Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #35

Cerita Cinta Dewasa – Pucuk Limau Pelangi #35

Kembang Semusim (bagian 4)

Cerita Cinta Dewasa – Ada saat-saat di mana Karin seperti sedang meluncur di arung jeram yang bergelora, terbawa arus entah ke mana, cepat sekali menggelandang di antara lika-liku kenikmatan yang ditimbulkan oleh mulut-tangan-jari Iwan.

Ada saat-saat lain di mana gadis itu bagai melambung-lambung di atas gelembung raksasa, jauh melayang di atas batas angannya tentang bercinta di sungai dengan pria yang makan dan hidup dari kebun besar milik ayahnya.

Tetapi yang lebih sering adalah saat-saat nyata ketika seluruh pori-pori tubuhnya bagai berkembang-kempis karena kegatalan-kegelian yang muncul bertubi-tubi ketika kulitnya tersentuh, tertelusur, terjilat, tergigit, tersedot ….

Oh! … Karin sungguh tak pernah menyangka bahwa kendali dirinya bisa begitu cepat lepas. Semua rencananya tentang sais yang akan mengekang tali kuda liar, sirna sudah.

Ia membiarkan saja Iwan menciumi belahan sensual di antara dua bukit seksi di dadanya, membiarkan tangannya meremas di sana-sini, terkadang tanpa sungkan menelusup masuk dan berputar mengaduk-aduk.

Dan Iwan pun tambah tak tertahankan. Ia mendorong tubuh mereka berdua semakin ke pinggir, ke sebuah lokasi yang agak lapang.

Di situ, beralas pasir hitam halus yang di ibukota jadi bahan baku pencakar-pencakar langit … ditemani batu-batu diam yang terkadang menjadi tempat bersembunyi rajungan kecil … di situ Iwan mencoba melanjutkan dan menyempurnakan persebadanan mereka.

Karin mendesah gelisah, menggeliat resah. Terlentang pasrah, ia biarkan pria yang kini juga sudah telanjang bulat itu mengangkat kedua lututnya, merentang-bukakan kedua pahanya.

Ia biarkan dirinya terkuak sempurna dalam denyut basah memerah-muda, ketika ujung keras membola yang panas membara itu mendekat, menggelincir sebentar, lalu mulai menelusup cepat …. Oh! … Karin hanya bisa merasakan dirinya terbelah dua dari ujung ke ujung.

“Teruskan ….,” bisiknya parau ketika terasa Iwan berhenti sejenak di tengah jalan.

Iwan mendorong masuk lebih dalam. Karin menjerit kecil dan menggigit pundak pria yang menindihinya. Terasa lah sudah seluruh panjang lantang batang kenyal itu di dalam sana, bergetar menimbulkan lecutan-lecutan nikmat di sepanjang dinding-dinding lembut kewanitaannya. Sebentar lagi …. bisik hatinya tidak karuan … sebentar lagi sempurna sudah …. Ahhhhh!

“Teruskan ….,” desah Karin karena Iwan cuma bergerak satu-dua kali. Karin mendambakan gerakan-gerakan cepat mengagetkan. Hujaman dalam sampai membentur-bentur apa saja yang ada di dalam sana. Ia ingin kekuatan mentah-mentah, tikaman tak kenal ampun. Kesempurnaan puncak ….

“Iwan …,” nama itu terlompat dari mulutnya yang terbuka terengah-engah. Karin sampailah sudah pada awal untaian kematian-kecil yang nikmat itu. Ia pejamkan mata erat-erat, berkonsentrasi pada rasa-hulu-rasa-hilir yang terpancar kuat dari episentrum kewanitaannya.

Iwan mempercepat gerakannya. Menambah akselerasi. Meningkatkan kekasaran. Semuanya demi gadis kota yang sedang menggelepar-gelepar mencari pelepasan itu. Demi sebuah penundukan dan juga penyerahan. Iwan menggenjot sekuat tenaga.

Karin menjerit. Karin mengeluh. Karin menggeliat. Ia seperti ikan kecil yang menemui ajal di pasir kering tak berair. Amboi, betapa terkadang mengerikannya kenyataan tentang kenikmatan!

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Sore menjelang malam.

Kino duduk di beranda menikmati teh dan sepotong ubi goreng. Ayah baru saja tiba dari kantor dan sedang membaca ulang berita-berita di koran daerah. Ibu dan Susi ada di dapur. Rumah terasa sepi. Terlalu sepi bagi Kino.

“Aku ingin kembali ke kampus, Ayah,” ucap Kino seusai menghirup seteguk teh hangat yang terasa membelai kerongkongannya. Ayah menurunkan koran yang dibacanya, memandang sejenak ke Kino, lalu sambil melanjutkan bacaannya ia berkata,

“Boleh. Tetapi kita kunjungi dulu dokter Hastini di rumahsakit kabupaten. Mungkin dia bisa memberi penjelasan tentang kondisi tubuhmu.”

