Cerita Cinta – Chapter 99. Cincin Perak di Ujung Jari Manis

Chapter 99. Cincin Perak di Ujung Jari Manis

“Duniaku gelap, tertatihku menemukanmu meski sebuah persembunyian selalu datang menyembunyikanmu dari genggaman tanganku. Ingin ku bawa kau pergi dengan segenap cinta ini meski duniaku tak seutuh dulu lagi. Biarkan ku hidup di sisa puing kasih sayang yang mulai berguguran seiring sang mantari menjemputmu esok hari. Mesku ku tau ini hanya berujung perih, namun cinta itu tetap kamu dan selalu kamu. Tak akan pernah tergantikan”

Hati ini menangis, meski saya masih fokus terhadap jalanan tempat saya berkendara. Mengapa saya katakan menangis, sebab rintihan ini dengan jelas menjerit menyebut nama sang kekasih untuk bertanya dimanakah ia berada. Apa yang tengah ia lakukan di sana, semua pertanyaan macam itu terbesit di benak saya selama jalanan ini belum habis dengan Jovanda sebagai objek yang saya cari. Derap langkah ini tak jarang meninggalkan Fany yang tertatih mengejarku. Maaf, saya terlalu cepat dalam mencari Jovanda. Dengan segenap perasaan yang telah saya kumpulkan, kugandeng tangan Fany agar dapat menyamai langkahku tiba di kamar tempat Jovan berada.

Kulihat ayah ibu dan adik Jovan berada di sana dengan wajah pucat pasi, tak banyak harap saya temukan di sini. Perasaan bingung untuk berkabung bersama mereka membuat saya canggung menyapa. Entah, apa yang saya rasakan, suasana saat itu . . .

Kacau . . .

“om, gimana keadaan Jovan ?? ada apa kok bisa sampe ngamar segala om ??” tanyaku pelan menyapa sang bapak yang berada di sebelah ranjang Jovan.

“kondisi Vanda drop Kha” ucap sang bapak bertutur lirih.

“trus kata dokter gimana om, Jovan masih baik – baik aja kan ??”

“besok mau di adain oprasi buat ngangkat kanker di otaknya. Om harap kamu ada waktu buat nemenin Vanda selama masa itu”

Melihatnya masih terbaring lemah saat ini saja cukup membuat hati saya hancur, apa lagi mendegar jika esok memungkinkan, ia akan di oprasi guna mengangkat kanker yang bersemayam dalam otaknya. Saya berasa lemas tak berdaya ingin bersandar pada sebuah rasa lelah dalam menghadapi jovanda. tuhan berikan ia yang terbaik jika ini harus di laluinya, hanya itu doa yang terucap selama memandang Jovan di depan mata saya.

“iya om, saya akan sempetin waktu setelah konsul dari kampus”

“kamu udah ngambil skripsi Kha ?? tanya ayah Jovan sedikit berharap padaku.

“iya udah om, ini tinggal sempro masih nunggu tanggala aja”

“ywdah moga lancar ujiannya, cepet selesain skripsi dan kasih semangat ama Vanda” tutur sang ayah menaruh sebuah harapan padaku.

Malam itu saya pulang usai melihat kondisi Jovan. Tak banyak yang bisa saya lakukan di sana, sebab kondisi Jovan masih lemas baru pingsan. Maka keluarga Jovanlah yang saat itu menemani hingga esok pagi datang menjelang dan tiba giliran saya untuk berada di samping Jovan sebelum ia memulai operasi.

Pagi datang menjelang, malam yang kuhabiskan dengan penuh rasa kawatir kini akirnya bisa terbayar dengan keberadaan saya yang akan berada di samping Jovan sebelum ia memulai operasi. Pagi ini saya berangkat sendiri ke rumah sakit tanpa di temani oleh Fany, tapi tentunya dengan memberi kabar terlebih dahulu, saya berharap Fany juga akan mendoakan Jovanda semoga di beri kelancaran dalam operasinya. Maka sebelum hal yang bernama oprasi itu datang menyambut Jovan, saya ingin menyambutnya terlebih dahulu dengan memberinya semangat agar senantiasa kuat dalam menjalani ujiannya kali ini.

