Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #56

Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #56

Menguntai Masa Lalu – 6

Cerita Cinta Dewasa – Sejenak hening, kecuali suara ban mobil mendesing cepat, mesin mobil berderum halus menembus malam di bawah langit yang tak berbintang . Kino memandang ke luar jendela, mengernyitkan kening entah untuk apa.

Lampu jalanan, lampu reklame, lampu mobil, berbaur menjadi satu, berkelebat-kelebat seperti sekumpulan kunang-kunang raksasa yang berkeliaran cepat dalam kelam malam.

Setelah beberapa saat, Rien memecah keheningan: “Mba Rien ingin mengajakmu ke sanggar … ada rehearsal di sana, untuk pertunjukkan minggu depan. Kamu bisa ikut, kan? … Kita bisa ngobrol sementara mbak supervisi mereka. Bisa, kan?”

Lagi-lagi Tiyar yang menyela dengan nada pembelaan, “Kamu gimana, sih .. Rien … Dia kan masih berpakaian batik resmi seperti itu … Mungkin tidak nyaman untuk dia. Lagipula nanti kamu sibuk, tidak sempat ngobrol …”

Rien tertawa renyai mendengar pembelaan Tiyar, tetapi perempuan cantik yang kini terdengar bossy itu tak mau menyerah. Ia berkata ringan, “OK .. sekarang kita antar dulu Kino ke hotelnya … ” Setelah menanyakan nama dan alamat hotel, Rien lalu memberi perintah pendek ke supir sedan untuk menuju hotel tempat Kino menginap.

“Kamu ganti baju dulu, deh .. yang agak santai sedikit. OK?” kata Mba Rien lembut, sambil sekali lagi mengacak-acak rambut Kino,”Mba kangen, lho .. sama kamu!”

Kino tersenyum saja, membiarkan rambutnya diacak-acak, merasakan kehangatan di balik perlakuan perempuan yang sampai sekarang masih dianggapnya sebagai kakak yang tak pernah ia punya. Kino senang diperlakukan sebagai adik oleh perempuan semerbak di sebelahnya itu.

Tidak cuma karena perempuan itu seorang bintang, melainkan lebih karena perempuan itu adalah pemandu pertamanya ketika memasuki alam kedewasaan. Jauh di lubuk hati, Kino sebenarnya merasakan kenyamanan yang aneh … Ia merasa bahwa dunia dewasa yang membingungkan di sekitarnya itu, kini terasa lebih teduh karena di sebelahnya ada seseorang yang tahu bagaimana memandu dirinya.

“Saya juga kangen .. ” akhirnya Kino berkata pelan. Tiyar terdengar tertawa sambil berucap ringan, “Ngga usah merasa terpaksa mengatakan kangen, Kino ..”

“Ehhh … biar saja!” sergah Rien sambil tertawa, “Dia memang kangen … kamu aja yang cemburu …” Terdengar Tiyar menggerutu, tetapi Kino merasakan gerutuan itu tak terlalu serius. Apakah Tiyar benar-benar cemburu?

“Sambil menuju hotel, kamu cerita dong bagaimana kuliah kamu …,” sergah Rien sambil menggeser duduk agak menghadap Kino.
“Aku sedang cuti kuliah, Mba ..,” kata Kino, menatap keluar jendela, melihat kelebatan mobil lain yang berpapasan. Rien mengerutkan kening, “Lho .. katanya sudah sembuh ..”

Kino menjelaskan bahwa cuti kuliahnya bukan karena ia masih sakit, melainkan karena ia sudah tertinggal dalam pelajaran. Secara singkat, pemuda itu menjelaskan proses kesembuhannya, bagaimana ia menghabiskan waktu istirahatnya di kampung halaman, dan bagaimana sekarang ia bekerja sambilan sebagai pengajar kursus matematika.

Mendengar Kino sempat pulang kampung, Rien langsung menyambar dengan pertanyaan-pertanyaan seputar keadaan kota kecil tempat dulu mereka merenda masa-masa penuh kenangan itu!

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kino sempat tersipu ketika Rien menanyakan hutan kenari yang dulu sering mereka kunjungi berdua. Rien pun sebenarnya sempat merasakan sedikit getar di lubuk hatinya ketika ia mengajukan pertanyaannya. Tetapi wanita itu kini jauh lebih matang daripada dulu, dan dengan capat bisa menguasai diri. Tidak begitu halnya dengan Kino.

Pemuda itu memerlukan lebih banyak waktu untuk bisa menjawab pertanyaan Rien dengan tenang. Tentu saja Rien mengetahui hal itu, dan dengan bijak perempuan cantik itu melunakkan suaranya, perlahan-lahan menuntun Kino menenangkan dirinya.

Kino pun tambah yakin .. Mba Rien masih seperti dulu … seorang perempuan dewasa yang tahu bagaimana berlaku lunak dan hangat kepada seorang “adik” yang masih hijau dalam belantara hidup.

“Pantai tempat kita berenang masih ramai?” tanya Rien bersemangat.
“Masih ..,” jawab Kino, “Tetapi kini terlalu ramai … terlalu banyak warung makanan dan minuman, sehingga banyak sampah.”

“Yah .. begitulah memang kebiasaan buruk kita .. kalau ada tempat populer, pasti kotor,” Tiyar ikut nimbrung dalam percakapan tanpa diundang. Pria itu tidak suka dijadikan kambing congek dalam mobil yang baginya kini terasa agak sempit itu.

