Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #49

Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #49

Bagaimana Menghadapi Seorang Indi?

Cerita Cinta Dewasa – Hari demi hari berlalu dengan cepat bagai sepotong kayu kering yang melaju di atas sungai deras. Bagai burung elang yang melesat menembus langit biru…

Hidup Kino menjadi rutin dan terpola: bangun pagi, olahraga sedikit, membantu ibu semang di halaman, mandi, berangkat ke kursus atau ke kampus untuk belajar, pulang sore, membantu ibu semang mengerjakan ini atau itu ….

Begitu selalu. Nyaris Kino terlanda bosan, kalau saja ia tidak bertemu beragam corak perilaku orang di tempat kursus di mana ia mengajar.

Tingkah laku anak-anak SMA yang bersemangat mengasah keampuhan matematik mereka dalam rangka menembus ujian masuk perguruan tinggi … ah, mengingatkannya pada masa-masa lalu …. anak-anak yang penuh semangat, walau tak punya bayangan sepicing pun tentang seperti apa nantinya kehidupan di perguruan tinggi!

Sudah lebih dari 6 minggu berlalu sejak rangkaian kejadian yang ia alami bersama kelompok Obenk, dan sudah selama itu pula Kino tidak bersua-jumpa dengan satu pun sahabatnya. Ia cuma pernah melambai ke Tigor yang sedang membocengi Lia keluar dari kampus.

Ia bahkan tidak sempat mengucap salam ketika Ridwan dan rombongannya lewat di depan perpustakaan. Ia pernah berjumpa Rima, tetapi gadis itu cuma tersenyum dan melangkah cepat entah ke mana.

Semua orang tampak sibuk, atau berusaha terlihat sibuk. Seluruh kampus tampak sibuk, walau Kino yakin tak semua kesibukan itu apa-adanya. Banyak di antara kesibukan itu yang menyembunyikan kebosanan, atau kerutinan yang menjebak mengikat.

Percuma Kino berusaha menjenguk kampus untuk menjumpai teman-temannya. Mereka semua seperti kabut tipis di pagi hari: bisa dilihat dengan jelas, tetapi tak bisa dipegang tangan.

Indi … Ya, cuma gadis itu yang tersisa dari masa lampaunya. Itu pun karena tempat tinggal mereka berdekatan; cuma berbatas tembok.

Tetapi kalau pun mereka bersua-jumpa dan bertemu-muka, yang muncul adalah rasa kikuk dan rikuh. Setidaknya, itulah yang terjadi pada awal-awal perjumpaan.

“Hai, apa kabar ..,” ucap Kino dan Indi berbarengan pada suatu siang terik di suatu Sabtu yang menjemukan.

“Baik-baik ..,” ucap Indi terburu-buru.

“Biasa saja ..,” kata Kino berberengan.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Ucapan-ucapan mereka saling bersusulan berbenturan, sekaligus tak bermakna banyak selain sapa basa-basi. Indi tampak risau, dan Kino tampak rikuh.

Kalau Indi berusaha memperpanjang perjumpaan, maka yang terjadi adalah kesimpang-siuran perasaan. Kino tak tahu harus bersikap bagaimana, sehingga menambah galau suasana di setiap perjumpaan.

Pada perjumpaan ke tiga, di suatu sore yang juga kering dan menjemukan, Indi mencoba ramah.

“Kursus-nya lancar-lancar saja?” tanya gadis itu sambil mencoba menahan ayunan tas sekolahnya, yang sebetulnya adalah cermin dari kerisauan. Ia selalu menggoyang-goyangkan tasnya, atau apa saja yang ada di tangannya, kalau sedang nervous.

“Ya … lancar-lancar saja,” sahut Kino, “Sekolah mu bagaimana?”

“Lancar-lancar juga … Biasa saja,” jawab Indi. Lalu diam.

Kino berupaya melanjutkan pembicaraan, “Sudah dekat ujian akhir … Sudah siap?”

Indi menunduk, “Ya … begitulah … ”

Kino memang merencanakan yang satu ini: ia ingin bertanya, apakah Indi perlu bantuan dalam matematika. Tetapi, entah kenapa, sulit sekali menyusun kalimat yang bisa dengan jelas mengungkapkan rencana itu.

“Bagus,” kata Kino, tanpa sepenuhnya tahu apa yang ia maksud dengan sepotong kata kering itu. Apanya yang “bagus”?

“Yaa … begitulah,” jawab Indi tetap menunduk, tetap menggoyang-goyangkan tasnya.

