Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #54

Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #54

Menguntai Masa Lalu – 4

Cerita Cinta Dewasa – Sebetulnya Kino enggan menelpon Ridwan, tetapi ia juga sedang agak kebingungan memikirkan tempat menginap di ibukota. Ayah dan Ibu memang pernah menyuruhnya menginap di salah seorang paman dari pihak Ibu, tetapi Kino tidak terlalu antusias mengingat bahwa paman itu dikenal agak pelit dan kurang ramah.

Lagipula, Kino belum pernah bertemu pria yang konon membujang karena terlalu pemilih itu. Sebelum menelpon Ridwan, ia telah pula menelpon Tigor sekadar mencari tahu tentang ibukota. Namun sahabatnya itu jarang di rumah, dan setelah tiga kali mencoba Kino akhirnya menyerah. Ia memutuskan untuk menelpon Ridwan di suatu malam.

Ridwan sendiri yang mengangkat telpon di ujung sana, dan suaranya terdengar riang ketika tahu siapa yang menelpon.

“Gila! Sudah lama juga kita tidak kumpul-kumpul!” umpat Ridwan tanpa berusaha menyembunyikan kegirangannya.
“Ya .. sudah lama. Kamu terlalu sibuk dengan band-mu!” balas Kino mengumpat, juga tanpa menyembunyikan keriangannya.

“Tetapi kami memang sibuk, No! .. Kami akan segera mengajukan diri untuk rekaman!” sahut Ridwan antusias.
“Betul?! .. Wah, hebat kalian!” seru Kino, sungguh-sungguh gembira mendengar bahwa band Ridwan ternyata bukan cuma kumpul-kumpul tak berguna.

“Mudah-mudahan, sih, bisa lolos seleksi. Kami sudah menyiapkan 12 lagu!” jawab Ridwan,
“Sekali-sekali datanglah ke sini, berikan penilaianmu tentang kami!”

“Boleh juga!” sahut Kino antusias, “Asal kalian tidak marah kalau aku kritik habis-habisan!”
“Ha .. ha .. ha! Jangan mentang-mentang anti hard-rock, dong!” sergah Ridwan karena ia tahu Kino tak terlalu suka musik cadas itu.

“Bukan anti musik keras, Wan!” bela Kino, “Aku cuma tidak begitu suka kalau musik tidak sesuai lirik. Kalau musiknya keras, liriknya juga harus keras, dong!”
“Ya, aku setuju. Makanya, tolong dengarkan lagu kami. Berikan pendapatmu, apakah liriknya cukup keras dan menggigit!” kata Ridwan semakin bersemangat.

“Okay, aku akan mampir ke sana, kapan-kapan!” kata Kino, “Tetapi aku menelpon kamu sekarang ini bukan untuk urusan itu.”
“Urusan apa, nih!?” tanya Ridwan, “Urusan cewek atau bukan?”

Kino tergelak, “Kalau urusan itu, tak mungkin aku tanya kamu, Wan!” Ridwan ikut tergelak,
“Wah, kamu masih terus sentimen kepadaku!”
“Aku perlu bantuanmu, karena aku harus ke Jakarta minggu depan!” ujar Kino.
“Oooo .. aku tahu!” seru Ridwan, “Urusan dengan Alma belum selesai, kan?!”

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Yah, bisa dikatakan begitu,” jawab Kino, “Aku memang ingin ke Jakarta untuk mengakhiri urusan dengan Alma. Dia menikah dengan Devan, dan selesailah sudah ….. ” Ketika Kino membiarkan kalimatnya menggantung, Ridwan pun menyela, “Tuntas!”

Kino tertawa kecil, “Ya, memang begitu, Wan. Hubunganku dengan dia memang sudah tuntas. Tetapi aku bersyukur karena tidak menyakitkan kedua pihak!” Terdengar Ridwan menghela nafas dalam, lalu ucapannya berubah serius, “Kamu beruntung Kino.”

“Maksudmu?”
“Aku sudah sering putus hubungan, dan selalu tidak enak di kedua belah pihak. Atau setidaknya, selalu menambah jumlah gadis yang membenciku!”

“Itulah kau, Wan. Seenaknya ganti-ganti pacar.”
“Bukan salahku, dong! Mereka memang juga tidak terlalu menyenangkan untuk diajak pacaran terlalu lama!” ucap Ridwan sengit.
“Ah, selalu begitu alasanmu!” sergah Kino menghindari perdebatan terlalu lama, “Makanya, jangan mengeluh kalau musuhmu tambah banyak.”

“Mungkin memang harus begitu, No! Sekarang aku malas memikirkan pacaran. Mendingan cari teman saja, dan kalau okay, yaa … main-mainlah sedikit!” ujar Ridwan sambil tertawa keras.

Kino ikut tertawa, “Terserah kau sajalah, Wan!”
“Okay .. sekarang apa yang kau perlukan di Jakarta? Tempat menginap? Mobil? Atau uang saku?” kata Ridwan ringan.

“Jangan menghina, Wan! Gini-gini aku sudah punya penghasilan sendiri. Aku cuma perlu informasi di mana bisa menginap murah di Jakarta.” sahut Kino sengit.
“Kalau cari informasi itu, kenapa tidak cari di buku kuning!” ujar Ridwan tak kalah sengit,

“Kalau tanya kepadaku, jawabnya singkat: aku tidak tahu.” Kino tertawa, “Sialan kau, Wan! Tidak pernah mau membantu tanpa meledek terlebih dulu.”
“Sudahlah, jangan banyak sungkan. Kau perlu tempat menginap, kan?!” desak Ridwan.
“Ya!” ucap Kino akhirnya.

“Jangan kuatir. Malam ini juga aku telpon Jakarta, dan besok pagi aku beritahu alamat tempat kamu bisa menginap,” ucap Ridwan tegas, dan lalu buru-buru menambahkan,
“Gratis!”