Rien tersenyum, membalikkan tubuhnya sejenak untuk menghadap ke arah kekasihnya, merangkul leher pria itu dengan mesra dan memberikan kecupan ringan di pojok bibirnya sambil berucap ringan,

“Sorry honey … aku tidak bermaksud mentelantarkan kamu!” Kino merasa agak tidak enak, lalu berusaha membawa Tiyar kedalam percakapan, “Memang betul … pantai itu menjadi terlalu populer, dan pemerintah daerah cuma bisa memungut pajak, tetapi tidak mengurus kebersihannya.” Tiyar senang mendengar perkataan Kino, yang jelas-jelas menganggapi ucapannya. Pemuda itu tahu diri juga .. bisiknya dalam hati.

“Ah .. jangankan di daerah, di Jakarta saja juga sama. Pemerintah kurang serius mengurus kebersihan!” sergah Rien, senang karena tidak ada kekisruhan di antara dua pria yang mengapit duduknya.

Lalu pembicaraan jadi lancar, dan tidak lagi terkonsentrasi pada Kino atau kota kecil kelahirannya. Pembicaraan kini beralih ke masalah-masalah sosial yang berhubungan dengan kota kecil maupun kota besar. Kino ikut bersemangat, mengungkapkan kesan pertamanya tentang Jakarta yang jorok dan terlalu ramai.

Rien tertawa mendengar cara Kino mengkritik ibukota secara terus terang. Tiyar malah ikut mendukung kritik Kino dan berkata bahwa ia sudah berkali-kali mengusulkan agar Rien memindahkan sanggar dan kantornya dari ibukota ke kota lain di Selatan.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Tetapi Rien bilang, ibukota adalah sumber uang yang terbesar di Indonesia, dan sanggarnya memerlukan dana cukup besar agar bisa berkembang lebih pesat. Kino akhirnya mendengar untuk pertamakalinya, betapa ternyata Mba Rien adalah seorang wanita dengan ambisi besar.

Sejak mengenalnya di kota kecil dulu, Kino memang sudah menyangka bahwa Mba Rien adalah perempuan keras hati yang tak kenal menyerah. Tetapi baru kali ini ia mendengar langsung dari mulut perempuan itu, impiannya tentang sebuah studio mini untuk memproduksi film-film pendek … sebuah production house.

“Sebentar lagi, TV swasta akan berkembang di Indonesia,” kata Rien tanpa menyembunyikan gairah ambisius di suaranya, “Mbak ingin paling dulu siap, sebelum yang lain punya pikiran tentang production house. Saat ini, orang lain masih berpikir tentang film-film panjang untuk bioskop, atau film pendek untuk televisi. Mbak ingin membuat serial … sebuah cinetron .. untuk televisi swasta!”

“Banyak yang kurang sadar bahwa membuat serial memerlukan teknik dan keseriusan berbeda, dibandingkan membuat film panjang,” lanjut Rien tanpa menunggu reaksi para pendengarnya, “Mbak sudah belajar lewat buku-buku … Mbak juga sudah memikirkan bagaimana mengaitkan keahlian panggung dengan pengelolaan sinetron … Atau mengaitkan antara tarian tematis dengan cerita sinetron!”

Kino diam menyimak, merasakan semangat Mbak Rien mem-bludak seperti hendak memenuhi seluruh rongga di dalam mobil. Tiyar terdengar menggerutu pelan, “Kamu semangat banget, sih!”

Rien tertawa renyah, dan justru menambah semarak suasana penuh ambisi yang ia ciptakan lewat kata-katanya. “Biarin .. Aku memang lagi penuh semangat!” sergah Rien sambil meraih paha kekasihnya, mencubit gemas. “Kamu ngga senang, ya .. kalau aku semangat?!”

Tiyar menggerutu lagi, “Senang, sih .. senang… Tapi kalau tiap hari mendengar kata-kata yang sama, aku bosan juga!” Kino tertawa mendengar pertengkaran dua orang di sebelahnya.

“Lho .. aku cerita untuk Kino, kok … bukan untuk kamu,” sahut Rien, sambil berbalik penuh menghadap Tiyar dan merangkul leher pemuda itu. Tiyar membela diri, “Ah .. pasti Kino juga ngga ngerti apa yang kamu ucapkan .. Ya, kan, Kino?”

Kino tertawa lagi, “Ya … memang belum ngerti sepenuhnya!” Rien ikut tertawa, “Sialan kamu, Tiyar … Bersekutu dengan Kino untuk melawanku!”

Perempuan molek-cantik itu lalu merangkul kekasihnya lebih erat, tanpa tedeng aling-aling menggigit kecil kuping Tiyar, membuatnya mengaduh. Kino agak tersipu melihat pertunjukkan kemesraan yang berbaur dengan keakraban dan keterbukaan itu.

Tampaknya mereka biasa bertengkar tanpa harus bersitegang, pikir Kino sambil menonton bagaimana Tiyar balas menggigit leher Mba Rien, membuat perempuan itu ikut menjerit manja.

Tak terasa, mobil akhirnya memasuki halaman hotel tempat Kino menginap.

“Kami tunggu di sini, ya!” ujar Rien sambil mendorong Kino pelan keluar mobil. Ada sedikit ketergesaan di dorongan itu, dan Kino tahu bahwa ia memang diminta cepat-cepat.

Dengan langkah lebar setengah berlari, Kino menuju front office untuk mengambil kunci, dan melesat naik ke kamarnya dengan lift. Di kamar, ia cepat-cepat membuka batik dan celananya, berganti t-shirt putih bergambar The Police dan jeans lusuh kesayangannya. Sepatu kulit pun ia tukar menjadi sepatu basket biru tua. Setelah menyisir sekedarnya dengan jari tangan, ia melesat kembali ke bawah.

