Cerita Cinta – Chapter 97. Bubur Penghambat Kanker

Chapter 97. Bubur Penghambat Kanker

Malam itu sungguh panjang buatku juga Jovanda, bagaimana cara kami mempringati dua tahunan ini sungguh merupakan pengalaman yang pertama kali kami lakukan. Meski bisa di bilang saya bukanlah pemain baru dalam hal bercinta, namun jika melakukannya dengan Jovanda, tentu ini merupakan sesatu yang baru. Usai melakukan kegiatan semalaman, saya dan Jovanda tidur dalam keadaan masih tanpa menganakan busana hingga pagi datang menjelang menyapa saya terlebih dahulu yang pagi itu membangunkan saya. Beranjaklah saya dari atas ranjang dan segera mencari dimana pakaian saya berada. Masih dalam keadaan sedikit mengantuk, saya pandangi tubuh Jovan yang masih berbalut selimut menahan dingin. Memandang parasnya di pagi hari usai saya bangun tidur serasa menjadikan saya suaminya di hari ini. maka dengan perasaan bahagia, saya kecup kening Jovanda sebagai salam sambut membuka pagi.

Pagi itu saya memilih untuk berjalan di tepi pantai melihat pemandangan Senggigi di pagi hari, ombak yang berdesir pelan menepikan air di pinggiran batu karang bersama hembusan angin, membuat hati saya terasa damai dan menikmati hidup ini untuk sejenak. Saya mensyukuri segala nikmat yang telah saya dapat sampai sejauh ini. Pacar yang cantik seperti Jovan, sahabat yang selalu ada untuk saya, seperti nikmat – nikmat lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Merasa cukup menikmati pagi di tepi pantai Senggigi, saya pun lekas kembali ke hotel untuk melihat jovanda. sesampai di kamar saya dapati Jovan masih tidur di atas ranjang berselimut kain tebal. Melihatnya masih pulas dengan tidurnya, maka saya tinggal mandi untuk beberapa saat agar dapat mengulur waktu dan melihatnya terbangun.

Namun sampai saya usai mandi, saya dapati Jovanda masih dengan pulasnya tidur di atas ranjnag tiada berekspresi. Timbul rasa curiga dengan keadaan pacar saya satu ini, saya coba untuk membangunkanya dengan memegang pipinya terlebih dulu. Dan betapa kagetnya ketika saya pegang pipi itu bersuhu sangat panas. Lantas ini bukan tidur yang biasa pikirku, namun dengan kata lain ia tengah pingsan dalam tidur. Melihatnya seperti ini pastilah saya gugup bukan main. Dengan keadaan ia yang masih telanjang bulat di dalam selimut, sangat tak mungkin jika saya memanggil pak Budi untuk memeriksa kondisi Jovan. Tak ambil pusing, saya pakaikan saja piayama Jovan sekenanya yang penting tubuh itu bebalut busana terlebih dahulu. Dan langkah ke dua kali ini, pastilah saya panggil pak Budi untuk melihat Kondisi Jovan.

“gimana kondisi Jovan pak ??’ tanyaku pada pak Budi usai memeriksa.

“tensinya rendah banget, aliran darah ke otaknya agak terhambat yang buat dia jadi gak bisa ngrespon untuk bangun”

“trus dia nanti sadarnya gimana pak ??” sungguh panik itu menyelimuti hati saya.

“udah bapak kasih obat lewat suntik kok tadi. Tunggu aja, gak lama Jovan juga sadar. Cuman saran bapak kalo bisa Jovan jangan terlalu capek. Trus besok secepetnya urus buat kepulangan lebih awal. Soalnya bapak mau cek up perkembangan penyakit Jovan” tukas pak Budi menuturkan.

Mendengar apa yang pak Budi katakan, saya lebih memilih membatalkan segala agenda yang berkaitan dengan kesehatan Jovan. Sebab, saya rasa acara tadi malam sungguh membuat Jovan capai meski itu hanya sebatas oral saja. namun rasa syukur itu tetap ada, bagaimanapun kondisi Jovan saat itu dia masih sempat memberikan pelayanan terbaiknya demi memuaskan sang pacar yakni saya. Setelah menunggu untuk beberapa saat, tak lama Jovan sadar untuk pertama kalinya sambil memanggil nama saya lirih di ucapnya.

“yank, pusiiiiiiing” ya, hanya itu kalimat yang sanggup ia ucap.

“iya yank, tahan ya, aku jagain kamu kok . .” usapku pada kening Jovan sambil memperhatikannya.

“ini jam berapa ?? aku tidur kok lama banget ya kayaknya” tuturnya terasa bingung.

“ini udah mau jam sepuluh pagi yank. Tadi kamu demam pas tidur, abis di kasih obat sama pak Budi baru deh kamunya sadar”

“oh gitu ya . . . . . gara – gara semalem nih yank. Hehehehe” tawanya kecil menahan rasa pusing.

“udah yang semalem jangan di inget lagi, tar kamu tambah puyeng yank, kamu belom sarapan kan ?? mau aku beliin bubur atau apa gitu ??” tawarku pada gadisku ini.

