Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #58

Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #58

Menguntai Masa Lalu – 8

Cerita Cinta Dewasa – Kino tak bisa menjawab, ketika Mang Soleh menanyakan kemana mereka hendak pergi. Tentu saja, pemuda itu tidak tahu apa yang menarik dari Jakarta yang bising dan panas ini. Maka yang terpikir adalah menelpon Andang, mungkin gadis itu punya ide tentang tempat yang bisa dikunjungi, dan mudah-mudahan tempat itu banyak pohonnya!

“Kamu ada di mana, sih?” tanya Andang di telpon; suaranya masih dibalut kantuk. Kino heran, kenapa gadis itu selalu terdengar mengantuk kalau ia telpon siang-siang. Apakah semua gadis Jakarta punya kebiasaan tidur siang?

Kino menyebutkan nama jalan tempat bilik telepon dari mana ia menelpon, dan Andang menguap berkali-kali sebelum berkata, “Tunggu di sana, nanti aku jemput.”

“Tapi aku ada supir yang bisa mengantar,” kata Kino.
“Hah? Sejak kapan kamu punya supir?” sergah Andang, menyangka Kino bercanda. Kino menceritakan secara ringkas duduk perkaranya.

“Hah? Sejak kapan kamu bergaul sama bintang panggung?” kini Andang benar-benar kaget, sekaligus juga curiga jangan-jangan Kino sedang mabuk karena panas Jakarta. Kino tertawa kecil, lalu menegaskan bahwa ceritanya benar-belaka.

“Nanti aku ceritakan lebih panjang,” katanya. Di seberang sana Andang terdiam, sehingga Kino mendesak “Ayo beritahu alamat kamu, nanti aku ke sana,” Andang lalu menyebutkan alamatnya, sambil berjanji bahwa dia akan sudah mandi ketika Kino tiba.

Lalu Kino menutup telpon, beranjak ke mobil dan menyerahkan alamat yang tadi ditulisnya di atas secarik kertas kepada Mang Soleh. Supir itu bilang, tempat yang mereka akan tuju tidak terlalu jauh. Mobil pun segera meluncur lagi, menyelinap lagi di antara keramaian-kebisingan.

Mang Soleh benar; tidak sampai 15 menit mereka sudah tiba di daerah yang Kino kenal karena dia pernah diajak mampir oleh Andang. Gerbang besar rumah itu kembali membuka, dan mobil masuk seperti kereta kencana memasuki halaman istana.

Sempat terpikir oleh Kino, “istana” Andang juga mirip dengan “penjara” karena temboknya yang tinggi dan kawat berduri di atasnya. Kalau saja ada menara jaga di salah satu sudut halaman, lengkaplah kesan penjara itu.

“Disuruh langsung ke atas, den..,” ujar seorang pembantu yang membuka pintu untuk Kino. Ah, di mana-mana di Jakata ini selalu ada pembantu yang memberikan petunjuk, pikir pemuda itu.

Kino naik ke lantai atas, melewati ruang tamu mewah yang lengang. Ia tahu kemana harus menuju.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Andang tidak ada di kamarnya, tetapi gadis itu berteriak dari kamar mandi ketika mendengar pintu kamarnya dibuka, “Tunggu ya say, aku belum selesai mandi …”

Kino tersenyum maklum sambil menghenyakkan tubuhnya di salah satu sofa yang seperti diletakkan begitu saja di tengah ruangan. Sebagaimana yang pernah ia lihat sebelumnya, kamar Andang kali ini pun berantakan.

Kaset-kaset tergeletak di sana-sini. Bantal tidur ada di lantai. Sepatu tanpa pasangannya menggeletak dekat pintu. Be-ha tersampir dekat kaki lampu baca. Setidaknya setengah lusin majalah teronggok di dekat jendela.

Tetapi kamar itu juga bersih. Terlebih lagi, kamar itu juga sejuk. Jadi, walaupun berantakan, Kino bisa mengerti kenapa pemiliknya betah berlama-lama di dalam kamar. Apalagi ada perangkat audio yang mengalunkan musik lembut mengguyur kalbu. Kino mengenali lagu yang sedang mengalun, dan ikut menyanyikan beberapa bait yang ia hapal.

.. it’s a little bit funny .. this feeling inside … i’m not those ones who can… easily hide …

Tak berapa lama kemudian, Andang muncul dari kamar mandi yang secara strategis terletak di pojok kamar.

“Hai … ‘pa kabar,” ujarnya sambil melenggang ke lemari pakaian yang menyatu dengan tembok kamar. Rambutnya masih basah karena keramas. Tubuhnya yang putih-padat terbungkus handuk besar. Wajahnya tampak segar, dan senyumnya tampak cerah.

“Baik ..,” jawab Kino pendek sambil memperhatikan gadis itu dengan santai membelakanginya, mencari-cari pakaian di lemari yang mungkin bisa dipakai untuk ngumpet oleh tiga orang dewasa sekaligus.

“Kamu selalu mengganggu bobo siangku?” kata Andang sambil menarik sebuah celana jeans dari gantungannya. Kino tertawa kecil,
“Kamu kebanyakan tidur,”

“Biasa, lah … pulang pagi, nge-disko,” kata Andang memberi penjelasan tanpa diminta. Dan tanpa memutar tubuhnya pula, gadis itu menanggalkan handuk besar yang menutupi tubuhnya. Seketika di hadapan Kino terpampang pemandangan yang menggiurkan.