Tak sampai 10 menit kemudian, rombongan kecil itu telah meninggalkan halaman hotel, kembali menembus malam Jakarta yang seakan-akan justru bertambah ramai

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Sanggar Pelangi terletak di pinggiran ibukota, tetapi tak terlalu jauh dari pusat. Hanya perlu 20 menit untuk mencapai tempat yang luas dan berwujud padepokan itu. Sebuah rumah tua tampak asri dan terang berderang, agak menjorok ke dalam.

Kino segera bisa menebak bangunan itu berasitektur jaman kolonial, cukup terawat mengingat usianya yang mungkin sudah seabad. Beberapa bagian temboknya sudah mengalami renovasi, tetapi berandanya yang lebar tampak masih asli, lengkap dengan pilar-pilar khas bangunan Eropa jaman kolonial.

Sebuah pintu gerbang besi yang lebar tampak dibuka oleh seorang satpam ketika mobil yang mereka tumpangi mendekat. Lalu ban mobil menjejak jalan berkerikil, menimbulkan bunyi ramai.

Rien, Tiyar dan Kino turun di depan rumah tua yang sudah ramai oleh beberapa orang, laki dan perempuan. Semuanya tampak berpakaian ringkas; yang perempuan memakai celana senam ketat dan kaos warna-warni, yang laki memakai celana pendek sedikit di atas lutut dan singlet yang biasa dipakai pemain basket.

Kino agak kikuk melangkah sedikit di belakang Rien dan Tiyar yang berjalan cepat menuju beranda. Semua orang yang ada di beranda menengok, sebagian menyambut dengan ramai, sebagai hanya memandang. Sebagian lagi memandang seksama ke arah Kino, membuat pemuda itu tambah kikuk.

Sebelum masuk beranda, Rien rupanya bisa merasakan kekikukan Kino. Ia melambatkan jalannya. Dengan santai, wanita itu menggandeng tangan Kino dan setengah menyeretnya masuk.

Semakin banyak kini orang memandang ke arah pemuda yang baru mereka lihat. Sebagian berpikir, apakah ini pemain baru yang akan ikut pertunjukkan? .. kenapa baru sekarang ia muncul? .. atau mungkin ini adik Rien? .. tetapi betulkah ia punya adik?

Sambil berjalan masuk, Rien memberikan perintah-perintah singkat. Kino takjub melihat betapa ampuhnya perintah itu. Sekejap, suasana ramai berubah menjadi kesibukan yang terarah. Tiyar pun langsung ikut sibuk, dan tampaknya ia bertanggungjawab pada segala sesuatu yang berhubungan dengan sound system dan musik.

Di belakang rumah ada sebuah halaman luas dan sebuah panggung sederhana tanpa hiasan. Di kiri-kanan panggung ada beberapa speaker, bersebelahan dengan tiang-tiang lampu sangat terang. Panggung dan daerah dalam radius 3 meter berada dalam gemilang cahaya yang menghapus kelam malam. Beberapa serangga malam mulai berkumpul di sekitar lampu, sebagian bahkan sudah hangus terbakar.

Di depan panggung, yakni bagian yang menghadap belakang rumah, ada sederet kursi. Ke sanalah kini Rien dan Kino menuju. Setelah melepaskan kebaya dan menyerahkannya ke salah seorang anakbuah, perempuan cantik itu kini hanya memakai semacam vest satin yang tidak menyembunyikan bahunya yang indah.

Sambil lalu, ia melepaskan pula jepitan rambutnya, membiarkan rambutnya tergerai lepas semakin bebas. Ia lalu duduk di salah satu kursi, menepuk kursi sebelahnya untuk Kino, dan meraih sebuah megaphone kecil berwarna merah.

Tiyar sudah menuju pojok kanan panggung, ditemani dua pria kekar yang cuma memakai celana pendek dan kaos lusuh. Pemuda itu sudah melepaskan jasnya, dan kini asyik dengan seperangkat amplifier dan sound-mixer.

Rien menyetel volume megaphone, dan sebentar kemudian terdengar suaranya yang nyaring berwibawa, “OK anak-anak … ayo kita mulai … act one!”

Tiyar mengangkat jempol tanpa mengangkat muka. Musik mengalun samar, dimulai dengan suara synthesizer bagai mengguyur suasana yang sejenak sepi. Lalu ada suara dentang, seperti suara xylophone bergabung dengan genta dan gender gamelan. Sesekali ada suara gendang kulit, bertalu tegas memberi ritme di sana-sini.

Rien tampak serius, tidak melepaskan pandangannya dari panggung yang kini mulai diisi oleh tiga penari wanita, berjalan pelan dan menunduk menuju tengah. Tanpa mengalihkan muka, Rien berucap pelan kepada Kino, “Ini salah satu ciptaan favorit Mbak Rien … tentang wanita-wanita petani …”

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Kino ingin menyela, menanyakan kenapa mereka berjalan menunduk, tetapi tak berani mengganggu konsentrasi.

Lalu musik berubah riang. Ketiga penari mulai bergerak dinamis. Kino melihat gabungan antara gerakan-gerakan bahu penari Bali dan gerakan-gerakan tangan serta kaki dari balet modern.

“Ceritanya, mereka sedang bersiap menuju ladang …,” ucap Rien menjelaskan,
“Lihat, mereka tampak bergairah, bukan?” Kino mengangguk, tapi tentu saja Rien tidak melihatnya. Rien berbicara lewat megaphone, “Kurang gesit, Peppy … kaki kamu kurang gesit!”

Penari yang dipanggil Peppy, yang berada di tengah, sejenak melirik lalu mempercepat gerakan kakinya.
“Bukan kurang cepat!” sergah Rien keras, “Kurang gesit … kurang banyak gerakan!”

