Cerita Cinta – Chapter 162. Menggapaimu

Chapter 162. Menggapaimu

Sebut saja ayah Nabila adalah om Indra. Orang dengan sejuta perawakan yang sangat mencerminkan layaknya laki – laki dengan kumis lebat di bawah hidungnya. Namun jangan salah, kehadiran saya yang tak di undang ini pasalnya tak di sambut oleh om Indra. Melainkan adalah si Mbok yang kini bertambah tua. Padahal juga hanya berselang tiga tahun, tapi entah mengapa paras itu kini terlihat lelah juga terasa lebih tua. Apa mungkin mbok merasakan apa yang Nabila rasakan, tak ingin berspekulasi terlalu jauh, maka saya masih di sambut baik oleh Mbok yang senyumnya sudah hilang entah kemana.

“Mbok . . . !?? Bila mana Mbok ???” tanyaku gelisah sambil memperhatikan keadaan si Mbok.

“ada di dalem Den, . .” jawabnya sambil mempersilahkan saya masuk.

“kok sepi Mbok, pada kemana. Bapak sama ibuk ada ???” tanyaku kawatir sambil lirik kanan kiri.

“ga ada Den, barusan tadi jam sepuluh keluar bawa mobil sendiri – sendiri”

Dalam hati saya hanya berfikir pantas saja Nabila baru menghubungi saya pukul sepuluh malam. Mungkin ini alasan mengapa ia mengulur waktu hingga selarut ini.

“tante, . . saya masuk dulu ketemu sama Nabila, tante tunggu di ruang tamu aja sama Mbok ya” pintaku pada tante Asri yang terlihat asing di rumah itu.

“iya Kha, masuk aja . . tante tunggu di sini” sambil mengiyakan tante Asri pun dudukan santai di ruang depan.

Kembali lagi perhatian pada si Mbok, saya pun mulai bertanya di mana kebaradaan Nabila saat ini. sebab rasa kawatir yang sudah tak lagi dapat di bayar dengan apapun ini rasanya tak akan pernah sirna sebelum saya menemukan sosok gadis asal Bandung satu itu.

“Bila ada di mana Mbok ???” tanyaku kembali pada si Mbok.

“di kamar Den . .” tuturnya lemah sambil ingin pergi ke belakang.

“iya di kamar yang mana Mbok, . . . duuuuuh !!!” tak sabarku bertanya pada si Mbok.

“di kamar yang dulu Aden tidurin sama neng Bila”

Kampret . . tau saja itu si Mbok kejadian terlarang tiga tahun dulu. Dengan berumpat malu, saya segera bergegas menuju kamar yang pastinya sudah sangat familiar di mata ini. Hingga diri ini berlari begitu cepat tepat di depan pintu, nafasku masih tak karuan karena badan ini yang nyatanya kurang sehat. Dengan segenap hati yang telah merapuh kucoba meraih gagang pintu kamar untuk menemukan sosok Nabila. Namun belum sempat tangin ini menyentuhnya, pintu itu terbuka lebih dulu mendahului. Dan yang benar saja, Nabila berisak tangis memilukan memandangku tak berdaya.

Kupeluk erat sosok yang amat saya rindukan itu hingga nafas ini beradu di buatnya. Meski tak jarang air mata itu menetes tepat di dada yang berbalut tulang dan kulit ini, rasanya hanya ini yang bisa saya berikan untuk sekedar menenangkan hati Nabila saat itu. Kucium kening itu begitu dalam pertanda bahwa saya sangat merindukannya, ku tatap wajah letihnya sudah sangat rapuh dengan sejuta masalah yang tergambar jelas di bahunya. Tak ingin berlama lagi di rumah itu, ku ajak Nabila untuk pergi mengambil jalan panjang dari awal sebuah kisah cinta.

“Bila sayang . . jangan nangis lagi, ya . . “ tenangku pada isak tangis Nabila.

“aku . . . kangen . . . . kamu Kha . .” semakin menjadi sudah itu tangis beradu dalam pelukku.

“iya . . iya . . aku udah di sini kok. Ayok kita pergi” ajaku pada Nabila untuk bergegas.

“aku ga betah . . . di rumah . . .” meski terseok, ia tetap berucap tentang apa yang ia rasakan.