Tapi Kino tak tergiur. Ia cuma terkesiap sejenak, lalu langsung maklum pada tingkah laku gadis yang memang serba bebas itu. Mungkin kalau ia tidak mengenal Andang luar-dalam, pemuda itu sudah pingsan … atau sebaliknya sudah menyergap tubuh mulus yang cuma terbalut celana dalam tipis itu.

“Padahal aku males ketemu kamu, No … ” kata Andang sambil memakai celananya yang sempit sehingga perlu usaha ekstra.

Dari belakang, tubuh seksi itu terlihat menggeliat-geliat seperti seorang penari striptease Kino tertawa kecil lagi, “Ya udah … setelah kamu selesai pakaian, aku mau permisi.”

“Enak aja… Aku udah capek-capek mandi kamu tinggal,” sergah Andang sambil mengancingkan celananya.
“Mandi kok capek, sih? Bukannya malah tambah segar …,” timpal Kino.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Andang tertawa mendengar komentar Kino. Ia mengambil sebuah t-shirt, lalu sambil mengenakannya gadis itu memutar tubuh. Karena tidak memakai be-ha, sejenak payudaranya yang sintal terpampang sebelum akhirnya terbungkus oleh kaos ketat yang tentu saja tak mampu menyembunyikan secara sempurna apa yang harusnya tersembunyi.

“Kamu mau kemana, sih?” kata Andang mengganti topik sambil mencari-cari sepatunya.
“Ngga tahu … justru aku mau tanya kamu,” sahut Kino sambil mendorong sebuah sepatu yang ada di dekat kakinya. Mungkin itu yang dicari Andang.

Gadis itu mengabaikan sepatu yang disodorkan Kino, terus sibuk mencari-cari ke kolong meja, “Siang-siang gini mau ke mana … Aku juga ngga tahu,”

“Ke tempat yang banyak pohonnya,” kata Kino sembarangan. Andang tertawa sambil menarik sepasang sepatu dari bawah meja, “Mana ada tempat yang banyak pohonnya di Jakarta…”

“Pokoknya ke tempat yang sejuk… ” kata Kino tak mau menyerah.
“Tempat yang sejuk di Jakarta justru ngga ada pohonnya, tuh di hotel-hotel bintang lima atau di mall,” kata Andang sambil mulai memakai sepatunya.

“Apa yang bisa dilihat di mall, selain toko-toko dan pajangannya?” kata Kino setengah mengeluh karena harapannya untuk bertemu tempat sejuk penuh pepohonan telah pupus.
“Ngeliatin orang-orang … kamu ngga suka?” sahut Andang.
“Apa, sih, yang menarik dari orang-orang itu?”

Andang tertawa mendengar nada putusasa di ucapan Kino, “Kadang-kadang ada yang menarik juga, lhoo … Misalnya pakaiannya, cara jalannya, rambutnya, make-upnya …. yaaa macem-macem lah … ”
“Ngga ada pilihan lain?” ucap Kino memelas.

Andang telah selesai memakai sepatunya, lalu sambil bangkit ia menyergah,
“Ngga ada … udah deh jangan banyak protes .. Yuk kita jalan ” Kino bangkit dengan malas. Andang meraih lengan pemuda itu, menyeretnya turun seperti seorang ibu menyeret anaknya yang ogah ke sekolah.

“Sama sekali ngga ada pilihan lain?” Kino masih mencoba.
“Cerewet!” sergah Andang sambil terus menyeret Kino turun.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Andang ngotot membawa mobilnya sendiri, dan Kino akhirnya meminta Mang Soleh untuk kembali ke gedung kesenian. Sejenak Mang Soleh mem-protes karena katanya ia diberi tugas oleh Mbak Rien untuk ‘mengawal’ Kino sampai nanti sore.

Andang bersikeras untuk mengajak Kino naik mobilnya, dan membujuk Mang Soleh untuk memberi tahu boss bahwa Kino akan diantar nanti sore ke sanggar. Setelah Kino juga akhirnya memberi jaminan, barulah sopir yang setia itu dengan enggan membiarkan Kino pergi bersama Andang, sementara ia sendiri kembali ke gedung kesenian.

“Aku tidak betah kalau disupirin orang lain,” kata Andang memberi alasan ketika mereka sudah meluncur keluar rumah.
“Tapi Mang Soleh memang cuma ingin menjalankan tugas,” kata Kino membela supirnya,
“Dia pasti merasa bersalah kalau nanti Mba Rien bertanya kemana aku,”

“Kok kamu bisa kenal sama Rien, sih?” tanya Andang tanpa melepas pandangan dari jalan,
“Dia, kan, orang yang nge-top di kalangan artis, lho … Pernah muncul di sinetron … dan wajahnya sering tampil di cover majalah ” Kino membenarkan semua ucapan Andang,
“Aku kenal dia sejak sebelum nge-top… sejak masih di kampung halaman dulu,”

“Oh .. dia itu dulunya orang kampung juga, ya, ..,” kata Andang sambil tertawa kecil. Kino tersenyum, “Hampir semua orang yang aku kenal, dulunya orang kampung. Kamu sendiri juga orang kampung, lah …”

“Iya, deh … iyaaaa ..,” sergah Andang, “Tapi yang penting ngga kampungan,”
“Kadang-kadang kamu kampungan juga,” goda Kino.
“Biarin… asal keren .. kamu juga suka, kan?,” balas Andang cepat.

Kino tertawa. Tadinya ia ingin mendebat bahwa ia tidak terlalu suka, cuma memang sedang memerlukan gadis itu untuk petunjuk jalan-jalan. Tetapi pikiran itu ditahannya saja. Tidak enak mengganggu gadis itu terlalu jauh; lagipula dia yang memegang setir. Bagaimana kalau dia ngambek dan meninggalkan aku di tengah jalan, pikir Kino.

