Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #57

Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #57

Menguntai Masa Lalu – 7

Cerita Cinta Dewasa – Keesokan harinya, setelah sarapan lumayan besar (semangkuk bubur kacang ijo, secangkir teh manis, dan sepotong pisang rebus), Kino tak punya pilihan lain selain ikut Rien dan Tiyar menuju gedung kesenian untuk final rehearsal.

Di meja makan Tiyar masih tampak mengantuk walaupun pria itu sudah menenggak satu gelas besar kopi. Mbak Rien, sebaliknya, tampak sangat cerah dan penuh binar semangat.

Cerewet-nya juga sudah dimulai sejak pagi, memberondong Kino dengan pertanyaan tentang apakah tidurnya nyaman, apakah istirahatnya cukup, apakah Inem sudah menyiapkan kamar mandi, apakah sarapannya cukup … dan seterusnya, dan sebagainya.

“Kamu tidak perlu memberitahu ibu semang di B, supaya dia ngga kuatir?” sergah Rien sambil meneguk pure tomato juice-nya (cuma itu sarapannya). Kino mengangguk saja, karena mulutnya masih sibuk mengunyah pisang rebus.

“Sana .. pakai telpon di ruang tengah,” sambung Rien, setengah memerintah. Kino mengangguk lagi.

“Kamu ngga ada acara lain, kan?” cecar Rien; Kino mengomel dalam hati: sudah aku bilang ‘tidak’ tadi malam, kenapa masih tanya lagi? Kino menggeleng, meraih cangkir teh dan buru-buru mendorong pisang masuk ke perut.

“Hari ini mbak Rien akan sibuk sekali, tetapi mbak ingin kamu ikut ke gedung kesenian,” kata Rien sambung-menyambung, Kino berucap dalam hati: ya … ya … ya …

“Tadi malam terpikir sama mbak Rien, kalau kamu suka seni rancang-merancang, mungkin kamu bisa kasih komentar tentang setting panggung,” ujar Rien lancar seperti mobil di jalan bebas-hambatan. Ya … ya … ya, kata Kino dalam hati.

“Kata Tiyar, kamu juga suka musik,” sambung Rien, “Siapa tahu kamu bisa kasih saran …”

Kino tersenyum saja. Tiyar menguap, lalu menyela, “Kamu cerewet banget sih, pagi-pagi ..” Kino tertawa kecil mendengar komentar pria yang rambutnya masih acak-acakan itu.. Rien mencibir dan mencubit paha kekasihnya. Tiyar mengaduh, kopi nyaris tumpah. Inem yang sedang meletakkan tambahan pasokan pisang rebus menjerit latah,

“Eh .. tombol .. eh, to-ol,.. eh .. botol …” Kino terbahak mendengar Inem berjuang untuk tidak mengucapkan kata jorok. Tiyar menggeleng-geleng sambil berdecak. Rien menghardik,
“Husy! .. Bi Inem jangan ngomong jorok!”

“Eh … tidak, tuan putri .. Eh … bi Inem cuman kaget … Eh .. botol, .. eh to-ol … eh …,” sahut Inem tergagap-gagap.

Kino hampir tersedak karena tertawa. Tiyar acuh-tak-acuh melanjutkan minum kopi. Rien ikut tertawa, lalu menepuk bokong Inem penuh canda. Seketika latah perempuan setengah baya itu hilang.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Mereka tiba di gedung kesenian setengah jam kemudian. Rien dan Tiyar langsung menuju belakang panggung, sementara Kino ke depan panggung. Setelah sejenak mengedarkan pandangan ke interior gedung (Kino mengagumi tembok dengan lapisan khusus untuk sound-proof), pemuda itu duduk di baris keempat dari bibir panggung.

Layar berwarna merah tua yang tampak tebal dan berat, lengkap dengan rimpel-rimpel selayaknya layar panggung di mana-mana, masih tertutup. Menengok ke belakang, Kino melihat lubang-lubang tempat proyektor (rupanya, ini juga berfungsi sebagai bioskop, pikir pemuda itu).