Peppy mengernyitkan kening, agaknya ingin protes tetapi tidak berani. Ia memperbanyak gerakan kakinya, dan Rien menggerutu, “Kamu kurang menyimak .. kebanyakan pacaran.”

Penari yang lain tampak menahan senyum. Peppy cemberut, tetapi kini gerakannya memang tampak lebih gesit. Musik tambah bergairah. Tiga penari pria masuk, melenggang tetapi tidak santai, melainkan agak sedikit menyerupai gerakan robot.

“Nah .. ini petani pria … melambangkan mekanisasi di bidang pertanian,” ucap Rien kepada Kino. Lalu ke arah panggung, Rien kembali memberi perintah lewat megaphone,
“Andre dan Tungki kurang kaku … kayak bencong!”

Semua penari menahan senyum, tetapi terus bergerak dalam alunan tari yang –setidaknya menurut Kino– sudah sangat bagus. Tetapi Rien selalu melihat ada saja yang kurang.

Perempuan cantik itu terus memberikan instruksi, kadang-kadang terdengar ceriwis, tetapi lebih banyak berupaya memberi motivasi. Para penari tampak sudah terbiasa dibentak dan disindir; bahkan berkesan acuh-tak-acuh.

Sepanjang latihan, Rien bercerita tentang ciptaannya. Kino tak terlalu mengerti, tetapi toh ia bisa menikmati tarian-tarian di panggung. Pada umumnya, tarian itu dinamik sekali. Gerakan-gerakannya penuh energi, selain juga penuh gerakan yang menegaskan keindahan tubuh pria maupun wanita.

Di sana-sini ada gerakan sensual, yang bagi Kino berkesan agak kebarat-baratan. Terutama gerakan mengangkat kaki oleh penari perempuan, dan berdiri dengan kaki terentang lebar serta lutut menekuk. Mana mungkin petani Indonesia bertingkah begitu, bisik Kino dalam hati.

Seperti yang telah diduga Tiyar ketika masih di mobil, Rien terlalu sibuk untuk mengobrol dengan Kino. Ia sangat serius, menumpahkan seluruh perhatiannya ke anak-anak buahnya. Sering pula ia menghentikan keseluruhan tarian, naik ke atas panggung dan memberi contoh gerakan-gerakan yang ia inginkan, sebelum menyuruh ulang bagian yang tadi terinterupsi.

Ketika Rien sedang ada di panggung, Tiyar tahu-tahu sudah berada di belakang kursi Kino, menepuk pundaknya.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Hei .. kamu ngga haus?” ujarnya ringan. Kino mengatakan ya, memang ia agak haus.
“C’mon … ikut saya. Tinggalkan saja si Rien ..,” kata pemuda ganteng-gondrong itu sambil berjalan ke arah rumah. Kino tak punya pilihan lain selain ikut.

Mereka menuju sebuah ruangan yang tampaknya memang ditata untuk sebuah bar kecil. Ada meja tinggi di pojok ruangan, lengkap dengan beberapa rak untuk aneka minuman keras.

“Bir dingin?” tanya Tiyar sambil menuju sebuah lemari es besar.
“Kalau ada soft drink.. boleh juga,” jawab Kino, tak terlalu ingin minum alkohol.
“Anak kampus baik-baik …,” gumam Tiyar.

Kino tertawa kecil, “Aku tidak terlalu suka alkohol.”
“Nih .. tangkap,” ucap Tiyar sambil langsung melayangkan sekaleng Coca-Cola. Untung Kino cukup sigap untuk menangkapnya.

Untuknya sendiri, Tiyar memilih sebotol bir ukuran sedang. Dengan cekatan ia membuka tutupnya, lalu langsung meneguk tanpa gelas sambil duduk di salah satu kursi tinggi di depan bar. Kino ikut duduk di sebelahnya, merasakan bahwa pemuda pacar Mbak Rien ini sangat rileks dan mudah diajak berkawan.

Kino suka kepada orang semacam dia; tak terlalu formal, tak terlalu pedulian kepada statusnya. Padahal, menurut koran atau majalah, Tiyar adalah salah seorang tokoh muda di bidang musik ibukota.

“Kamu suka lihat tarian Rien?” tanya Tiyar sambil lalu.
“Tidak,” jawab Kino terus terang. Tiyar tertawa terbahak.
“Aku juga tidak .. tetapi banyak orang yang suka,” katanya sambil menyorongkan semangkuk kacang goreng ke dekat Kino.

“Aku lebih suka musik,” kata Kino.
“Bagus,” kata Tiyar sambil tersenyum, “Asal jangan bilang begitu karena di depanku.”
“Memang aku lebih senang musik, terutama country rock,” kata Kino sambil meraih kacang.

“Pasti kamu suka camping juga, kan?” tebak Tiyar dengan jitu.
Kino mengiyakan, “Memang biasanya musik semacam itu disukai pencinta alam.”
“Ah .. kalian memang suka mengada-ada,” sergah Tiyar, “Aku juga mencintai alam, tetapi aku tidak suka musik semacam itu. Terlalu sederhana!”

Kino tersenyum. Dalam banyak hal, Tiyar menyerupai Obenk Sang Troubador : terbuka, tanpa tedeng aling-aling. Mungkin semua seniman begitu, pikir Kino.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Aku juga suka jazz-rock,” ucap Kino karena tahu Tiyar memimpin sebuah kelompok jazz-rock terkenal.

“Tetapi kamu ngga terlalu suka, kan?” sambar Tiyar sambil meneguk bir yang kini cuma tinggal setengah botol, “Banyak orang suka musik itu, tetapi tidak terlalu mendalaminya. Sehingga biasanya cepat bosan.” ”

Aku suka iramanya yang riang,” sela Kino tak terlalu peduli kepada sindiran Tiyar.
“Nah .. itu contohnya!” sambar Tiyar, “Padahal jazz-rock banyak mengungkapkan kegetiran, bukan keriangan.”

