Cerita Cinta – Chapter 7. Caffe Amelia

Chapter 7. Caffe Amelia

 

Sebagai mahasiswa, tentunya saku ini tak pernah kering jika hanya untuk sekedar membeli makan. Kelaparan sudah menjadi hal yang biasa di alami oleh mahasiswa. Maka berinisiatiflah saya untuk mencari uang saku tambahan, yah, sekedar untuk modal, jika suatu saat ada wanita yang berminat, maka saya tak perlu bingung lagi dengan urusan penyakit Kanker (kantong kering).

Siang itu, panas sekali, jelas ! itu siang hari sodara. kudengar hape ini berbunyi mesra mengalunkan lagu Justin Bieber kesukaan saya.

“baby, baby, baby oooow, baby, baby, baby, ooooow” begitu kata Justin Bieber mengingatkanku bahwa hape ini sedang ada telfon.

“owh, da apa Mel, tumben nelfon ??” itu telfon dari Amelia pemirsa.

“Ga papa sii, lg boring aj d rumah. Gada yang ngajak maen, uffh . .” terdengar berat itu suara.

“ya kluar kek kemana gitu” asal usulku.

“ama sapah” jawabnya ketus.

“ama cowo kamu mungkin ???” Ea, Ea, . .

“aku blom punya cowok kha” suaranya melembut pemirsa, Aiiih sadap lampu hijau.

“kosan kamu daerah mana sih mel, agak sorean deh aku maen ke situ, boleh ??” ga pakai basa basi lagi.

“daerah XXX kha, tapi tar ketemuan aj deh di Caffe nya om ku, soalnya brusan d sms d suruh ke sana, gimana ??” usulnya padaku.

Mo ketemu di caffe kek, mo di terminal kek, pa di kuburan kalo perlu daku jabanin.

Jadilah diri ini “Henshin” secakep mungkin, gaya rambut ala Pasha ungu, parfum Spalding bekas bapak punya, celana pencil tapi bukan model model cangcut, kaos distro screamo, di balut sweater abu – abu kesayangan saya. Dompet, hape, tas pun tak lupa.

Bertemulah saya dengan itu Amelia tepat jam 3. Kucari dimana sosoknya berada, kudapati seorang wanita sedang duduk bersama om – om berwajah ganjen. Tiba – tiba saja om – om itu justru melambaikan tangan pertanda menyapaku. Lah kapan aku pesen jablay, kok pakai di suruh ke sana segala fikirku.

Ohw, itu Amelia dengan omnya sodara, maaf saya telah berburuk sangka.

“sini dek, duduk aja, baru dateng ya” sapa om Andi akrab padaku.

“eh, iya om, agak macet, hehe” Malang macet ?? kapan ?? tuh tiap jam 3 sore di jembatan Suhat.

“yawdah, om tinggal dulu, nih Amel dah nungguin dari tadi” pamitnya bercanda.

“pa’an sih om, uda deh buruan . . .” muka Amel merah padam.

Duduklah kami berdua di atas kursi sofa bak ratu dan raja, hanya ada saya dan Amelia. Sesekali saya perhatikan isi caffe itu, beberapa ekor manusia yang sedang memadu cinta, ada meja bar, ruang lesehan dalam ber AC, proyektor sebagai layar tancep, dan seperangkat alat music lengkap beserta tukang soundnya.

Maka jatuhlah pembicaraan saya kepada alat musik, sebab saya adalah pemusik dengan basic berbagai alat musik kecuali drum. Jika sodara Tanya bagaimana ini suara, saya pernah juara 1 lomba vokal tingkat kota, tak emamalukan tentunya. Piano, gitar, bas sudah jadi teman akrab sejak saya duduk di bangku SMP.

“itu alat musik siapa yang main mel biasanya” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.

“owh, itu biasa ada yg ngisi tiap dua kali seminggu, cuman, sekarang lagi vakum kata om, vokalisnya ngabur sih. Kamu bisa maen music kha ??” seraya matanya beralih pada alat musik.

“ah, Cuma dikit mel, ga jago – jago amat” jawabku merendah.

Tanpa banyak cincong Amel pergi menemui om Andi, tak tau apa yang di bicarakan, sesekali tangan om Andi menunjuk ke arah tukang sound. Sedikit tidak meleset saya bisa tebak pemirsa, Amel meminta saya bermain piano.

Masuk sudah dikau dalam perangkap buaya.

“kha, coba dong kamu main piano, katanya bisa” amel mencoba meminta mesra.

“duh malu mel, banyak orang” jawabku merendah.

“ayo dong kha, satu aja, kusus buat Amel apa aja yang Rakha bisa” Amel memelas.

“nunggu agak sepian dikit gimana ?? daku mencoba menawar,

Amel bermuka suram.

Ya sudah lah daku tak berdaya, apa mau di kata Amel yang pinta, satu buah tembang Rasa Ini dari Vierra, sebab itu salah satu lagu yang saya bisa.

Dan hasilnya, Amel melihatku terpana. Dalam hati, kena kau buaya betina, sebenarnya ini adalah jebakan betmen.

“kha kamu jago gitu maennya, suaranya jugak, bo’ong ih Rakha” tangan itu sesekali menggelitikku sembari menggoda.

“hehehe, biasa aja kok mel, udah malu jangan di liatin terus napa” tak henti – hentinya amel memandangku mesra.

Sejak saat itu, jadi lah saya setiap dua minggu sekali datang ke caffe om Andi. Ya, saya di kontrak untuk mengisi music bersama pemain lainnya. Dengan gaji bergambarkan bung Karno dan bung Hatta sebanyak tiga lembar setiap bulannya.

Belum sempat saya berbagi cerita dengan siapapun, kabar itu sampai ke telinga Nabila 3 jam setalah saya usai dari Amelia.

Whats going on . . .

 

Created BY : rakhaprilio KASKUS