Juga ada beberapa lubang lain, dan Kino sadar bahwa itu adalah untuk lampu-lampu sorot. Ada balkon di belakang dan di kiri-kanan, pasti karena mengikuti gaya gedung-gedung opera di Eropa, pikir Kino sambil mengagumi langit-langit yang tinggi sehingga ruangan tidak terlalu panas.

Terdengar suara orang bercakap-cakap dan masuk dari pintu samping. Kino menengok dan melihat serombongan pria dan wanita masuk sambil berbincang-bincang. Mereka juga menengok sejenak ke arah Kino tetapi lalu sibuk lagi berbincang-bincang sambil menuju kursi di baris paling depan.

Seorang dari pria-pria itu membawa seperangkat alat foto yang tergantung berat di bahunya. Seorang wanita bercelana jeans dan berkaos tanpa lengan juga membawa tustel, tetapi tidak selengkap yang pria. Anggota rombongan yang lainnya tidak membawa apa-apa.

Tiba-tiba kepala Rien muncul dari sisi kiri layar di atas panggung. Rombongan itu langsung berhenti berbincang-bincang. Sebagian melambaikan tangan ke arah Rien. Pria yang membawa tustel berteriak, “Hallo mbak … Sibuk, nih?!”

Rien cuma tersenyum manis dan balas melambai. Lalu ke arah Kino, perempuan cantik itu berseru, “Sini .. sebentar.” Kino bangkit dari duduknya, melangkah ke panggung, dan melihat dari sudut mata ke arah rombongan yang kini memperhatikan setiap langkah pemuda itu.

Walau tidak mendengar apa-apa, Kino tahu beberapa di antara rombongan itu pasti bertanya-tanya, siapa gerangan anak muda ini. Kino naik lewat tangga di sisi panggung, agak gamang berdiri di atas lantai kayu yang agak berdebu.

Rien tersenyum manis, “Kamu oke-oke saja?” Kino mengangguk, dan Rien berkata lagi, cukup pelan untuk hanya didengar oleh Kino, “Sebentar lagi kita akan mulai … Kalau haus kamu bisa ambil minum di belakang panggung .. Mbak sudah bilang ke pengurus gedung bahwa kamu adalah anak-buah mbak Rien …”

Kino tersenyum mendengar penjelasan si boss. Lalu Rien berbisik sambil melirik ke bawah panggung, “Itu rombongan wartawan … Kalau mereka tanya-tanya, kamu bilang saja ngga tahu apa-apa… Okay?”

“Memangnya ada apa?” tanya Kino polos. Rien tersenyum sabar, “Udah deh .. jangan banyak tanya dulu. Pokoknya nurut sama mbak. Okay?”

“OK boss,” jawab Kino walaupun hati-kecilnya justru semakin penasaran.
“That’s my boy,” kata Rien sambil tahu-tahu sudah mengacak-acak rambut Kino seperti biasanya. Untung rambut pemuda itu sudah dikeramas sehingga tidak mudah teracak-acak.

Lalu Mbak Rien mengatakan akan segera menyuruh anak buahnya untuk memulai pertunjukan, dan dia mungkin akan berada di ruangan belakang (tempat proyektor) untuk ikut mengatur lampu. Secepat munculnya, perempuan cantik yang bossy itu kembali menghilang di balik layar. Kino kembali ke tempat duduknya.

Rombongan yang tadi mengacuhkannya kini kembali memperhatikan langkah-langkah pemuda itu. Tidak enak juga rasanya, karena kini Kino tahu bahwa mereka adalah wartawan. Tetapi kenapa harus merasa tidak enak? tanya Kino dalam hati, tanpa bisa menjawabnya sendiri.