Kino tertawa, “Oh, ya ? Selama ini aku menyangka itu musik yang riang … ” Tiyar menggerutu, “Jazz justru adalah musik getir yang berasal dari orang kulit hitam yang tertindas di Amerika .. sedangkan rock adalah musik pemberontak generasi yang kecewa … Keduanya tidak riang sama sekali!”

Tiyar turun dari kursinya, menuju seperangkat sound system dan menyetel sebuah kaset. Musik jazz-rock langsung memenuhi ruangan.
“Let me explain to you, young man …,” katanya sambil kembali ke tempat duduk.

Kino tertawa mendengar kata “young man” .. padahal mungkin usia mereka tak terlalu jauh terpaut. Tetapi Kino memberikan perhatian sepenuhnya kepada apa yang kemudian dijelaskan oleh Tiyar. Lagipula, ternyata Tiyar memang pandai memberi penjelasan, dan Kino berkesimpulan bahwa musisi ini bukan cuma punya bakat tetapi juga punya otak.

Untuk beberapa lama, Tiyar mendominasi percakapan, menjelaskan seluk-beluk kelahiran jazz yang menarik itu. Ia juga menjelaskan apa bedanya rock dengan jazz, walaupun bagi Kino perbedaan itu tak begitu penting. Keduanya adalah musik yang ekspresif.

Kino mencoba mengatakan bahwa country-rock juga ekspresif, tetapi Tiyar menampiknya dan mengatakan bahwa musik yang dimaksud oleh Kino itu lebih mengandalkan lirik daripada bunyi. Benar juga ! pikir Kino sambil teringat Obenk Sang Troubador dan lirik-lirik lagunya yang provokatif.

Lancar sekali percakapan antara keduanya berkembang. Tiyar suka sekali bicara tentang musik, dan Kino adalah teman berbincang yang menarik baginya. Terutama karena bagi Tiyar, pemuda “desa” di depannya ini ternyata punya cukup banyak pengetahuan; tidak hanya menelan mentah-mentah penjelasannya tentang jazz-rock, melainkan juga mendebat di sana-sini.

Memang ada saja ucapan Kino yang menunjukkan ketidak-tahuan mendasar tentang sejarah dan konteks musik, tetapi Tiyar diam-diam kagum kepada keberanian pemuda itu untuk berdebat dan mengakui ketidak-mengertiannya.

Sedangkan bagi Kino, Tiyar adalah seseorang yang sama sekali berbeda dengan teman-teman yang selama ini dikenalnya. Dalam banyak hal, bagi Kino, musisi pacar Mba Rien ini mirip dengan Obenk, sehingga tidak terlalu asing.

Kino sudah mulai memahami keeksentrikan pikiran orang-orang di bidang seni. Tetapi, berbeda dengan Obenk yang terlalu radikal dan acuh-tak-acuh, Tiyar menunjukkan keramahan yang tidak dibuat-buat. Sebelumnya, Kino sempat kuatir pada perilaku orang-orang terkenal pada umumnya.

Ia tadinya berpikir, Tiyar adalah pemuda elit, ganteng, dan sombong karena sudah menjadi celebrity. Ternyata semua praduga itu tak beralasan; Tiyar betul-betul tidak seperti celebrity yang jual-mahal.

Walaupun, pikir Kino lagi, mungkin saja dia begitu karena aku mengenal Mba Rien dengan baik. Barangkali kalau aku bukan siapa-siapa, sikap Tiyar akan lain. Tetapi, pikiran seperti ini segera pula ia buang jauh-jauh.

Percakapan menjadi tak hanya lancar tetapi juga dinamik. Suara tawa keduanya kadang-kadang terdengar meningkahi. Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 00.30. Suara musik di halaman belakang sudah mereda, bahkan lalu berhenti sama sekali.

Rien tiba-tiba muncul, langsung merangkul Tiyar dan menyergah ke arah Kino, “Hei … kenapa ninggalin Mbak Rien sendirian!”

“Dia yang menculik ..,” sahut Kino sambil melirik ke Tiyar.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Rien tertawa renyai, meraih botol bir dari tangan Tiyar dan langsung meneguk isinya. Itu adalah botol ketiga yang diminum Tiyar, tetapi pemuda itu tampaknya masih biasa-biasa saja. Kino sudah menerima tawaran bir dari pemuda itu, tapi bahkan belum menghabiskan setengah isinya.

“Kamu nginep di sini saja, ya Kino ..,” kata Rien sambil menghapus keringat dari lehernya yang jenjang. Tiyar memeluk mesra pinggang kekasihnya, menciumi lehernya yang masih berkeringat.

“Aku harus pulang ke B besok pagi, Mbak ..,” ucap Kino menolak halus.
“Apakah harus besok?” sergah Rien sambil menggelinjang karena Tiyar mencium pundaknya yang terbuka.

“Tidak harus, sih ..,” jawab Kino, “Tetapi kamar hotel memang cuma dibayar sampai besok.”
“Ya sudah ..,” sela Rien mengambil keputusan secepat kilat, “Sekarang kamu ambil pakaian mu, pindah ke sini saja … Besok Mbak Rien ajak ke general rehearsal di Gedung Kesenian. Ada kamar tamu yang bisa kamu tinggali.”

“Tapi ..,” Kino berpikir keras tentang apa alasan yang musti diajukan. Ia tidak punya alasan! Jadwal kursusnya masih tiga hari lagi.

