Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #33

Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #33

Kembang Semusim (bagian 2)

Cerita Cinta Dewasa – Setelah berenang di pantai pada hari Sabtu, pertemuan antar “anak kota” dan “anak desa” berlanjut terus dengan berenang di sungai pada hari Minggu.

Bagi Karin dan Dani, berenang di alam yang asri -apalagi di sungai yang masih bening ini!!- merupakan sensasi luar biasa. Bukan saja karena airnya yang dingin menyegarkan, tetapi juga suasananya yang lepas bebas. Berenang di metropolitan seringkali berkesan bebas, tetapi itu cuma kesan.

Cuma ilusi tentang kebebasan, padahal kenyataannya mereka dikurung oleh berbagai peraturan, berbagai “jangan ini jangan itu”, termasuk peraturan-peraturan semu tentang sopan-santun dan cara menampilkan diri dengan sempurna.

Pada akhirnya, berenang di metropolitan seperti kehidupan di atas panggung dibandingkan berenang di alam bebas kota kecil yang jauh dari keramaian ini.

“Aku minum air sungai sewaktu menyelam tadi!” jerit Karin seperti anak kecil, antara senang dan khawatir. Apakah ia tidak akan kena disentri dan kolera jika minum air mentah?
“Sehat!” sahut Iwan sambil terus berenang dekat-dekat gadis seksi itu.

“Betulkah?” tanya Karin sambil membuka matanya yang indah itu lebar-lebar, dan sambil pura-pura berenang menjauh. Tapi tak urung berkali-kali betisnya bersinggungan dengan ujung kaki Iwan.

“Asal kamu tidak menyelam dekat aku atau Kino sewaktu minum tadi,” kata Iwan dengan senyum nakal.

Karin tertawa terbahak, sudah tahu kemana arah pembicaraan. Dani yang berada tidak jauh dari Karin juga ikut tertawa mendengar percakapan mereka. Cuma Kino saja yang tidak berkomentar karena berada jauh di depan, berenang dengan kecepatan penuh.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Teman kamu itu pendiam sekali,” kata Dani kepada Iwan setelah selesai tertawa.
“Si Kino?” tanya Iwan, lalu melanjutkan tanpa menunggu jawaban,
“Dia bisa banyak omong juga, kalau sudah kenal baik.”

“Kenapa dia ada di sini, padahal kata kamu dia kuliah di B,” kata Karin menyela.
“Entahlah,” jawab Iwan, “Aku baru bertemu dengannya satu kali, dan kami belum sempat bicara banyak. Dia cuma bilang sedang beristirahat di sini.”

“Istirahat?” giliran Dani yang kini menyela, “Sekarang, kan, musim kuliah. Kalau tidak sedang penelitian, kami berdua harus ada di kelas saat ini.”

Iwan mengangkat bahunya di bawah air, lalu mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Ia tidak begitu suka kalau kedua gadis mempesona ini mengajaknya bicara tentang Kino; satu-satunya pria yang bisa menyaingi kepopulerannya di mata mereka!

“Ayo kita balapan sampai ke batas desa di sana!” seru Iwan sambil menunjuk ke arah utara. Tanpa menunggu jawaban, pemuda itu sudah meluncur di air. Karin dan Dani segera menyusul, berenang mengapit Iwan, mengejar Kino yang kini tampak menepi dekat tugu batas desa.

Beberapa saat setelah itu, mereka semua bersama-sama berenang kembali ke arah jembatan, melawan arus sungai.

Karin dan Dani mengerahkan seluruh tenaga mereka untuk mengejar Iwan dan Kino, tetapi tentu saja kedua pemuda itu jauh lebih cepat meluncur di atas air. Sampai habis rasanya seluruh tenaga kedua gadis itu, tetapi tetap saja mereka tiba di bawah jembatan 5 menit lebih lambat.

“Lihat mereka megap-megap kehabisan nafas!” ujar Iwan kepada Kino ketika keduanya sudah menepi menunggu Karin dan Dani tiba.
“Tenaga mereka boleh juga, ya!?” komentar Kino sambil mengusap mukanya, membuang sisa-sisa air.

“Menurutku, body mereka yang ‘boleh juga’ … bahkan sangat ‘boleh juga’!” kata Iwan sambil tertawa. Kino bersungut sambil menahan senyum. Mandor ini punya perbendaharaan kata asing juga rupanya! sergahnya dalam hati.