Sejenak setelah duduk, lampu interior meredup, lalu mati sama sekali. Bagus, pikir Kino, karena perubahan dari terang ke gelap berlangsung perlahan, sehingga mata penonton tidak sepenuhnya “buta” ketika interior gelap total. Panggung dan layarnya kini menjadi bagian yang paling jelas terlihat, walaupun tidak ada sinar sama sekali, kecuali dari tulisan “keluar” di atas setiap pintu.

Musik latarbelakang mulai terdengar. Tadinya Kino menyangka itu suara angin dari luar, atau suara lalulintas yang menyelinap masuk. Tetapi kemudian ia sadar bahwa pertunjukan akan dimulai. Bagus, pikir Kino lagi, musik memang perlu untuk membangkitkan suasana dan “memisahkan” penonton dari dunia sesungguhnya di luar.

Suara-suara dentang piano kini mulai jelas, ditingkahi gendang yang membawa suasana tradisional, dan denting gamelan yang memperkuat warna Indonesia. Hmmm … tukas Kino dalam hati …. sebetulnya ini bukan warna Indonesia, melainkan terlalu Jawa-sentris.

Tetapi, baru saja Kino ingin mencatat tentang ‘kelemahan’ ini untuk komentar nanti, terdengar suara seruling yang membawa nada-nada Sumatra. Ahh …. katanya dalam hati, … Tiyar rupanya tidak mau terlalu memihak ke satu suku.

Layar terbuka perlahan. Lampu hijau mulai disorotkan, mendominasi panggung, dan memberi penegasan kepada lukisan latarbelakang yang menampakkan suasana pedesaan. Hmmm … ucap Kino dalam hati … mbak Rien rupanya tidak bisa melepaskan diri dari latarbelakang dirinya: seorang putri desa.

Diam-diam Kino mulai memperhatikan secara lebih rinci, mencari-cari di lukisan besar itu, apakah ada bagian-bagian yang di-“impor” langsung dari desa kecil tempat mereka dulu mengawali segalanya? Tetapi kemudian pemuda itu tersenyum sendiri dan mengumpat dalam hati: GR sekali kamu, menyangka bahwa apa yang terjadi denganmu adalah hal yang signifikan dalam tarian Rien Sang Maestro … !

Kino membuang pikirannya yang melantur ke masa lalu, berusaha berkonsentrasi ke apa yang kini ada di panggung. Penari-penari wanita muncul lebih dahulu. Wah .. kini mereka tampil semakin cantik-semarak dengan kostum lengkap. Beda sekali dengan ketika latihan tadi malam. Kino tak bisa lagi mengenali siapa-siapa. Bukan saja karena ia baru sekali melihat mereka, tetapi juga karena make-up mereka cukup tebal.

Selagi para penari itu berdiri diam di tengah panggung, menunggu clue dari musik untuk memulai act one itulah, Kino merasakan ada suatu kejanggalan. Insting arsitekturalnya muncul begitu saja.

Aspirasi seni di dadanya tiba-tiba muncul, dan ia merasakan .. bukan melihat … ada sesuatu yang tidak cocok. Matanya berusaha mencari-cari sumber dari perasaan itu. Bulak-balik ia melihat ke penari, ke sekeliling panggung, ke latar belakang, ke atas, ke bawah ….

Penari mulai bergerak, musik semakin menegas, adegan mulai mengalir lancar. Kino masih belum menemukan di mana sumber kejanggalan yang ia rasakan. Wah .. pikirnya dalam hati … mungkin karena aku terlalu memaksa diri untuk kritis, padahal aku tidak punya bekal untuk menjadi kritikus.

Mungkin karena mbak Rien tadi di meja makan menukas soal pendapatnya tentang panggung, padahal mungkin perempuan itu cuma basa-basi. Tapi .. ah, tidak … aku betul-betul merasakan ada yang tidak cocok. Tetapi di mana? Bagian mana?

Sampai adegan pertama usai, dan adegan kedua (ketika penari pria muncul dengan gerakan-gerakan mekanik mereka) mulai diperagakan, Kino masih berjuang dengan debat di kepalanya.

