Cerita Cinta – Chapter 161. Menjemputmu

Chapter 161. Menjemputmu

“karena rasa gw yang dulu udah beda buat lo . . !!”

“beda . . ???”

“ya . . udah beda . . .”

“rasa yang mana, yang gimana, gw ga faham Nii . .”

Entah bibir itu lebih memilih diam dari pada harus berbicara sepatah kata demi menjelaskan sesuatu yang kini tangah tak saya mengerti dari Dania. Hingga akirnya ia merelakan kepergian saya, diri ini di lepas begitu berat tepat depan kontrakan Sri.

“maaf gw ga bisa ngliat apa yang tengah terjadi sama lo. Tapi kalo emang ada urusan di Jakarta karena Nabila, gw harap urusan itu cepet selesai. Dan satu hal lagi Kha, mungkin bener gw anak indigo di mata lo. Tapi hanya dengan lo gw bisa ngrasa jadi manusia normal seutuhnya tanpa di bebani kemampuan brengsek ini. kalo emang Nabila udah nunggu lo di sana, cepet berangkat Kha . . .”

Layaknya manusia bodoh masih tak mengerti tentang apa yang Dania katakan, saya hanya bisa memandangnya dengan tatapan sendu seolah tak tega pergi meninggalkannya dengan segala rasa yang sebenarnya mungkin saya sedikit faham. Namun tak ingin terperosok dalam jurang yang sama lebih jauh lagi, mau tak mau, Dania mengiklaskan saya pergi ke bandara masih tepat berdiri di kontrakan Sri. Hingga mata ini harus perpisah pandang satu sama lain, setidaknya kulempar senyum manisku yang mungkin bisa meyakinkannya bahwa jalan yang tengah saya ambil saat ini tak akan pernah salah.

“Kha, badan lo masih anget bekas sakit maren. Yakin lo mau brangkat ??”

“kalo bisa di wakilin sama lo gw ga nolak kok Sri”

“harapan gw lo ga mati jadi gembel Kha di Jakarta. Secara Jakarta itu keras banget men !!”

“tenang sob, gw udah berhasil idup di sana selama satu minggu tiga taon dulu”

“itu kan lo numpang di rumah Bila ama Fany, lah ini lo mau kemana coba . .”

“tenang, gw yakin semua pasti baek – baek aja . .”

Untuk kali pertama diri ini masuk bandara merasakan penerbangan garuda besi yang akan membawa saya ke Jakarta jauhnya. Sebenarnya tidak semata – mata saya pergi ke sana tanpa persiapan sedikitpun. Sebab, pasalnya saya telah berkontak dengan Fany untuk saat ini tinggal di rumahnya selama di Jakarta. Maka dengan bantuan Fany tersebut, pastilah beban ini bisa sedikit berkurang karenanya. Namun bisa di ketahui untuk saat itu posisi Fany tidak tengah di Jakarta, jadi saya di rumah Fany hanya berteman dengan tante Asri beserta pembantunya saja.

Selama penerbangan, angan ini tak jauh – jauh dari Nabila. Merasakan bagaimana garuda besi itu membawaku kian jauh melewati gugusan pulau – pulau di bawahnya. Dan jika mengingat bagaimana saat Nabila harus pergi ke Austria demi hubungan saya dengan Jovan dulu, maka rasanya dengan ini saya tau bagaimana sakitnya perasaan Nabila saat tengah berada di dalam pesawat. Ya, rasanya campur aduk tak menentu. Hingga sampai di Jakarta, cuaca teramat panas nan ekstrem untuk manusia lemah sepertiku yang selalu terbiasa dengan suhu rendah di Malang atau Tulungagung membuat saya lebih memilih pasrah menunggu jemputan tante Asri alias ibunda Fany.

“kok tumben main ke Jakarta lagi ada urusan apa Kha ??” cakap tante Asri padaku dalam mobil.

“ada urusan di rumah Nabila tante . .” ujarku seadanya.

“oh gitu, sayang banget Fany pas ga ada di rumah Kha, ga papa ya” sesal tante Asri masih berfokus dalam berkendara.

Sesampai di rumah Fany, saya istirahat sejenak untuk melepas rasa lelah serta cuaca panas ini. Hingga sore hari di sana, pikiran ini semakin kawatir tak menentu mengingat apa yang Nabila ucapkan kemarin malam begitu membuat saya takut kehilangan dirinya untuk kesekian kalinya. Dengan perasaan sedikit takut, kucoba menelfon gadis asal Bandung itu di seberang telfon genggamku.