Sesampai di kamar tempat Jovan beristirahat, benar adanya sang ayah tak saya dapati tengah berada di samping putri pertamanya. Sedangkan di sana hanya ada ibu Jovan dengan wajah lelah karena semalaman telah menunggu anaknya untuk persiapan menjalani operasi. Untuk Jovanda sendiri saat itu tengah saya dapati menonton televisi dengan santainya seolah ia tak tau bahwa hari ini ada jadwal operasi untuknya.

“salamualaikum, pagi tante . . .” sapaku pada ibu Jovan dengan mata setengah kantuk.

“walaikumsalam, sini masuk” tutur sang ibu mempersilahkan saya masuk.

“loh yank kok kamu tau aku di sini !!??” sedangkan wajah kaget jovan saat itu lebih tak saya perhatikan seolah saya adalah sesuatu yang di hindarinya dari masalah ini.

“dari kampus Rak ?? udah selesai konsulnya ??” tanya sang bunda memperhatikan saya.

“iya, tapi tadi dosennya gada, jadi saya tunda aja tar sore atau mungkin besok buat konsulnya” jawabku dengan malu – malu kucing.

“kok di tunda – tunda sih, tar kapan lulusnya ?? hayoo . .”

“kan ada hal yang lebih penting dari skedar konsul, ini putri tante saya rasa lebih butuhin saya ketimbang saya butuhin skripsi buat lulus” jawabku kini terasa lebih serius.

“iya tapi jangan sampai kuliahmu keganggau gara – gara Jovan ya, tetep prioritasin kelulusan kamu buat tahun ini” tegur ibunda Jovan mengingatkan.

“iya tante, pasti saya cepet lulus kok”

“oh ya Rak, tante tinggal buat mandi dulu balik ke rumah sebentar ambil baju Jovan, kamu jagain Jovan bentar ya” pinta sang bunda kepada saya sambil menenteng tas.

“og gitu, iya tante. Saya banyak waktu luang kok hari ini. tante juga jangan sampai kecapean”

Kini tinggal ada saya dan jovan di dalam kamar, terlihat bagaimana ekspresi Jovan kebingungan menghadapi kedatangan saya yang kini ia juga telah di tinggal oleh sang ibu. Maka berbincanglah saya dengan kekasih saya yang satu ini untuk menanyakan segala hal yang terus berputar di atas benak saya sedari tadi malam.

“kamu kenapa, gelagapan gitu ngliat aku kaya ngliat hantu aja yank ?!!” tanyaku sedikir jengkel sembil duduk di sebelah ranjangnya.

“kok kamu tau aku di sini sih yank ?? sapa yang kasih tau ??” tanya Jovan penasaran.

“kamu ini kaya nganggep aku orang bego aja yank, pastilah aku tau kamu ada di mana. Percuma kamu ngumpet di ujung dunia kalo orang yang nyari kamu itu aku” cubitku pada hidung jovan sebagai pelampiasan rasa kesal.

“aduuuuuuh . . . aku tau semalem kamu ke rumah, cuman kan sama bibik kamu ndak di kasih tau kalo aku ada di RS” jawabnya bingung.

“oh, jadi ini ulah kamu nyuruh bibik buat ga mau jujur sama aku ?? ha . . ngaku gak !!” pojokku kepada Jovanda.

“iya yank, aku yang nyuruh bibik buat bohong sama kamu tiap aku kenapa – kenapa” kini wajah itu berubah lesu tak berdaya.

“kenapa kamu nglakuin itu ???”

“aku ga mau kamu tau kalo aku sedang kenapa – kenapa. Makanya aku selalu pesen sama bibik buat nyembunyiin hal ini dari kamu”

“kenapa kamu harus nyembunyiin ini dari aku ??”