“Biasanya orang yang sudah nge-top lupa sama teman-temannya sekampung,” gumam Andang sambil dengan cekatan menghindari tabrakan dengan sebuah sepeda motor yang tiba-tiba memotong jalan.

“Mbak Rien memang bukan orang biasa,” kata Kino, lalu menyesal mengucapkan pujian yang terlalu tinggi itu. Seperti yang segera ia sadari, ucapan pendek ini memancing pertanyaan lebih jauh dari Andang.

“Pasti kamu punya hubungan istimewa dengan dia. Kalau tidak, mana mungkin … ” ucap Andang, lalu segera menyambung, “Kamu dulu pacaran sama dia, ya?”
“Bukan. Aku tetangganya, dan adikku dulu belajar menari di sanggarnya” sahut Kino cepat-cepat sambil berdoa agar pembicaraan tidak bertambah panjang.

“Alaaaah …. mana mungkin kalau cuma tetangga bisa ngasih pinjem mobil lengkap dengan sopirnya segala …,” sergah Andang sambil mencibir, “Pasti kamu ada apa-apa-nya.”

Kino tertawa, lebih sekadar menutupi kegelisahannya daripada menertawai ucapan Andang,
“Kamu memang suka gosip, Dang ….” Andang mencibir lagi tanpa mengalihkan pandangan dari jalan, “Ngga usah bohong deh sama aku … Apalagi kamu juga ngga pintar berbohong.” Kino tertawa lebih keras, terutama karena kata-kata terakhir itu memang benar.

“Aku ngga bohong. Dia memang tetanggaku, dan memang mengajar adikku menari. Titik,”
“Terserah kata kamu …. tapi aku ngga percaya,” sahut Andang.
“Ya, terserah kamu juga deh!” sergah Kino, merasa tak bisa menang melawan gadis yang selain cekatan menyetir ternyata juga cekatan berdebat.

“Diam-diam ternyata kamu playboy juga, yaaa …,” goda Andang sambil tertawa kecil. Sejenak muka Kino terasa memerah, untung tidak ada yang melihat.

“Ah, kamu sembarangan saja … dia baik kepadaku, aku baik kepadanya. Titik,” Andang tergelak mendengar nada defensif di ucapan-ucapan Kino. Percuma saja pemuda itu bersembunyi di balik senyum, tawa, atau kata-katanya. Andang bukan gadis kemarin sore yang bisa dibohongi dengan mudah.

“Santai aja, No … kenapa sih musti ngibulin Andang?”. Karena aku harus melindungi reputasinya, ucap Kino dalam hati. Tetapi mulutnya terkunci. Cuma gerutuan yang tak jelas keluar dari kerongkongannya.

“Hi .. hi ..hi … ngedumel nih ..” goda Andang, tetapi gadis itu lalu buru-buru menambahkan,
“Iya .. deh, aku ngga mau menyinggung tentang dia lagi .. ” Kino bernafas lega, dan Andang tertawa cekakakan mendengar pemuda di sebelahnya menghela dan menghempaskan nafasnya kuat-kuat.

Untung juga mereka sudah sampai di tempat yang dituju. Andang berkonsentrasi mencari tempat parkir, dan topik tentang Mbak Rien pun lenyap seperti uap air terbang ke angkasa yang terik.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kino tidak tahu tempat apa yang ia masuki bersama Andang ini, apalagi gadis itu juga tidak memberi penjelasan sejak mereka turun dari mobil dan melenggang bergandengan seperti adik-kakak (sebab tidak semua orang yang bergandengan adalah pacaran).

Yang jelas, mereka memasuki sebuah mall modern, lengkap dengan air mancur mewah di halaman depannya dan lift tabung kaca yang menegaskan keinginan arsitekturnya untuk menampilkan suasana futuristic.

Interiornya yang didominasi warna serta elemen-elemen metalik, ditambah banyaknya kaca cermin maupun tembus pandang, melengkapi kesan kepada para pengunjung bahwa mereka sedang berada di sebuah pesawat ruang angkasa semacam Enterprise-nya film seri Star Trek.

Lalu mereka memasuki salah satu dari puluhan toko; tetapi yang mereka masuki ini tidak berisi barang-barang dagangan. Melainkan Kino melihat sederet mesin permainan (games) komputer yang menimbulkan suara-suara berisik serta aneh, dilengkapi musik digital-robotik yang monoton.

Suara-suara tembakan terdengar di mana-mana, kadang berdesing, kadang berdenyut menandakan pelurunya terbuat dari butiran cahaya laser.

Para pengunjung sebagian besar asyik berhadapan dengan layar yang membiaskan warna-warna kuat sehingga wajah-wajah mereka pun kehilangan warna aslinya. Ada seorang pemuda yang sebelah atas wajahnya berwarna biru sementara dari mata ke bawah berwarna kelap-kelip kuning dan merah.

Asap rokok memenuhi ruangan, seakan-akan kabut yang menjadi bagian tak terpisahkan dari suasana futuristic ini. Kino tahu tempat seperti ini, karena di kota B juga ada. Tetapi ia belum pernah melihat yang seluas dan seberisik ini.

Apalagi interiornya juga ditata sedemikian rupa sehingga menambah kesan megah di angkasa luar. Sambil terseret-seret oleh langkah Andang yang lebar, pemuda itu berusaha menyerap semua keunikan dan ke-baru-an wilayah yang dimasukinya ini.