Tetapi sampai adegan kedua itu pun usai, dan layar diturunkan untuk persiapan adegan berikutnya, Kino masih belum bisa memastikan apa yang menjadi sumber kerisauannya. Sia-sia saja ia mencari-cari di gerakan penari, di tata panggung, di gambar latarbelakang …. semua tampaknya bagus-bagus saja.

Dua orang dari rombongan wartawan tampak memisahkan diri, dan tahu-tahu sudah duduk di sebelah Kino.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Boleh duduk di sini, mas?” sapa seorang di antaranya, si wanita ber-jeans dan membawa tustel itu. Kino mengangguk ramah. Tentu saja mereka boleh duduk di mana mereka suka.

“Dari media massa mana, mas?” tanya teman si wanita, seorang pria yang memakai kemeja lengan panjang formal, tetapi tidak memasukkan kemejanya ke balik ikat pinggang.
“Saya bukan dari media massa,” jawab Kino.

“Ooooh …,” kata si wanita, “Dari Sanggar Pelangi?” Kino menggeleng, dan berpikir cepat untuk mencari jawaban selanjutnya.
“Ooooh ..,” guman si pria. Lalu hening.

“Kenal mbak Rien di mana?” tukas si wanita. Wah .. dasar wartawan, pikir Kino.
“Kami satu kampung halaman,” jawab Kino cepat. Tidak tahu musti menjawab apa, selain itu.
“Ooooh ..,” guman si pria. Dia pintar bergumam, pikir Kino.

Adegan berikutnya segera dimulai. Kino berterimakasih karena para “pengganggunya” tahu diri dan berhenti bertanya, mengalihkan perhatian mereka ke atas panggung.

Pada adegan kelima, ketika penari-penari sedang memperagakan kegiatan menuai padi, barulah Kino menemukan kejanggalan itu. Ah .. tentu saja! Lukisan yang menjadi latarbelakang itu terlalu natural … terlalu mirip potret sawah … terlalu sempurna.

Padahal, gerakan tari, musik dan suasana keseluruhan yang dibangkitkan adegan-adegan di panggung itu adalah sesuatu yang kontemporer, terkadang abstrak, terkadang norak dan erotis. Lukisan latarbelakang yang tidak berganti-ganti sejak adegan pertama itu terlalu “resmi” untuk sebuah tarian yang kontemporer.

Mungkin latar seperti itu lebih cocok untuk panggung wayang orang .. atau panggung sandiwara 17-Agustus-an di kampung-kampung. Bukan untuk tarian modern !

Kino merasakan kepuasan memenuhi dadanya … akhirnya ia bisa memberikan kritik ke Mbak Rien. Tetapi, terlebih dari itu, Kino juga seperti menemukan-kembali dirinya yang sesungguhnya. Kenapa dia dulu memilih arsitektur? Bukankah karena ada gairah seni rupa di dalam dirinya?

Dia tidak suka tari-tarian … (kecuali kalau yang menari Mbak Rien, tentu saja!) … ia tidak terlalu suka musik, karena ia cuma sekedar mempunyai hobi main gitar. Ia suka interior dan pemandangan alam. Ia suka manipulasi atas bentuk-bentuk fisik. Nah, itulah kesukaannya sesungguhnya seadanya !

Dalam hati pemuda itu menegaskan diri untuk segera menyampaikan kritiknya kepada Mbak Rien pada kesempatan jumpa pertama setelah rehearsal nanti. Adegan-adegan selanjutnya di panggung tiba-tiba menjadi kurang penting, dan kurang menarik.

Merasakan kerongkongannya kering, Kino lalu bangkit, permisi dengan sopan kepada dua orang di sebelahnya, dan berjalan dalam gelap menuju pintu keluar.

Ia lalu berbelok ke arah belakang panggung, bertanya ke seorang satpam yang tampaknya sudah tahu siapa Kino, dan diantar ke sebuah ruangan yang ternyata adalah sebuah kamar besar dengan sebuah lemari es di salah satu pojoknya. Di kulkas yang berdengung lembut itulah Kino menemukan minuman kesukaannya.