“Lihat, dada si Karin! … Kencang dan padat …,” desis Iwan sambil menatap lekat ke gadis yang sedang berjuang melawan arus untuk menepi.

“Ah, kamu seperti tidak pernah lihat dada gadis saja!” sergah Kino sambil menaiki tebing menuju tempat mereka meletakkan baju dan sepatu, dekat pilar besar di bawah naungan jembatan. Iwan berdecak sambil menyusul sahabatnya.

Kenapa si Kino ini tidak mau diajak diskusi soal body Karin atau Dani yang seksi itu, keluhnya dalam hati. Padahal banyak sekali yang bisa dibicarakan dalam soal itu!

Tak lama kemudian mereka berempat sudah duduk diam-diam melepas lelah bersama. Karin dan Dani memeluk lutut mereka, agak menggigil karena angin berhembus cukup keras dan karena tempat mereka duduk agak teduh terlindung oleh badan jembatan di atas.

Iwan dan Kino duduk bersila di hadapan kedua gadis itu sambil melap rambut dengan handuk masing-masing.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Sejak kapan kalian bersahabat?” tanya Karin memecah keheningan.
“Kami tidak pernah bersahabat,” jawab Iwan sambil tertawa dan meninju bahu Kino yang diam saja seperti tak peduli.

“Kalian saling bermusuhan?” tanya Dani sambil memandang ke arah Kino yang sedang asyik mengeringkan rambutnya.
“Dia saingan beratku!” jawab Iwan karena Kino tidak mengucapkan sepatah kata. Cuma tersenyum-senyum saja.

“Saingan dalam berenang!” seru Karin riang karena berharap bisa menonton sebuah pertandingan renang, “Siapa yang lebih cepat di antara kalian?” Iwan tersipu. Dia tidak bisa berbohong. Kino lebih cepat dan lebih cekatan dalam berenang. Tetapi dia lebih pintar dalam hal lain …

“Ah, dia lebih pintar berenang. Dia lahir di air!,” kata Iwan, lalu cepat mengalihkan topik,
“Tetapi kalau balapan motor, dia selalu kalah!”

“Betul begitu, Kino?” tanya Karin, berharap mendengar suara Kino yang cuma keluar sekali-sekali itu.
“Aku tidak pernah balapan motor dengannya,” sahut Kino kalem.

“Hei, kamu selalu menolaknya. Itu berarti kamu kalah sebelum bertanding!” sergah Iwan sambil meninju lagi bahu sahabatnya. Kino tidak bergeming, cuma tersenyum saja. Karin dan Dani saling memandang.

Lalu Dani memberikan usul mengagetkan, “Bagaimana kalau kita berempat naik motor ke bukit siang ini!”
“Aku tidak punya motor,” sahut Iwan sejujurnya. Pemuda ini biasa jujur, kadang-kadang terlalu jujur.

“Lho, tadi kamu bilang lebih pandai naik motor!” sergah Karin heran. Jangan-jangan Iwan cuma membual.
“Motor pinjaman. Milik kantor ayahku,” jawab Iwan kalem, “Tetapi kalau perlu, aku bisa pinjam sekarang.”

“Tidak usah,” sela Dani, “Kita pakai motor trail milik perkebunan. Kamu bisa naik motor, Kino?”

Kino mengangguk. Dia suka naik motor, tetapi tidak suka balapan. Dan naik motor ke puncak bukit adalah sesuatu yang dia sukai, walaupun bukan favorit. Lagipula, menurut dokter dia boleh saja naik motor asal tidak terlalu lama. Jarak ke bukit bisa dicapai dengan berkendaraan santai kurang dari setengah jam.

“Good!” seru Dani dengan gaya boss. Dia suka jadi boss. Setidaknya boss pura-pura,
“Aku naik Yamaha dibonceng Kino, dan Karin naik Honda dengan Iwan.”

Mendengar ucapan gadis bossy itu, Iwan berseru dalam hati: Impianku terwujud! …. Karin akan memeluk erat pinggangku dan kedua bukit suburnya menempel erat di punggung. Wow!

“Hei, kenapa harus seperti itu?” protes Karin,
“Sebaiknya kita undi, siapa yang naik apa dengan siapa!”

Nah lo! seru Kino dalam hati. Kini dua gadis itu akan bertengkar tentang siapa yang naik apa dengan siapa. Dan benar saja … Dani segera menyahuti protes Karin dengan protes pula.