Nuraninya menolak kesimpang-siuran suasana ruang permainan ini, tetapi benaknya mengatakan bahwa kenyataan yang begini-ini adalah bagian tak terpisahkan dari modernitas Jakarta. Mesin-mesin itu memamerkan kecanggihan teknologi komputer, sementara para pemainnya mempertunjukkan fanatisme buta yang menakutkan. Sebuah campuran yang bisa fatalistis …

“Aku ngga suka main games, Andang ..,” sergah Kino dengan rasa takut yang tiba-tiba menyergapnya. Pemuda itu harus berteriak pula untuk mengatasi keberisikan ruangan.

“Siapa yang ngajak kamu main? Kita ke belakang, ketemu sama yang punya dan berkenalan dengan dunia ku!” sahut Andang tak kalah keras suaranya.
“Hah!?” sergah Kino bertambah heran,

“Untuk apa kita ketemu dia? Dan apa itu ‘dunia kamu’??”
“Kamu memang cerewet!” adalah jawab Andang.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Di belakang ruangan permainan ada sebuah pintu yang cukup berat, sehingga Kino perlu membantu Andang mendorongnya terbuka. Pintu itu menuju sebuah lorong agak gelap. Setelah mereka berdua masuk, pintu itu menutup dengan sendirinya, dan kebisingan ruangan permainan tiba-tiba sirna. Sepertinya, pintu itu memisahkan dua dunia, atau mungkin juga memisahkan neraka dan surga, pikir Kino dengan kecut.

Andang terus menyeret pemuda itu, menuju ujung gang yang membelok ke kiri. Di situ ada pintu lagi, kali ini terkunci dan Andang harus bicara lewat sebuah interphone. Setelah menunggu beberapa detik, pintu terbuka dan sebuah wajah gemuk muncul sambil menyeringai lebar dan riang.

“Halooooooo … anak manis, apa kabar … sudah lama tidak kelihatan!” ujar si empunya wajah dengan suara keperempuan-perempuanan (padahal dia laki-laki!). Kino bergidik sejenak. Sehari ini dia sudah bertemu dua orang yang seperti ini !

Andang menerima sambutan si gemuk dengan pelukan dan kecupan cepat di kedua pipi. Kino memperhatikan saja, memahfumi bahwa beginilah cara orang modern saling menyapa.

“Halooooo … selamat datang, senang bertemu Anda, nama saya Buwana!” si gemuk tahu-tahu sudah menyodorkan tangan ke Kino, dan pemuda itu gelagapan menyambutnya.
“Kino,” ucapnya cepat sambil agak mengernyit merasakan bahwa telapak tangan si gemuk itu dingin sekali.

Andang tersenyum manis memandang ke Kino, seakan-akan memberi penguatan kepadanya..

Gadis itu tahu bahwa pemuda yang diajaknya ini tidak biasa masuk ke dunianya. Tetapi sejak dari rumah tadi ia sudah bersikeras untuk memperlihatkan kepada Kino bahwa dunia ini bukan cuma gunung, gitar, kampus, atau buku ….

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kesan pertama pada diri Kino tentang ruangan yang mereka masuki ini adalah kegemerlapan yang artifisial. Di mana-mana ada warna cerah dan terang. Di mana-mana ada lampu dan hiasan-hiasan dari kaca. Lukisan-lukisan yang terpampang di dinding memperlihatkan erotika yang abstrak … gambar-gambar seronok yang tersamar … adegan-adegan seksual yang tersembunyi.

Andang menggamit lengan pemuda itu, menariknya dekat sekali seperti kuatir Kino akan lari.

“Ini namanya ORIFICE … klab khusus untuk anak-anak penggede, pengusaha muda, artis …!” bisik gadis itu, dan Kino berpikir keras untuk mencerna maknanya.

“Mau minum apa?” seru Buwana yang kini sudah berada di sebuah bar yang ramai. Tak ada orang lain yang mempedulikan Andang dan Kino. Semuanya tampak sibuk berbincang-bincang sambil tertawa-tawa. Riang sekali, pikir Kino. Andang melambaikan tangannya, meneriakkan

“.. nanti saja!” sambil terus melangkah. Kino sendiri sama sekali tidak haus, karena itu merasa tak perlu menyahuti tawaran si gemuk yang ternyata bisa bergerak lincah itu.

Ada sebuah meja dengan dua kursi kosong. Ke sanalah Andang membawa –atau tepatnya menyeret– Kino. Meja itu terletak di dekat sebuah panggung yang terang tetapi kosong.

Lantai panggung itu terbuat dari kaca tebal dan ada berbagai lampu di bawahnya, sehingga dari tempatnya duduk, Kino melihat panggung itu seperti sebuah lampu sorot raksasa dalam posisi terlentang. Cuma sinarnya tidak terlalu terang. Cukup untuk membuat ruangan tidak terlalu gelap saja.

“Tempat apa ini, Andang?” bisik Kino sambil menyorongkan tubuhnya ke gadis yang kini mengeluarkan sebungkus rokok filter dan sebuah lighter berwarna perak.

“Klub .. tempat ngumpul … tempat ketemu-ketemu,” ucap Andang kalem, seperti seorang ibu sedang menjelaskan kepada anaknya. Kino melihat ke sekeliling. Memang tampaknya orang-orang di sini sedang saling bertemu, sedang berkumpul. Tetapi untuk apa?

“Tempat cari jodoh juga ..,” sambung Andang seperti bisa membaca pikiran Kino.
“Hah?” sergah Kino dengan tampang bloon, “Cari jodoh untuk menikah?”