“dah yok ambil barang – barang kamu, aku ga mau kamu lama – lama di sini”

Hanya bisa menuruti perkataanku, Nabila mengiyakan ajakanku untuk segera pergi dari rumahnya pukul setengah satu pagi kala itu. Memang bukan hal yang lazim jika hal seperti ini saya lakukan pada tengah malam seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, jika tidak sekarang lantas kapan lagi. Sedangkan izin membawa Nabila pergi lebih tidak saya pikirkan. Sebab yang terpenting saat ini adalah bagaimana cara agar batin Nabila bisa tenang seperti sedia kala. Sungguhpun senyum yang amat saya rindukan selama ini telah hilang entah kemana dari paras ayu milik Nabila.

“tante, ayok kita pulang . .” ajakku pada tante Asri sambil menggandeng Nabila.

“sekarang Kha ?? si Mbok mana . .” tanya tante Asri memastikan.

“udah ada di depan buka gerbang”

Usai menaiki mobil bertiga, perasaan saya mendadak tak tenang. Padahal ini sudah berada di depan gerbang tinggal sedikit lagi untuk pergi meninggalkan kediaman Nabila. Namun rupanya perasaan itu tak salah, bahwasanya kudapati Angga dan Anggi yang kini telah tumbuh dewasa menginjak masa sekolah dasar kelas tiga tengah berdiri tepat di bibir pintu saling bergandengan menyaksikan sang kakak di bawa pergi oleh lelaki sepertiku. Sungguh merasa kasihan pada mereka, maka saya pinta tante Asri untuk menunggu sesaat sebelum kami beranjak pergi. Bergegas saya turun dari mobil dan berjalan pelan menemui sosok kedua bocah yang semestinya belum saatnya untuk tau tentang keadaan ini.

“Angga . . Anggi . . . mas kangen sama kalian . . .” pelukku erat pada kedua adik Nabila hingga berembun lirih mataku.

“mbak mau di bawa kemana mas . .” tanya Anggi yang terlihat cemas melihat Nabila di dalam mobil.

“mbak pingin tenang untuk saat ini bersama mas, kalian jangan nakal ya di rumah. Baik – baik sama papah dan mamah” ujarku halus sambil mengusap kedua rambut bocah itu.

“mbak Bila kapan pulang . . .” tanya Angga kembali dengan wajah gelisahnya.

“secaptnya mbak akan pulang, tapi gak sekarang. Biarin mbak Bila tenang dulu di luar sama mas. Nanti kalo udah baikan, pasti mas anter mbak Bila pulang ke rumah lagi kok”

“aku kasian mas sama mbak Bila . . .” isak tangis Anggi sambil mengusap air mata layaknya anak kecil.

“kasian gimana, mbak Bila bakal baek – baek aja kok asama mas. Anggi jangan nangis lagi ya . .” pelukku pada Anggi sambil mengusap air matanya.

“mbak itu kemaren baru di marahin sama papah. Mbak Bila sedih banget. Kerjaannya di kamar ga mau keluar. Ga mau makan, sempet pingsan juga. Anggi sedih kalo liat mbak kaya gitu” ujar Anggi apa adanya masih sibuk tangannya dengan air mata.

Demi tuhan saya tak tau apa yang tengah Nabila hadapi saat ini. Hingga ia pingsan di kamar karena tidak makan itu pun saya rasa merupakan salah satu konsekwensi dari tindakan yang sudah ia ambil. Masih tak percaya dengan hal ini, saya coba tenangkan dulu Anggi yang masih sibuk menangisi kakaknya satu itu.

“Anggi, mbak emang lagi ada masalah sama papah. Jadi ini kak Rakha dateng ke sini buat tenangin mbak Bila. Kalo udah tenang, mbak pasti pulang ke rumah kok. Anggi jangan nangis lagi dong . .”

“buat Angga, jagain Anggi ya . . kamu cowok, apapun yang terjadi ga boleh nangis ya”

Tiba saat dimana saya harus melepas tangis dan rasa kawatir dari adik – adik Nabila yang teramat sangat memilukan memikirkan keadaan sang kakak. Kembali dalam mobil kudapati Nabila sudah duduk tak berdaya meratapi kehidupannya yang seolah sudah di unjung tanduk. Dengan sekali tancap, melesat sudah mobil tante Asri pulang menuju Jakarta pukul setengah dua pagi. Hingga sampai di rumah, sekiranya saat itu kurang lebih pukul empat pagi. Semua sudah lelah dengan perjalanan pagi ini.