Lalu cepat sekali keduanya terlibat perdebatan tentang “siapa naik apa dengan siapa”. Iwan dan Kino tersenyum geli melihat tingkah mereka. Iwan tersenyum karena merasa bangga menjadi rebutan kedua gadis itu, walau dalam hati ia curiga bahwa keduanya justru sedang memperebutkan Kino!

Sedangkan Kino tersenyum karena kedua gadis itu mengingatkannya pada tingkah teman-temannya di kampus. Selalu berdebat tentang segala hal, sepertinya mereka lahir untuk berdebat!

Ketika akhirnya perdebatan tak berakhir walau sudah berlangsung 10 menit, Iwan dan Kino diam-diam bersepakat untuk bangkit dan mengenakan pakaian mereka. Sebuah ultimatum.

Kedua gadis itu panik melihat mereka sudah siap pergi, dan entah bagaimana akhirnya muncul kesepakatan yang tak berubah dari keputusan Dani sebelumnya: Iwan membonceng Karin, Kino membonceng Dani. Keputusan itu membuat Iwan berbinar riang, sementara Kino tak menunjukkan reaksi apa-apa.

Setengah jam setelah itu tampak dua motor meraung menuju bukit di arah timur.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Mereka tiba di puncak bukit yang ramai oleh anak-anak muda lain menjelang tengah hari. Perut yang lapar memaksa mereka mampir di sebuah warung kecil yang ternyata menyajikan makanan sedap, walau hanya didominasi tempe dan tahu.

Karin makan lahap sekali, dan Dani menyantap tak kurang dari 5 potong tempe! Sekali lagi keduanya menemukan keindahan dan kenikmatan di balik kesederhanaan. Mengapa tempe dan tahu di ibukota tidak sesedap ini!? sergah Dani dalam hati sambil meraih tempat sambal.

Warung itu terletak di dekat sebuah tebing, dan dari tempat mereka duduk pada sebuah bangku kayu panjang, Karin dan Dani bisa melihat puncak bukit yang dihiasi sebuah batu. Tepatnya, sebuah tugu peringatan. Menurut catatan mereka, tugu itu ditegakkan oleh para gerilyawan perjuangan untuk mengenang gugurnya salah seorang dari mereka.

“Kalian sering kemari?” tanya Karin di antara suapan.
“Sering,” jawab Iwan karena Kino memang tidak pernah mendahului menjawab,
“Terutama malam minggu.”

“Pacaran?” sela Dani sambil tersenyum dan sambil menggigit sepotong cabe rawit. Bibirnya memerah karena kepedasan.
“Ya, pacaran … atau mencari pacar, atau memutuskan pacar, atau memacari pacar orang!” sahut Iwan tak acuh. Karin tertawa gelak mendengarnya.

“Kamu pasti playboy, Wan!” sergah Dani.
“Mungkin,” kata Iwan masih tak acuh, mulutnya sibuk mengunyah tempe,
“Tetapi yang terang aku mandor perkebunan.”

Karin tertawa lagi. Pikirnya: kadang-kadang pemuda di kota kecil ini bicara jauh lebih lugas. Untuk kesekian kalinya gadis itu membuat perbandingan dan menyimpulkan bahwa teman-temannya di ibukota kalah jauh dalam soal kelugasan.

Si mandor muda ini tidak pernah ragu mengungkapkan pikirannya, bisik Karin dalam hati, sementara teman-temannya di metropolitan sering berputar-putar jauh sebelum tiba di titik persoalan.

Atau menghambur-hamburkan uang dulu sebelum menyatakan keinginan yang sebenarnya, …. mengajak dan mentraktir nonton sebelum mencium, … membelikan segala macam hadiah sebelum mengajak bercinta.

“Apakah kamu juga playboy, Kino?” Dani mengalihkan ‘serangan’-nya ke si pendiam. Kino menggeleng sambil meneguk teh pait. Tanpa ekspresi dia berkata,
“Aku tidak ada bakat menjadi playboy.”

“Tapi kamu ingin jadi playboy?” desak Dani, senang karena akhirnya si pendiam mau buka mulut. Kino tertawa kecil,
“Aku senang kalau banyak gadis menyenangiku,” katanya.