“Ngga ada tapi-tapian ..,” sergah Rien sambil tertawa renyah, “Ayo … kamu minta antar Mang Soleh ke hotel!” Perempuan cantik itu lalu melepaskan diri dari pelukan kekasihnya, meraih tangan Kino dan menyeretnya ke beranda depan.

“Aku harus telpon ibu semang di B … nanti dia khawatir,” kata Kino mencoba memberikan alasan.

“Telpon dari sini saja,” potong Rien, lalu berteriak ke sopirnya yang sedang menonton TV di ruang depan, “Mang Soleh .. tolong antar adik saya yang cakep ini ke hotelnya, terus bawa lagi ke sini!”

Mang Soleh bangkit dengan patuh, lalu menuju ke luar sambil mengajak Kino, “Ayo …” Rien mengacak-acak rambut Kino, “Sana … ambil pakaian kamu, dan nanti ke sini lagi. Setelah sampai, minta Mang Soleh mengantar kamu ke kamar tidur, yaa …”

Lalu kepada Mang Soleh, wanita itu memberi perintah-perintah pendek, “Mang Soleh nanti antar dia, .. terus tolong bilang ke Inem untuk membereskan kamar tamu.”

Mang Soleh mengangguk-angguk patuh. Kino tak bisa berkata apa-apa lagi.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Anak baik …,” kata Tiyar setelah Rien kembali ke bar.
“Siapa? Si Kino?” tanya Rien sambil menjatuhkan diri ke pelukan kekasihnya, “Dia memang baik … ”

“Kenapa kamu ngga pernah cerita tentang dia sebelumnya?” tanya Tiyar menyelidik. Rien menyembunyikan wajahnya di leher Tiyar, menggumam manja, “Karena kamu ngga pernah tanya …”

Tiyar menggerutu, “Bagaimana aku bisa bertanya tentang sesuatu yang tidak aku ketahui?” Rien tertawa, menggigit leher Tiyar, “Salah kamu sendiri, kenapa ngga tahu … ”
“Siapa sih dia?” desak Tiyar.

Rien merangkul leher kekasihnya, menciumi dagunya yang kokoh dan harum, “Dia bagian dari masa lampauku, honey … dan tidak semua masa lampau harus aku ceritakan, karena it has nothing to do with you …”

“Apa hubungannya dengan Alma yang pernikahannya kita hadiri tadi?” tanya Tiyar tidak mau menyerah begitu saja.
“Alma datang dari kota yang sama, my dear … I’ve told you that … Sedangkan Kino adalah pacar Alma waktu mereka sama-sama di SMA dulu,” kata Rien sambil lagi-lagi menciumi dagu kekasihnya.

Seorang penari pria muncul, “Sorry mengganggu boss, … kami mau permisi pulang supaya besok bisa bangun pagi.”

“Iya .. Rino ganteng,” sahut Rien tanpa mengangkat muka dari pelukan kekasihnya,  Makasih yaa …, bilang sama teman-teman kamu yang lain. Besok jangan sampai terlambat.”
“Okay, boss … selamat malam!” sahut Rino.

Beberapa penari perempuan muncul di belakang Rino, berteriak hampir berbarengan, “Mba Rien .. kami pulang dulu.” Tiyar menggerutu keras, “Orang lagi pacaran kok diganggu sih …”

Para penari itu cekikikan, salah seorangnya membalas canda Tiyar, “Salah sendiri, kenapa pacaran di tempat umum …”
“Eh … Astri sudah bisa ngeledek, yaa .. ” sergah Rien, lagi-lagi tanpa mengangkat muka. Ia sudah kenal semua suara dari ke-25 penari utama.

Astri tertawa,”Bye mba Rien .. selamat pacaran!” Lalu mereka semua hilang ditelan malam, meninggalkan Tiyar dan Rien sendirian di bar. Dua orang pembantu terdengar sibuk mengunci pintu-pintu dan mematikan lampu di halaman belakang.

Tiyar meraih pinggang Rien, dan sekali angkat ia meletakkan wanita molek itu di pangkuannya. Rien menggumam manja, mengangkangkan kakinya untuk memeluk pinggang kekasihnya.

“Jadi … Alma dan Kino itu adalah bagian dari masa lalu kamu …,” kata Tiyar melanjutkan diskusi yang terputus.
“Take me to bed, darling …” bisik Rien tak mempedulikan ucapan kekasihnya.

“Cerita dulu, dong .. siapa mereka.” desak Tiyar.
“Ngga mau … aku capek ngomong dari tadi.” bantah Rien.
“Alasan …,” gerutu Tiyar.

“Bener … aku capek ngomong. Sekarang maunya di-kelonin,” kata Rien sambil tertawa manja. Tiyar mengangkat dagu Rien dengan ringan, langsung melumat bibir menggairahkan yang ceriwis itu.
“Mmmmmm …” erang halus menyeruak dari mulut wanita yang kini memejamkan matanya.

Bagi Rien, waktu-waktu seperti ini, seusai rehearsal yang meletihkan secara fisik maupun batin, Tiyar adalah tumpuan hatinya. Wanita itu selalu merasa ingin dimanja dan dibelai dan disayang dan dicumbu pada saat-saat seperti ini.

Dengan gairah yang tak melupakan kelembutan-kasih, Rien membuka mulutnya, mengajak lidah kekasihnya untuk bermain-main dalam pergulatan yang memercikkan bara-bara birahi.