“aku gak pingin kamu terlalu kawatir sama aku. Selama ini beban kamu udah bnyak, aku ngrasa selama aku sakit aja aku udah kaya jadi beban kamu. Makanya aku gak mau buat kamu kepikiran lagi. Maaf kalo caraku itu salah di mata kamu”

Wajah itu sungguh di penuhi dengan penyesalan dan rasa bodoh yang menyelimuti dirinya. Pastinya ia sadar bahwa apa yang dia lakukan ini adalah hal bodoh yang hanya akan menambah pikiran saya saja.

“mulai sekarang jangan gitu lagi, aku harus tau apa yang terjadi sama kamu. Itu hak ku sebagai pacar kamu. Oiya, kamu tau kan kalo hari ini kamu ada jadwal oprasi ??” tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.

“iya tau, kenapa yank ??”

“kok kamu malah nyantai aja nonton tivi gini ?? bukannya kliatan . . .”

“kliatan apa ?? hm . . kamu mau aku kliatan stress gitu ??”

“ya gak lah yank, aku seneng kalo kamu bisa kuat n tegar ngadepin oprasinya sampai akir. Cuman rasa cemas itu kaya ga ada di wajah kamu”

“ya bagus dong, buat apa melihara rasa cemas bikin pusing aja yank”

“oiya, kok tiba – tiba aja dokoter nyuruh kamu oprasi alasannya kenapa yank ?? bukannya kanker kamu maish dalam tahap awal ??”

Dalam menjawab pertanyaan saya yang satu ini, untuk sesaat Jovanda terdiam. Ia mengalihkan pandangannya dari saya dan tenggelam pada sebuah keadaan dimana rasanya saat ini menuntutnya untuk jujur nan terbuka pada saya. Entah apa yang disembunyikannya selama ini, yang jelas penjelasan Jovan kali ini cukup membuat saya terpukul karena harus menerima kenyataan yang jauh lebih pahit dan semakin memperkecil harapan saya untuk bisa bersanding bersamanya.

“Yank, Mulai dari sini aku ingin jujur dan terbuka sama kamu. Maaf kalo selama ini aku udah bohong atau menutup – nutupi penyakitku dari kamu. Sebenernya sejak kejadianku pingsan di parkiran waktu itu, aku udah masuk stadium tiga. Jarang ada penyakit kanker otak yang di ketahui pada stadium awal. Biasanya kalo udah mulai pingsan itu stadiumnya ya udah masuk di atas satu atau dua. Aku nglakuin ini semua supaya kamu gak berfikir macam – macam sama aku. Ya meskipun aku tau semua bakal berakir kaya gimana, seenggaknya aku pingin nikmatin sisa waktuku sama kamu tanpa ada beban gara – gara penyakitku ini. maaf yank, maafin aku ya”

Tangan itu mulai menggenggam erat tanganku dengan eratnya, mencoba menguatkan saya dengan segala kenyataan yang harus saya terima. Rasa sakit bercampur tak percaya itu begitu menusuk relung hati. Dengan mecoba memahami bagaimana jalan fikir Jovan, saya berusaha menerima apa yang telah tuhan gariskan untuknya.

“yank, aku ingin tanya sesuatu sama kamu boleh ??” sambil menggoyangkan tangan ini, ia mencoba menyadarkan saya.

“iya tanya apa ??” jawabku dengan pandangan kosong masih tak sanggup berfikir panjang.

“aku tau kamu suka sama rambutku yang panjang ini, tiap mau tidur kamu mesti mainan rambut ini sebagai kebiasaan kamu. Aku tau itu, tapi ada satu hal yang membuatku berat untuk menjalani oprasi nanti yank. Yaitu aku harus potong rambut pendek banget atau bahkan aku bakal di gundul” tuturnya sendu masih memikirkan saya sebagai prioritasnya.