Andang tertawa sambil menyelipkan sebatang rokok di antara bibirnya, menyalakannya dengan cekatan, dan menghela serta menghembuskan asap pertamanya, “Soal menikah atau tidak, aku ngga tahu. Tapi mereka di sini untuk mencari pasangan. Sekedar berteman, atau lebih dari itu, atau seterusnya … mana gua tahu!”

Kino melihat sekeliling lagi. Pasangan apa? Memang ada pasangan laki dan perempuan duduk seperti mereka. Jumlahnya cuma sedikit. Cuma tiga pasang, termasuk Andang dan Kino. Kebanyakan adalah pasangan sejenis. Lelaki dengan lelaki, perempuan dengan perempuan. Ah, mungkin mereka belum menemukan pasangan … Andang kembali bisa membaca pikiran pemuda di hadapannya,

“Pasangan di sini bukan berarti laki dengan perempuan, lho …”
“Maksudnya?” Kino semakin bloon. ,Andang tertawa.
“Aduhhh … kamu bener-bener kampungan, Kino. Di sini bisa saja pasangan laki dengan laki, atau perempuan dengan perempuan. Suka-suka mereka saja, lah!”

Kino memandang gadis di depannya lekat-lekat. Pikirannya bekerja secepat mungkin. Tentu saja, walau kampungan, Kino pernah mendengar semua cerita-cerita, semua gosip dan kabar angin, tentang homoseksualitas.

Tetapi mendatangi dan melihat sendiri dunia mereka adalah sesuatu yang sama sekali baru. Sesuatu yang revolusioner !! Semua ucapan Andang dan pemandangan di klab ini harus masuk dulu ke dalam otak Kino untuk dicerna berdasarkan pengetahuannya yang terbatas …

“Makanya, jangan di kampus melulu … Sekali-sekali lihatlah dunia yang sesungguhnya Kino,” kata Andang sambil dengan nikmatnya menghembuskan asap rokok.

Seorang gadis berjalan mendekat, dan Kino terkesiap. Gadis itu nyaris menampilkan seluruh dadanya karena memakai kaos yang begitu tipis dan leher begitu rendah! Selain itu, roknya sangat-sangat-sangat pendek, sehingga sebagian celana dalamnya (yang juga sangat-sangat-sangat terbatas) terlihat setiap kali ia melangkah gemulai.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Mau pesen apa?” kata gadis itu sambil memandang Kino dengan wajah yang bersinar nakal, menggoda, sekaligus menyelidik.
“Makanan kecil saja, Yuni….. Keripik kentang dan kacang goreng,” sahut Andang cepat, menyelamatkan sahabatnya dari kegelagapan yang memalukan.

Gadis yang dipanggil Yuni itu mengatakan, “Okay ..”, lalu melenggang dengan sangat seksi meninggalkan Kino yang masih melongo.
“Awas, nanti kemasukan lalat kalau bengong begitu!” sergah Andang sambil tertawa renyai. Kino menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti hendak mengusir sesuatu yang melekat di kepalanya dan yang membuatnya gelisah.

“Itu tadi namanya pelayan restoran, Kino …,” ujar Andang sambil tertawa kecil,
“Kamu belum pernah lihat pelayan restoran?” Kino menggerutu, “Dia mau melayani orang makan, atau apa?”

Andang tertawa lebih keras, “Bisa juga diminta melayani yang lain. Asal dia mau, lho …”
“Kamu kenal dia? Kok memanggil namanya?”

“Di rok mini-nya, kan, ada tulisan namanya Yuni Yuanita,” sahut Andang masih tertawa, “Mata kamu melihat bagian yang mana, sih?”, Kino tersipu. Sialan betul si Andang, mengajak ke tempat yang aneh ini! gerutunya dalam hati.

“Take it easy, Kino … nikmati saja suasana dan pemandangannya,” kata Andang sambil mematikan rokoknya dan bersiap dengan batang yang kedua.

Kino diam. Melihat lagi ke sekelilingnya. Orang-orang asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. Musik lembut mengalun. Denting sendok garpu beradu dengan piring porselin kadang-kadang terdengar. Suara tawa di sana-sini sesekali terdengar. Biar bagaimana pun, Kino harus mengakui bahwa tempat ini terasa santai.

Bukan cuma terlihat santai, tetapi juga terasa sampai ke tulang sum-sum! Semua orang tampak rileks, seperti berada dalam sebuah mesin raksasa yang bisa membuat orang melupakan apa saja yang merisaukan di luar sana.

Kino juga melihat bahwa tidak ada satu pun jendela yang bisa menghubungkan pandangan pengunjung dengan dunia luar. Segalanya terbuat dan terbentuk di dalam ruangan ini, tanpa referensi sama sekali dengan dunia luar. Seakan-akan ini sebuah gua yang menyimpan dan memelihara waktu tersendiri, berbeda dengan dunia nyata di luar sana.

Perlahan-lahan Kino bahkan melihat bahwa orang-orang yang ada di sini pun tidak seperti orang-orang di dunia nyata. Pakaian mereka, wajah mereka, rambut mereka, suara mereka … semuanya berbeda. Orang-orang di luar sana terkesan sibuk, berjuang dalam terik Jakarta, berwajah tegang dan penuh kerut … Orang-orang di dalam sini terkesan lepas dari segala kekangan atau kesibukan, berwajah riang dan berbinar-binar …

Lalu Andang memberi penjelasan tanpa diminta. Penjelasan ini memberi tambahan kesan yang semakin membuat Kino tercengang. Pertama-tama, Kino kaget mendengar bahwa untuk masuk ke klab ini, seseorang harus menjadi anggota atau dibawa oleh anggota. Yang membuat pemuda itu kaget adalah uang yang harus dibayar untuk menjadi anggota.

Jumlahnya sama dengan harga rata-rata sebuah rumah ukuran sedang di kota B. …. dan iuran per bulannya sama dengan bayaran kost-nya sebulan plus makan pagi dan makan malam !!

Kedua, Kino kaget mendengar penjelasan tentang panggung yang saat ini masih kosong. Kata Andang, kalau malam hari panggung itu adalah satu-satunya yang bercahaya di ruangan ini. Di atas panggung itu ada berbagai pertunjukkan, dimulai dengan sebuah pertunjukan sulap, lalu beberapa nyanyian dengan iringan mesin karakoke, dan ditutup dengan striptease.

“Tetapi ini masih siang, … so dont worry … kamu ngga akan melihat orang telanjang,” ujar Andang.
“Aku juga ngga ingin lihat!” gerutu Kino, walaupun dia sendiri tidak terlalu yakin apakah betul-betul tidak ingin melihat!

Andang tertawa, “Iya… kamu udah sering lihat aku telanjang … Kamu sudah kebal !!!” Kino menggerutu lagi, “Itu, sih, lain ….”

Andang tertawa lebih keras. Gadis itu menikmati perbincangannya dengan Kino yang terus menerus menggerutu, “Kenapa lain? Karena kamu juga pernah memegang selain melihat?”

Muka Kino rasanya terbakar oleh jengah. Apa yang diucapkan Andang tentu saja benar, walau kesan yang ditimbulkan oleh memori dengan gadis itu tidaklah terlalu nyaman.

Ah, kebenaran memang tidak selalu nyaman, bukan? Andang tiba-tiba merasa kasihan. Ia cepat-cepat menghentikan tawanya, meraih tangan Kino yang cemberut, membelai punggung lengannya, dan berucap mesra, “Maaf sayang … becandaaaaa ….”

“Kenapa, sih, kamu bawa aku ke sini?” sergah Kino tak mempedulikan rajukan Andang.
“Supaya kamu pernah,” sahut Andang cepat, sambil terus membelai lengan pemuda itu.
“Kenapa harus ‘pernah’ … kenapa tidak kamu ceritakan saja?”

“Lain, dong!” sergah Andang, “Kalau cuma cerita, kamu ngga bisa ngerasain suasananya. Kalau datang sendiri, kamu bisa tahu lebih banyak.”
“Tetapi kenapa aku harus tahu yang beginian?” ujar Kino bersikeras.
“Memangnya kenapa? Kamu tidak ingin tahu yang beginian?” tantang Andang.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kino tidak menjawab. Yuni Yuanita yang seksi dan berpakaian minim itu sudah datang dengan dua piring makanan kecil. Setelah gadis itu pergi, Kino baru menjawab, “Aku yang tanya lebih dulu, kenapa jadi kamu yang balik bertanya.”

Andang tersenyum manis, mengangkat tangannya untuk mencuil dagu Kino, “Karena kamu sendiri yang bisa jawab pertanyaan kamu, anak kampus!” Sebelum Kino bisa menyahut, gadis itu sudah menyambung lagi, “Yuk .. makan dulu keripik kentang dan kacangnya. Sedap, lho ..”

“Ini seperti dunia yang berbeda …,” ujar Kino, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun.
“Betul … seratus!” kata Andang santai sambil mengambil dan menyuap sepotong keripik.
“Dunia kamu?” tanya Kino sambil ikut menyuap sejumput kacang.

“Kalau malam hari, aku sering ke sini … jojing dan cari temen..,” jawab Andang.
“Bukankah teman kamu sudah banyak?”
“Teman itu ada dua, Kino … teman yang seperti kamu, dan teman yang cuma berusia dua atau tiga jam.”
“Dua atau tiga jam?”

“Ya .. teman yang cuma jadi teman selama dua jam atau lebih sedikit. Setelah itu bisa ditinggalkan dan dicari gantinya.”
“Itu bukan teman …”

“Bukan, memang,” sela Andang, “Tetapi tetap saja bisa dibilang teman dalam tanda kutip… Kan, aku sudah bilang ada dua jenis teman.”

“Semua temanku tetap teman walaupun sudah bertahun-tahun,” Andang tertawa,
“Kamu kok yakin bener mereka masih teman kamu!”
“Aku masih menganggap mereka teman!”
“Tapi, apakah mereka masih mau dianggap teman?” sahut Andang cepat.

Kino terdiam. Apakah mereka masih mau dianggap teman? pertanyaan itu berulang di kepalanya. Masihkah? Andang tersenyum melihat pemuda di depannya terdiam,

“Sorry .. Kino .. aku terlalu sinis, ya?” Kino menghela nafas panjang,
“Ah .. tidak … memang kadang-kadang kamu banyak benernya…”

Andang tertawa lepas. Kino senang melihat gadis itu tertawa seperti ini. Seperti tak punya beban apa-apa. Mungkinkah karena dia berada di “mesin” raksasa ini?

“Apa, sih, artinya ORIFICE ?” tanya Kino tiba-tiba teringat nama klab ini. Andang menurunkan volume suaranya, “Itu nama ngga resmi. Nama yang resmi adalah Moonlite Night.”

“Lalu apa artinya ORIFICE?”
“Artinya …,” Andang kini berbisik, ” .. lubang pelepasan manusia…vagina misalnya, atau dubur …” ,Kino terdiam. Andang tertawa terbahak.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Gadis seperti Andang adalah gadis yang bebas, dan Kino telah tahu itu sejak petualangannya dengan Sang Troubadour dulu. Tetapi melihat dan mengunjungi Moolite Night alias Orifice membuat segala pengalaman gila-gilaan dengan kelompok eksentrik itu jadi hambar. Jadi, pikir Kino, inilah sebuah dunia buatan -artificial sphere- yang khusus dirancang untuk membebaskan manusia dari kegelisahan-kegelisahan mereka.

Ini lah sesungguhnya “panggung” itu … seperti halnya panggung tempat Mba Rien menari. Tempat di mana manusia-manusia merancang dan menemukan dirinya sendiri, terlepas dari kenyataan yang mungkin menyakitkan.

Selama mereka duduk-duduk dan berbincang, Buwana –sang pemilik dan pengurus klab– bulak-balik bertandang. Kino kagum melihat kelincahan orang yang terlalu gemuk ini, walaupun terkadang terlihat susah bernafas setiap kali ia harus bergerak. Di pergelangannya, yang mungkin sama besarnya dengan betis Kino, melingkar dua macam rantai.

Satu terbuat dari emas yang berkilau-kilauan, dan satu lagi dari serangkaian batu permata. Setiap kali tangan Buwana bergerak –dan ini selalu ia lakukan setiap berbicara– gelang emas menimbulkan suara gemerincing, sementara gelang permata menimbulkan kilauan berkerejap aneka warna.

Kadang-kadang sulit bagi Kino untuk berkonsentrasi kepada apa yang si gemuk ucapkan, karena pada saat yang sama matanya terpaut pada gelang-gelang itu.

“Ini gelang keberuntungan!” ucap Buwana ketika melihat pandangan Kino selalu mengarah kepada gelangnya, “Kamu punya gelang?” Kino menggeleng cepat-cepat. Andang menyela,
“Dia ngga perlu gelang, Buwana! Dia perlu banyak buku bacaan.”

“Aiiiiihhhhh … yaaaaaaa!” Buwana berseru dengan gayanya yang kemayu,
“Anak kampussss …. rajin belajar, dong!”

Kino tersenyum kikuk, tak biasa menanggapi reaksi-reaksi semacam ini. Baginya, reaksi itu terlalu artifisial pula. Ah, tapi mungkin reaksi yang dibuat-buat seperti ini memang cocok untuk suasana yang juga artifisial di klab ini.

“Andang ini pacar kamu yaaa …?!” tiba-tiba Buwana bertanya, sambil mengerdipkan satu matanya. Kino cepat-cepat menggeleng. Andang kembali menyela,
“Pacar sementara … ha ha ha ha ha ha!”

Buwana tertawa dengan gayanya yang kemayu. Kino ikut tertawa, sekedar sopan santun. Andang menepuk punggung tangan Kino,

“Husy! .. Kamu ikut tertawa, padahal kamu ngga ngerti!” Kino tersipu.
“Ya .. memang aku tidak mengerti. Tetapi tidak enak kalau tidak ikut tertawa.”

Buwana terbahak. Andang terpingkal. Kino bingung, apa yang lucu dari semua percakapan ini? Lalu Buwana permisi untuk menyambut tamu lain. Kino bernafas lega. Andang tersenyum melihat tingkah laku pemuda itu.

“Relaks, Kino …,” kata gadis itu,
“Di sini kita bisa tertawa walaupun tidak ada alasan untuk tertawa.”

Kino mengidarkan pandangannya lagi. Ya, memang seringsekali terdengar tawa. Macam-macam tawa. Ada yang wajar saja, lepas dan menerawang ke seantero ruangan seperti angin sepoi-sepoi.

Ada yang cekikikan seperti pemiliknya sedang kegelian digelitiki seribu ulat bulu. Ada yang terbahak-bahak seakan-akan tidak ada lagi waktu untuk tertawa besok. Tetapi tak sedikit pula Kino mendengar tawa-tawa artifisial. Tawa yang seperti tak seharusnya keluar dari mulut pemiliknya.

“Kenapa mereka selalu tertawa?” tanya Kino.
“Gembira … mungkin,” jawab Andang santai, “Atau mungkin juga karena pengaruh obat bius.”

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Menurut Andang, di klab ini orang juga bisa mengkonsumsi obat bius dengan leluasa. Kino pernah mendengar tentang tablet-tablet yang bisa membawa orang ke alam hayal. Duh, pikirnya, .. belum cukup mengurung diri dalam dunia artifisial yang penuh kaca dan cahaya, orang-orang itu juga perlu menjauh dari pikiran mereka sendiri ! Perlu menjelajah alam hayal dengan bantuan bahan-bahan kimia itu !

“Narkotik sama saja dengan kehancuran, Andang ..,” ucap Kino. Andang mencibir,
“Tahu apa, sih, kamu tentang narkotik .. ngga pernah nyobain kok bisa ngomong!” Kino tersenyum mengakui, “Begitu kata orang-orang …”

“Yang ngomong gitu kan orang-orang yang tidak memakai narkotika,” sergah Andang.
“Tetapi orang kan bisa mati kalau overdosis,” ucap Kino, teringat cerita Mira tentang kakaknya yang tewas oleh narkotika.

“Lebih banyak lagi yang mati ketabrak mobil di Jakarta,” sambar Andang.
“Itu, kan, kecelakaan. Kalau overdosis itu sama dengan bunuh diri,” kata Kino tak mau kalah.

“Ah, sama saja. Sama-sama mati. Apa bedanya,”
“Neraka dan surga. Itu bedanya,”
“Pernah ke sana?”

