Cerita Cinta – Chapter 105. Berandal Pemakaman.

Chapter 105. Berandal Pemakaman.

Tangan ini di bawa pulang oleh kedua sahabat saya. Fany dan Stevy, hanya itu yang saya punya sekarang. Jauh meninggalkan pemakaman Jovanda di sore hari itu. Sesuai janji yang telah saya sematkan untuk almarhum, di lain hari saya tak akan menangis lagi karenanya. Mungkin kenapa menangis adalah hal yang paling di benci olehnya karena air mata ini alasan mengapa dia akan bertanya kesekian kalinya mengapa saat ini saya bersedih meski kami sekarang telah berbeda dunia. Dengan segala perasaan yang masih hancur berkeping – keping, di hari pertama Almarhum meninggal saya berada pada posisi paling terpuruk dalam hidup saya. Berada pada titik paling bawah dimana tuhan menjatuhkan saya teramat dalam hingga saya tak bisa merasakan adanya seberkas cahaya yang mampu menerangi relung hati ini.

Ini adalah esok di mana hari pertama tanpa Jovan di sisi saya. Jam weaker di atas ranjang itu mencoba membangungkan saya dengan gencarnya, memaksa kesadaran ini untuk segera kembali di dalam tubuh. Pukul delapan pagi itu teramat pusing untuk sekedar membuka mata, kepala ini masih di penuhi dengan bayang – bayang Almarhum yang masih bermain indah di benak saya. Kusandarkan bahu ini di dinding ranjang tempat saya duduk, mengingat setiap potongan kenangan yang pernah saya lalui dengan Almarhum. Begitu indah dan manis, begitu haru dan mengesankan, dan begitu . . .

Memilukan . . .

Masih beruntung logika saya lebih berperan aktif ketimbang perasaan yang sehingga membuat saya lebih mudah dalam move on dari kejadian saat itu. Tak mau semakin hanyut dalam peliknya kedaan saat ini, segera saya mandi sekiranya untuk mengembalikan kesegaran fikiran. Hari ini tidak ada jadwal kuliah atau bertemu dosen sekalipun, lantas apa yang harus saya lakukan. Sungguh perkuliahan saya tanpa terasa hampir selesai. Mengingat saya yang sudah hampir sidang ini, termenung sesaat ketika menyadari Jovan kini telah tiada. Sebab jika saya telah lulus nanti, saya pernah membayangkan akan berfoto wisuda dengan ALmarhum. Dan sekarang apa, ah sudah lah. Tak ada habisnya jika saya berfikir seperti ini. saya harus kuat, dan logika teruslah bermain agar saya tak jatuh dalam perasaan ini.

Merasa tak ada hal yang bisa saya kerjakan, entah tiba – tiba saja diri ini ingin bekunjung ke tempat Jovanda. ya, di pemakamannya hari ini saya ingin menghabiskan waktu sekiranya untuk menemaninya meski kami telah berbeda dunia. Segera saya bawa mobil yang telah di amanatkan dari sang ayah. Dengan berbekal bunga mawar merah dan putih serta bunga kenanga, saya bawakan itu untuk Almarhum sebagai benda yang dapat mendoakannya hingga bunga itu kering. Sesampai di pemakaman, terasa sunyi tiada orang satu pun di sini. Hanya ada anak – anak kecil yang bermain di sekitar kawasan. Segera saya langkahkan kaki ini untuk menghampiri rumah Jovan yang baru, dan kini, saya sudah berada tepat di depan makam Jovan dengan sebungkus bunga yang akan saya taburkan kembali di atasnya.

“Salamualaikum, . . pagi yank” sapaku pada Almarhum sambil duduk di samping makam.

“di sini sepi ya yank, cuma ada anak kecil yang main di sekitar rumah kamu ini, huff . . .”

“gimana hari pertama kamu di sisi tuhan ?? apa kamu udah ngliat surga di sana ?? aku hari ini bingung gak tau mau kemana dan ngapain, jadi aku putusin buat maen ke rumah kamu. Hehehehe . . .” bicaraku sendiri di depan makam Jovanda.

“oiya yank, desember nanti aku mau ujian sidang. Doain dari sana ya, kan kamu sekarang lebih deket sama tuhan, jadi kalo kamu yang bilang, pasti bakal cepet di kabulin. Soalnya aku dapet dosen penguji yang killer abis. Mana mukanya bikin bete semua, aku takut tar nerfous duluan ga bisa jawab pertanyaan dari penguji gara – gara mukanya yank. Hwahahahahaha . .” tawaku seperti orang gila.

Sesaat saya terdiam menyadari kelakuan saya saat ini, seperti orang gila yang berbicara pada batu nisan sendiri. Namun sungguhpun saya masih waras sewaras warasnya, saya masih memiliki akal sehat. Hanya saya, ah sudah lah. Kalian tidak akan mengerti apa yang tengah saya lakukan. Biar saja jika semua orang beranggapan saya gila karena berbicara sendiri pada batu nisan. Sebab hanya saya yang tau apa yang tengah saya lakukan saat ini.

Memandang di mana jemari saya masih memegang bunga untuk Jovan, saya teringat pada sebuah cincin yang masih melingkar indah di jari ini. Merenung untuk sesaat, lantas saya kembali berbicara pada Jovanda di atas makamnya.