Masih belum habis saya menerima kenyataan tentang penyakit yang terus menggerogotinya, kini saya di hadapkan pada permasalahan lain tentang mahkota indah Jovanda sebagai salah satu aset terbesar yang bisa saya banggakan. Dan kini kebanggaan itu harus di relakan demi kelancaran berjalannya operasi. Namun satu hal yang cukup membuat saya salut sejauh ini, bahwa dalam kondisi seperti ini, lagi – lagi ia masih sempat untuk memikirkan perasaan saya tentang rambutnya. Memang saya sangat sayang dengan rambut milik Jovanda, namun ia sebagai wanita yang memiliki rambut tersebut, tidak merasa keberatan jika mahkota itu harus di potong asal saya merasa baik – baik saja dengan keharusan macam itu.

“kalo itu yang terbaik buat kamu yaudah gak papa yank, aku iklas kok asal kamu juga rela. Pokok demi kebaikan kamu ya gak papa, kalo gak ada rambut kamu, kan aku masih bisa pegang tangan kamu sebelum tidur. Ya kan, . .” jawabku mencoba menguatkan Jovanda.

“maaf yank, apa yang kamu banggain dari aku sekarang harus hilang satu persatu seiring berjalannya waktu”

“saat ini aku gak terlalu bangga dengan segala penampilan fisik yang kamu miliki, seenggaknya aku masih bisa banggain semangat hidup kamu sampe sejauh ini dan terus mikirin aku di sela rasa sakit yang tiap hari terus menggerogoti tubuh kamu. Dan satu lagi, jika aku harus kehilangan rambut yang bisa aku banggain itu, seenggaknya aku gak kehilangan kamu buat kedua kalinya”

Mendengar apa yang saya ucapkan, tak kuasa air mata itu menetes di pipi jovan dengan ia menenggelamkan wajahnya di bawah dada saya dengan posisi saya berdiri di sampingnya dan ia memeluk erat tubuh saya di atas ranjang. Dengan masih mendegarkan tangisnya sebagai musik pengentar oprasi, saya katakan satu hal untuk membuatnya lebih bersemangat dalam menjalani operasi meski saya tau ia sudah siap dengan agenda tersebut.

“yank, aku ada hadiah buat kamu. Rencananya mau aku kasih pas malem di rumah kamu, tapi kamunya sekarang udah ada di sini jadi aku kasih abis selesai oprasi nanti ya, biar kamu semangat dalem ngadepin oprasi gitu, okey !!” usapku pada rambut Jovan yang masih memelukku erat tak mau di lepaskannya.

“mank kamu mau ngasih aku apaan yank ??” tanya Jovan yang mulai melepaskan peluk mengusap air matanya sendiri.

“ada deh yank, pokok kalo kamu udah selesai oprasi tar aku kasih”

Itu adalah pesan terakir saya pada Jovan sebelum ia berangkat oprasi. Siang hari dokterpun datang dan tengah menanyakan kesiapan Jovan dalam menjalani operasi. Terlihat bagaimana ibu Jovan begitu kawatir melihat buah hatinya harus menjalani hal yang bernama operasi ini. usai mengurus segala administrasi, Jovan pun siap di boyong ke ruang oprasi bersama beberapa perawat dengan satu doktor dan satu doktor spesialis. Terakir sempat saya lempar senyum semanis mungkin untuk mengiringi kepergian Jovan di dalam ruang oprasi sebagai suport rasa semangat untuknya.

Satu dua jam saya masih terus berada di depan ruang oprasi menunggu hasil dari doktor bersama ibu Jovan. Sedangkan siang itu sang ayah belum juga saya dapati sebab dari apa yang ibu Jovan katakan, sang ayah kini tengah ada rapat bersama dekan yang lainnya. Memang ini adalah penyakit para orang besar seperti ayah Jovan yang saya pikir saat itu sang anak juga membutuhkan sosok ayah untuk berada di sisi sang buah hati sebelum operasi di lakukan. Namun saya tak bisa menyalahkan ayah Jovan begitu saja, semua di lakukannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga meski tak jarang waktu yang paling berharga bersama putri semata wayangnya bisa di gantikan dengan uang.