“Rumah siapa?” tanya Kino buru-buru, karena ia juga tidak terlalu senang menginap di rumah orang yang tak dikenal.
“Bukan rumah siapa-siapa,” sahut Ridwan cepat, “Aku bisa minta kamar hotel untuk tiga atau empat hari. Ngga usah banyak cingcong, lah!”

“Eh, jangan bawa-bawa orang tua, dong!” sergah Kino, kuatir kalau Ridwan akan meminta uang dari ayahnya untuk membiayai hotel.
“Siapa yang bawa-bawa orangtua?” sahut Ridwan sengit, “Hotel itu punyaku juga. Sudahlah, tunggu saja kabar besok pagi!”

Kino menghela nafas dan berkata serius, “Aku tidak mau berhutang budi.”
“Kau terlalu banyak omong, No. Itulah problem kamu!” sergah Ridwan enteng, “Sudahlah, sekarang aku mau mandi. Jangan lupa kapan-kapan main ke sini dan mendengar lagu-lagu kami.”

Percuma saja Kino mencoba memperpanjang percakapan. Ridwan segera mengucapkan bye dan menutup telpon. Beberapa saat Kino masih memegang gagang telpon, sebelum akhirnya menerima kenyataan bahwa persahabatan memang bisa memberikan sesuatu yang serba tak terdua. Sambil menghela nafas panjang untuk kesekian kalinya, ia meletakkan gagang telpon.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Seminggu kemudian Kino berangkat ke Jakarta berbekal alamat hotel bintang tiga yang diberikan Ridwan. Ia berencana untuk tinggal dua hari, sehingga hanya membawa ransel berisi beberapa potong t-shirt, sebuah celana panjang formal dan batik untuk menghadiri pesta perkawinan. Ia juga membawa beberapa alamat lain, termasuk alamat sanggar Mba Rien dan telepon rumah Andang di Jakarta.

Rima sempat menghubungi Kino sebelum ia berangkat. Gadis itu memberi juga alamat rumahnya di Jakarta, kalau-kalau Kino memerlukan bantuan. Sedangkan Tigor sempat memberinya informasi berharga tentang cara-cara menghindari copet di bis atau di stasiun. Sambil bercanda, Kino mengatakan bahwa tidak percuma ia punya teman asal Medan!

Tanpa merasa tersinggung sama sekali, Tigor bahkan berkata serius tentang orang-orang yang perlu dihubungi jika Kino kena copet. Tentu saja Kino menolak tawaran itu, walaupun ia tahu bahwa ucapan Tigor memang benar. Sahabatnya itu memang punya informasi tentang gangster ibukota yang ‘hijrah’ dari Medan!

Akan halnya Indi, gadis centil itu bereaksi ringan mendengar kabar keberangkatan Kino ke Jakarta. Beberapa hari menjelang keberangkatan itu, Kino berpapasan dengan Indi di gang dekat rumahnya.

Gadis itu sedang sibuk belajar mempersiapkan diri untuk ujian akhir, dan jarang keluar rumah. Sudah beberapa kali pula ia meminta Kino mengajari matematika, dan setiap kali pula pelajaran berlangsung serius walau tak sepenuhnya lekang oleh canda.

“Jangan lama-lama!” sergah Indi sambil mendelikkan matanya yang indah itu.
“Kenapa musti mendelik begitu?” kata Kino.

“Biar Kak Kino ngerti!” sahut si centil. Ketika Kino tak berkata apa-apa selain mengernyitkan keningnya, Indi menyambung, “Biar Kak Kino ngerti bahwa Indi ngga suka ditinggal lama-lama!”

Kino tersenyum, tetapi tak berkata apa-apa karena toh Indi juga sudah melangkah menuju rumahnya. Bagi Kino, ucapan terakhir itu sudah mewakili segalanya. Ia tak perlu memperpanjang percakapan, selain juga takut membayangkan ke mana arah percakapan kalau itu diperpanjang!

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Begitu menginjakkan kakinya di statisiun Gambir yang hiruk pikuk itu, Kino sudah mengambil keputusan tetap: ia tak suka ibukota. Terlalu gaduh dan terlalu campur-aduk. Semuanya berbaur: keindahan dan keburukan, kenyamanan dan kegerahan, keteraturan dan kesembronoan … tumplek menjadi satu!

Teringat pesan Tigor, pemuda itu menyimpan baik-baik dompetnya di ransel dan memeluk ransel dekat-dekat di dadanya. Kalau pun copet mau berusaha lebih keras, ia harus berhadapan dengan sepasang tangan yang tak pernah lupa berlatih karate. Tentu saja, Kino juga berdoa keras agar tak ada seorang copet pun bermaksud mencoba-coba.

Biar bagaimana pun Kino tak lupa informasi Tigor bahwa setiap copet juga membekali diri dengan sebuah belati pendek. Percuma menggunakan karate kalau berhadapan dengan orang nekad berbekal senjata tajam.

Hotel yang dituju Kino tidaklah jauh dari stasiun dan, sesuai anjuran Tigor lagi, pemuda itu memutuskan untuk berjalan kaki saja, melintasi taman Monas yang amat luas dan sedang lumayan hijau. Selepas stasiun, Kino mencangklong ringan ranselnya dan menembus udara berdebu yang bising oleh mobil, bajaj, bis, motor, dan entah apa lagi.

Setengah jam kemudian, dengan tubuh penuh keringat dan wajah sedikit berdebu, Kino tiba di lobby hotel yang teduh dan apik. Seorang bellboy mengantarnya ke sebuah kamar di lantai tiga. Berkali-kali Kino mengucapkan terimakasih di dalam hati kepada Ridwan dan berjanji akan membalas budi sahabatnya itu kelak di kemudian hari.