“kamu tau tanganku ini yank, ?? sekarang ga da yang bisa di ajak copelan lagi. Cincin dari kamu yang satunya udah aku trima dari Fany kmren. Dan skrang siapa yang mesti aku ajak cuat copelan lagi kalo bukan kamu. Rasanya apa yang udah aku perjuangin sampai hari ini terasa sia – sia . . . . eh, bukannya sia – sia sih, hanya saja aku gak ngerti mesti di lanjut keg gimana lagi cerita hidupku ini setelah kehilangan kamu”

“aku pernah bilang sama kamu untuk tetap peranin tokoh sebaik mungkin, hingga pada akirnya kamu gak ada, aku jadi bingung. Cerita ini udah abis apa masih ada lanjutannya. Kalo masih ada lanjutannya, aku harus jadi tokoh seperti apa sekarang. Aku bingung yank buat lanjutin arah hidupku saat ini. seolah aku udah kehabisan cerita buat ngejalaninnya. Yank, jawab dong . . !! duh pusing aku . . .” keluhku menahan kepala ini menahan pusing.

Masih terdiam memegangi kepala ini, tiba – tiba saya di datangi sekumpulan anak kecil yang tengah bermain di sekitar area pemakaman ada 4 anak. Mungkin lebih tepatnya saya sebut mereka sebagi anak yang kurang mampu dan mengais rezeki di sekitar pemakaman dengan jasa membersihkan makam atau hal lainnya yang berhubungan dengan itu.

“masnya ngomong sama siapa lo dari tadi kok ngomong sendiri sama kuburan ??” tanya salah satu bocah bernama Wiwit yang saya perkirakan berusia 12 tahun.

“ohh, . . ngomong sama mbaknya ini, hahahaha” tawaku sambil melirik batu nisan Jovan.

“ih masnya serem, ngomong sama kuburan”

“hahahaha, gimana jelasinnya yah ?? oiya, kalian tinggal di sekitar sini ??” tanyaku pada mereka.

“iya mas, rumahku di sekitar sini kok. Itu yang udah meninggal siapa lo mas, kayaknya aku tau mas kmren juga dateng pas penguburannya makam ini ??” tanya Rois yang masih seumuran dengan Wiwit.

“owh, ini . . . siapa ya ??” sesaat saya bingung menyebut Jovanda sebagai siapa di hidup saya.

“dia calon istri mas dek . .” dengan kalemnya akirnya saya bertutur pada mereka.

“mau nikah dong mas, tapi kok udah meninggal duluan ya ??” tanya Wiwit heran.

“iya mau nikah, . . gak tau juga tuh Mbak Jovannya, mungkin ada perlu sama tuhan di sana. Jadi mas di tinggal duluan” senyumku manis mencoba mengertikan mereka tentang semua ini yang mungkin tak akan pernah mereka pahami.

“kalo mbak Jovan udah di sana, mas sama siapa nikahnya ntar ??”
Sesaat saya bingung menanggapi pertanyaan mereka macam ini. Maka dengan santainya saya berujar pada mereka sesuai apa yang telah tuhan gariskan untuk saya.

“pastinya nikah sama tulang rusukku dek, hahahaha . . nih uang jajan buat kalian. Maaf ga bisa banyak ngasihnya, yang penting rata ya. Hehehehe”

“makasih mas, oiya mas, kmren waktu mas pulang, kok masih ada penglayat lagi ya. Padahal dah mau magrib mas” ucap wiwit memecah perhatianku.

“haaa ?? ada yang nglayat pas mau magrib, km tau siapa dek ??”

“ya gak tau mas, orangnya cewek sendirian, bwa bunga banyak banget” tutur Rois dengan ekspresi bergidik.

“jangan – jangan itu setan dek, Hwuaaaaaaaaaa !!!!!!” teriakku histeris menakut – nakuti mereka.

Entah siapa saja yang ingin berkunjung ke makam Jovan, saya tak pernah merasa keberatan. Justru saya merasa senang sebab dengan itu berarti ada orang yang mau untuk berziarah dan mendoakan Jovanda.

“ah masnya nakut – nakutin aja !! mana ada setan naek mobil, duuuh masnya ini”

“hah ?? bawa mobil ?? anjiiir gaya banget tuh setan, aku aja kesini naek . . . .” sesaat saya melirik kendaraan yang tengah saya bawa.

“masnya kan bawa mobil juga, masnya ini setan berarti, hwaahahahaha” teriak mereka histreis kegilaan.

“ah udah udah, pagi – pagi gini ngomongin setan gada serem – seremnya dek. Mas pulang dulu yah, kalo tar mas kesini lagi, samperin mas ya . . hehehe”

“iya mas, mau kasih uang lagi tah”
Ah sialan, masih kecil mata duitan juga mereka ini pikirku . . .

“gampang itu, pokok laporin siapa aja yang berkunjung ke makan mbak Jovan ini. terus bersihin rumput di sekitar makam mbak Jovan dan mas ga mau ada sehelai dauh yang jatuh tepat di atas makam mbak Jovan. okey ??” perintahku pada berandal kecil itu.

“oke mas, sip sip, hehehehe”

Dengan wajah cengengesan akirnya saya dan mereka pun pergi berpisah. Menunggu esok hari yang mungkin di hari ke tujuh Jovan meninggal saya akan datang ke sini lagi membacakan surat yasin untuk Jovan.

Created BY : rakhaprilio KASKUS