Cerita Dewasa – Sweet Honeymoon

Hati Bima berbunga-bunga. Selama ini ia tidak pernah merasakan kegembiraan seperti itu. Ia geleng-geleng kepala, usia sudah tidak lagi muda untuk berpcaran seperti remaja. Bahkan kalau di kantor ia harus tampil dingin untuk mengeluarkan keputusan penting. Tapi menghadapi persoalan hati dan perasaan, ia kalah dengan anak-anak remaja. Tingkahnya pun seperti anak remaja tanggung.

Bahkan saat ibunya menanyakan alasan berteriak, Bima hanya cengar-cengir lalu memeluk ibunya sambil mengatakan terima kasih. Ia pun masuk ke kamar untuk menikmati perasaannya yang sedang jatuh cinta.

Keesokan harinya, acara lamaran berjalan lancar. Meski yang datang hanya keluarga dekat, namun tidak mengurangi rasa hormat keluarga Danuredjo kepada keluarga Suharjo Pramono. Lamaran keluarga Danuredjo tidak bertepuk sebelah tangan.

Melalui ibunya, Rina Pramono menyatakan bersedia disunting Bima Danuredjo. Bahkan kedua keluarga langsung memikirkan tanggal pernikahan mereka. Kedua keluarga sepakat tidak mau menunggu lama hari pernikahan anak mereka. Jika ada hari bagus dalam waktu dekat, mereka akan memilih hari itu. Dan ternyata pernikahan mereka dilangsungkan hari ini.

“Dah istirahat Bro, besok kan lu mau honey moon, jaga stamina. Apa malam ini juga mau elo jebolin? Apa jangan-jangan elo dah colongan ya, jebolin duluan, ha ha ha,” canda Ferdy.

“Ha ha ha, kalo itu rahasia dapur bro,” balas Bima.

Sebelum candaan semakin keluar batas, Doni langsung membelokkan pembicaraan. “Gue denger honey moon lu sedikit uniknya. Mau keliling Jawa, Bali, Lombok pakai mobil. Gila aja lu, yang ada malah capek di jalan Bro, bukan capek di ranjang, ha ha ha,” ujar Doni.

“Kita berdua memang pengen jalan-jalan, ya sekalian aja, pakai mobil. Jadi selama dua bulan, elo-elo pada jangan cari gue ya. Gue lagi sibuk tuh,” balas Bima.

“Busyet dua bulan? Pacarannya cuma tiga hari, honey moonnya dua bulan. Top dah elo bro,” ujar Doni.

“Fer mendingan kita cabut deh, kasian Bima biar istirahat. Malam ini kan malamnya dia. Kalo kita kan dah bosan, tempe lagi tempe lagi, kapan pizzanya,” tambah Doni.

“Yang tempe elu kali Don, kalo gue sih bisa dapet pizza, Dodol Garut, Bubur Ayam Sukabumi, Bakpia Jogya, atau Coto Makassar. Kemarin malah Ayam Hainan,” balas Ferdy.

“Iya abis makan, sakit perut lu. Yang lu makan gak dimasak higienis, banyak penyakitnya. Dah kita cabut, tuh Rina dah nyamperin, dah gak tahan kali dia, ha ha ha!” Ujar Doni.

Mereka pun berpamitan pada Bima dan Rina. Kedua mempelai pun bersiap-siap meninggalkan gedung resepsi menuju hotel yang sudah dipesan.

Dengan kekayaan yang dimiliki keluarga Danuredjo, Bima bisa menyediakan segala fasilitas dengan kualitas nomor satu. Begitu pula hotel tempat malam pertama menginap.

Tapi ia tahu, malam pertamanya tidak akan mendapatkan seks, karena bertepatan dengan jadwal datang bulan Rina. Bima hanya bisa menahan penasarannya.

“Sayang aku boleh tanya gak?” Bima coba bertanya tentang urusan tempat tidur sebulan sebelum pernikahan.

“Apa?”

“Gimana ngomongnya ya? Takut nyinggung kamu, soal privasi kamu.”

“Apa? Kasih cluenya dulu deh.”

“Soal seks.”

“Oooo seks. Kenapa? Kamu mau minta sebelum nikah?”

“Bukan-bukan itu.”

“Terus apa dong?”

“Eee kamu udah pernah belom?” Ujar Bima ragu-ragu.

“Ha ha ha ha. Sebelum aku jawab, aku tanya dulu ke kamu. Pertama, kamu dah siap dengan apapun jawabanku belum? Biasanya, pertanyaan itu mengandung harapan kalau aku belum pernah, masih perawan. Tapi bagaimana jika jawabannya ternyata kebalikannya? Apa kamu siap? Kedua, apa jawabanku menjadi sesuatu yang penting dalam prinsip hidupmu?,” balas Rina.

“Eee, iya sih ada harapannya di dalamnya. Aku ingin isteriku masih perawan sama sepertiku yang masih perjaka. Tapi kalo emang udah pernah juga gak apa, aku akan coba menerimanya,” ujar Bima.

“Ha ha ha ha, terima kasih kamu sudah jujur meski aku tidak tanya. Jadi sebenarnya aku gak perlu jawab, kamu tunggu aja jawabannya saat malam pertama nanti,” ujar Rina.

“Loh kok?” Bima bingung.