“Aku sudah merasa sehat, Ayah,” kata Kino sambil menegakkan duduknya, seakan ingin membuktikan sendiri bahwa tubuhnya telah sebugar sediakala. Ayah tersenyum bijak,

“Bagus, nak! …Untuk benar-benar sehat, yang pertama adalah berpikir sehat. Kalau kamu sudah merasa sehat, itu artinya 80 persen sehat. Nanti, dokter akan membantu kita memastikan apakah secara fisik kamu 100 persen sehat.”

“Aku juga sudah bosan di sini,” ucap Kino sejujurnya. Ayah meletakkan koran di pangkuannya, melepas kacamata bacanya, dan berkata,

“Nah … sekarang kamu mengatakan yang sesungguhnya .. ” Kino tersipu, mencoba menyembunyikannya dengan menggigit sepotong ubi goreng yang gurih.
“Sekarang Ayah tahu kenapa kamu ingin segera ke B,” lanjut Ayah.

“Aku harus kuliah, Ayah,” kata Kino membela diri, tetapi ia sendiri tahu pembelaannya itu tidak terlalu ampuh di depan lelaki tua yang telah membesarkannya ini. Ayah tersenyum sambil meraih cangkir kopinya,

“Kamu ingin bertemu teman-temanmu. Juga pacar mu.”
Kino tersipu lagi,
“Ayah tahu siapa pacar saya?”

“Kadang-kadang aku terlalu tua untuk itu, Kino,” kata Ayah sambil menghirup kopinya,
“Aku hanya tahu kamu tidak lagi pacaran dengan Alma, dan aku tahu Trista pergi jauh, entah kenapa.”

Kino menunduk, memainkan ujung taplak meja. Haruskah aku berdiskusi terus terang dengan Ayah? bisiknya dalam hati. Ia belum pernah membicarakan kisah kasihnya dengan orangtua. Tidak dengan Ayah, tidak pula dengan Ibu. Ia tidak pernah berani menguraikan cerita hidupnya di hadapan orang-orang yang melahirkan dan membesarkannya ini.

Betapa ironisnya itu: kau dilahirkan dan dibesarkan oleh mereka, tetapi tak pernah bisa berterus-terang tentang segalanya.

Ayah terdengar menghela nafas dalam-dalam. Pria tua ini juga tahu apa yang menggayut di pikiran anak laki-lakinya yang kini sudah pemuda gagah itu. Terkadang pria ini juga mengeluh dalam hati, mengapa ia tak pernah berani mendesak putranya untuk berterus-terang.

Ia dulu memutuskan untuk membiarkan Kino menemukan sendiri hidupnya, tak perlu dituntun seperti anak cengeng yang kemana-mana memerlukan petunjuk-pengarahan. Tetapi kini ia sendiri tidak begitu yakin, apakah keputusannya dulu sudah benar.

Ia teringat dirinya sendiri. Teringat masa mudanya, nun jauh di “jaman Republik”. Ketika itu semua pemuda sibuk dengan pergulatan tentang makna kemerdekaan, dan negeri ini masih sangat belia untuk sebuah proses yang begitu tiba-tiba.

Energi para pemuda habis untuk membangun segalanya dari puing-puing sisa perang. Setiap harinya habis untuk ikut pertemuan antar pemuda yang kerap diisi wejangan dari para tokoh lokal.

Terkadang mereka pergi berjalan kaki sampai ke kota M untuk mendengar pidato Bung Karno. Pernah juga mereka naik truk berjam-jam hanya untuk melihat dari dekat, seperti apa wajah intelek Bung Hatta itu.

Namun di tengah galau riuh rendah itu pun ia sempat berpetualang asmara. Ia sempat bercinta-kasih dengan seorang gadis, sebelum bertemu wanita yang kini menjadi ibu dari dua anaknya. Ia sempat terlibat cukup jauh untuk ukuran jaman itu.

Bahkan, keterlibatan yang terlampau jauh itu pula yang menyebabkan hubungan mereka tak berlanjut. Seseorang memergoki mereka berduaan di tempat sunyi, dan melaporkannya ke orangtua wanita itu. Lalu dengan getir ia ingat betapa ayah wanita itu mengancam akan melaporkan perbuatannya ke polisi, kalau ia tidak berhenti berhubungan dengan putrinya.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Apakah anakku kini mengalami cerita serupa? Seberapa jauh kah perbedaan antar generasi dalam soal cinta-mencintai ini?

“Lho, sedang apa kalian!” suara Ibu yang cemerlang membuat Kino dan Ayahnya tersentak kaget.