Kubopong Nabila yang terlihat letih dengan muka pucat pasi, sedangkan tante Asri sudah lebih memilih untuk beristirahat sebab esok hari harus bekerja kembali. Kutidurkan Nabila di kamar Fany berteman boneka beruang sebagai pengantar mimpinya yang mungkin tak akan pernah indah lagi. Terlelap begitu pulas gadisku asal Bandung satu itu, melepas segala rasa letihnya tanpa berpamit salam padaku. Sedangkan tangan yang masih di genggam erat oleh Nabila sedari tadi kini rasanya sudah terasa melemah pertanda ia tengah tertidur pulas di depan pandanganku.

Beranjak pergi meninggalkan Nabila di kamar sendirian, saya ingin segera melepas lelah ini di ranjang yang lain. Hingga subuh hampir berkumandang di pagi petang itu, hape ini tiba – tiba berbunyi lirih memecah rasa lelah bertabur pandang kabur. Memaksaku melihat handfone di saku untuk sekedar bersapa lelah pada sang penelfon yang ternyata pagi itu dari Dania.

“Kha . . Hallo . .” sapa Dania di seberang telfonnya.

“iya Nii, da apa . . uuuugghhh . . .” pusingku menerima sapa dari Dania.

“udah ketemu Nabila ??”

“udah Nii, barusan dari Bandung gw jemput dia”

“gimana keadaannya ??”

“alhamdulilah udah baikan kok, tapi ya masih kliatan stress gitu anaknya . .”

“udah sempet bicara ama bokapnya lo ??”

“belom, tadi di rumah ga ada bonyoknya. Gw langsung boyong aja dia ke Jakarta”

“lah . . kalo di cariin gimana ??”

“ya itu urusan besok, yang penting dia gw tenangin dulu di sini. Di rumah yang ada dia tambah stress Nii”

“ya aturan lo hubungin bokapnya dulu kek bilang kalo mau bawa dia. Gimana sih . .”

“lo kira bokapnya segampang itu buat di maintain izin ??? enak banget lo ngomongnya. Dari keadaannya aja Nabila udah kaya gembel di rumah hampir gila gara – gara stress. Kalo gw izin dulu ke bokapnya, yang ada Nabila malah di pindah keluar Negri tau gak”

“kalo lo asal bawa dia kaya gitu kan sama aja kaya kasus penculikan. Lo bisa di tuntut Kha . .!!”

“bodo amat, di sel ya di sel aja. Toh gw culik demi kebaikan dia. Ya bagi bokapnya aja ini terasa ga baik”

“sampe sekarang gw masih ga mau gunain kemampuan gw buat ngliat kejadian lo kedepannya kaya gimana Kha. Cuman gw pesen sama lo, kalo besok harus ada suatu hal yang lo hadepin, lo jangan kebawa emosi. Terlebih lagi kalo itu berhadapan sama bokapnya Nabila”

“lo bilang ga mau ngliat kejadian kedepan gw kaya gimana, tapi lo bisa pesen agar gw besok ga kebawa emosi. Lucu banget lo Nii . . .”

“gw cuma ikutin felling aja. Pagi ntar lo kemungkinan bakal kedatangan tamu dari keluarganya Nabila”

“tuh kan lo nebak lagi, bilang aja lo udah ngliat tar kejadiannya kaya gimana”

“kan gw bilang, kalo lagi jauh gini gw ga bisa nerawang lo. Lo lupa ??”

“iya juga sih, tapi sapa tau, . . gw orang istimewa di mata lo yang bisa lo liat dimana pun gw berada. Hahahaha”

“idih . . pede amat lo. Dasar mesum !!”

“ywdah Nii, gw tewas dulu ye. Sumpah mata gw udah lengket ini”

“sebenernya lo itu emang . . .”

“zzzz . . ZZZZ . . zzzz ZZZ . .”

Belum sempat kata terakirnya berucap penuh, entah apa yang ingin di sampaikannya, mata ini sudah terlelap lebih dulu. Dan telinga ini, sudah tak mampu mendengar lagi apa yang ingin Dania katakan.

 

Created BY : rakhaprilio KASKUS