“Pertama, kamu belum yakin menerima apapun kondisiku sebenarnya. Kamu akui kalau kamu berharap aku masih perawan seperti kamu yang masih perjaka. Artinya, kamu hanya ingin aku seperti yang ada dalam pikiranmu saja. Padahal kenyataannya belum tentu. Itu menjadi pekerjaan rumah kita nanti kalau kita benar-benar jadi suami-isteri.

Kita harus membangun realita, bukan mimpi. Kedua, kamu sebenarnya tidak bermasalah dengan apapun kondisiku yang sebenarnya. Kamu hanya merasa terganggu jika aku tidak sesuai dengan harapanmu. Kondisiku yang paling jelekpun tidak melanggar prinsip hidupmu. Jadi aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaanmu, apakah aku masih perawan atau tidak. Kamu bisa mendapatkan jawabannya saat malam pertama nanti,” ujar Rina.

“Aduh panjang bener jawabannya. Bisa singkat aja gak, udah apa belum?” Bima penasaran.

“Sabar ya, nanti kamu juga tahu kok.”

“Aduh bikin penasaran aja. Kita ke hotel aja yuk?” Bima mulai sedikit putus asa.

“Ke hotel? Ngapain?”

“Ya nyari jawabannya,” ujar Bima.

“Loh tadi aku tanya ke kamu, apa kamu mau minta seks sebelum nikah, kamu jawab nggak, bukan itu. Kok sekarang malah ngajak ke hotel, buat cari jawaban?,” balas Rina.

“Waduh malah jadi tambah penasaran sayang. Nggak ada jawabannya nih?” Bima putus asa.

“Sekarang tidak aku jawab, tunggu nanti saat malam pertama. Mas Bimaku sayang, bilang sama ‘bim-bim’-mu itu untuk sabar. Satu bulan lagi ketemu ‘rin-rin’-ku kok. Nggak bakal kemana-mana kalau sudah jodoh. Alu dan lumpang kalau sudah waktunya panen pasti akan ditalu. Masak tunggu satu bulan aja nggak kuat. Bim-bim kan dah nunggu 34 tahun, dan tetap kuat. Sabar ya,” ujar Rina.

Bima hanya garuk-garuk kepala saat itu. Kini sepertinya ia pun akan garuk-garuk kepala lagi karena Rina sedang datang bulan. Namun Bima sudah mengerti apa yang diinginkan wanita yang sudah jadi isterinya itu. Ia harus membersihkan harapan-harapan kosong di dalam otaknya.

Ia tidak lagi penasaran dengan jawaban atas pertanyaannya dulu. Bukan karena Rina sudah menjawab, tapi karena ia memantapkan hati bahwa ia menerima apapun kondisi Rina. Jadi apapun jawabannya, perawan atau bukan perawan, bukanlah masalah buat Bima. Ini adalah babak baru dalam kehidupannya.

“Kamu capek Mas. Mau aku pijet?” Ujar Rina ketika mereka memulai malam pertama mereka di di kamar paling mahal hotel bintang lima di Jakarta.

“Gak usah sayang. Kamu juga capek kan. Mendingan kita istirahat. Besok kita mulai perjalanan ke Jogya. Kamu juga harus istirahat, biar bisa gantian nyetir,” ujar Bima.

“Wah aku nyetir juga, bukannya itu tugas kamu?”

“Ya kalau kepepet, gantian ya,” ujar Bima sambil merebahkan tubuhnya di sofa yang tak kalah empuk dengan kasur di kamar hotelnya.

“Loh kamu kok tidur di situ Mas. Ini kasurnya masih luas, empuk lagi,” pancing Rina.

“Aku di sini aja ah, leluasa.”

“Sudah sini aja. Kenapa? Kamu takut ketahuan kalau tidurmu ngorok? Gak apa kok kalo kamu ngorok, paling aku bangunin kalo ngoroknya keras,” canda Rina.

“He he he, bisa jadi. Udah aku di sini aja.”

“Ya udah aku tidur di sofa juga ya bareng kamu,” ujar Rina sambil mendekati Bima.

“Loh kamu kok ke sini. Di kasur aja.”

Tapi Rina tetap memaksa untuk tidur bersama Bima meski sofa itu hanya muat untuk satu orang. Hal itu malah membuat Bima salah tingkah. Hingga akhirnya ia mau pindah ke kasur.

“Kenapa sih Mas? Kamu gak suka tidur sama aku? Jangan-jangan kamu gak mau tidur sama aku karena di otakmu ada pikiran jelek, kamu menganggap aku gak pantes buat ditiduri ya?” Tanya Rina.

“Bukan, bukan itu masalahnya. Kamu sangat menarik, cantik, dan pintar. Tidak ada masalah dengan kamu. Aku cuma gak biasa tidur sama perempuan,” ujar Bima lugu. Seandainya saja, Rina tahu kalau sebenarnya dalam dua bulan terakhir Bima tak bisa tidur karena selalu membayangkan tubuh Rina.

“Ha ha ha, ya sudah jangan anggap aku perempuan. Anggap aja aku guling, bisa kamu peluk sekencang-kencangnya,” goda Rina.

“Mana bisa dianggap guling. Bentuknya aja beda. Kalau guling mah lonjong rata, nah kamu ada tonjolannya. Nanti salah pegang, aku malah ditampar,” ujar Bima.

“Ha ha ha, kamu pernah ditampar perempuan ya? Tenang aja aku gak bakalan tampar kamu kok. