskinan, buruh dan sebagainya, padahal hidup mereka seenaknya dan cenderung mewah.

Mereka menghabiskan banyak uang untuk ganja dan minuman keras, padahal di panggung bernyanyi tentang orang-orang miskin yang tertindas.

“Kalian benar-benar aneh!” sergah Kino terus terang setelah Obenk berhenti bernyanyi. Seniman gondrong itu tertawa terkekeh, “Apa lagi, nih! Datang-datang langsung protes!”
“Katanya membela si miskin, tetapi hidup kalian begini ….,” Kino tak melanjutkan ucapannya.

Obenk menyalakan rokoknya, “Begini, bagaimana? Apakah maksudmu begini bebas dan seenaknya?”
Kino mengangguk, “Dari mana kalian membiayai gaya hidup seperti ini?”

“Kenapa, sih, kau selalu ngomong biaya?” Obenk balik bertanya.
“Ganja, minuman keras, gadis semacam Onie … itu, kan, perlu biaya!?” sergah Kino sambil meraih gitar dan memetik-metik dawainya perlahan.

Obenk terkekeh, “Dasar kapitalis! Kau selalu menyangka bahwa materi di dunia ini harus punya nilai rupiah!”
Kino tak tahu, apakah harus tersinggung atau tidak oleh cap “kapitalis” itu. Tetapi ia memang ingin berdebat dengan si kerempeng ini.

Maka ia menyahut, “Kau menghindari pertanyaanku. Dari mana kalian dapat uang untuk membeli semua itu?”
“Ganja kami dapatkan gratis dari yang menanamnya,” kata Obenk kalem,
“Satu peti bir di dapur itu datang dari seorang pemilik toko yang bersimpati. Sedangkan Onie …. hmmmmm …. kenapa dia musti dibayar?”

Kino melongo. “Maksudmu, semua itu kalian dapatkan tanpa mengeluarkan uang sepeser pun?”
“Persis!” sahut Obenk sambil terkekeh lagi, “Kami tidak punya uang. Kami tidak suka uang, dan tidak mau bergantung kepadanya. Uang adalah alat kapitalis yang paling keji!”

“Apa yang mereka dapatkan dari kalian, sampai mau menyumbang segala macam!?” cecar Kino penasaran.
Obenk mengangkat bahunya acuh-tak-acuh, “Mungkin mereka mendapatkan kebenaran dari lagu-lagu kami.”

Kino mencibir, “Kebenaran macam apa? Lagu kalian cuma berisi protes dan maki-maki.”
“Justru itu!” jawab Obenk cepat, “Justru karena mereka sendiri tidak bisa protes dan memaki-maki! Mereka senang ada orang protes dan memaki-maki mewakili mereka.”

“Tetapi mereka itu bukan kelompok yang kalian bela. Pemilik toko yang memberi kalian bir itu justru kapitalis. Petani ganja itu mungkin juga residivis!” ucap Kino sengit.

“Mereka mungkin memang bagian dari mesin kapitalis, tetapi belum tentu mereka kapitalis,” jawab Obenk tenang, tak peduli pada kerasnya protes yang terkandung dalam ucapan-ucapan Kino.

“Aku tak mengerti!” ucap Kino sejujurnya. Obenk mengebulkan asap rokoknya dengan nikmat sebelum menjawab, “Begini, Kino …. Mereka sudah kadung ada dalam sistem kapitalis. Barangkali sejak lahir sudah ada dalam lingkungan kapitalis. Akibatnya, mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain ikut menjadi kapitalis. Tetapi mereka juga kemudian sadar bahwa apa yang mereka kerjakan cenderung menindas kaum miskin. Makanya ….. ”

Ucapan Obenk terhenti karena Onie tahu-tahu sudah duduk di sebelahnya, menggelendoti bahu si gondrong kerempeng itu, dan mencium pipinya.

“Ngomong apa, nih? Seru banget!” sergah gadis manis yang sebetulnya sangat seksi kalau saja tidak terlalu blak-blakan itu.
“Si Kino, penasaran!” jawab Obenk sambil merangkul pinggang Onie dan membalas ciuman gadis itu.

Kino, yang duduk berhadapan dengan pasangan ini, agak tersipu melihat pameran keterbukaan yang diperlihatkan keduanya. Apalagi gadis itu rupanya baru selesai mandi, hanya memakai daster tanpa beha.

Ketika dengan santai ia menaikkan kakinya ke atas lutut Obenk, dasternya tersingkap sedikit dan sebentar. Kino terkesiap mengetahui bahwa Onie juga tidak memakai celana dalam!

Kino merasa mukanya merah padam, karena Onie memergoki pandangannya.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Sorry!” kata gadis itu tanpa penyesalan sama sekali, “Aku malas pake celana dalam.” Obenk terkekeh, “Kamu bikin si Kino malu. Jangan gitu, dong … dia, kan, belum kenal kita secara baik!”

Kino bangkit, merasa terlalu kikuk untuk melanjutkan percakapan. Tetapi gerakannya tertahan oleh tangan Onie yang meraih pergelangannya.
“Maaf, Kino!” kata Onie, kali ini dengan sedikit ketulusan, “Aku tidak bermaksud menganggu pembicaraan kalian!”

Kino memandang pergelangan tangannya yang tercekal, lalu mengangkat muka untuk memandang wajah Onie. Gadis itu tersenyum manis dan menampilkan wajah polos.

“Tidak apa-apa,” kata Kino sambil mencoba tersenyum,
“Aku memang belum kenal kalian, makanya sering kaget.”

“Ya, Kino,” sela Obenk, “Kami minta maaf jika kau terganggu oleh gaya hidup seperti ini. Tetapi … kami memang begini. Tentu tidak adil kalau kami harus berpura-pura di depanmu.” Onie melepaskan cekalannya, Kino menghela nafas panjang lalu memutuskan untuk duduk kembali.

“Gitu dong!” kata Onie sambil menyandarkan kepalanya dengan manja ke bahu Obenk,
“Jangan ngambek!”
Kino tersenyum, “Tidak, aku bukan tipe orang yang suka ngambek.”

“Kau tipe orang yang bagaimana?” tanya Obenk sambil meng-genjreng gitarnya sembarangan.
“Tak tahu,” jawab Kino sambil tertawa kecil, “Mungkin aku terlalu naif buat kalian.”
“Kamu anak baek-baek,” sambar Onie sambil meremas-remas pinggang Obenk.

“Tidak,” sahut Kino cepat-cepat, ”Aku tidak bisa dikatakan anak baik.”
“Oh, ya?!” kata Obenk, “Kejahatan apa yang pernah kau lakukan?”
“Bukan kejahatan,” jawab Kino sambil meraih lagi gitar yang satunya, dan ikut-ikutan meng-genjreng sembarangan, “Tetapi juga bukan kebaikan.”

“Ooo … kalau begitu kamu anak biasa-biasa aja!” sergah Onie sambil tertawa.
“Menurutmu, kami tergolong ‘penjahat’, ya?!” kata Obenk yang menggelinjang-gelinjang kecil karena digelitiki oleh gadis di sebelahnya.

“Tergantung dari cara melihatnya,” jawab Kino cepat, mencoba tak memperhatikan kemana tangan Onie menggerayang, “Masyarakat luas mungkin menganggap kalian penjahat karena menghisap ganja. Petani miskin mungkin menganggap kalian pahlawan pembawa suara mereka.”

“Kalau aku lebih suka jadi penjahat,” sela Onie yang kini meremas-remas pangkal paha Obenk. “Ya,” sambung Obenk sambil tertawa,
“Onie sudah berbuat banyak kejahatan!”

“Aku tidur dengan 100 laki-laki,” kata Onie santai, seperti bangga dengan ‘prestasi’-nya,
“Pasti itu kejahatan besar buat para orangtua yang punya anak gadis!” Kino terperangah, tak bisa bereaksi atas ucapan itu.

“Aku juga sudah membuat lebih dari 50 laki-laki patah hati,” lanjut Onie sambil tertawa kecil, seperti menceritakan kejadian menggelikan, “Mereka semua ingin menikahiku, padahal aku cuma mau tidur dengan mereka.”

“Tetaplah jadi penjahat, sayangku …,” ucap Obenk sambil lalu mencium leher Onie. Gadis itu tertawa tambah keras, “Yaa .. jadi penjahat dan bergaul dengan bergajul-bergajul kayak kamu ini!”

“Aku rasa itu bukan kejahatan,” akhirnya Kino memberanikan diri mengajukan pendapat. Onie mengangkat alisnya dengan kocak, “Kau anggap aku apa, Kino?” Kino mengangkat bahu, “Aku tak terlalu pasti. Tetapi aku pernah kenal gadis yang juga seperti kamu, walaupun dia tidak tidur dengan 100 laki-laki.”

Onie dan Obenk tertawa mendengar kalimat Kino yang terakhir.

“Aku tidak bisa memutuskan apakah dia atau kamu jahat,” sambung Kino cepat-cepat,
“Tetapi pasti banyak orangtua yang menganggap kamu penjahat.”

“Aku tak peduli,” kata Onie sambil terus meremas pangkal paha Obenk, malah semakin ke atas, “Aku tak peduli, karena orangtua ku sendiri menganggap aku penjahat.”

Kino mendeteksi sedikit kegetiran di ucapan gadis itu, dan ia tiba-tiba teringat Rima yang juga tergolong gadis brokenhome. Ah, kenapa banyak sekali ia menjumpai rekan-rekan sebaya yang datang dari keluarga berantakan? Apakah justru keluarga ku yang ‘terlalu normal’?

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Kami semua datang dari keluarga berantakan,” kata Obenk seperti bisa membaca pikiran Kino.

“Kecuali Andang, mungkin …,” sela Onie, “Keluarganya tidak sungguh-sungguh berantakan, tetapi juga tidak sungguh-sungguh peduli pada apa yang ia lakukan.”
“Keluarga Andang seperti apa?” tanya Kino.

“Liberal kapitalis …,” terdengar suara Andang, membuat Kino tersentak. Ternyata gadis itu sudah sejak tadi berada di ambang pintu, tetapi Kino tak melihat karena posisi duduknya. Sebaliknya, Onie dan Obenk sudah melihat kehadiran gadis itu, maka mereka tertawa melihat Kino kaget.

“Oh, maaf!” seru Kino cepat-cepat, merasa jengah karena membicarakan seseorang tanpa kehadirannya.

“Tidak apa-apa,” sahut Andang yang kini sudah duduk di sebelah Kino,
“Kenapa musti minta maaf. Aku justru senang kamu menaruh perhatian pada kami.” Kino tersipu, “Kalian memang baru ku kenal. Jadi ….. ”

“Ya,” sela Andang sambil merangkul bahu pemuda itu, “Jadi, kamu ingin tahu lebih banyak, kan?” Kino sebenarnya tak merasa enak dipeluk gadis itu, tetapi ia juga tidak ingin menyinggung perasaannya.

“Aku memang tertarik ingin tahu banyak tentang kalian,” kata Kino sambil mencoba berlaku normal.
“Bagus, kalau begitu,” ucap Andang lembut,
“Walaupun kamu tidak harus bergabung dengan kami.”

“Aku memang tidak memikirkan soal bergabung atau tidak,” sahut Kino cepat-cepat. Obenk tertawa, “Selain naif, ternyata kau adalah sejenis mahluk keras kepala juga!” Kino ikut tertawa, “Yaa … banyak orang yang mengatakan itu!”

Wempi tiba-tiba muncul di ambang pintu dan berseru, “Hoi! Kalian mau terus ngobrol atau mau makan siang. Kita harus siap-siap untuk pertunjukan nanti sore, lho!”

“Hei, sejak kapan kamu jadi boss di sini!” balas Onie yang masih asik memeluk dan meremas-remas Obenk. Wempi mendekat dan mencubit pipi Onie, “Aku memang bukan boss, tetapi aku lapar dan aku mau latihan sebentar dengan si kerempeng yang kau peluk-peluk itu!”

Andang bangkit sambil menarik tangan Kino, “Jangan berkelahi. Makan siang dulu, yok!”

Onie dan Obenk bangkit seperti anak-anak yang penurut kepada ibunya. Kino tersenyum dalam hati. Obenk mungkin adalah boss di kelompok ini. Tetapi, Andang adalah ibu rumah tangga. Bahkan boss pun harus tunduk kepada ibu rumah tangga, bukan?

Siang itu Kino makan nikmat sekali. Nasi hangat mengepul dengan lauk ikan asin, lalapan dan sambal terasi. Lalu mereka berangkat naik motor. Andang memboncengi Wempi dengan motor bebeknya. Onie membonceng Obenk, sementara Kino ikut dengan Ganda.

Mereka berlatih sebentar di sebuah balai desa yang letaknya sekitar setengah jam perjalanan. Seperti yang sebelumnya, pertunjukan sore itu juga bersifat “resmi” karena dihadiri Pak Lurah dan beberapa petinggi desa.

Seperti yang sebelumnya pula, kelompok Obenk menyanyikan lagu-lagu “perjuangan” mereka dengan penuh semangat. Para penonton menyambut antusias, terutama kalau kelompok itu membawakan lagu-lagu yang berirama dangdut.

Secara keseluruhan, pertunjukkan mereka sore dan malam itu tak kalah suksesnya dengan pertunjukan sebelumnya. Hanya ada sedikit kesalahan teknis, ketika di tengah babak kedua tiba-tiba aliran listrik terputus dan mereka terpaksa menyanyi tanpa microphone. Untung cuma satu lagu, karena kemudian listrik menyala lagi.

Mereka kembali ke “markas” di rumah Andang selepas tengah malam.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Aku tidak bisa ikut kalian besok,” kata Kino ketika mereka sedang bersantap malam,
“Aku harus kembali ke B.”
“Tetapi kau tidur di sini malam ini, kan?” tanya Obenk tanpa menghentikan suapannya.
“Apakah aku punya pilihan lain?” Kino balas bertanya.

“Ada,” jawab Ganda cepat, “Kamu boleh pilih, mau tidur di kamar tamu, di kamar tengah, di kamar Andang ….” Semua orang tertawa. Kino memisuh, “Sialan kau!”
“Kino tidur di kamarku,” kata Andang selesai tertawa.
“Lho, kapan aku tidur di kamarmu?” protes Wempi.
“Tidak akan pernah. Kamu suka ngompol!” sahut Andang cepat. Semua orang tertawa lagi.

“Kino adalah tamu kehormatan, dan Andang adalah tuan rumah,” kata Obenk selayaknya boss yang menyelesaikan semua persoalan, “Jadi, jangan ada yang membantah kalau tuan rumah memberikan tempat terbaik!”

“Okay boss!” sahut Wempi cepat,
“Tetapi aku ngga sepenuhnya setuju.”

“Masa bodo, setuju atau tidak,” balas Obenk sambil terus menyuap,
“Besok, kalau Kino sudah pulang, kamu boleh protes lagi.”

Kino tertawa melihat tingkat teman-teman barunya. Terbuka dan demokratis. Masuk akal dan tak mengabaikan ikatan emosi. Aneh tetapi juga menarik!

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Berbeda dengan malam sebelumnya, kali ini Kino lebih rileks tidur di kamar Andang bersama gadis itu. Walaupun demikian, ia tetap berupaya menjaga jarak, dan tampaknya gadis itu pun menghormati keputusannya.

“Aku tadi dengar komentar mu tentang kami,” kata Andang sambil menelentang di kamar yang kini remang-remang.

“Tentang apa?” tanya Kino dengan suara yang sedikit mengantuk.
“Tentang Onie, tentang jahat-tidaknya dia,” kata Andang. Kino tersenyum,
“Aku memang tidak tahu apakah dia jahat atau tidak. Apakah yang dia kerjakan baik atau tidak.”

“Kau bilang bahwa ada teman mu yang juga seperti dia,” kata Andang sambil membalik menghadap Kino. Lututnya menyentuh ringan paha pemuda itu.

“Ya,” jawab Kino,
“Aku juga punya teman yang datang dari keluarga berantakan, dan seorang lainnya yang berlaku bebas dengan laki-laki.”

“Kenapa kau tidak membenci mereka?” bisik Andang sambil mengelus-elus bahu Kino.
“Aku tidak punya alasan untuk membenci mereka,” sahut Kino merasakan kantuknya mulai menipis, “Lagipula, mereka tidak pernah menyakitiku. Bahkan mereka selalu baik kepadaku.”

“Tetapi teman-teman mu itu, kan, tergolong anak brengsek …,” kata Andang lalu menyambung cepat, “Setidaknya begitu lah kata sebagian besar orang.”
“Memang,” jawab Kino, “Itu sebabnya kadang-kadang aku juga bingung, kenapa aku berbeda dari kebanyakan orang.”

Andang tertawa kecil, “Itu namanya ‘naif’, Kino …. kau anggap semua orang baik belaka, selama tidak menyakitimu.”

“Apakah itu salah?” tanya Kino sambil menengok. Wajah Andang dekat sekali di sebelahnya.
“Tidak, menurutku,” ucap Andang lembut, dengan satu tangannya ia membelai rambut Kino,
“Tetapi buat sebagian orang lainnya …. sebagian besar, bahkan ….. kenaifan itu adalah kesalahan.” Kino membiarkan rambutnya dibelai. Rasanya nyaman dan ramah.

“Kadang-kadang aku ingin seperti kamu,” kata Andang setengah berbisik.
“Maksudmu?” tanya Kino sambil kembali memandang langit-langit.
“Aku ingin naif memandang dunia ini. Tetapi tidak bisa, karena aku selalu marah kepada masyarakat. Aku selalu memaki-maki dan memberontak terhadap aturan-aturan mereka.” bisik Andang.

Kino diam.

“Aku ingin bersikap netral, tetapi tidak bisa. Aku merasa harus memilih, menjadi seperti mereka atau mengelompok dengan orang-orang yang disingkirkan mereka.” lanjut Andang sambil terus membelai rambut pemuda di sebelahnya.

Kino tetap diam, membiarkan gadis itu mengeluarkan isi hatinya.

“Kelompok Obenk ini sebenarnya sebuah pelarian bagiku,” kata Andang kali ini dengan agak tersekat, “Aku tak punya tempat di masyarakat, bahkan tidak juga di lingkaran keluargaku sendiri.”

“Tetapi kedua orangtua mu menyayangi mu, bukan?” tanya Kino, merasa perlu menimpali.
Andang menarik muka pemuda itu, memaksa dengan lembut agar Kino memandangnya.

“Mereka bukan orangtua ku,” bisik Andang.
“Maksudmu?” tanya Kino penuh keheranan, memandang kedua mata gadis di sebelahnya.
“Aku …..,” Andang menggigit bibirnya, “Aku anak angkat mereka.”

Kino terperangah. Apalagi kemudian ia samar-samar melihat sedikit air tergenang di kedua mata Andang. Tetapi gadis itu lalu tersenyum, menghentikan belaiannya di muka Kino, dan mendesah, “Ah! Kenapa aku harus menceritakan ini kepadamu!” Kino mengangkat badannya dan bersandar di satu tangan, menghadap ke Andang yang kini terlentang memandang langit-langit dengan mata nanar.

“Tidak apa-apa,” kata Kino, “Kalau kau ingin bercerita, aku bersedia mendengarnya!”
Andang mengusap kedua matanya dengan punggung tangan, “Ceritanya membosankan. Aku tak mau membuat orang lain bosan.”

Kino menyentuh bahu Andang yang tak tersaput daster, “Aku janji tidak akan bosan. Ceritakan lah!” Andang tersenyum getir, “Untuk apa? Untuk mengundang simpati dan mengubah pandangan mu tentang diriku?”

“Tidak,” sahut Kino, “Tidak untuk mengubah apa-apa. Aku cuma ingin tahu, dan cuma ingin memberikan kesempatan kalau kamu ingin menumpahkan perasaanmu.”

Andang membawa tangannya ke muka Kino, membelainya sambil terus tersenyum, “Baiklah. Kamu memang keras kepala!”

Lalu Andang bercerita tentang kedua orangtuanya yang sudah punya dua putra. Tetapi satu dari mereka meninggal karena kecelakaan lalulintas. Lalu yang kedua tumbuh tidak normal karena gangguan saraf, menjadi seorang pemuda terkebelakang dan harus mendapat perawatan khusus.

Setelah bertahun-tahun menderita karena dua musibah itu, dan setelah mengetahui bahwa mereka tak mungkin punya anak lagi setelah rahim ibu diangkat karena gejala kangker, akhirnya kedua orangtuanya memutuskan untuk mengangkat seorang Andang sebagai anak.

“Sampai remaja, aku tidak pernah tahu siapa orangtua ku sebenarnya,” bisik Andang, “Mereka tak pernah mau menceritakannya. Tetapi beberapa tahun yang lalu, selagi masih di SMA, seorang paman ku membocorkan sedikit rahasiaku. Ia bilang bahwa aku dipungut dari sebuah panti asuhan anak-anak yang dibuang …”

Kino terperangah. Ia pernah mendengar atau membaca berita, banyak bayi yang ditinggalkan ibunya di rumah sakit, atau bahkan dibiarkan menggeletak di pinggir jalan. Banyak di antara bayi-bayi yang dibuang itu akhirnya mati terlantar, atau hidup selamanya di panti-panti asuhan. Kini di depannya menggeletak sebuah contoh nyata. Sangat nyata dan sangat hidup!

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Aku sedih sekali, Kino …,” bisik Andang. Airmatanya mulai menggenang lagi,
“Aku tersadar bahwa aku mungkin seorang anak yang tak diinginkan lahir di dunia ini!”

Kino mengusap muka gadis di sebelahnya, menghapus airmata yang sebagian mengalir keluar dari sudut-sudut mata.

“Lalu aku mulai frustrasi dan marah kepada kedua orangtua angkatku. Sementara mereka juga seperti tidak tahu harus berbuat apa. Lama-lama kami jadi saling tidak peduli. Mereka seperti ingin membuangku tetapi juga tidak tega. Sehingga akhirnya mereka memberikan segala fasilitas material, tetapi tidak terlalu mengacuhkan apa yang aku lakukan. Aku pun lalu ingin bebas sesukanya. Toh, tak ada yang akan merasa kehilangan!” kata Andang dengan getir.

“Bukan salah mereka, tentunya …,” bisik Kino lalu buru-buru meralat,
“Aku tidak bermaksud membela mereka, tetapi pastilah mereka bermaksud baik ketika mengangkat mu menjadi anak.”

“Memang bukan salah mereka,” kata Andang,
“Aku tak pernah menyalahkan mereka secara sungguh-sungguh. Tetapi aku juga tidak bisa mencintai mereka sepenuhnya!”

Lalu Andang bercerita lagi panjang lebar, kali ini tanpa berusaha menahan tangisnya, mengisahkan betapa pedihnya hati ketika ia akhirnya samar-samar tahu darimana dirinya berasal. Gadis itu nekad menyelidiki panti asuhan tempat ia dipungut.

Ternyata, menurut penyelidikan amatiran itu, ia berasal dari seorang gadis muda yang terjerumus dalam kehidupan malam dan lalu bunuh diri. Kematian tragis itu memutuskan semua sejarah dan pengetahuan, siapa sebenarnya ayahnya!

Kino membiarkan Andang memeluknya, menangis di dadanya dengan suara tertahan takut membangunkan penghuni rumah yang lain. Malam sudah sangat sepi, dan kegiatan Onie dengan Obenk (atau entah Wempi atau Ganda) sudah lama reda.

Pelan-pelan Kino menempatkan tangannya sebagai bantal untuk gadis yang menuangkan kegetirannya tanpa aling-aling. Bagi pemuda itu, kisah Andang bukan lah sama sekali baru. Ia juga pernah menjadi tumpahan perasaan Rima yang punya kehidupan mirip.

Walau begitu, tetap saja perasaannya tersentuh oleh kisah-kisah getir seperti ini. Sekaligus ia pun menerima ini sebagai perbandingan, bahwa hidup nya sendiri jauh lebih baik dari orang lain. Ia merasa mendapat pembenaran untuk tidak selalu mengeluh menerima apa yang ia alami dalam hidup maha lapang ini.

Entah berapa lama gadis itu menangis, Kino tidak tahu, karena akhirnya mereka berdua tertidur berpelukan.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Dalam mimpi, Kino merasa berada pada sebuah taman luas yang berderang oleh mentari berwarna-warni. Heran juga pemuda itu, mengapa matahari bisa berubah-ubah warna seperti lampu disko. Taman pun menjadi berkilauan oleh aneka pelangi. Bunga-bunga tampak berubah-ubah warna dan tampilan, seperti kelap-kelip jutaan lampu.

Andang berlari-lari riang, mengejar kupu-kupu dan dedaunan yang terbang oleh angin sepoi sejuk. Kino menggandeng tangannya, menelusuri jalan setapak yang berpagar pohon-pohon kopi. Ah, … pohon kopi ini tentu saja adalah cermin dari masa lalunya di desa.

Lalu mereka tiba di pinggir sungai dan memutuskan untuk mandi. Ah, … ini juga sungai dari masa lampaunya. Bercebur riang dan menjerit-jerit manja, Andang berenang-renang ke tengah. Kino mengingatkannya agar jangan berenang terlalu jauh karena air agak kencang. Gadis itu membandel, malah menjauh menuju ke tengah.

Lalu ada banjir bandang yang selalu datang tiba-tiba!

Kino menjerit melihat Andang terhanyut. Tanpa berpikir panjang, pemuda itu mengejar ke tengah, membiarkan arus kencang menariknya ke dalam. Sekuat tenaga ia berenang, mengerahkan segara keahliannya untuk mencapai gadis yang terlihat menggapai-gapai minta tolong.

Pegal rasanya tangan Kino, tetapi akhirnya ia berhasil meraih gadis itu. Cepat-cepat ia memeluk badannya yang basah kuyup dan telanjang, berusaha menariknya ke tepian. Susah sekali berenang dengan tangan pegal dan dengan beban seperti itu.

Terengah-engah, Kino berusaha menepi. Susah sekali bernafas di dalam air …. tersengal-sengal …. perlu banyak oksigen …. jangan sampai tenggelam ….. terus berusaha ….. sekuat tenaga ……. terengah-engah ……

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Masih terengah-engah, Kino membuka matanya. Bibirnya dan bibir Andang sedang bergelut ramai, saling memagut. Nafas gadis itu hangat menerpa seluruh wajahnya. Ini bukan mimpi!