“Apakah banyak gadis yang senang padamu?” Dani terus mencecar, seperti polisi menginterogasi pencuri.
“Banyak,” kata Iwan sebelum Kino sempat menjawab,
“Tetapi dia terlalu pemilih … ”

“Aku tidak pemilih,” bantah Kino sambil menelungkupkan sendok-garpu di piringnya,
“Aku tidak tahu berapa banyak yang suka, bagaimana aku bisa memilih?”

“Dia selalu bilang begitu,” kata Iwan kepada Dani,
“Sebab dia tidak pernah memperhatikan gadis-gadis itu. Tentu saja gadis-gadis itu tidak memasang pengumuman bahwa mereka menyukai Kino, bukan?”

Kino tertawa kecil, “Mungkin sebaiknya mereka melakukan itu, kalau benar-benar suka!” Karin dan Dani tertawa, senang mendengar perdebatan pendek dan polos antara kedua pemuda di hadapan mereka. Lalu, entah bagaimana, Dani sudah berkata,

“Kami berdua suka pada kalian!”
“Hei, jangan seenaknya mewakili pikiranku!” sergah Karin sambil menyikut pinggang temannya. Dani meringis.

“Tetapi kamu suka padaku?” tanya Iwan cepat-cepat kepada Karin, sambil menatap terus-terang.
“Mungkin … mungkin ya, mungkin tidak!” sahut Karin tak kalah cepat. Biar bagaimana pun ia lahir dan besar di ibukota, dengan salah satu adagium: keraguan menunjukkan kemajuan berpikir!

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Aku juga,” sela Dani tak mau kalah, sekaligus menyesal telah membuka kedok mereka,
“Aku mungkin suka kamu, mungkin suka Kino…”

“Ah, kalian cuma gengsi saja!” sergah Iwan sambil bangkit untuk mengambil segelas teh lagi.

“Bukan gengsi!” sahut Karin sengit, hampir saja tempe yang digigitnya terpental keluar,
“Aku memang belum tahu apakah suka atau tidak kepadamu!” Iwan tertawa sambil menuangkan isi teko ke gelasnya,

“Bagaimana dengan Kino? Apakah kamu suka pada Kino?” Karin menoleh ke arah Kino, tetapi pemuda itu sedang asyik memandang ke luar seakan-akan tidak ada apa-apa. Dani menatap Karin sambil tersenyum geli melihat sepupunya terjebak.

“Aku tidak tahu!” jawab Karin sambil berhenti mengunyah. Tempe di mulutnya tiba-tiba terasa pahit. Iwan tergelak, “Kalau begitu sebaiknya kamu tetap ragu-ragu saja!”

Dani ikut tertawa, dan Karin melototkan matanya kesal ke arah sepupunya itu. Sialan anak ini! sergahnya dalam hati. Dia membuka perdebatan, tetapi dia menghindar secepat kilat.

“Tetapi jangan ragu-ragu siang ini,” sambung Iwan sambil kembali ke tempat duduknya dengan gelas penuh berisi teh,
“Kita duduk-duduk di puncak bukit, melihat pemandangan. Pasti semua keraguan kalian akan hilang. Relax sajalah!”

“Aku tidak ragu!” sergah Karin tambah sengit,
“Aku memang ingin melihat pemandangan indah. Tetapi aku tidak tahu apakah suka atau tidak kepadamu …. atau kepada Kino!”

“Hei, relax …,” sela Dani sambil menepuk punggung sepupunya,
“Iwan bilang, kita musti enjoy …”
“Sialan kamu!” sergah Karin membuat Iwan dan Dani tertawa tergelak.

Kino tersenyum kecil mendengar perdebatan mereka. Apa gerangan yang membuat kita tertawa senang? Apakah keraguan adalah semacam lelucon pula? Seberapa banyakkah batas keraguan dalam hidup ini, dan seberapa bolehkah kita merasa pasti tentang segala sesuatunya?

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Puncak bukit memang tempat yang indah untuk memandang hamparan hutan dan sawah dan jalan antarkota di bawah sana. Pohon-pohon tampak indah dalam miniaturnya, sawah tampak rapi berjajar dari kejauhan, mobil-mobil seperti kotak korekapi bergerak perlahan menyusuri jalan berliku. Ada sedikit awan berarak mengurangi kegarangan mentari.

Mereka duduk berempat di bawah sebuah pohon besar yang meneduhkan. Perut yang kenyang dan badan yang letih sehabis berenang menyebabkan Karin dan Dani mengantuk.