Angin kering berhembus, membuat keduanya gerah. Kino berusaha mengusir panas dengan mengibas-ngibaskan kerah bajunya. Indi berkali-kali membetulkan rambutnya yang, walaupun pendek, terasa masih terlalu panjang untuk suasana kering dan gerah seperti ini.

“Gimana naik gunungnya?” tanya Indi memecah kesunyian.

Kino sejenak terperangah, tetapi lalu menyahut cepat, “Biasa-biasa saja … Tidak ada yang istimewa.”

“Gunungnya masih sama?” tanya Indi, tak tahu harus bertanya apa.

“Masih,” jawab Kino, tak tahu harus menjawab apa. Tak kan lari gunung di kejar …. Bukankah, begitu?

Indi tertawa kecil, menyadari kekonyolan pertanyaannya. Kino tertawa juga, menyadari bahwa Indi menyadari kekonyolannya sendiri dan mungkin juga kekonyolan dunia ini seluruhnya.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Seonggok daun kering bergemerisik terbawa angin, melewati ruang di antara Kino dan Indi yang berdiri berhadapan di bawah pohon yang tak bisa menyediakan rindang. Debu ikut terbang, lengket di mana-mana. Juga di seragam putih Indi dan di muka Kino yang berkeringat. Sangat tidak nyaman, berdiri diam dalam kering – kerontang seperti ini.

“Kamu masih marah?” akhirnya Kino berhasil mengeluarkan pertanyaan penting ini.

Indi mengangkat muka. Kedua matanya yang bening sejenak menyiratkan sinar, tetapi lalu segera meredup menghilang kembali.

“Masih marah?” desak Kino karena Indi tak menjawab.

“Masih,” jawab Indi pendek, kedua matanya masih menatap langsung ke Kino.

“Maaf,” kata Kino pendek, menantang pandangan gadis di depannya, mencoba menyampaikan pesan bahwa ucapannya itu adalah ungkapan langsung dari lubuk hatinya. Ia memang merasa perlu minta maaf, walaupun tak sepenuhnya pasti apa yang perlu dimaafkan itu.

“Kanapa minta maaf?” kata Indi, jernih bening seperti mata pedang yang barusan terasah.

Kino mengernyitkan dahinya. “Kamu marah kepadaku, kan?”

Indi menggeleng pelan, “Tidak lagi.”

“Lalu, kenapa masih marah?” tanya Kino semakin heran.

“Kenapa Kak Kino peduli, aku marah atau tidak?” Indi balik bertanya.

“Karena aku pikir kamu marah kepadaku,” sahut Kino cepat. Apa-apaan ini? sergah hatinya.

Indi mendengus pelan, nyaris tak jelas, “Egois!” sergahnya.

Kino terpana. “Lho … siapa yang egois?” sergahnya membalas.

“Kak Kino,” sahut Indi ketus, “Cuma peduli pada apa yang terjadi pada diri Kak Kino!”

“Aku tidak mengerti …,” kata Kino terputus.

“Kak Kino cuma peduli, karena menyangka aku marah kepada Kak Kino!” potong Indi cepat.

“Tapi …,” ucapan Kino terputus lagi.

“Kak Kino tidak peduli kalau aku marah kepada yang lain … kepada orang lain … kepada semua orang!” kata Indi, menerobos kuat di antara relung-relung kerikuhan.

“Lho … apa maksudmu?” ucap Kino sungguh tak mengerti.

“Ah … ngga usah peduli, lah! Buat apa Kak Kino peduli kalau memang tidak mengerti!” sergah Indi.

Kino menghela nafas panjang dan menghempaskannya kuat-kuat. Gadis di depannya ini selalu menawarkan teka-teki yang merisaukan.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Bahkan Kak Kino tidak perlu peduli pada perasaan apa pun yang Indi rasakan!” lanjut Indi seperti seseorang yang tiba-tiba menemukan cara terbaik untuk mengungkapkan pendapat dengan baik dan benar.

“Aku tak mengerti, Indi!” sergah Kino.

“Tidak pernah mengerti!” sela Indi cepat dan lebih keras dari sebelumnya, “Kak Kino tidak pernah mengerti perasaan Indi. Tidak mau mengerti. Tidak mau tahu. Tidak peduli!”

Kino terpana. Sialan! sergahnya dalam hati. Kenapa gadis ini jadi blingsatan di depanku, padahal sebelumnya ia seperti kucing terguyur seember air dingin?

“Kenapa, sih, Kak Kino tidak sekali-kali berusaha mengerti?” tuntut Indi seperti seorang demonstran menuntut seorang politisi yang sudah terpojok-terdesak. Seperti seorang jaksa menuntut seorang terdakwa yang menghadapi risiko hukuman mati.

“Aku sudah berusaha, tapi ….,” ucapan Kino terhenti sendiri.

Indi menunggu sejenak, lalu karena tak ada kelanjutannya gadis itu menyambung, “Tapi Kak Kino tidak betul-betul berusaha. Kak Kino membiarkan Indi menjelaskan sendiri kepada Kak Kino, apa yang Indi rasakan. Kak Kino tidak pernah sungguh-sungguh ingin mengetahui perasaan Indi!”

Kino terdiam. Angin ikut diam. Pohon-pohon ikut diam. Nafas Indi terdengar agak memburu. Gadis itu seperti mengeluarkan energi berlipat ganda untuk mengungkapkan semua yang barusan ia ungkapkan. Sesungguhnyalah Indi merasakan jantungnya berdebur sangat kuat dan emosinya seperti air sungai yang banjir bandang hendak meluap menerjang ke tepian.

“Aku mau pulang,” bisik Indi tiba-tiba.

Tanpa menunggu reaksi Kino, gadis itu membalik dan melangkah ke rumahnya yang memang cuma terletak beberapa meter saja dari tempat mereka berdiri.

“Aku ikut!” tahu-tahu Kino sudah berkata begitu sambil menyusul Indi.

“Aku capek … mau tidur!” sergah Indi ketus sambil terus melangkah.

“Indi …,” bujuk Kino, “Aku masih ingin bicara dengan kamu.”

“Capek … bicara dengan Kak Kino, aku selalu capek!” sahut gadis yang memang bisa sekeras cadas dan setajam belati itu.

“Kak Kino janji, kali ini akan berusaha mengerti,” bujuk Kino, berusaha mengiringi langkah Indi.

Indi menghentikan langkahnya, membalik menghadap Kino yang berada dekat sekali di belakangnya. “Jangan berjanji yang tidak bisa Kak Kino penuhi!” katanya pendek, lalu melangkah pergi.

Kino terdiam. Dengan lesu ia membiarkan Indi pergi, memandangnya menghilang di balik gerbang halaman rumah.

Setelah sekitar dua menit terdiam, pemuda itu berbalik menuju tempat kost-nya yang memang juga cuma beberapa langkah dari situ. Namun, walaupun secara fisik jarak itu dekat, terasa seperti berkilo-kilo meter dalam pikiran Kino. Letih sekali ia menjalaninya.

Dengan kepenatan yang entah datang dari mana, Kino menghempaskan tubuhnya di dipan di kamar kost-nya dan mengeluh dalam-dalam kepada kesunyian di sekelilingnya.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Indi tak pernah berhenti membuat Kino terperangah-terpana.

Pada suatu Minggu siang, ibu semang meminta Kino naik ke atas pohon mangga untuk membersihkan benalu yang telah meranggas. Pemuda itu menyanggupi, karena ia memang tidak punya rencana apa-apa, dan karena memanjat pohon adalah kegemarannya sejak kecil. Apalagi memanjat pohon mangga!

“Kalau tidak dibersihkan, Ibu kuatir pohon itu mati sebelum berbuah, nak Kino,” kata ibu semang memberi penjelasan yang tak perlu.

Anak desa seperti Kino tentu saja tahu seluk-beluk benalu dan pohon mangga. Tetapi penjelasan ibu semang itu tak urung membuatnya jengah. Kalau memang sudah tahu, kenapa dia tidak berinisiatif membersihkannya sebelum diminta?

Berbekal arit yang dengan santai ia sangkutkan ke belakang celana, Kino naik dengan cepat ke atas pohon. Secara cekatan ia memilih dahan yang cukup kokoh untuk dipijak, lalu mulai menebas benalu yang membelit di sana-sini.

Ia juga harus hati-hati dengan semut-semut merah yang mampu menebar rasa panas kalau menggigit. Tetapi Kino tak asing dengan semua ini, maka ibu semang yang tadinya menunggu kuatir di bawah akhirnya pergi untuk urusan lain.

Posisi pohon mangga itu sedemikian rupa sehingga Kino bisa melihat ke seberang tembok, ke lokasi rumah Indi.

Baru sepuluh menit di atas pohon, Kino mendengar suara gadis itu berseru, “Ngapain di sana?”

Kino menghentikan tebasan aritnya, menengok ke bawah dan menemukan si centil berdiri bertolak-pinggang, bercelana pendek dan berkaos kedodoran. Sebuah handuk melingkar di lehernya.

“Kak Kino seperti abang-abang tukang kebun!” seru Indi sambil tertawa kecil.

Kino ikut tertawa. Hmmm … tiga hari yang lalu si centil itu marah-marah! sergahnya dalam hati.

“Habis itu, bersihkan juga pohon jambu di rumahku, yaaa!?” seru si centil sambil tetap bertolak pinggang.

“Ongkosnya mahal!” sahut Kino sambil mengusap keringat di dahinya dengan punggung tangan.

Indi mencibir, “Mana ada tukang kebun yang nawar!”

“Yang ini tukang kebun profesional!” sahut Kino, lalu mulai menebas lagi.

Ia harus menyelesaikan pekerjaannya, dan tidak ingin menimpali si centil di bawah sana.

Indi tertawa lalu sambil berjalan ia berkata, “Aku mau mandi dulu, ah!”

Kino tersenyum dan melanjutkan kegiatannya. Untunglah dia harus mandi, sergahnya dalam hati. Kalau tidak pekerjaanku tak kan selesai karena harus melayani celotehnya.

Namun Kino salah besar. Justru peristiwa mandi itulah yang nyaris menghentikan pekerjaannya sama sekali.

Ketika baru sekitar lima tebasan, Kino mendengar suara Indi lagi, “Dari sini keliatan juga, Kak Kino!”

Kino menengok ke arah suara, dan sejenak ia melongo. Indi berada di kamar mandi yang jendelanya menghadap ke pohon mangga tempat kini pemuda itu berada. Gadis itu membuka jendela lebar-lebar, sehingga Kino bisa melihat seluruh isi kamar mandi dan penghuninya, yakni si centil itu!

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Aku mau nonton Kak Kino sambil mandi!” seru Indi sambil meletakkan handuk yang tadinya melingkar di leher ke gantungan baju.

Kino terkesiap. “Hei! Jangan nakal begitu, Indi!” serunya cepat-cepat karena sudah menduga apa yang akan gadis itu lakukan.

Tetapi Indi tak peduli. Gadis itu dengan santai membuka kaosnya. Ia tidak memakai apa-apa di balik kaos itu, dan Kino melihat apa yang pernah dilihatnya pada diri gadis ranum yang sedang beranjak dewasa itu. Walaupun ia pernah melihatnya, tetapi apa yang dilihatnya kali ini tetap saja membuat pemuda itu tersentak.

Dua bukit kenyal itu, ranum dan mulus dan menantang …. Siapa pun pasti terkejut kalau melihatnya, dan kalau orang itu sakit jantung mungkin ia segera jatuh terkapar dan mati detik itu juga! Apalagi kalau orang itu ada di atas pohon!

“Indi!” jerit Kino tertahan. Hampir saja arit di tangannya jatuh ke tanah.

Indi kini sudah membuka celananya, dan sekali lagi ia tak memakai apa-apa di balik celana pendeknya. Semuanya kini terpampang jelas dan merupakan pemandangan unik dari atas pohon mangga! Seekor semut merayapi kaki Kino dan pemuda itu bahkan tak merasakan gigitannya!

Indi lalu mulai mengguyur, dan seperti tidak ada apa-apa sekali-sekali menengok ke atas, tersenyum melihat Kino salah tingkah. Ia bahkan berseru, “Ayo terusin kerjanya Kak Kino! Jangan liat ke sini!”

Kino menggerutu dengan keras. Mengumpat dengan kuat sambil memijat semut sial yang tadi menggigit kakinya. Ia memalingkan muka untuk mulai bekerja lagi. Tetapi tentu saja ia juga sekali-sekali menengok ke bawah!

Indi menyabuni tubuhnya dengan seksama, melakukannya pelan-pelan seperti sengaja memberi sebanyak mungkin kesempatan untuk Kino.

Kino menggerutu dan mengumpat lagi. Tebasannya jadi tambah kuat, tetapi juga sering salah sasaran. Ia bahkan hampir saja menebas dahan tempatnya berdiri!

“Siksaan” yang dilakukan oleh Indi berlangsung cukup lama, dan sangat beruntunglah Kino karena pemuda itu tidak tergelincir dan jatuh dari ketinggian sekitar 3 meter.

Sepanjang mandi, sesekali gadis itu memberi komentar, membuat Kino salah tingkah karena ia harus menahan niatnya untuk menengok ke arah si centil yang sedang berbalut busa sabun itu. Sambil menahan geram, pemuda itu memutuskan untuk tidak melayani godaan Indi, dan melanjutkan kegiatannya menebas benalu.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Terdengar suara air diguyurkan ke badan, berkali-kali dan seakan-akan bertalu-talu di gendang telinga Kino. Muka pemuda itu sudah merah, baik oleh letih akibat menebas dengan kekuatan penuh, maupun oleh jengah dan geram akibat perbuatan Indi.

Tetapi, apa yang bisa ia lakukan di saat seperti ini? Ia tidak bisa menyalahkan Indi, karena gadis itu memang tidak pernah memintanya menengok. Kenakalan-kebandelan yang seperti ini tak pernah bisa ditimpali dengan kemarahan. Bahkan mungkin tak ada reaksi normal apa pun yang bisa diberikan terhadap tingkah seperti itu!

Untunglah akhirnya gadis itu selesai mandi. Terdengar ia menggumamkan lagu sambil melap tubuhnya yang mulus dengan handuk. Semuanya ia lakukan dengan santai dan perlahan. Kino bersikeras untuk tidak menengok, dan itu adalah upaya yang paling sulit-pelik yang pernah ia jumpai seumur hidupnya!

“Yang bersih yaaaa …!” akhirnya pula Indi berteriak begitu, lalu Kino mendengarnya keluar dari kamar mandi.

Lalu sepi. Nafas pemuda itu kini jelas terdengar. Tersengal dan memburu.

Sepuluh menit kemudian, pemuda itu turun. Keringat memenuhi tubuhnya. Beberapa bercak merah terlihat di betisnya, bekas gigitan semut yang tak sempat ia usir. Goresan-goresan getah memenuhi lengannya. Potongan-potongan daun hinggap di rambutnya.

Ia seperti seorang gerilyawan yang barusan turun dari tempat persembunyian. Atau lebih tepatnya, ia bagai seorang gerilyawan yang kecewa karena tak berhasil menembak musuhnya dari atas pohon.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Sehabis peristiwa “pohon mangga” itu, Kino dan Indi tak pernah bersua lagi selama seminggu.

Sepucuk surat dari kampung halaman muncul di kamar kost pemuda itu, ibu semang yang membawanya.

Dalam keremangan senja, sambil duduk di dipan, Kino membaca kabar dari kampung. Surat itu dibuka dengan kabar tentang ayah yang sempat ke dokter untuk memeriksakan kesehatannya. Ah, ayah kini sudah tua … desah Kino … ada saja penyakit yang menjenguknya. Untung ibu adalah seorang yang terdidik dalam perawatan kesehatan.

Kata ibu di surat itu, ayah terlalu banyak gula dan harus mengurangi konsumsi makanan atau minuman yang manis-manis. Susi, adiknya, kini punya tugas baru, yaitu mengawasi ayah agar tidak “lupa” mengurangi gula untuk kopinya.

Ibu juga menulis di surat, mengingatkan Kino agar datang ke pesta perkawinan Alma dan Devan yang akan berlangsung sebentar lagi. Oh, yaa … bisik Kino sendirian, aku musti segera membeli kado perkawinan untuknya.

Apa yang musti aku beli? Mungkin sebuah souvenir buatan lokal …. atau sebuah pigura dari kayu …. atau satu set piring-cangkir … Ah, yang terakhir ini norak!

Tercenung, Kino kini juga sadar bahwa ia belum pernah pergi ke ibukota. Ayah dan ibu memang pernah menuliskan alamat seorang famili di sana, tetapi bagaimana harus mencari alamat itu?

Kino pernah mendengar dari Tigor, bahwa mencari alamat di ibukota tidaklah semudah mencari alamat di B. Katanya, ia harus tahu persis wilayah mana tempat alamat itu berada, lengkap dengan RT dan RW.

Tanpa menyelesaikan membaca surat, Kino bangkit menuju meja belajarnya. Setelah mengobrak-abrik laci demi laci, pemuda itu mengeluarkan sebuah brosur yang sudah agak lusuh termakan usia.

Hmmm …, Kino tersenyum sambil membuka-buka brosur itu. Mungkin lebih mudah mencari alamat yang ditinggalkan Mba Rien sebelum ia meninggalkan kota kelahirannya dulu! Tercantum di brosur itu, nama dan alamat sebuah sanggar tari, lengkap dengan peta sederhana yang menunjukkan lokasi secara jelas.

Kino kembali ke tempat tidurnya, melanjutkan membaca surat. Dalam hati ia memutuskan untuk mulai besok mencari tahu cara terbaik pergi ke ibukota, menghitung-hitung ongkos keretaapi atau bis antarkota. Ia juga harus mulai menghitung berapa uang yang bisa ia belanjakan untuk kado.

*** Cerita Cinta Dewasa ***