Duduk sendirian di sebuah bangku plastik, pemuda itu melepas dahaga dalam diam. Suara musik dari panggung terdengar jelas sekali dari sini. Bahkan terlalu keras, karena memang ruangan belakang ini tidak dirancang dengan akustik yang memadai seperti ruang penonton. Kino mengidarkan pandangan.

Poster-poster tertempel di sekeliling dinding, menjadi semacam stempel bagi pertunjukan-pertunjukan kelas wahid yang pernah tampil di gedung kesenian ini. Beberapa poster menampilkan wajah Mbak Rien.

Bagian yang paling menarik dari wajah itu, yakni kedua matanya yang bersinar tajam tanpa harus menusuk kalbu, tampil sempurna dalam salah satu poster. Kino bangkit dari duduknya, mendekat ke arah poster itu dan memperhatikan secara lebih seksama.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Cantik, ya?!” sebuah suara membuat Kino terkejut, nyaris saja menumpahkan minuman di botol yang digenggamnya.
“Sorry … aku bikin kamu kaget,” sambung si pemilik suara, yang ternyata adalah salah satu penari wanita.

“Tidak apa-apa,” sahut Kino cepat, tersenyum kikuk ke perempuan yang masih berkostum lengkap dengan peluh bersimbah nyata di leher dan sebagian bahunya.
“Minum dulu, sebelum adegan selanjutnya,” ucap si penari memberi penjelasan tanpa diminta sambil menuju kulkas. Aku tidak bertanya, begitu kata hati Kino, tetapi tentu saja bibirnya terkunci. Cuma bergumam saja.

“Kamu saudara-nya Mbak Rien, ya?” tanya penari itu tanpa menengok dari kesibukannya memilih minuman.

“Bukan. Saya tetangganya,” kata Kino, lalu menyebutkan nama kota tempat mereka berasal. Si penari telah menemukan minuman kegemarannya, memutar tubuh seperti layaknya penari balet di panggung, dan beseru riang,

“Oooh … dari kota itu ! Waduh,… aku suka tuh .. sama kota itu. Masih gimanaaa … gitu. Masih asri dan sejuk.” Komentar standar orang kota tentang desa, ucap Kino sinis dalam hati. Tetapi bibirnya tersenyum. Si penari berjalan mendekat. Kini keduanya berdiri dekat poster Mbak Rien yang tadi sedang diperhatikan oleh Kino.

“Kenapa tumben kamu ke sini. Aku belum pernah lihat kamu sebelumnya,” kata si penari dengan keceriwisan yang menyaingi boss-nya.
“Sibuk kuliah,” jawab Kino pendek.

“Wow .. anak kampus, nih!” sergah si ceriwis sambil membelalakkan kedua matanya yang penuh warna eye shadow panggung.
“Anak kampus, dan anak kampung,” sambung Kino tanpa bermaksud apa-apa, tetapi si ceriwis tergelak-gelak mendengar ucapannya.

“Terlalu merendah,” sergah si ceriwis setelah selesai tertawa.
“Apa peran kamu?” tanya Kino, merasa perlu gantian bertanya. Bosan menjadi serangan pertanyaan sejak pagi.

“Primadona,” sahut si ceriwis sambil tersenyum lebar, tetapi buru-buru ia menyambung, “Eh … ngga ding … Aku cuma penari biasa.”
“Merendah juga, nih?” sergah Kino balas menyerang.

Si ceriwis tertawa dengan tawanya yang lepas itu, “Ngga … aku memang cuma penari biasa, dibandingkan my amazing boss,” katanya sambil mengerling ke arah poster Mbak Rien.