Kamar yang ia huni dilengkapi AC dan kamar mandi sendiri. Ranjangnya berukuran dobel dan warna interiornya menunjukkan bahwa sang perancang punya selera tinggi. Untuk seorang calon arsitek semacam Kino, kamar ini patut diberi nilai 7 atau bahkan 9!

Berhubung hari sudah menjelang sore dan karena badan terasa lengket penuh keringat, maka hal pertama yang ia lakukan adalah mandi sepuasnya, menggunakan shower yang berpengatur suhu dan menghabiskan setengah botol body shower harum-segar yang tersedia di sana!

Selesai mandi, Kino mengangkat telpon di sebelah ranjang dan menghubungi nomor telepon sanggar Mba Rien, sekadar untuk mengucap salam. Sebetulnya, pemuda itu agak gentar, karena Mba Rien kini bukan orang sembarangan.

Wajahnya sudah sering menghias majalah-majalah ibukota, dan sebentar lagi film yang dibintanginya akan beredar. Tetapi Kino juga sangat ingin mendengar kabar tentang wanita istimewa itu!

Sebuah suara merdu dan profesional terdengar di ujung sana, “Rainbow Enterprise, selamat sore … Santi di sini, ada yang bisa saya bantu?”

Mmm … nama sanggarnya pun sudah berbahasa Inggris, gumam Kino dalam hati, lalu segera berkata, “Selamat sore, bisa bicara dengan Mba Rien?” Sejenak hening di ujung lain. Sang operator sedang berpikir, siapa gerangan yang memanggil boss-nya dengan ‘mba’ .. dan bagaimana menghadapinya.

“Maaf, boleh saya tahu siapa yang menelpon?” ujarnya hati-hati.
“Nama saya Kino,” kata Kino polos, sambil menyebutkan nama kota tempat ia dan Mba Rien berasal.

“Keluarga Ibu Rien?” tanya operator itu, masih hati-hati.
“Bukan. Saya tetangganya,” jawab Kino terus terang.

Nah, informasi terakhir ini segera mengubah sikap sang operator, yang sekarang bisa lebih tegas dan berkata cepat, “Ada urusan apa dengan Ibu Rien?”
“Ah, tidak …,” jawab Kino, “Saya cuma mau mengucapkan halo. Sudah lama tidak jumpa.”

“Ibu Rien sedang tidak ditempat. Boleh saya catat pesan dan alamat Anda?” jawab Santi sang operator, kembali ke nada profesional yang nyaris sudah terstandar.
“Mmm … boleh,” sahut Kino ragu-ragu, “Sampaikan saja bahwa Kino menelpon.”

Santi sang operator lalu mencatat nama Kino, nama hotel dan nomor kamar yang disebutkan pemuda itu, di secarik kertas. Lalu kertas itu diletakkannya begitu saja di dekat telpon, bukan di sebuah tempat khusus yang menampung pesan-pesan penting.

Bagi Santi sang operator, Kino adalah satu dari ribuan penggemar yang sering menelpon untuk segala urusan. Biasanya, pesan-pesan dari penggemar ini akan masuk ke bagian promosi, dan ditangani oleh seseorang yang khusus menjawab surat-surat fans. Sudah hampir pasti, Rienduwati Sang Primadona tak akan membaca sendiri pesan-pesan itu!

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Nyaris pada waktu yang sama, Alma sedang berbicara di telpon dengan salah satu sekretaris Rien. Berbeda dengan Kino yang tidak punya strategi, gadis itu berhasil ‘menembus’ penghalang di pihak operator dan kini tinggal satu langkah saja dari pesawat telpon di meja Rien.

“Saya ingin secara pribadi meyampaikan undangan untuk Ibu Rien,” ucap Alma sabar, tahu bahwa sang sekretaris sedang berusaha menghindari boss-nya dari gangguan-gangguan kecil seperti ini.

“Tetapi Ibu Rien sedang sibuk menerima tamu. Nanti saya sampaikan saja pesan Anda,” sahut sang sekretaris berusaha keras menyembunyikan kekesalannya.
“Saya bisa menunggu,” jawab Alma bersikeras.
“Baiklah kalau begitu!” ucap sang sekretaris ketus, lalu segera menekan tombol hold.

Sambil menggerutu, sang sekretaris membereskan beberapa surat di mejanya. Pada saat yang sama, Rien melintas di depan mejanya, dan mendengar gerutuan itu.

“Eh .. sore-sore begini kok menggerutu,” hardiknya dengan suara lembut yang selalu bisa membuat anak buahnya terperangah.

“Eh … Ibu … maaf … ngga apa-apa .. ada orang mendesak ingin bicara dengan ibu … padahal kan lagi ada tamu …,” ucap sang sekretaris terbata-bata. Sambil meletakkan secarik draft surat di meja, Rien mengernyitkan dahi,
“Siapa yang mendesak itu?” Sang sekretaris angkat bahu,

“Katanya ingin menyampaikan undangan pernikahan.” Rien menjulurkan tangannya yang terkenal karena gemulai tarian-tariannya itu, “Sini .. berikan telpon itu, biar saya terima sebelum kembali ke tamu.”

“Tapi …,” sang sekretaris salah tingkah, “Saya sudah suruh dia menunggu, Bu!” Rien tersenyum lembut dan manis, tetapi sekaligus tegas dan berwibawa, “Paling-paling cuma sebentar. Berikan telpon itu.”

Dengan agak ketakutan, sang sekretaris buru-buru menyerahkan gagang telpon dan mematikan tombol hold.
“Mba Rien?!” suara Alma riang di seberang sana.
“Siapa ini?” tanya Rien lembut.
“Saya, Mba Rien … Alma!” seru suara di seberang sana penuh sukacita.