Terengah-engah, Kino membalas kegairahan yang ditawarkan gadis dalam pelukannya. Mata gadis itu terpejam seperti orang tidur, tetapi gerakan-gerakannya mengatakan sebaliknya. Kedua tanggannya memeluk leher pemuda itu, sementara satu kakinya terselip di antara kaki Kino, menjepit erat.

Daster tipis Andang tak lagi beraturan, tersingkap sampai ke pinggangnya. Tangan Kino telah tiba di pinggul yang mulus, entah sejak kapan. Gadis itu mengerang pelan ketika telapak tangan hangat pemuda itu menelusur ke bawah, ke belakang, menyelinap dan menjelajah bukit mulus dan kenyal.

“Kino …,” desah Andang di sela-sela ciuman yang bergelora.

Pemuda itu memainkan lidahnya, membalas ajakan untuk saling beradu-padu di dalam rongga hangat yang harum. Tangannya menjalar, menyelinap ke bawah karet celana dalam yang tak terlalu ketat. Jari-jarinya menemukan kombinasi kehangatan tungku dan kehalusan sutra. Juga sedikit saputan tipis keringat yang mulai terbetik di bukit-bukit belakang itu.

“Hmmmmm ..,” Andang mengerang membiarkan ciuman terlepas dan menyerahkan lehernya yang jenjang menjadi ladang penjelajahan bibir Kino.

Dengan satu tangan, gadis itu memulai penjelajahannya pula. Ia menelusup ke balik kaos Kino, bermain-main nakal di puting-puting kecil dada pemuda itu, merasakan tonjolan kecil itu mengeras seketika. Lalu ia turun bermain-main di perut pemuda yang kencang dan bergolak ramai.

Terus ke bawah melewati batas ikat pinggang yang masih terpasang karena Kino tidak membawa pakaian tidur. Dengan cekatan, jemarinya menarik turun resleting yang lancar meluncur tanpa perlawanan. Lalu cepat pula ia menelusup ke balik celana dalam, menemukan apa yang ia ingin temukan, sudah dalam ketegaran yang menyatakan persiapan.

Kino mengerang merasakan sentuhan wanita yang tahu ke mana harus menyentuh dan bagaimana harus menyentuh. Ia merasakan betapa dengan cepat tubuhnya berubah menjadi letupan-letupan gairah.

Tak mungkin ia bisa menahan letupan itu, karena telapak tangan halus dan jemari lentik di bawah itu sangat ampuh. Tak mungkin ia bisa memerintahkan bagian tubuh di bawah itu untuk menolak bujukan-bujukan lembut yang mendatangkan geli-nikmat itu. Tak mungkin!

Kino mendorong tubuh Andang sehingga menelentang terbuka. Tangannya tahu kemana harus mengarah, beralih dari belakang ke depan, masih berada di balik celana dalam nilon yang percuma saja berada di bawah sana. Jari tengahnya menjadi biduk kecil yang meluncur lancar ke antara lembah lembut yang kini agak basah oleh kegairahan gadis itu.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Andang mengerang, membusungkan dadanya yang kini menerima telusuran tanpa malu-malu dari seorang pemuda yang tahu ke mana harus membawa mulutnya

. Andang tersentak dan menggeliat ketika mulut itu mulai menangkap dan menghisap dan menggigit bagian-bagian yang memerlukan perlakuan semacam itu. Sementara kedua pahanya yang sudah tak terlindungi itu juga telah membuka bagai sebuah gerbang istana yang bersiap menerima tamu agung.

Cepat dan nyaris otomatis, gerakan-gerakan sensual mereka segera mempertemukan dua badan yang terdahaga. Cekatan dan lancar pula, Andang meraih kondom di laci sebelah kiri, dan membantu Kino memasangnya.

Tanpa terlalu banyak upaya, bagian bawah tubuh mereka yang telanjang sudah terpaut-terkait seperti kunci dengan gemboknya. Kedua kaki Andang yang panjang dan mulus itu memeluk erat pinggang Kino, seperti catut raksasa terbuat dari kekenyalan yang halus harum.

Ranjang sedikit berderit, tetapi Kino kini tak lagi peduli. Ia merasakan jepitan lembut dan licin dan basah, seperti penjara yang mustahil melepaskan penghuninya.

Gerakan-gerakan Andang di bawah tubuh pemuda itu semakin mengundang rasa nikmat yang tak bisa terhindarkan. Kino menimpalinya dengan gerakan-gerakan berlawanan, menciptakan sinergi birahi yang semakin lama semakin kuat.

Andang meraih tengkuk pemuda yang menindihnya, melumat bibirnya dan menyedot nafasnya seperti seorang yang kehabisan oksigen. Kino merengkuh bahu gadis itu sambil menekan dan mendorong. Erangan Andang keluar seperti orang yang tertikam belati.

Kegulitaan langit yang sudah meninggalkan malam menuju pagi, keramaian jangkerik dan serangga, dingin yang terbawa oleh embun ….. semua itu menjadi tidak relevan ketika keduanya bergerak-gerak cepat dan kuat.

Andang mengerang-erang semakin panjang dan keras. Kino merasakan seluruh ototnya bekerja keras menghasilkan energi mentah yang membawa nikmat.