Tiyar melayaninya. Tiyar suka melayani kekasih dan pujaannya ini. Dengan tangannya yang kukuh, ia rengkuh tubuh molek di pangkuannya. Ia henyakkan tubuh kenyal-sintal itu ke seluruh bidang-tegar badannya. Rien pun mengerang manja-pasrah, merasakan pelukan itu sekaligus sebagai pijatan sensual pelepas lelah.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Ciuman mereka tambah bergairah. Rien merangkul leher pemuda kesayangannya, membiarkan bibirnya dilumat habis, terkadang kasar terkadang lembut. Membiarkan seluruh rongga mulutnya yang harum, basah, hangat dan lembut itu dijelajahi oleh lidah nakal yang pandai membangkitkan selera. Nafas keduanya mulai memburu.

Pusat-pusat sensasi di seluruh tubuh Rien seperti simpul-simpul elektronik yang mulai berpijar. Rasa geli-gatal yang nikmat mulai muncul di sana-sini, meminta perhatian dan menagih remasan-remasan.

“Take me to bed, darling …” bisik Rien terengah-engah di antara lumatan kekasihnya.

Tak menunggu permintaan berikutnya, Tiyar membopong Rien dengan ringan. Melangkah cepat ke kamar utama, mendorong pintu terbuka dengan satu kakinya, menyelinap masuk dan menutup pintu dengan kaki yang sama.

Pelan-pelan Tiyar meletakkan tubuh molek Rien di ranjang. Rok panjangnya tersingkap di sana-sini, wanita itu menggeliat sensual, menunggu tahap-tahap selanjutnya.

Ia suka memasrahkan dirinya, setelah tadi bertindak sebagai boss yang penuh perintah dan instruksi. Kini, menggeletak mewah di ranjang, ia ingin menjadi obyek dari kekasihnya. Ia ingin pasrah diberlakukan begini-begitu …

Tiyar pun memahami kebutuhan itu. Dengan tenang dan penuh percaya diri, pemuda itu menelanjangi kekasihnya satu demi satu. Setiap kali selembar penutup tubuhnya terbuka, Tiyar menciumi bagian tubuh Rien yang kini terpampang.

Setelah membuka vest dan sebelum membuka beha, Tiyar menenggelamkan seluruh wajahnya, menghela keharuman tubuh Rien yang tersembunyi di sela-sela bukit dadanya, di pangkal lengannya, di sekujur depan perutnya yang halus. Rien mengerang, menggeliat, menggumam … Oooooooh.

Setelah beha terkelupas-lepas, Tiyar menciumi puncak-puncak payudara yang mencuat seperti menantang perang. Dengan ujung lidahnya yang cekatan, ia menebarkan rasa geli yang menggelisahkan ke puting-puting coklat yang tegak meminta perhatian.

Rien mengerang lebih keras, menyorongkan dadanya ke depan, menggeliat-geliat menyatakan kegelisahannya. Tiyar menangkap salah satu puncak gairah itu dengan mulutnya yang hangat. Rien menjerit kecil, merasakan sebagian dari jiwanya seperti tersedot ke sana.

Lalu Tiyar membuka rok, dan menciumi paha mulus yang segera terpampang bagai dua pilar pualam dari patung karya maestro Italia itu. Dengan segera ia menggelincirkan ciuman dari lutut ke arah pangkal paha, menyebabkan Rien semakin ingin membuka diri, mempertontonkan dengan terus terang keinginan-keinginannya yang liar-hewani.

Kedua tangan wanita yang selalu ekspresif dalam tarian-tariannya itu kini mencengkram seprai, meremas gemas setiap kali ciuman Tiyar turun semakin mendekati lembah yang sekarang cuma berlapis sehelai celana-dalam nilon tipis menerawang.

Angin malam di luar terdengar berkesiut ….Dengan kedua tangannya, Tiyar menarik turun celana dalam yang tak berdaya itu.

“Mmmmmm …,” Rien mengerang penuh antisipasi.

Tanpa harus melepaskan celana itu sama sekali, Tiyar melanjutkan perjalanan ciuman-kecupannya ke wilayah yang kini menebarkan aroma seksual wanita yang bergairah.

Paha Rien agak berkeringat, tetapi justru memberikan aroma menggairahkan bercampur wangi sabun mandi dan lotion. Perjalanan bibir Tiyar membias-binarkan aliran kenikmatan, seperti sungai kecil yang mengalir dari hulu menuju muara pelepasan.

“Aaah!” Rien menjerit kecil ketika akhirnya Tiyar mengecup ringan sebuah sudut tersembunyi di balik rambut-rambut halus yang harum oleh deodoran khusus itu.

Angin malam terdengar lagi, berkesiut dan menggemerisikkan dedaunan … Permainan cinta yang mengandalkan lidah Tiyar yang menyelinap dan menjilat tangkas itu kini menjadi bagian integral dari malam yang telah usai. Perjalanan Rien menuju puncak sensasi sedang berlangsung, pada saat Sang Pagi sedang memulai hitungan pertamanya.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Sementara itu mobil sedan yang ditumpangi Kino tiba di hotel 15 menit dari keberangkatannya.

“Saya musti berbenah dulu, Mang Soleh ..,” jelas Kino sebelum turun dari mobil, “Mang Soleh mau minum kopi di lobby?”

Mang Soleh yang pendiam itu tersenyum, “Jangan repot-repot, den Kino … saya tunggu di mobil saja.” Kino merasa tidak enak, maka ia mendesak, “Tapi saya perlu waktu, Mang … masih harus check-out segala. Ayo, deh, saya pesankan kopi.”

Mang Soleh tersenyum lagi, ia sebetulnya tidak suka berpura-pura tidak mengantuk, tetapi statusnya sebagai supir menyebabkan ia merasa perlu berbasa-basi. Ketika Kino mendesak terus, akhirnya ia setuju ikut ke lobby. Kino menghela nafas lega. Kepada pelayan hotel yang kini sudah sepi itu, Kino memesan kopi. Lalu ia naik ke kamarnya.