“Hei, Alma!” seru Rien ketika tahu siapa yang menelpon, “Kamu mau menyampaikan undangan pernikahan!?”
“Iya, mbak,” kata Alma langsung tersipu.
“Kamu yang menikah?” sergah Rien, belum yakin bahwa si imut-imut yang dikenalnya itu akan segera menikah. Sedangkan dirinya saja masih hidup bersama, dan enggan menikah!

“Iya, mbak,” jawab Alma lagi, tambah tersipu, walaupun tentu saja Rien tidak bisa melihat rona merah di pipinya. Rien tertawa lepas, membuat sang sekretaris semakin merasa bertambah salah, “Hebat, kamu Alma. Ngalahin mba Rien!”

Alma ikut tertawa, “Ahh .. Mba Rien gitu … Alma, kan, udah gede.” Rien tertawa lagi dengan kerenyahan yang lepas mempesona itu, “Oh iya ya! .. Kamu sekarang udah gede. Mbak ingatnya kamu masih pake seragam putih-abu-abu dan rambut dikepang ….. Kapan pestanya?”

“Hari Sabtu ini, Mbak. Saya sudah kirim undangan dua minggu yang lalu, tapi pasti ngga langsung sampai, deh!” kata Alma, lalu buru-buru menyambung dengan memohon,
“Datang yaaa, Mbak!? …. pleaaase.”

Rien cepat-cepat berkata sambil tertawa ringan, “Ada seratus undangan di meja Mba Rien … Maaf, belum semuanya dibaca.” Dengan satu tangan lainnya, Rien menulis di secarik kertas dan menyerahkan ke sang sekretaris yang sejak tadi meringkuk kecut. Isinya singkat: cari undangan dari Alma!

“Iya, Alma juga ngerti, Mbak …,” kata Alma,
“Pasti Mba Rien sibuk banget. Alma justru juga mau minta maaf karena mengganggu acara, Mba Rien.”
“Mbak juga minta maaf,” ucap Rien lembut dan sungguh-sungguh,
“Tapi mbak pasti datang, Alma.”

“Aduh, terimakasih buaaaaaaa…nyak, Mbak. Senang sekali Alma mendengar Mba Rien akan datang. Kino juga pasti senang bisa bertemu! Dia akan datang di pesta.” seru Alma tanpa menyembunyikan sukacitanya yang meluap-luap.

Mendengar nama Kino disebut, sejenak Rien terperangah. Entah kenapa, dalam sekian detik Rien merasakan sebuah sentakan di dadanya. Pemuda itu …. tentu saja … ia masih ingat pemuda itu. Ia juga mendengar kecelakaan itu, dan menyesal karena tidak bisa menjenguknya karena sibuk. Bagaimana keadaannya sekarang? Masihkah malu-malu dan berwajah teduh dengan sinar mata penuh tanya?

“Mba akan datang, dan senang bisa bertemu Kino nanti,” ucap Rien tenang setelah dengan cepat bisa mengendalikan perasaannya,
“Sekarang mba harus kembali ke tamu, ya … ”
“Oh, iya .. Mbak … maaf mengganggu!” ucap Alma terbata-bata.

“Ngga apa-apa,” sahut Rien cepat, “Selamat, deh! .. Sampai ketemu di pesta!” Lalu Rien menyerahkan telepon ke sang sekretaris yang tergopoh-gopoh menerima. Sambil melangkah cepat kembali ke tamu-tamunya, Rien berseru singkat,
“Cari undangan itu sampai ketemu sekarang juga!”

Sang sekretaris segera melesat ke luar ruangan dan sebentar kemudian terdengar kagaduhan di bagian administrasi ketika semua orang dikerahkan untuk mencari sebuah undangan di antara ribuan amplop yang belum dibuka di rak surat-menyurat untuk promosi dan hubungan masyarakat.

Setelah tak kurang dari satu jam, undangan berwarna biru itu berhasil ditemukan. Tanpa sedetik pun menunda, sang sekretaris langsung menyerahkannya ke Rien yang segera memasukkan amplop itu ke tas pribadinya. Sang sekretaris bisa bernafas lega dan pulang dengan sukacita!

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Sementara itu, di kamar hotelnya Kino kebingungan hendak ke mana menghabiskan waktu. Ia tidak terlalu mengenal Jakarta, dan cenderung tidak mau tahu.

Kalau pun teman-temannya sering bercerita tentang ibukota yang megah ini, Kino cuma senang jadi pendengar. Ia jarang terpikat oleh gemerlapnya metropolitan, mungkin karena pada dasarnya ia adalah seorang pemuda desa. Gunung, pantai, sungai dan hutan, lebih menarik bagi Kino!

Kino memutuskan untuk turun ke lobby hotel dan dari sana menimbang-nimbang, ke mana hendak menghabiskan malam pertamanya. Dari jendela kamar, tadi ia sempat memandang ke luar dan takjub melihat deretan mobil yang terjebak kemacetan ketika semua orang berebut pulang dari kantor. Sambil menggeleng-geleng, Kino bergumam sendirian, “Apa enaknya duduk di mobil yang tidak bergerak?”

Di lobby hotel, Kino tak segera bisa mengambil keputusan. Ia keluar menuju halaman depan, dan segera mengumpat dalam hati karena uap panas seperti menyerbu ke seluruh pori-porinya. Secepat itu pula ia akhirnya masuk lagi ke lobby, berlindung di kesejukan AC dan keteduhan interior yang didominasi warna kuning gading.

Seorang petugas hotel mendekatinya, dan bertanya,

“Perlu taksi, mas?” Kino agak terperanjat, dan buru-buru menggeleng. Petugas hotel itu tersenyum maklum, diam-diam memandang pemuda itu dari ujung sepatu ke ujung rambut. Dengan pengalaman selama 6 tahun, petugas itu tahu bahwa Kino tidak akrab dengan ibukota, dan mungkin baru pertamakali menginap di hotel. Walau itu tak seluruhnya benar, adalah kenyataan bahwa Kino memang sedang kikuk dan tak tahu harus ke mana.