Ranjang berderit ramai. Andang menjerit kecil, meregang kejang dalam kenikmatan panjang yang datang dari hentakan hujaman pemuda tegar di atasnya.

Kedua kakinya tak lagi sanggup memeluk pinggang Kino, melainkan menjejak kasur yang sudah berantakan, membuat pinggulnya naik sedikit, tapi lalu terhenyak karena terdorong keras dan dalam. Gadis itu seperti memberontak ingin melepaskan diri, walaupun tentu saja itu adalah gerakan-gerakan penyerahan belaka.

Kino tidak berhenti, melainkan tambah menggebu.

“Oooh …,” Andang mengerang panjang, merasakan untaian geli-gatal di seluruh tubuhnya berlanjut menjadi gelombang pasang kedua.
“Aaah ..,” gadis itu mendesah gelisah karena sibuk melayani kegairahan pemuda yang kini sedang mendaki puncak.

Lalu disertai ledakan dinamit tak kasat mata, Kino menghenyakkan tubuhnya berkali-kali, membuat Andang tersentak-sentak dalam nikmat luar biasa, sebelum akhirnya mereka berdua terhempas di pantai birahi yang adalah kasur lembut tetapi kini basah di sana-sini oleh keringat keduanya.

Suasana di luar tetap sepi. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Maafkan aku, Kino,” bisik Andang menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu. Nafasnya masih agak kurang teratur.

Kino tidak menjawab, sibuk mengatur nafasnya sendiri dan sibuk mengembalikan kesadarannya dari ketinggian maya yang barusan ia terbangi. Ia masih belum yakin sepenuhnya, apakah apa yang ia kerjakan tadi itu bagian dari mimpi atau kehidupan nyata.

Ciuman lembut Andang di lehernya membawa Kino ke alam sadar yang sepenuhnya. Pemuda itu tersentak kaget, dan sempat berusaha mendorong tubuh gadis itu lepas dari pelukannya. Tetapi segera pula ia meralatnya dengan rengkuhan erat.

“Maaf …,” desah Andang membiarkan tubuhnya sejenak terdorong lalu tertarik lagi ke dalam pelukan hangat. Kino menghela nafas panjang dan menghempaskannya kencang-kencang,
“Aku juga yang bersalah!”

“Tetapi aku membiarkannya terjadi,” sergah Andang, airmatanya tahu-tahu terbit kembali. Mengapa ia begitu cengeng di hadapan pemuda yang baru dikenalnya ini!?

Kino mengusap rambut gadis dalam pelukannya, “Aku juga tidak tahu diri, mengikuti nafsu.”
“Aku memang menginginkannya,” bisik Andang, “Tetapi sebenarnya aku tak ingin memaksa …. ”

“Sudahlah!” sela Kino, “Tidak ada yang memaksa dan dipaksa.”
“Aku menyesal …,” bisik Andang membiarkan airmata mengalir turun ke dada Kino, membasahi kaosnya.

“Sudahlah!” sergah Kino lagi, walau ia juga menyesal sekali. Mengapa ia tidak bisa menahan diri lebih lama? Mengapa harus menyerah oleh dorongan-dorongan di dalam dirinya. Kau tak mampu mengendalikan diri mu sendiri, Kino! sentak suara kecil di hatinya. Kau biarkan dirimu hanyut, padahal kau bisa berenang menepi!

Pemuda itu diam. Andang juga diam. Kesunyian memenuhi kamar. Juga keletihan selakayaknya tubuh yang terdera oleh kegiatan yang menghabiskan banyak energi. Tak hanya energi nyata, tetapi juga menyedot habis perasaan dan pikiran. Menciptakan kekosongan yang meletihkan. Menghadirkan rasa sepi yang getir ….

Hanya kantuk yang kemudian bisa menghapus kegundahan mereka berdua. Masih berpelukan, keduanya terlena dalam tidur panjang ….

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Ketika terbangun, Kino sendirian terbaring di bawah selimut. Celana panjang dan celana dalamnya tergantung rapi di kaki ranjang. Jendela kamar masih tertutup. Lampu masih mati, tetapi sinar mentari sudah menerobos masuk.

Sambil menggeliat, pemuda itu bangkit dan mengenakan celananya tergesa-gesa. Ia harus segera pergi karena nanti sore harus mengajar di tempat kursus. Harus segera mencari angkot keluar dari desa ini, lalu mencari bis ke B.

Di luar, Obenk sudah mandi dan sedang membaca koran.

“Aku antar ke tempat angkot setelah kau sarapan,” katanya tanpa mengangkat muka.
“Kemana yang lain?” tanya Kino melihat ke sekeliling. Rumah terasa sepi.
“Sedang keluar,” jawab Obenk pendek, melanjutkan membaca.

Kino melangkah ke ruang makan, merasakan perutnya berkeroncongan. Ia melihat tinggal satu piring tertelungkup di meja, dan merasa sedikit malu karena bangun paling siang. Dengan agak enggan ia duduk dan menyendok nasi goreng lalu menyantapnya diam-diam.

Rumah benar-benar sepi, dan tetap begitu sampai Kino selesai sarapan. Ia bangkit mengambil ransel di pojok kamar tamu, lalu mendekati Obenk yang masih asyik membaca.

“Ke mana Andang?” tanya Kino, tiba-tiba merasa kesepian setelah apa yang terjadi tadi malam.

“Pergi ke ibukota,” jawab Obenk pendek.
Kino tersenyum, menyangka si kerempeng gondrong itu bercanda. Mana mungkin gadis itu pergi begitu saja setelah kejadian semalam.