Setelah agak kikuk duduk berdekatan, akhirnya kedua gadis itu menyerah ketika Iwan menawarkan diri untuk menjadi sandaran, dan Kino tak menolak usul temannya agar menjadi sandaran juga.

Seperempat jam kemudian Karin sudah terlelap bersandar di dada Iwan, sementara Dani mendengkur halus di bahu Kino. Kedua pemuda itu tenang-tenang bersandar di batang pohon, bercakap-cakap pelan agar tidak membangunkan para putri ibukota yang sedang beristirahat di peraduan alamiah mereka.

“Kamu belum menceritakan kenapa ada di sini pada musim kuliah, Kino …,” kata Iwan pada suatu saat.

“Ceritanya panjang,” jawab Kino sambil menghela nafas panjang dan menghembuskannya dalam hempasan pendek..
“Masalah dengan kuliahmu?” tanya Iwan sambil mengusir seekor semut yang merayap naik di tangan Karin.

“Tidak,” jawab Kino sambil memandang jauh ke depan,
“Aku sedang dalam proses penyembuhan.” Iwan menengok, menatap tajam ke arah sahabatnya,

“Kau sedang sakit?”
“Aku sedang sembuh, bukan sedang sakit!” jawab Kino meluruskan persoalan. Iwan tersenyum mendengar gaya sahabatnya yang selalu ingin perfect.

“Aku mendapat kecelakaan, gegar otak, lalu dirawat di rumah sakit, lalu sekarang beristirahat agar pulih seperti sedia kala,” sambung Kino.

“Astaga!” sergah Iwan, “Kenapa tidak kau katakan sebelumnya. Kami mengajakmu berenang dan naik motor. Bagaimana kalau …… ” ucapannya menggantung. Kino tersenyum,
“Jangan kuatir. Aku sudah sehat. Cuma mungkin belum pulih sekali. Itu pun sudah bisa mengalahkan kamu berenang!”

“Ya, tetapi setidaknya kamu harus mengatakan sebelumnya!” sahut Iwan tak mempedulikan ejekan di akhir kalimat Kino.
“Sudahlah. Aku tahu keadaanku sendiri,” sela Kino,
“Aku cukup sehat untuk semua kegiatan ini, asal tidak setiap hari!”

“Kenapa bisa kecelakaan?” tanya Iwan sambil kembali mengusir seekor semut nekad yang mungkin penasaran ingin naik ke leher jenjang Karin. Lalu Kino bercerita ringkas tentang semua kejadian yang dialaminya. Ia juga berterus-terang tentang Trista, walau tentunya tidak menggambarkan detil hubungan mereka. Iwan melongo mendengar cerita dramatis itu.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

“Wah, kamu memang sebaiknya menghindari janda!” begitu komentar Iwan ketika sahabatnya selesai bercerita. Kino tertawa pelan, tidak tersinggung oleh kelugasan bicara si mandor belia di sebelahnya,

“Dia bukan janda, Wan … kamu tidak pernah menyimak ucapanku dengan baik. Pantas di sekolah dulu kamu tidak pernah mendapat nilai baik!” Iwan tertawa juga,
“Ya, memang bakatku menjadi mandor. Dan sekarang orang lain yang harus menyimak ucapanku!”

Keduanya tertawa, tetapi berusaha tidak keras-keras. Karin tampak semakin terlelap. Iwan memeluk pingang gadis itu dari belakang. Dani bergeming sedikit, lalu kembali terlelap setelah Kino merangkul bahunya. Angin segar berhembus membawa keharuman bunga-bunga rumput, bercampur wangi sabun mandi kedua gadis.

“Harum sekali mereka,” bisik Iwan disambut senyum Kino.
“Jangan mengambil keuntungan di tengah kesempitan!” desis Kino memberi peringatan.
“Tidak akan,” jawab Iwan tegas,

“Aku akan tunggu sampai Karin bangun, sebelum ….. ”
“Sebelum apa?” kata Kino mendengar sahabatnya tidak menyelesaikan kalimatnya.

“Sebelum mencium bibirnya,” bisik Iwan, “Menggemaskan sekali, bukan?”
“Asal kamu tidak keburu ditampar …,” jawab Kino sambil menahan tawa.

Iwan juga menahan tawanya, membuat tubuhnya berguncang. Karin menggeliat kecil, tetapi justru tampak tambah lelap karena guncangan itu bagai buaian lembut!

*** Cerita Cinta Dewasa ***