Petugas itu bertanya lagi dengan sopan, “Mau jalan-jalan di sekitar hotel, barangkali?” Kino tak tahu harus menjawab apa, maka ia berkata jujur, “Saya belum pernah ke mari.”

Petugas itu mengembangkan senyumnya lagi, yang memang sudah terlatih dan tertata sebagai bagian dari jasa hotel ini, “Ada taksi yang bisa membawa keliling kota dengan bayaran tidak terlalu mahal …”

“Ah, saya tidak punya rencana jalan-jalan,” ucap Kino, tiba-tiba merasa agak rikuh karena perhatian petugas itu berkesan berlebihan.
“Mungkin ingin melihat-lihat hiburan malam di sekitar sini …,” desak si petugas, masih dengan sopan, tetapi juga dengan penuh perhitungan.

“Hiburan apa?” tanya Kino polos. Petugas itu tersenyum lagi,
“Melihat-lihat tarian di night club? Atau berdisko?” Segera Kino menyadari, apa yang dimaksud dengan “hiburan” itu.

Cepat-cepat ia menjawab, “Oh .. tidak. Saya tidak bermaksud mencari hiburan seperti itu.” Belum mau menyerah, petugas itu berkata lagi, kali ini dengan agak pelan, “Atau barangkali perlu melepas lelah sambil dipijat …”

Mendengar tawaran terakhir ini, Kino akhirnya memutuskan untuk segera menghindar,
“Tidak. Saya akan kembali ke kamar saja. Terimakasih atas tawarannya.” Walaupun kecewa, petugas itu tetap memasang senyum, dan bahkan membungkuk sopan membiarkan Kino meninggalkannya.

Melihat tarian? Berdisko? Pijat? … huh! … Kino mengumpat dalam hati sambil berpikir keras bagaimana caranya menghabiskan malam yang tiba-tiba terasa mengerikan. Ia sama sekali belum mengantuk, belum lapar, belum ingin berleha-leha. Kino melemparkan tubuhnya ke kasur dan sejenak menerawang memandang langit-langit. Setelah 5 menit ia akhirnya memutuskan untuk menelpon Andang.

Agak lama telpon berdering di ujung sana tanpa ada yang mengangkat. Ketika Kino hampir menyerah, telpon akhirnya diangkat dan suara Andang terdengar mengantuk, “Halo …”
“Andang?” sergah Kino gembira, “Ini Kino!”

Sejenak hening, lalu Andang berucap malas, “Di mana kamu?” Kecewa sekali Kino mendengar reaksi Andang yang kurang antusias. Tidakkah gadis itu ingin bertemu? Atau barangkali aku yang terlalu bersemangat! pikirnya. Dengan suara yang tidak lagi girang, Kino menyebut nama hotel tempatnya menginap dan berkata,

“Maaf mengganggu tidurmu, … tidak tahu bahwa kamu tidur sore-sore.” Terdengar Andang menguap, lalu berucap sengau, “Aku bergadang …. biasa …., sama teman-teman ke disko sampai pagi.”

Hening sejenak. Kino dengan kisruh lalu berkata, “Aku cuma ingin menyapa, mumpung ada di Jakarta. Maaf … kembali lah tidur.” Andang menguap lagi, “It’s okay … sekarang aku sudah tidak mengantuk lagi.”

Hening lagi. Kino tak tahu harus berkata apa. Tadinya ia ingin bertemu dengan gadis itu, sekadar mengobrol. Tetapi kini keinginannya sirna mendengar gadis itu kurang antusias.

“Kapan sampai?” akhirnya Andang memecah kesunyian.
“Kira-kira satu jam yang lalu,” sahut Kino pendek.
“Ada urusan apa?” Kino dengan singkat menceritakan maksudnya, tanpa lebih jauh menerangkan siapa Alma.

“Kapan kamu mau pulang?” tanya Andang, nadanya sudah agak normal. Seakan-akan gadis itu baru mulai ingat, siapa yang diajaknya bicara.
“Mungkin langsung setelah pesta,” jawab Kino, sambil berpikir bahwa kalau memang Jakarta seperti ini, ia memang sebaiknya buru-buru kembali.

“Apa rencana mu malam ini?” tanya Andang, kini suaranya menyiratkan sedikit antusiasme. Gadis itu baru sadar sepenuhnya, bahwa Kino mungkin bermaksud menemuinya.
“Tidak ada,” jawab Kino jujur. Sejenak hening. Lalu Andang berucap, “Tunggu di sana. Aku jemput setengah jam lagi.”

“Tapi ..,” Kino belum selesai bicara. Klik, telpon sudah ditutup di ujung sana.
“Sialan!” umpat Kino sambil menghempaskan tubuhnya kembali ke kasur. Orang-orang Jakarta tidak tahu sopan santun! umpatnya lagi dalam hati. Tetapi untunglah malam ini aku punya teman untuk ke luar dari sangkar yang sekarang terasa terlalu sempit! pikirnya lagi.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Empat puluh lima menit kemudian, Kino sudah berada di sebelah Andang yang menyetir Peugeot biru tua, menyelinap gesit di antara ratusan kendaraan lain.

“Lapar?” tanya gadis itu tanpa melepas pandangannya ke depan.
“Belum,” sahut Kino pendek.

Sejak berjumpa tadi, keduanya tidak banyak bicara. Kino turun menemui Andang di lobby, dan agak terperangah melihat gadis itu cuma bercelana pendek, memakai kaos ketat dan bersandal jepit. Petugas hotel yang tadi menawarkan hiburan malam memandang curiga ke pasangan muda itu, tetapi lalu tersenyum sendiri dengan kesimpulan pribadinya.

