Cerita Cinta – Chapter 98. Kejutan Dari Jovanda

Chapter 98. Kejutan Dari Jovanda

Ekspresi dari Jovan sungguh masih saya nantikan jawaban atas dirinya. Apa yang dia rasakan pastilah diri ini berharap bahwa rasa bubur itu enak tentunya. Namun setelah menunggu untuk beberapa saat, akirnya Jovan mengungkapkan tentang apa yang ia rasakan dari suapan bubur yang pertama.

“ummmmmh, sayang rasanya kok gini” mata itu berbinar seolah ekspresi dan hal yang ia tanyakan sangatlah tak sinkron.

“begini gimana yank ?? gaenak ya ??” tanya penasaran di sampingnya.

“rasanya aneh yank, tapi enak, hahahaha” tertawalah dia semakin membuat saya bingung.

“duh yang bner yank, itu bubur rasanya gimana ??”

“rasanya enak yank, cuman aku rada ngrasa aneh aja, soalnya ga pernah ngrasain yang kaya gini. Ini bneran kamu yang masak ??”

“iya lah, tapi tadi resepnya sempet di bantuin ama koki di dapur sih yank”

“owh gitu, kalo pulang ke Malang tar masakin aku di rumah kaya gini ya, hehehe” pintanya manja padaku.

“oalah, gampang deh itu yank, pokok kamu cepet sembuh dulu ya” usapku pada kening Jovanda.

Hari kedua, saya habiskan di dalam hotel sambil berbincang ria bersama Jovanda. sedangkan acara yang sebenarnya sudah ia agendakan harus di cancel semua karena kondisi yang terasa lemah. Meski sempat beberapa kali ia mengajak saya untuk jalan – jalan ke pantai di sore harinya, namun sebagai lelaki yang tegas tentu saya tidak memperbolehkan. Sebab saya takut jika dia sampai kecapaian, justru akan membuat keadaan semakin buruk. Hingga hari ketiga, akirnya tiba saat dimana saya harus meninggalkan Lombok. Berat rasa itu sungguh terasa, sebab masih banyak tempat wisata yang belum saya kunjungi di sana. Dan secara garis besar, liburan saya di sini lebih saya habiskan di sekitar kawasan pantai senggigi bersama jovanda. Kurang lebih pukul sembilan pagi saya lepas landas dari bandara bersama rombongan. Di dalam pesawat, saya masih ingat mengenai hal yang sempat saya bicarakan dengan Jovanda saat garuda itu membawa kami menembus angkasa.

“yank, kamu ga nyesel liburan ke Lombok sama aku ??” tanya jovan memandangku sendu.

“kok kamu tanya gitu ?? hm . . . .” jawabku santai masih memperhatikan hal lain.

“saat liburan bukannya kita bnyak maen kamu malah ngrawat aku di hotel gara – gara aku sakit” rasa menyesal itu seolah menyelimuti hatinya.

“ga semua liburan itu selalu kita isi dengan hal seneng – seneng yank, kalo bisa ngrawat kamu itu jadi ksenanganku, apa lagi yang kamu pikirin ??”

“tapi yank, liburan itu kan mestinya . . .” tertahan ia dengan tatap mataku yang berisyarat bahwa ini bukan hal yang patut untuk di permasalahkan.

Liburan di Lombok telah usai, bersenang – senang dengan kekasih tercinta tentu kini sudah sangat jarang di lakukan. Sebab keseharian saya pasca liburan adalah kembali sibuk beraktifitas pada semester tujuh yang sudah di depan mata ini menanti saya dengan pengajuan judul skripsi. Setiap harinya saya masih di sibukkna dengan kampus, Jovanda juga skripsi yang mau tak mau harus berada di dalam benak saya. Keinginan untuk segera lulus itu tentu besar mengingat plaining saya ingin segera menyanding Jovanda di pelaminan sudahlah bulat.