“tuuuut . . . tuuuuut . . . telfon yang anda tuju sedang tidak aktif atau di luar jangkauan, mohon coba beberapa saat lagi”

Ya, seperti itulah cara operator manyapa saya dengan ramahnya beserta informasi bahwasanya kini hape Nabila tengah tak aktif. Padahal posisi saya saat ini sudah mutlak berada di Jakarta. Lantas apa yang harus saya tunggu lagi saat ini jika bukan sekedar sapaan manis dari bibir mungkil Nabila yang begitu amat sangat saya rindukan hingga ke relung hati ini. Masih berkutat pada harapan tak menentu alias terkena dampak PHP, saya tetap setia di rumah Fany hingga malam hari tak tau lagi apa yang harus saya lakukan jika tak mendapat kabar Nabila malam ini.

“belum dapet kabar dari Nabila Kha ???” tanya tante Asri ramah sambil duduk di sebelahku.

“belom tante, saya telfon juga masih belom aktif hapenya” gelisahku bersembunyi dalam paras sopan ini.

“yaudah tunggu aja dulu, sampai tar malem gak ada kabar juga dari Nabila, besok tante antar kamu ke rumah Nabila”

“iya tante, makasih . . .”

Sekiranya waktu malam itu saya habiskan penuh dengan rasa cemas. Sebab apa yang menjadi pinta dari Nabila kini sudah saya penuhi sesuai keinginannya. Tapi apa, yang saya dapat sejauh ini masih harapan palsu dari Nabila. Hingga diri ini hampir terlelap pukul sepuluh malam, tiba – tiba saja hape di sebelah kepala ini berdering pelan membangunkanku dari rasa kantuk ini.

“hallo . .” sapaku reflek pada telfon.

“ . . . . .” tak ada jawaban.

Penasaran siapa yang tengah telfon malam – malam begini, maka saya cek saja itu nama dari layar handpone. Dan ternyata, itu telfon dari Nabila. Gadis yang amat saya rindukan keberadaannya.

“hallo Bil . . kok diem ?? hallo . .” kawatirku kini sudah menjadi satu.

“Kha . . .” sepatah sapa itu begitu berat untuk di ucap dan terdengar sesenggukan tangis di seberang sana.

“iya Bila . . ada apa, kok sedih . . .” pikirku sudah tak karuan.

“Ra . . Kha . . . kamu . . . di . . . mana sekarang . . .” tanya Nabila berisak tangis memilukan.

“aku udah di Jakarta Bil, kemaren kamu bilang gitu kan. Sebenernya ada apa. aku bingung harus gimana saat ini . . .”

“jemput aku Kha . . .”

“jemput ??? jemput kamu di mana . . . ???”

“jemput aku di rumah . . .”

“iya – iya aku jemput sekarang, tapi jangan nangis terus ya . .”

“aku udah ga betah Kha di rumah . . .”

“dah udah, aku berangkat sekarang”

Dengan hati yang bercampur aduk, kupinta tante Asri untuk berwelas asih mengantar saya ke Bandung sana jauhnya. Kala itu puku sepuluh malam, malam yang masih sore di Jakarta dengan hiruk pikuk ramai bukan kepalang. Namun tante Asri bisa mengerti dari apa yang kini tengah tersirat di wajah saya saat ini. Rasa ini begitu kawatir serta kacau terus memikirkan Nabila. Tau apa yang kini tengah terjadi dengan Nabila, segeralah saya bergegas dengan tante Asri berangkat ke Bandung malam itu dengan mobil hanya berdua saja.

Hingga akirnya pukul dua belas malam saya sampai tepat di depan rumah Nabila. Rumah yang pernah saya singgahi tiga tahun dulu. Penuh dengan kenangan serta memori indah di dalamnya. Tapi saat ini apa, semua itu berubah menjadi malam mecekam yang akan mengantarkan saya pada perjalanan panjang bersama Nabila kelak.

Gerbang pintu itu berdiri kokoh di depanku, dengan perasaan takut saya beranikan diri untuk membukanya. Bersama tante Asri yang masih setia mengantarkanku, masuklah diri ini hingga berada tepat di depan pintu rumah Nabila. Tak lupa dengan berucap basmalah, kutekan tombol bel beserta bunyi lonceng yang bergema di dalamnya. Dan dalam hitungan detik, sosok itu muncul tepat di depan mataku . . .

 

Created BY : rakhaprilio KASKUS