“Aku lapar,” kata Andang seperti tak peduli pada jawaban Kino, “Temani aku makan, ya!?”
“Aku tidak punya pilihan lain,” ucap Kino kecut.

Andang tertawa pendek. Lalu ia berkonsentrasi mengendalikan mobilnya, berbelok untuk mengambil jalan potong, menembus kampung yang terasa kontras dengan gedung-gedung tinggi yang memagari boulevard Thamrin. Sambil memandang ke luar jendela, Kino menegaskan keputusannya: aku tak suka Jakarta!

Setelah berkali-kali berbelok, dan setelah melewati setidaknya dua pasar yang jorok, mereka tiba lagi di wilayah yang mewah. Jalannya kembali lebar, berhias pohon, dan betul-betul berbeda dengan kampung yang tadi mereka lalui. Dalam 10 menit, Kino menembus dua dunia: kemiskinan yang kelewatan dan kemewahan yang berlebihan.

Lalu mereka tiba di halaman sebuah restoran yang namanya memakai bahasa Inggris.

Tanpa banyak bicara, Andang keluar dari mobil, dan Kino mengikutinya dengan diam pula. Restoran itu pasti restoran mahal, tapi Andang tampak santai masuk dengan pakaian rumah. Kino agak kikuk, tetapi lalu memutuskan untuk ikut santai. Toh, aku tidak bermaksud makan di sini! pikirnya.

Andang langsung melihat menu, sementara Kino mengawasi interior dan mencoba membuat penilaian estetika.

“Kamu ngga mau makan?” tanya Andang tanpa mengangkat muka dari menu.
“Tidak. Aku mau minum saja,” sahut Kino lalu menyebut nama minuman ke pelayan yang sejak tadi berdiri sigap di sebelah mereka. Andang memesan makanan Eropa yang Kino tak pernah dengar namanya.

“Aku tidak menyangka akan bertemu kamu lagi,” kata Andang ketika pelayan sudah pergi. Kino memandang gadis di depannya, mereka-reka apa gerangan yang hendak disampaikannya.
“Aku tidak berharap ketemu kamu,” kata Andang lagi dengan nada datar.

Kino diam saja, masih belum terlalu yakin mengenai apa sebetulnya yang ingin disampaikan gadis yang pernah tidur bersamanya dan menangis di dadanya ini.

“Dunia kita berbeda jauh,” ucap Andang sambil menantang pandangan Kino. Pemuda itu melihat sebuah ketegaran di sepasang mata yang sebenarnya keruh oleh gelisah dan gundah itu. Ada tumpukan simpati dalam diri Kino terhadap gadis yang punya sejarah getir ini.

Betul bahwa dunianya sangat berbeda dengan duniaku, kata Kino dalam hati, tetapi kegetiran tak harus selalu menjadi batas antara seseorang dengan orang lainnya.

“Aku ingin bertemu,” ucap Kino akhirnya. Giliran Andang yang terdiam, mengalihkan pandangannya ke luar, menembus jendela kaca besar yang menepis panas di luar untuk melindungi interior restoran dalam keteduhan semu.

“Apa kabarmu?” tanya Kino pelan.
“Baik.” jawab Andang pendek.
“Obenk dan kawan-kawan?”

“Baik….. Terakhir aku bertemu mereka dua hari yang lalu.”
“Masih mengamen di tempat yang sama?”
“Mereka sekarang ada di kampung-kampung di pinggir Jakarta.”

Kino tersenyum, membayangkan lirik-lirik lagu Obenk. Pastilah kali ini pemuda kerempeng itu akan mengekspos kekumuhan kota besar, dan menegaskan ketidak-adilan. Dasar komunis!

Hening lagi. Sampai datangnya makanan pesanan, keduanya tak banyak bicara. Andang makan dengan lahap. Kino pelan-pelan menikmati minuman dinginnya sambil memandang gadis di depannya. Lapar sekali dia! katanya dalam hati.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Ayo ke rumahku!” ucap Andang setelah mereka kembali ke mobil.
“Apakah aku punya pilihan lain?” tanya Kino sambil tertawa.
“Tidak!” jawab Andang pendek.

Mobil kembali berbelok-belok, menembus kampung-kampung kumuh lagi, melewati sebuah lapangan bola yang tiang gawangnya sudah rubuh semua, merangkak di antara mikrolet yang berderet-deret entah dari mana dan mau ke mana ….

Senja baru saja turun dengan segala kemegahanNya yang bersemburat jingga. Tetapi panas belum mau sirna, dan debu masih mau jadi raja.

Di dalam mobil, lagu-lagu The Queen mengalun menutupi kegaduhan dan kehiruk-pikukan di luar. Udara sejuk yang datang dari AC menyembunyikan terik dan gerah di luar. Segala yang ada di dalam mobil Peugeot mewah ini menampik kenyataan-kenyataan di luar sana.

Rumah Andang pun menampik kekumuhan di belakang tembok tingginya. Ketika sampai, Kino terperangah melihat betapa besar dan luasnya rumah itu. Terletak di sebuah kompleks perumahan mewah, namun berbatasan dengan sebuah kampung yang jelas berpenghuni penduduk dengan penghasilan setara sebuah batu yang menghias pagar tembok rumah Andang.

Tetapi rumah besar dan luas itu juga sangat sepi. Ketika mereka tiba, hanya ada seorang lelaki kekar (yang kemudian Kino tahu adalah satpam rumah) membuka pintu garasi dan seorang pembantu setengah baya membuka pintu depan. Andang langsung mengajak tamunya ke lantai atas, yang adalah sebuah kamar luas dengan perabot mewah.