Perkembangan Jovan sedari Lombok, saya rasa sempat ada peningkatan meskipun tak jarang dia masih sering pingsan atau merasa sakit kepala teramat sangat. Melihatnya meminum obat untuk mengurangi rasa sakit serta obat penghambat kanker itu sendiri membuat hati saya terasa di iris sodara. Bagaimana tidak, saya merasa bahwa nyawa hidup Jovan itu seolah berada bada butiran obat yang setiap harinya ia minum untuk menyambung hidupnya meski ada kemajuan sedikit demi sedikit. Tak lepas dari keadaan Jovan melawan kanker, saya tetap setia menemaninya kapanpun ia butuh dan dimanapun ia berada. Dan tentunya tak lupa di penghujung saya menyelesaikan skripsi, saya ingin memberinya sebuah cincin untuk di pakainya sebagai tanda saya telah mengikatnya secara materi dan hati.

Maka di awal semester tujuh itu saya telah berencana ingin membeli sebuah cincin perak yang saya pesan terlebih dahulu dari sebuah toko perhiasan agar bisa memesan sepasang dengan model yang sama dan beda dari yang lain bertulis inisial nama masing – masing. Setelah fix memesan sebuah cincin dari toko perhiasan, saya tak pikir panjang meski harga cincin saat itu adalah dua juta tujuratus limapuluh ribu untuk sepasangnya. Tentu bukan harga yang murah, pastinya saya butuh dana besar dalam membahagiakan pacar saya yang satu ini. Terus menjalani hari – hari kuliah saya yang semakin sibuk, otak ini masih terus berfikir bagaimana caranya agar cincin tersebut bisa terbayar di saat yang telah di tentukan. Tabungan itu pasti ada, namun sungguh tak mungkin jika saya pergunakan semuanya untuk membayar cincin tersebut. Dan saya tentu lebih enggan lagi jika cincin itu harus di campuri oleh uang dari Jovanda sebab saya di sini ingin murni pembelian cincin itu dari usaha saya sendiri.

Padakirnya saya memutuskan untuk menjual Bubo. Tentunya sodara masih ingat dengan burung hantu yang satu itu. Meski jarang saya ceritakan di chapter selanjutnya, namun hingga saya pertengahan semester tujuh itu, ia masih sehat walafiat tumbuh dengan badan bongsor dan sangat jinak. Ada perasaan tak ingin kehilangan Bubo untuk terus merawatnya, namun perhatian saya untuknya saat ini lebih sering terkuras untuk memikirkan Jovan ketimbang mengaingat ia seharian sudah makan apa belum. Karena tak ingin ia terlantar, maka saya putuskan untuk menjual Bubo ke owner yang lebih baik dan bisa memperhatikannya. Bubo terjual dengan harga dua juta di beli oleh agan dari Gresik entah saya lupa namanya. Yang jelas, kami tak pernah bertatap muka selama proses penjualan Bubo. Semua kami lakukan via internet dan rasa saling percaya saja. Dengan rasa syukur, sebab sampai sejauh ini semua telah di lancarkan oleh tuhan tentang apa yang saya rencanakan. Skripsi sudah mulai saya garap sedikit demi sedikt meski tak jarang revisi itu membuat saya putus asa sebab pikiran ini penuh dengan Jovanda, dan untuk pengambilan cincin, kini saya bisa menebusnya tanpa harus banyak mengeluarkan uang dari tabungan saya.

Kini cincin sudah berada di tangan saya, dengan kotak kecil berbentuk hati warnah merah, saya bungkus itu box cincin dengan kardus kecil berenda bunga warna pink agar tampak menawan di rumah Jovanda. semua telah siap, apa yang saya rencanakan kini akan segara saya realisasikan dengan melingkarnya cincin ini di jari manis Jovanda. sore itu saya usai konsul dengan salah satu dosen di kampus guna membahas tentang jadwal sempro saya yang masih bingung untuk mecari hari apa. Kulihat cincin di tas ranselku sebagai semangat hidup dalam menjalani sisa – sisa masa kuliah yang semakin sulit dan membosankan ini. meski hari itu tak saya dapati keputusan yang pasti dari dosen kapan saya akan ujian sempro, namun hati ini tetap gembira mengingat hari ini adalah hari istimewa untuk memberikan kejutan kepada Jovanda di rumahnya.