“hm . . kalo bisa masakin aja yank. Bubur di kasih daging ayam yang udah di lembutin gitu trus di kasih serutan daun seledri” tutur Jovan memintaku untuk memasak.

“hah ?? aku masakin buat kamu ?? orang di sebelah ada yang jual makanan bubur juga kok yank, ngapain aku segala yang masak. Ribet, lama, ga efisien dan buang – buang waktu” jawabku tegas menolak berdasarkan logika.

“iya sayang, semua itu emang ribet, lama, ga efisien dan buang – buang waktu, tapi kamu gak tau kan rasa sayang yang ada di tiap butir nasi yang kamu masak itu tanpa sadar ??” tegur jovan menyadarkanku dari logika.

Sesaat saya terdiam mencerna apa yang Jovan katakan. Dan rasanya ada benarnya juga ketika saya memasakkan sesuatu untuknya, tanpa sadar di tiap butir nasi itu terdapat kasih sayang. Mungkin itu semacam obat untuknya, dengan melihat saya berusaha demi dia, itu akan menjadikannya semangat hidup dari apa yang tangan saya berikan secara langsung.

“iya juga sih yank, aku ga mikir sampe ke situ, kalo kamu masih betah nunggu aku nyari bahan dulu sama Evan kalo gitu”

“ywdah, ganbate ya sayang, hahahaha” tawanya masih lemas melihatku berusaha untukknya.

Dengan perasaan berat hati, akirnya saya tinggal Jovan di kamar sendirian yang tak lama saya suruh pak Budi untuk menggantikannya. Sebab saya tak ingin jika Jovan sendirian di dalam kamar dalam kondsisi seperti ini. Maka selanjutnya saya segera mencari Evan dan memberitaukan apa yang tengah terjadi pada Jovanda kakak perempuannya. Terlihat ekspresi takut dan gelisah meski Evan tak mau mengakuinya, namun tak ingin membuang waktu, segera saya tarik itu Evan untuk masuk ke dalam mobil dan menuju pasar paling dekat di daerah tersebut meski sempat saya nyasar ke pemukiman warga beberapa kali.

Singkat cerita saya sudah dapatkan semua bahan yang akan di gunakan dalam memasak bubur, maka segera saya menuju dapur hotel dan memelah sambil memohon untuk di perkenankan memasak di sana sambil di bombing oleh juru masak yang sudah terlatih di sana. Lagi – lagi meski saya sempat tidak di perbolehkan karena hanya akan mengganggau jalannya penyiapan hidangan, namun dengan muka yang terlanjur hancur ini saya memelas dengan semelas – melasnya agar di perbolehkan memasak sendiri di sana. Tak kurang saya juga harus bercerita tentang kondisi Jovan agar para petugas hotel luluh dengan kemauan saya ini.

Fix bubur yang saya masak telah jadi, kini siap di hidangkan untuk Jovanda tercinta. Saya pun berterimaka kasih kepada seisi kru dapur yang telah membantu saya dalam acara memasak ini. tak jarang saya di beri semangat oleh mereka agar masakan saya ini di terima baik oleh Jovanda. sungguh pengalaman yang tak akan terlupakan. Tak akan . . .

“hay yank . . .” sapaku manis pada Jovan sambil membawa semangkuk bubur panas untuknya.

“loh udah jadi yank ??” tanya Jovan keheranan sambil melirik ke arah pak Budi.

“wah ini bapak boleh nyicipin duluan gak nih mas Rakha ?? hahahaha . .” iseng pak Budi mendekati bubur buatanku.

“yah jangan dok, itu buat aku . . . huaaaaaaaa” mewek Jovan seperti anak kecil kehilangan permen kesayangannya.

“hahaha, gak gak Jo, gitu aja kok. Ywdah kamu cepet makan, besok kita balik pagi” tutur pak budi sambil bersiap meninggalkan saya dan Jovan di kamar.

“iya dok, besok pagi kan” sahut Jovan memastikan.

Usai pak Budi pergi, Jovan pun langsung meminta saya untuk mengambilkan bubur yang masih panas di sebelah ranjang.

“ini bneran bubur buatan Rakha Novembrio nih, ehm . . ehm, . . . hahahaha” ledek Jovan sedikit tak percaya.

“yeee, ngentengin aku kamu yank. Gak tau jatuh bangunnya aku pas masak tadi sih” keluhku sambil mengusap peluh.

“mank tadi da kejadian apa aja yank selama kamu buat ini bubur ??” tanya Jovan sambil meniup sesuap bubur di atas sendok.

“banyak deh pokoknya, gimana yank rasanya ??” penasaran ini muncul seiring suapan pertama masuk kedalam mulut Jovan.

Tiba – tiba saja mata Jovan melotot di sertai mimik muka menahan sesuatu. Mata yang tadinya terbuka lebar kini menjadi tertutup rapat sambil ia memegang pundak saya tertahankan seuatu dalam dirinya. Tak sepatah kata saya dapatkan bahwa bubur itu berasa enak, hambar atau apa. Yang jelas ekspresi itu sungguh membuat saya penasaran. Usai menelan bubur pada suapan pertama barulah ia berucap sesuatu mengenai rasa yang kini harus saya dengar dengan jujur dari lidah jovanda . . .

Created BY : rakhaprilio KASKUS