“Aku akan suruh pembantu membeli pizza untuk kamu,” kata Andang sambil turun kembali meninggalkan Kino termangu-mangu.

Sebuah stereo set modern terletak di pojok ruangan. Kino mengamati koleksi kaset yang berjejer rapi, berjumlah ratusan. Sebuah poster besar Freddy Mercury menghiasi tembok. Di pojok lain, ada sebuah televisi yang layarnya tiga kali lebih lebar dari layar televisi di rumah kostnya.

Sebuah video player terpasang di atasnya. Sederet video cassete memenuhi meja kecil di sebelahnya. [catatan penulis: setting cerita ini adalah pada masa sebelum compact disc]

Andang muncul lagi dengan dua botol minuman dingin. Setelah menyerahkan sebotol ke Kino, gadis itu dengan santai menggeletakkan tubuhnya di kasur tipis yang membentang di atas tikar rotan di depan televisi. Kino ikut duduk di sebelahnya.

“Mau nonton?” tanya Andang acuh-tak-acuh. Kino menggeleng.
“Musik?” Kino menggeleng. Lalu tertawa kecil, menyadari betapa hampanya kemewahan kalau penghuninya sendiri dilanda kebosanan.

Andang membalikkan tubuhnya, menelungkup dan membiarkan pantatnya yang seksi tampil sempurna. Kino jadi serba salah. Apalagi gadis itu juga tidak berkata apa-apa, dan kesunyian memenuhi kamar luas mewah yang sejuk itu. Di luar, malam telah mulai menjelang. Lampu-lampu taman tampak mulai menyala.

“Kakiku pegal sekali,” ucap Andang pelan,
“Jojing satu malam penuh!” Kino meletakkan botol minumannya di lantai,
“Aku pijat, ya?!” katanya menawarkan. Andang tidak menyahut, tetapi ia menggeser tubuhnya lebih dekat ke tempat Kino duduk.

Dalam diam, Kino memijat betis gadis yang mulus dan halus itu. Sebagai pendaki, Kino tahu bagaimana memijat kaki yang lelah, dan setelah beberapa saat Andang tertawa kecil sambil menyatakan terimakasihnya: “Di mana kamu belajar mijet, No?!”

Kino tidak merasa perlu menjawab. Pijatannya menyebarkan rasa nyaman ke kedua betis Andang yang memang pegal itu. Sambil tetap menelungkup, gadis itu meraih remote control dan menekan beberapa tombol. Sesaat kemudian, lagu lembut dari Roberta Flack memenuhi kamar.

Dalam waktu singkat, rasa pegal perlahan sirna, berganti rasa nyaman. Kino mengerahkan segala kemampuannya, dan memang memberikan kenikmatan tangan kukuh pada tubuh lembut yang letih.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Lalu kenyamanan itu menyebar lebih ke atas ….

“Kino ..,” tiba-tiba Andang berucap pelan.
“Mmmm ..,” sahut Kino.
“Pahaku juga letih …,” Kino tertawa kecil lalu memijat lebih ke atas. Celana Andang terlalu pendek untuk menutupi paha sintal yang ditumbuhi bulu-bulu halus nyaris tak kentara itu.
“Ke atas dikit …,” bisik Andang sambil tertawa.

Kino memijat pangkal paha yang terasa hangat dan lembut, sedikit di bawah dua bukit belakang yang padat dan seperti sedang berusaha keras melepaskan diri dari kukungan kain celana.

The first time, ever I kissed your mouth … I thought the sun, rose in your eyes…. Roberta Flack bernyanyi lembut. Pijatan Kino kini bukanlah pijatan untuk keletihan. Tidak lagi menekan-membebaskan otot-otot yang tegang. Tidak lagi mengurai urat yang kaku.
“Mmmmmm …,” Andang bergumam sambil memejamkan matanya.

Kino menelan ludah, merasakan jantungnya berdegup kencang ketika seperti tanpa sengaja tangannya naik lebih ke atas, merayapi bukit yang gempal dan kenyal. Ia meremas pelan namun tanpa keraguan, menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar membuat nyaman.

“Hhhmmmm…,” Andang mengerang.

Dengan masih menelungkup, gadis itu menggunakan kedua tangannya untuk membuka celana pendeknya. Dalam diam, ia memelorotkan sang celana. Dengan diam pula, Kino membantu menarik turun penutup yang tak terlalu berarti itu. Tubuh Andang bagian bawah kini cuma berlapis sebuah celana dalam nilon merah jambu …

Agak gemetar, Kino meletakkan kedua telapak tangannya di kedua bukit indah di hadapannya. Dengan kedua ibu jarinya, pemuda itu melakukan gerakan mengurut mulai dari pangkal paha sampai ke atas tulang ekor. Jalur yang dilalui jari-jari itu memaksa Andang merenggangkan sedikit kedua pahanya. Sebuah aliran hangat merayap cepat di selangkangannya, dan tanpa menahan diri gadis itu mendesah.

Tidak ada penghalang berarti antara jemari Kino dengan lembah lembab yang menguak malu-malu itu. Celana nilon tipis tak mampu menutupi bayangan basah merekah. Dari belakang, keindahan kedua bibir kewanitaan Andang bernuansa liar. Dari belakang, posisi gadis ini bagai seekor domba betina yang siap ditunggangi si jantan.

Tetapi sayang sekali Kino bukan seekor domba jantan. Pemuda itu penuh keraguan. Hanya kedua tangannya saja yang rajin mengikuti aliran birahi, tetapi pikiran dan hatinya berada di tempat lain.

Pikirannya berkelana ke pengalaman terdampar di markas Sang Troubador, ke saat percumbuan yang tergesa dan tak terlalu berkesan itu. Hatinya berada jauh di kota B, bersama sahabat-sahabat yang hilang dan bersama seorang gadis centil-manis yang sedang sibuk belajar untuk ujian akhir.