“Tetapi kamu penari utama di karya Mbak Rien kali ini, kan?” tebak Kino, “Kalau tidak, mana mungkin kamu bisa ada di sini, enak-enak minum sementara yang lain sedang menari.” Si ceriwis tertawa lagi, “Iya, deh … terserah kamu saja!” katanya, lalu ia meletakkan botol seenaknya di lantai, berjalan kembali ke pintu yang memisahkan panggung dengan ruang istirahat, dan melambai sambil berseru, “Udah yaa … aku mau mejeng lagi di panggung!”

Kino tersenyum melihat tingkahnya. Centil tapi percaya diri! sergah pemuda itu dalam hati. Lalu ia kembali memperhatikan poster Mba Rien, dan mengakui bahwa wajah di poster itu benar-benar photogenic.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Rehearsal tahap pertama usai ketika matahari sudah menjadi raja langit yang sesungguhnya. Panas Jakarta betul-betul membara ketika Kino setengah diseret oleh Mbak Rien yang mengajaknya makan siang.

Perjalanan menuju mobil terasa sangat jauh di bawah panggangan sang surya yang tampak murka. Tiyar tidak ikut, karena pemuda itu mau makan bersama-sama crew-nya di warung Padang dekat gedung kesenian.

Tetapi ada dua orang lain ikut makan dan nebeng mobil Mbak Rien, yaitu si ceriwis yang tadi bercanda dengan Kino di ruang istirahat, dan seorang penari pria yang gayanya sama saja. Bahkan si pria terkadang lebih kemayu dibandingkan rekan wanitanya.

Kino agak rikuh juga ketika si lemah-lembut yang bernama gagah Andy itu memandang dengan sorot mata aneh. Di mobil, Kino memilih duduk di sebelah supir, walau diprotes Mbak Rien. Alasan Kino, ia ingin melihat-lihat pemandangan dengan lebih jelas.

“Eh … sejak kapan kamu suka memandang Jakarta!” sergah Mbak Rien, tetapi ia juga berhenti memaksa.

Mobil meluncur cepat keluar halaman, tetapi berubah menjadi keong ketika sudah masuk jalanan yang penuh sesak oleh segala bentuk kendaraan. Beringsut pelan, mobil mewah yang interiornya sesejuk udara pegunungan itu berusaha keluar dari jebakan kemacetan.

Di belakang, Mbak Rien mendapat timpalan keceriwisan dari dua orang sekaligus. Kino sering tersenyum mendengar mereka berbicara seperti mitraliur dalam perang dunia: .. tret .. tet … tet …tet ..tet …tet … beruntun dan bersambung-sambung.

Apakah tidak mengganggu konsentrasi? pikir Kino sambil melirik ke sopir yang tampaknya acuh-tak-acuh; pasti sudah “kebal” mendengar celoteh majikannya.

“Gimana komentarmu, Kino!” tiba-tiba Mbak Rien berseru.
“Tentang apa?” tanya Kino, bersiap-siap memberikan komentar tentang latarbelakang panggung.

“Tentang Wanda dan Andi ini,” sahut Mbak Rien, membuat Kino agak kecewa. Ternyata bukan tentang latarbelakang panggung …

“Bagus,” jawab Kino pendek. Ia tidak punya komentar lain selain itu!
“Bagus apanya?” seru Mbak Rien, “Si Andi ini kayak orang kurang gizi menarinya. Si Wanda kelewatan centil, kayak cacing kepanasan.” Andi (yang sebetulnya gagah perkasa) tertawa mirip tawa perempuan, Wanda (si ceriwis itu) menggerutu manja. Kino tersenyum saja.

“Kamu memang ngga ngerti tari-tarian, kan?” desak Mbak Rien penuh godaan,
“Cuma senang nonton Mbak Rien nari … ” Kino merasakan mukanya bertambah panas, selain memang sinar mentari cukup kuat menerobos kaca-film di jendela mobil.

“Betul begitu, Kino?” si ceriwis Wanda ikut menggoda.
“Betul,” jawab Kino seadanya.
“Polos banget kamu,” sela Andi dengan suara dibuat-buat. Wah … Kino jadi tambah jengah.