Usai berjam jam saya menunggu Jovan. Akirnya dokter keluar dengan peluhnya yang menghiasi jidat itu pertanda operasi di lakukan dengan serius dan butuh kerja keras. Tak banyak yang saya ingat dari penuturan dokter kala itu, sebab pikiran saya masih terus berfokus pada Jovanda. Saya tak langsung bisa menemui jovanda begitu saja pasca oprasi, melaikankan harus menunggu untuk beberapa saat sampai bius itu hilang dan kesadaran Jovanda telah pulih seperti biasanya.

Tak lama akirnya jovan sadar, saya dan ibu jovan segera bergegas masuk untuk melihat keadaan Jovan pasca operasi di lakukan. Sempat ada perasaan bersyukur meilhat Jovan baik – baik saja dengan perban di kepalanya bekas jahitan. Terlebih lagi, rambut itu tak di gundul oleh sang dokter, mungkin dokter itu sendiri pun juga tau bagaimana perasaan seorang wanita jika kehilangan mahkota kebanggaannya. Maka untuk mensiasati hal ini, saya harus merasa puas dengan model gaya rambut Jovan yang lebih mirip anak laki – laki sebab di potong sangat cepak pada bagian belakang dan di sisakan poni sebagai ciri yang masih mengidentitaskan Jovan sebagai perempuan.

Di rasa cukup banyak berbincang dengan sang buah hati, akirnya saya di beri kesempatan untuk menjaga Jovan kedua kalinya saat sang ibu pamit keluar untuk membeli makan dan vitamin serta beberapa obat yang harus di tebus terlebih dahulu.

“gimana yank rasanya operasi ??” tanyaku sedikit penasaran pada Jovan sambil duduk di sebelahnya.

“ga tau apa – apa yank. Kan tadi di bius soalnya, jadi cuma rada pusing aja abis oprasi, udah . .” tuturnya kalem sambil melirikku.

“syukur deh kalo kamu gak kesakitan yank, huff . .” hela nafasku panjang.

“eh yank, mana janji kamu ?? katanya mau kasih sesuatu setelah operasi ??” tagih Jovan pada janji yang sempat saya ucapkan.

“oiya lupa, kamu merem dulu gih yank kalo gitu” pintaku bangga mempersiapkan kotak cincin di saku celana.

Pada hitungan ketiga, saya pinta Jovan untuk membuka mata. Kotak cincin yang telah terbuka indah di depan matanya kini di pandanginya dengan mata berbinar tanpa sepatah kata mampu ia ucap. Rasa haru itu menyelimuti perasaan kami berdua, kini apa yang saya impikan bisa terwujud untuk mengikat Jovanda menjadi milik saya meskipun belum sepenuhnya sah.

“sini yank tangan kamu, aku masukin di jari manisnya” pintaku pada jovanda untuk mengulurkan tangannya.

“ng . . . .” ia hanya menatapku bingung seolah ada yang salah dengan dirinya.

“kenapa yank ?? kok malah bengong ??” tanyaku penasaran masih menunggu uluran tangan jovanda.

“tanganku yank . . .” tutur Jovan masih bingung memandangi kedua tangannya.

“kenapa tangan kamu emang ?? itu gak kenapa – kenapa kok kayaknya”

“aku gak bisa ngrasain keberadaan tanganku yank” tuturnya kini berubah bingung dengan menahan rasa tangis.

“maksud kamu ??” tanyaku semakin tak faham dengan apa yang Jovan katakan.

“aku rasa . . .”

“tangan ku . . .”
Spoiler for open: Hide
“LUMPUH . . . !!”

 

Created BY : rakhaprilio KASKUS