Akirnya malam tiba, dimana waktu yang saya nanti sudah dekat di depan mata. Semoga sampai sejauh ini tuhan masih melancarkan segala urusan saya. Tentu doa seperti itu selalu tersemat di benak ini. Pukul tujuh malam saya berangkat dengan motor bebek dengan cepatnya, sesampai di rumah Jovan saya parkir motor seperti biasanya di halaman depan rumahnya. Dengan perasaan gegap gempita saya hampiri itu bibik untuk menanyakan keberadaan Jovanda.

“bik Jovannya ada ??” tanyaku sopan dengan perasaan gugup.

“ng . . . anu, . . . neng Jovannya lagi gada di rumah mas” jawab bibik sedikit terbata – bata.

“kok gada di rumah ?? tumben . . . pergi kemana emang bik ??”

“ng . . . tadi keluar sekeluarga sama bapak juga ibuk” jawabnya masih terkesan bingung.

“sama Evan jugak ??” tanyaku memancing sebuah diagnosa.

“iya mas, Evan juga di ajak tadi”

Dari sini saya merasa ada yang aneh dan di sembunyikan dari bibik sialan satu ini. logatnya aneh, jawabannya selalu terkesan bingung dan tak pasti. Matanya suka melirik kesana kemari ketika ia tengah menjawab pertanyaan dari saya. Tentu curiga ini semakin menjadi ketika saya dapati ternyata Evan juga tengah bersama keluarga Jovanda. sebab setau saya, Evan adalah tipikal anak yang sering menolak acara keluarga bila acara itu benar – benar tak penting atau ia di paksa oleh ayahnya. Dari sini, barulah saya mencari kabar dimana Jovanda tengah berada.

Saya pulang dengan perasaan jengkel, lagi – lagi bibik itu berhasil mengkelabuhi saya. Sungguh sulit rasanya untuk membuat bibir pembantu itu berkata jujur. Entah siapa yang menyuruh itu orang untuk selalu menutup nutupi Jovan dari saya, yang jelas bibik tak pernah mau jujur dan terbuka dengan saya. Seolah apapun dari Jovan selalu di rahasiakan dari saya.

Dengan meneguk segelas air putih, saya mencoba menenangkan diri. Sebab perasaan jengkel itu masih ada dan membuntuti saya hingga ke kosan jauhnya. Sejenak saya sandarkan diri ini di atas kursi dudukan sambil menatap langit gelap malam itu, berfikir entah dimana Jovan berada bersama keluarganya saya tak tahu. Tanpa terasa angin dingin mulai menusuk permukaan kulit tangan ini, hingga jam menunjuk pukul sembilan malam saya masih merenung dudukan di atas kursi sambil sesekali melihat orang lalu lalang dari atas lantai dua.

“tuuuuuuuuuuuut . . tuuuuuuuuuuuut . . tuuuuuut !!!” bunyi hape di sebelah menyadarkanku dari lamunan.

“halo iya ada apa Fan” sapaku pada Fany yang kala itu tengah menelfon.

“lo ada di mana Kha ??” tanya Fany sedikit gugup di seberang telfon.

“di kosan, kenape ?? tumben malem – malem gini telfon ??”

“lah, kok masih di kosan ?? lo ga di rumah sakit emangnya ??” ujar Fany berubah bingung.

“lah ngapaen ?? emang sapa yang sakit Fan ??” jawabku sungguh keheranan.

“lo ga tau emang kalo cewek lo lagi di RS sekarang ?? gimana sih Kha !??”

Mendengar apa yang Fany ucapkan sungguh seperti petir di siang bolong. Hati saya hancur mendengar kabar tersebut. Mata ini gelap sama seperti langit malam itu. Saya lemas seketika hingga duduk pun lutut saya terasa gemetaran. Saya takut terjadi sesuatu oleh Jovan, saya tak mau ia kenapa – kenapa. Dengan perasaan penuh emosi dan penyesalan serta berkecamuk, saya kebut itu habis – habisan motor saya bersama Fany menuju RS dimana Jovan berada.

Created BY : rakhaprilio KASKUS