Mbak Rien tertawa melihat Kino duduk gelisah di depan, lalu sambil memijat-sayang tengkuk pemuda itu, sang maestro berucap lembut, “Memang Kino dari dulu sayang, kok, sama mbak Rien-nya …”

“Seberapa sayang?” desak Wanda, betul-betul menunjukkan ke-ceriwisan-nya.
“Husy! ” sergah Andi, suaranya persis Wanda, “Jangan memancing gosip yaaa … ”
“Gosip apa?” tukas Mbak Rien, “Kino itu adik saya yang paling saya sayangi. Ngerti ?!”

Wanda cekikikan. Andi menahan tawa. Sopir tenang-tenang saja. Jalanan masih macet alang-kepalang. Matahari seperti sedang mengamuk karena merasa orang-orang Jakarta tidak mempedulikan panasnya.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Restoran yang mereka kunjungi terletak di sebuah hotel bintang lima. Dengan santai Rien memeluk lengan Kino yang berjalan di sebelah kanannya. Di sebelah kiri Rien, si ceriwis Wanda menggamit lengan boss-nya menunjukkan kepada dunia bahwa dia adalah penari kesayangan Sanggar Pelangi.

Sementara si bencong Andi berlenggak-lenggok seperti merak di depan mereka. Harum semerbak datang dari parfum ketiganya, membuat Kino merasa sedang berjalan-jalan di taman bunga.

Sebuah meja tampaknya memang sudah disiapkan untuk rombongan Rien, dan pelayan restoran berdasi kupu-kupu itu tampak sangat ramah selayaknya orang yang memang sudah lama mengenal sang maestro. Sebelum tiba di meja mereka, sepasang bintang yang Kino kenal lewat film di layar bioskop tampak melambai.

Rien membalas lambaian itu. Belum lagi usai basa-basi antar bintang itu, dari salah satu pojok seorang pria melambai, dan Kino segera mengenalinya lagi sebagai salah seorang penyanyi rock terkenal.

Para pengunjung restoran yang lain ikut menengok dan memperhatikan Rien. Beberapa orang segera berbisik-bisik membicarakan entah apa saja yang berkaitan dengan bintang, baik bintang panggung maupun bintang layar putih.

Kini Kino tidak saja merasa sedang berjalan di taman bunga, tetapi juga sedang terbang di langit penuh bintang …

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Makan siang itu sebenarnya tidaklah terlalu enak buat Kino, terlalu banyak daging dan kurang banyak rempah-rempah ( terutama kurang cabai dan terasi! ); tetapi Kino menikmati es-krim penutupnya yang sedap dan penuh coklat itu. Ia juga menikmati segelas ukuran-sedang bir dingin, yang ternyata memang cocok untuk suasana terik Jakarta !

Suasana makan siang itu sendiri juga terasa aneh bagi Kino. Sepanjang makan, Wanda dan Andy tak berhenti-hentinya bercanda, seakan hidup mereka cuma untuk bercanda. Sepanjang canda itu pula seringkali Kino mendengar istilah dan ungkapan yang tak ia kenal.

Terlebih lagi, banyak bagian-bagian dari canda itu yang sebetulnya tidak lucu, atau porno. Tetapi kenapa keduanya tertawa-tawa? Apakah memang demikian cara orang-orang panggung bercanda? Kino bertanya-tanya terus sambil mencoba menikmati steak yang empuk tapi agak hambar itu.

Lagi-lagi Mbak Rien mengerti apa yang berkecamuk di diri pemuda itu. Ia mencondongkan tubuhnya yang semerbak ke arah Kino, dan berbisik, “Kamu ngga betah, ya?” Kino tersenyum, melirik ke arah Wanda dan Andy takut menyinggung perasaan mereka. Tetapi keduanya seperti tak peduli pada dunia sekeliling.

Maka ia menggeleng jujur, “Makanannya kurang cocok dengan selera saya; dan banyak pembicaraan mereka yang tidak saya mengerti.”