Kino tetap memijat, dan tetap menimbulkan gairah yang mulai menggelegak di antara kedua paha Andang. Berkali-kali pemuda itu menelan ludahnya sendiri, memandang dengan takjub betapa seluruh bagian bawah tubuh gadis itu seperti sedang berayun-ayun terbuai gelombang yang tak kasat mata.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Desah dan erangannya juga tambah keras.

“Oooh … teruskan, Kino … teruskan … ohhh…,” ucap Andang tersendat-sendat. Kedua tangannya mencengkram pinggiran kasur, mencari penguatan. Jemari Kino menjelajah lebih ke dalam, menyeruak di sela karet yang tak kuasa membentengi lembah basah di bawahnya. Ujung jarinya menyentuh kelembutan yang membecek, kehalusan yang menggelincirkan.

“Ngggg … aku pengin Kino ….. aaaah …. lagi, Kino ….. lagi,” desah Andang berulang-ulang, sambil merenggangkan kedua kaki tanpa mengubah posisi telungkupnya.

Kino menyelinap lebih dalam, menyentuh gerbang kenyal yang berdenyut, menerbitkan jerit kecil yang mengungkapkan kenikmatan. Pinggang gadis itu bergerak-gerak, dan terangkat dari kasur …. jari Kino menerbobos lebih dalam … meluncur lancar dalam licin yang basah ….

Lalu Andang tak tahan lagi. Gadis itu tiba-tiba membalik, sekaligus meloloskan celana dalamnya dalam satu gerakan, membuka kedua pahanya lebar-lebar dan menarik tangan Kino kembali ke lembah basah yang semakin basah itu.

Dengan satu tangannya, Andang menguak bibir-bibir bawah yang telah menebal itu lebar-lebar. Dengan jari tangan yang lainnya, gadis itu menggelincir-gelincirkan tonjolan kecil di lepit atas yang kini memerah-muda itu. Gerakannya serampangan, tergesa-gesa dan penuh tuntutan. Kino menyelinapkan satu jari, lalu dua …. lalu tiga ….

“Aaaah!” Andang menjerit nikmat, merasakan banjir bandang terbit di pinggulnya dan menerobos cepat ke seluruh tubuhnya. Kino mengeluar-masukkan jari-jarinya dengan kecekatan yang membuat dirinya sendiri heran. Pemandangan di depan matanya membuat pemuda itu merasa agak mabuk.

Bukan mabuk yang memusingkan, melainkan mabuk yang membirahikan. Kedua paha mulus itu terentang lebar. Kewanitaan yang basah kuyup itu terkuak lebar. Pemiliknya terpejam nikmat dan mengerang-erang tiada henti ….

Dengan jeritan kecil yang panjang, Andang mencapai puncak birahi … tak kuasa lagi melakukan apa-apa dengan tangannya … menggelepar lepas seperti ikan yang dilempar ke daratan ….

Lalu sepi menjelma.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Mereka tak melanjutkan permainan panas itu, karena terdengar suara pembantu di bawah mengatakan bahwa pizza pesanan sudah tiba. Andang tergeletak lesu, terkapar dengan tubuh bagian bawah telanjang. Ia jelas letih, tetapi wajahnya merona merah dan kedua matanya menebarkan gairah yang belum sepenuhnya padam.

“Kamu benar-benar pinter memijat!” sergah gadis itu sambil tersenyum. Kino diam saja, mengusapkan jemarinya yang lengket di sana-sini ke celana dalam Andang.

“Nginep di sini saja, yaaa!” kata Andang lagi, sambil bertelektekan di satu siku. Kino menggeleng. Ia tidak bisa menginap di kamar gadis yang barusan dibantunya mencapai klimaks ini. Ia tidak berani. Ia menjadi sangat pengecut!

Andang tersenyum, tidak tersinggung oleh penolakan yang tanpa basa-basi itu. Gadis ini bisa membaca hati pemuda di depannya, karena pemuda itu memang tak pernah bisa menyembunyikan isi hatinya.

“Ayo kita makan pizza. Aku juga lapar lagi!” seru Andang dan tiba-tiba sudah bangkit, memakai celana pendeknya tanpa merasa perlu memakai celana dalamnya.

Kino tidak menjawab, tetapi ikut bangkit, meletakkan celana dalam Andang yang kini ternoda cairan cintanya sendiri di lantai. Berdua mereka turun dan menikmati pizza di ruang makan yang juga berperabotan mewah.

Andang mencairkan suasana yang kikuk dengan berceloteh tentang Obenk dan kelompoknya. Kino merasa kerikuhannya lenyap, dan sebentar kemudian terdengar derai tawa mereka sambil mengunyah. .Lalu Kino minta diantar pulang kembali ke hotelnya, dan Andang menuruti permintaan itu tanpa banyak cing-cong.

Tanpa mengganti baju dan kembali hanya dengan bersandal jepit, gadis itu mengantar Kino sampai hotelnya, dan mencium pipi pemuda itu sekilas sebelum menghilang di balik keramaian lalulintas malam ibukota.

Beberapa saat Kino masih berdiri di pintu lobby, mengantar Peugeot gadis itu dengan pandangannya. Sang petugas hotel yang tadi menawari hiburan malam kembali mendekat, dan berdehem sopan di sebelahnya.

“Perlu pesan makan malam, mas?” tanyanya sopan. Kino tersenyum dan berkata singkat,
“Saya sudah makan lebih dari yang saya perlukan.”

Sang petugas sejenak terpana, tetapi lalu tertawa lebar, membuat kesimpulan pribadinya lagi tentang “makan” yang dimaksud tamunya. Kino berbalik dan menuju lift untuk kembali ke kamarnya.

*** Cerita Cinta Dewasa ***