“Sedang berpikir, Bu ..,” sahut Ayah disambung tawa Ibu dan Susi yang muncul dengan sepiring kue. Kino tersenyum simpul, bangkit untuk menyilahkan Ibu duduk. Katanya,
“Saya mengatakan kepada Ayah, bahwa saya ingin kembali kuliah.”

“Dan Ayahmu bilang, kamu harus ke dokter dulu, bukan?” tebak Ibu dengan jitu. Ayah tertawa, lalu menambahkan,
“Ya, … dan ternyata putra kita ini juga sudah merindukan teman-temanya.”

“Mungkin juga merindukan pacarnya,” sela Susi membuat semua orang tertawa.
“Kenapa kamu selalu mempersoalkan pacar, Sus!” sergah Kino setelah selesai tertawa.
“Mungkin dia juga sudah punya pacar!” goda Ibu sambil menghindari cubitan putrinya.

“Aha!” seru Kino,
“Siapa dia Susi? Apakah teman sekolahmu?”
“Ibu ini, …. mengarang saja!” sahut Susi sambil mencubit gemas lengan Ibu.

Lalu mereka tertawa-tawa lagi. Riang dan jenaka sekali keluarga kecil ini. Dengan demikian, tersembunyi sudah lah lagi, cerita-cerita yang lain tentang hidup ini. Selalu begitu. Kita menyembunyikan kenyataan-kenyataan lain, demi hidup yang riang dan jenaka.

*** Cerita Cinta Dewasa ***

Sementara itu, di sebuah rumah lain yang jauh lebih besar dan mewah …

“Dari mana kamu seharian, Yin!?” sergah Dani kepada Karin yang tergeletak di dipan, tampak letih seperti seorang olahragawan usai latihan untuk ikut olimpiade. Karin cuma menggumam, dan tersenyum samar-samar. Dani duduk di sebelahnya, mengguncang-guncang bahu sepupunya dengan gemas dan penasaran,

“Kenapa rambutmu basah, padahal kemarin kamu baru keramas!” Karin menggulingkan tubuhnya, menelungkup menyembunyikan mukanya di bantal. Dani mengejarnya, naik ke atas ranjang dan berbaring di sebelah Karin.

“Kamu berenang di sungai lagi, ya!” sergah Dani sambil mengusap rambut sepupunya yang masih agak basah. Karin menggumam meng-iya-kan.
“Dengan Kino?” desak Dani dengan suara penuh kecemburuan. Ia kesal sekali karena hari ini harus belanja ke kota M. Karin tertawa. Ia senang mempermainkan Dani.

“Dengan Kino?” ulang Dani sambil menarik bahu Karin, memaksa sepupunya itu menghadap kepadanya. Tetapi Karin menolak dan mereka bergulat seperti anak-anak.

“Tidak dengan dia!” sergah Karin sambil terus bergulingan menjauh.
“Dengan Iwan?” kejar Dani sambil menggelitiki pinggang sepupunya yang tertawa kegelian.
“Stop, Dani!” teriak Karin, “Aku tidak mau cerita kalau kamu tidak berhenti!” Dani menghentikan serangannya.

“Okay!” katanya, “Sekarang ceritakan sampai tamat, semuanya … sedetil mungkin!” Karin tertawa tergelak,
“Tapi kamu janji tidak akan menyela sedikit pun!”
“Okay. Aku berjanji!” kata Dani. Lalu Karin menceritakan semuanya dengan lancar. Tentu saja tidak dengan sangat terinci, tetapi cukup jelas dan gamblang buat Dani.

“Astaga!” seru Dani di akhir cerita,
“Kamu gila, Yin! Bagaimana kalau kamu hamil!” Karin tertawa ringan, tak kuatir sama sekali.
“Dia mengeluarkannya di atas perutku. Bukan di dalam,” katanya tenang. Dani melongo. Ia tidak berkata apa-apa, walau dalam hati tetap bersikeras bahwa Karin berisiko hamil.

“Jangan pura-pura bego, Dani!” sergah Karin,
“Kamu sendiri pernah melakukannya, dan tidak hamil.”

“Ya,” sahut Dani menurunkan volume suaranya,
“Tetapi aku ketakutan setengah mati!” Karin tertawa lagi,
“Okay … lain kali aku akan minta dia pakai kondom!”

“Yin!” sergah Dani dalam bisik. Ia takut terdengar Pamannya.
“Kamu merencanakan yang kedua?”
“Mengapa tidak?” sahut Karin sambil tertawa terbahak-bahak.

Dani menggeleng-gelengkan kepalanya. Segila-gilanya dia, tak akan berani berhubungan dengan pria yang baru dikenal seminggu. Tetapi Karin memang gila. Dani cuma heran, kenapa sepupunya ini bisa segila itu. Apa, sih, kehebatan Iwan?

*** Cerita Cinta Dewasa ***