Kino tertawa lepas. Bicara dengan Andang selalu harus berdasarkan “pernah” … bicara tentang seks, harus “pernah” .. bicara tentang kebebasan, harus “pernah” … bicara tentang Jakarta, harus “pernah” …

“Aku emang sudah terlanjur brengsek, Kino ..,” sergah Andang sambil menyalakan rokoknya yang kelima, “Jangan terlalu serius, dong …”

“Aku suka berbincang sama kamu,” ucap Kino tak menjawab langsung peringatan gadis di depannya, “Tetapi ngga harus setuju, kan?”
“Justru kadang-kadang aku takut kamu keseret ..,” ucap Andang serius.

Kino tertawa, “Lho .. kamu sudah nyeret aku ke sini!”
Andang ikut tertawa, “Iya juga ya …”

“Tidak apa-apa. Aku ngga gampang terpengaruh, kok!” ucap Kino sambil meneguk minuman dingin yang barusan dipesan dari si minim Yuni. Andang tersenyum, memandang pemuda di depannya dengan pandangan lembut, “Itu yang aku suka dari kamu.”

Kino membalas pandangan gadis di depannya, “Kenapa suka?”
“Karena aku pernah jatuh cinta sama orang seperti kamu,” kata Andang berubah serius.
“Dia persis seperti kamu. Tegar dan tidak gampang menyerah,” sambung gadis itu melihat Kino diam saja, “Aku pertama-tama ingin sekali menghancurkan dia. Membuatnya rusak.”

Kino mengernyitkan keningnya.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Ya .. memang aku jahat sekali waktu pertama kenal sama dia,” ujar Andang tanpa menunggu reaksi Kino, “Aku sedang kecewa kepada semua yang ada di dunia ini. Kamu, kan, tahu cerita keluargaku …” Tentu saja Kino tahu. (baca Sang Troubador – pen.)

“Dia tiba-tiba muncul, entah dari mana. Aku kenal lewat seorang teman yang profesinya gadis panggilan. Temanku itu bilang, cowok ini anak baik-baik dan suka kepadaku. Aku kaget juga. Kok ada yang suka kepada cewek seperti ini … rusak dan ngga perawan lagi …”

Kino menyimak setiap ucapan Andang. Musik lembut berubah menjadi latarbelakang yang menguatkan nuansa cerita gadis itu.

“Aku tanya sama temanku, kenapa bukan dia saja yang jadi pacarnya. Tetapi temanku bilang dia cuma mau denganku. Ya .. iseng-iseng aku terima undangannya makan malam. Cerita punya cerita, kami pun pacaran. Tapi pacarannya sopan sekali … cuman pegang-pegang tangan ..”

Kino tertawa kecil.

“Aku berusaha menariknya ke duniaku. Aku ajak dia ngumpul dengan Obenk dan teman-teman. Aku ajak dia ke sini, nonton striptease. Dia pertama-tama ngga mau. Tetapi akhirnya mau saja menemani aku ke mana-mana. Cuma anehnya, dia ngga berubah. Tetap saja alim dan ngga mau lebih dari mencium pipiku. Aku sempat frustrasi, dan akhirnya marah, lalu aku putusin dia.”

Sebuah piring terdengar jauh pecah berderai, seakan-akan memberi sound effect kepada ucapan Andang. Sejenak para pelayan sibuk menuju meja tempat terjadinya kecelakaan, tetapi lalu suasana berubah lagi seperti semula dengan cepatnya.

“Tahu ngga apa yang terjadi dengan dia setelah aku putusin?” Kino menggeleng.
“Dia menjadi aktif di gereja, dan sekarang jadi pastur!”

“Hah?” akhirnya Kino bersuara. Andang tertawa kecil, “Asyik, kan, ceritanya?” Kino berdecak, “Itu kisah sungguhan atau cuma karangan kamu?” Andang tertawa lebih keras,
“Kino … apa sih bedanya antara kisah dan kenyataan?”

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Mereka meninggalkan Moonlite Night alias Orifice ketika jam menunjukkan pukul 5 sore. Pengunjung klab semakin banyak, dan beberapa di antara mereka tampaknya baru pulang dari kerja. Lengkap dengan tas kulit buatan luar negeri, setelan jas Hugo Boss atau yang lebih mahal dari itu, dasi sutra, dan minyak wangi yang tetap semerbak walau sudah disemprotkan sejak tadi pagi.

Cerita tentang diri Andang sebenarnya panjang. Tetapi gadis itu menolak melanjutkan kisah pribadinya. Kino tidak mendesak, dan melirik ke arlojinya karena tiba-tiba teringat akan janji kepada Mbak Rien untuk merancang panggung.

Andang mengerti isyarat yang diberikan Kino. Gadis itu memanggil Yuni Yuanita, membayar semua bon walaupun Kino mendesak untuk ikut membayar, dan memberikan tip yang lumayan besar. Si minim Yuni tersenyum lebar melihat dua lebar uang yang diselipkan ke ikat pinggangnya oleh Andang.

Lalu Andang mengantar Kino sampai di gerbang Sanggar Pelangi.

“Mau mampir dulu, nDang?” tanya Kino sebelum turun dari mobil.
Andang tersenyum manis, “Ini bukan rumah kamu, bego … jangan sok menawarkan mampir!”

Kino tertawa, “Aku juga cuma basa-basi ..”
“Tetapi mungkin lain kali aku mau dikenalin ke Mbak Rien,” sambung Andang sambil mendorong Kino keluar dari mobil.

Dengan suara ban agak berderit, mobil Peugeot Andang meninggalkan Kino. Pemuda itu berdiri sejenak di gerbang memandang mobil hilang di tikungan, sebelum akhirnya melangkah masuk dan mengucap salam ke seorang Satpam yang sudah mengenalnya.

*** Cerita Cinta Dewasa ***