Rien tersenyum lembut, “Salah mbak Rien juga, sih … mengajak mereka ikut.” Kino merasa tidak enak, “Eh .. bukan begitu, mbak. Memang saya belum terbiasa saja.”

“Don’t worry … Kamu ngga salah. Seharusnya kita makan berdua saja,” kata Rien lembut,
“Kita ngga lama-lama di sini. Habis makan es-krim bisa langsung kembali ke gedung kesenian.”
“Boleh tidak ikut?” tanya Kino terus-terang.

Rien mengernyitkan dahinya, “Kenapa? Kamu pasti bosan menonton tarianku, ya?” Kino tertawa kecil,
“Sudah saya bilang, saya ngga ngerti …” Rien ikut tertawa, lalu mengacak-acak rambut Kino sambil menghardik, “Dasar anak kampus!”

“Tapi saya suka penataan cahaya dan musiknya,” ucap Kino cepat, melihat kesempatan untuk mengajak Mbak Rien berdiskusi tentang pikirannya. Rien berhenti menyuap, memberikan perhatian penuh ke pemuda itu, “Betul? Apa-nya yang menarik?”

“Pencahayaannya canggih, dan bisa membantu menimbulkan suasana. Musiknya juga tepat untuk tarian modern.” jawab Kino.
“Bagaimana dengan dekorasi panggung?” tanya Rien, dan Kino merasa pancingannya mengena !
“Hmmm … boleh juga,” kata Kino, “Tetapi rasanya latar belakang panggung kurang cocok.”

Kini Rien sepenuhnya memperhatikan Kino, meletakkan sendok garpu, dan menopangkan dagu di tangannya, memandang dengan kedua matanya yang indah itu. Kino jadi merasa kikuk, ”Eh … jangan tersinggung lho, mbak.”
“Siapa yang tersinggung?” sahut Rien cepat, “Ayo, bilang sama mbak, apa-nya yang kurang cocok.”

Lalu Kino menjelaskan bahwa latarbelakang lukisan itu secara teknis melukis sangatlah bagus. Bahkan sangat menyerupai potret dalam ukuran besar, mengingatkan orang pada kepiawaian pelukis besar Basuki Abdullah.

Tetapi, menurut Kino, lukisan itu terlalu formal untuk tarian yang eksentrik dan modern. Seharusnya, lukisan latarbelakang juga berkesan modern atau abstrak, atau surrealis.

“Kamu punya ide?” tanya Rien, kini sudah lupa sama sekali kepada makanannya. Kino mengangkat muka dari piring yang dihadapinya, memandang Rien ragu-ragu.

“Ayo … katanya kamu anak arsitektur,” sergah Rien sambil tersenyum manis, “Punya ide mengganti dekorasi panggungku?”
“Hmmm … punya, sih … tetapi ….,”
“Ngga ada tapi-tapi-an,” sela Rien, “Mbak tunggu sore ini di sanggar. Kamu gambar ide kamu di kertas.”

“Tapi .. bagaimana dengan …..,” Kino tergagap. Rien tersenyum dan kini tampil lagi sebagai boss yang memberi perintah pendek, “Kamu boleh jalan-jalan sama Mang Soleh keliling Jakarta. Ngga usah ikut ke gedung kesenian. Nanti sore kita ngobrol di sanggar. Okay?”

Kino melongo. Wanda dan Andi melihat ke arahnya. Si ceriwis langsung berkomentar, “Banyak orang mati bengong di meja makan, lho, Kino … ” ,Kino tersadar, dan ikut tertawa sebisanya.

Andi menambah dengan komentar tendensius, “Daripada bengong, mendingan ikut kita nonton nanti malam ..” Rien langsung memotong, “Kino dan Mang Soleh akan jalan-jalan. Kita kembali ke gedung kesenian naik taksi.” Wanda dan Andi saling pandang. Tetapi siapa yang berani membantah keputusan boss?

*** Cerita Cinta Dewasa ***