“Aku mau pamit kepadanya. Aku harus bicara sedikit ….,” ucapan Kino terpotong oleh pandangan Obenk yang mengangkat muka dari bacaannya.
“Dia meninggalkan surat. Bacalah di perjalanan,” kata Obenk sambil meraih sesuatu dari kantong bajunya dan menyerahkannya ke Kino.

“Maksudmu?” tanya Kino, menyadari bahwa kawan barunya ini tidak bercanda.
“Ayo kita berangkat,” kata Obenk tak mempedulikan pertanyaan Kino.

“Hei!” sergah Kino mencekal pergelangan tangan Obenk, menghentikan langkahnya,
“Aku belum pamitan!” Obenk melepaskan diri dari cekalan Kino, lalu menepuk bahu pemuda itu dan berucap pelan, “Aku tahu. Aku juga tahu apa yang kalian lakukan tadi malam. Sebab itu pula, pulanglah segera dan baca surat itu di perjalanan!”

Kino terperangah, lalu perlahan mengikuti langkah Obenk keluar rumah menuju motor di halaman. Tanpa banyak bicara lagi, keduanya melesat meninggalkan rumah yang telah memberikan pengalaman-pengalaman menakjubkan bagi Kino itu.

Sejenak, pemuda itu menengok, memandang sekali lagi ….. bertanya dalam hati, apakah ia akan kembali ke sini, atau ….

Dalam perjalanan menuju terminal angkot, Obenk tidak banyak berkata-kata, seakan sedang merenungkan sesuatu yang sangat serius. Sebelum berpisah, troubadour berideologi kekiri-kirian itu menjabat tangan Kino erat-erat.

“Aku tak terlalu berharap berjumpa lagi. Tetapi kau tahu nomor telpon Andang, dan aku tak tahu begitu peduli apa yang terjadi antara kalian. Jadi, terserah …….. ” ucapan Obenk tak selesai.

Kino mengangguk, “Aku tak bisa memutuskan sekarang, tetapi tentang Andang ……”
“Jangan terlalu kuatir,” sela Obenk sambil tersenyum, “Jangan terlalu dipikirkan.”
“Tetapi …. ”
“Itu angkotmu, segeralah naik!” potong Obenk sambil mendorong punggung Kino.
“Sampaikan salamku untuk semuanya,” akhirnya Kino berkata dari atas angkot.

Obenk tersenyum lagi, menggumamkan sesuatu tak jelas, melambaikan tangan, lalu berbalik dan tidak menengok lagi. Bersamaan dengan berangkatnya angkot, Kino mendengar motor pemuda itu meraung menjauh.

Di atas bis yang menuju B, Kino membuka amplop merah muda yang diberikan Obenk kepadanya. Di dalam ada selembar kertas surat tipis berwarna sama dengan tulisan yang tergores tergesa-gesa …

Maafkan Andang, dan tolong lupakan semua yang terjadi tadi malam. Andang tak ingin kamu berubah dan bergaul dengan kami, atau menjadi bagian dari kami. Kembali lah ke B, dan lupakan kami. Kalau pun ingin mengenang Andang, kenanglah seorang gadis yang tak sesuai untuk hidup mu. Andang akan mengenangmu sebagai mimpi indah.

Kino menghela nafas panjang, merasakan kerongokongannya tersekat oleh sedikit getir. Apalagi kemudian ia membaca baris terakhir surat itu ….

Kalau kamu menelpon, mungkin aku tak akan mau menerimanya. Selamat jalan dan selamat tinggal!

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kino menelan ludahnya yang terasa pahit. Ia tidak tahu, apakah surat ini adalah tumpahan kemarahan atau justru sebuah keputusan terbaik. Pemuda itu tak sepenuhnya paham, apa yang terjadi dengannya dan Andang tadi malam. Apakah bisa sebuah kegairahan badaniah berlangsung begitu saja, lalu hanyut menghilang tertelan masa.

Apakah tidak ada sedikit pun perasaan yang tertinggal di dalam diri gadis yang tubuhnya ia jelajahi, ia masuki, ia selami secara bergairah itu. Apakah karena memakai pencegah kehamilan maka tidak ada bekas apa pun setelah cairan cinta tertumpah?

Bis meraung-raung mendaki tanjakan terjal. Kino tercenung memandang ke luar jendela. Tak mungkin aku tidak berubah setelah kejadian tadi malam, desahnya dalam hati. Walaupun gadis itu bersikeras memintanya tetap seperti sedia kala, kini ia bukan seperti sebelum bertemu dengan Andang.

Biar bagaimana pun, Obenk dan kelompoknya telah menggoreskan pena hitam yang tidak bisa hapus. Andang bahkan telah menorehkan kegetirannya, kekecewaannya kepada hidup, di benak ku yang terlalu naif ini!

Dan hidup ini menjadi makin lapang bagiku …. keluh Kino sambil menyandarkan tubuhnya, mencoba melepas gundah.

Dua jam kemudian, bis tiba di B dan pemuda itu bergegas menuju tempat kost untuk mandi dan berganti pakaian. Ibu semang tidak terlihat, dan dengan lega Kino bisa segera menuju tempat kursus untuk mengajar. Ia merasa beruntung, kesibukan sore itu agak mengurangi kegundahannya.

*** Cerita Cinta Dewasa ***