Sengaja Kino bersantai-santai membereskan pakaian dan memasukkannya ke tas. Ia ingin memberi waktu cukup bagi Mang Soleh untuk menikmati kopinya. Selain itu, ia juga merasa agak gerah. Udara Jakarta terlalu panas baginya yang biasa diselimuti kesejukan kota B. Maka Kino memutuskan untuk mandi cepat-cepat di bawah shower.

Barulah, setelah 20 menit silam, Kino turun menuju front office. Petugas hotel tampak mengantuk, dan sempat salah mengeluarkan bon ongkos hotel. Setelah minta maaf, petugas itu mengeluarkan bon yang tercatat untuk kamar Kino.

Ia membaca sejenak, lalu tersenyum sopan dan berkata, “Tidak ada yang perlu dibayar, semuanya dalam tanggungan Tuan Ridwan..” Kino yang sudah mengeluarkan dompet merasa perlu meminta klarifikasi,

“Saya pikir hanya gratis untuk kamar, sedangkan makan malam dan minuman harus saya bayar.” Petugas hotel melihat lagi catatan di bon secara sekilas, lalu berucap pasti,
“Tidak .. semuanya sudah dibayar atas namA Tuan Ridwan.”

“Wah .. kalau begitu, terimakasih banyak atas layanannya yang bagus!” kata Kino sungguh-sungguh. Petugas hotel mengangguk sopan,
“Terimakasih kembali. Kami senang melayani Anda ..” Kino meninggalkan hotel 45 menit setelah keberangkatannya dari sanggar sekaligus rumah Mba Rien.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Tanpa sengaja, Kino memberikan kesempatan kepada Rien untuk menikmati orgasme pertamanya sebelum wanita itu mendengar suara ban mobil mencercah kerikil …

Baru saja wanita itu meregang untuk terakhir kalinya setelah Tiyar menyedot-nyedot, menggigit-gigit kecil, bagian-bagian sensitif di kewanitaannya. Walau samar-samar karena telinganya dipenuhi suara degup jantungnya sendiri, Rien masih bisa mendengar suara mobil memasuki halaman.

“Itu Kino datang … ” bisik Rien, masih terengah-engah dalam gelimang denyut nikmat yang tersebar dari episentrum seksual di selangkangannya ke seluruh tubuh yang kini mulai basah oleh keringat tipis.

Tiyar sedang membuka celana dalamnya, tersenyum mendengar kepedulian Rien di tengah keasyikan foreplay mereka.

“Kamu tidak perlu menyambutnya, kan?” bisik Tiyar sambil memeluk dan menciumi leher kekasihnya. Kejantanannya yang telah menegar kini memberikan sentuhan ketegasan di perut Rien yang naik-turun dengan ramainya. Rien tertawa kecil, lalu mengerang manja, memberikan jawaban yang lebih dari cukup kepada pertanyaan Tiyar.

“Aahh ..,” Rien mendesah, “Jangan berhenti, Tiyar …. hmmmmmmm … biar saja Kino ke kamarnya …. Oooooh … aaaah..” bisik Rien terengah-engah.

Susah sekali bagi Rien untuk bicara, karena kini Tiyar meremas dadanya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain membuka pahanya. Sambil mengulum salah satu puting payudara wanita molek itu, Tiyar memposisikan diri di antara kedua pahanya, kemudian ia mendorong penuh kepastian …

“Uuuuh ….,” Rien mengerang panjang, merasakan pusat kenikmatan yang masih berdenyut ramai di bawah sana terhujam oleh kepejalan-kekenyalan yang menjanjikan. Ia mengangkat kedua pahanya, memberikan akses dan keleluasaan. Tiyar mendorong lebih dalam, merasakan cengkraman lembut di sepanjang kejantanannya.

Dan itulah awal hujaman-hujaman yang selanjutnya. Awal dari sebuah pergulatan yang melahirkan kemanusiaan itu sendiri.

Sebuah pergulatan yang ramai dan bergairah, membawa serta kegaduhan yang tertahan dari erangan dan jeritan-jeritan kecil, serta suara-suara sensual dari bertemunya dua seks dalam gelimang lendir-cinta.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Terima kasih banyak Mang Soleh .. ” kata Kino sambil meletakkan tas pakaiannya di ranjang yang tampaknya baru saja dirapikan. Inem, pembantu rumahtangga utama Mba Rien muncul membawa handuk baru.

“Ini handuk untuk mas Kino ..,” kata pembantu setengah baya itu, “Ibu Rien bilang, mas Kino istirahat saja, besok pagi saya bangunkan untuk sarapan…”

Kino tersenyum, menggumamkan terimakasih. Ia mengeluarkan dompet untuk memberi sekedar uang rokok kepada Mang Soleh, tetapi pria tua itu sudah tak tampak lagi.

Kamar tamu tempat Kino menginap terletak di bagian depan rumah, terbatas oleh bar dan ruang tamu. Ada kamar mandi kecil, persis seperti kamar di hotelnya. Sambil berganti baju untuk tidur, Kino mengedarkan pandangan.

Hmmm … rapi dan asri sekali kamar ini, pikir Kino. Ada sebuah poster tarian Rien terpampang di tembok. Kino membaca tulisan di poster itu, menyadari betapa Mba Rien kini adalah salah satu tokoh ternama di bidang tarian modern.

Kino lalu bersiap tidur, karena memang ia merasa sangat letih dan mengantuk. Tidak lama setelah ia merebahkan kepalanya di bantal, pemuda itu sudah tenggelam di alam mimpi.

*** Cerita Cinta Dewasa ***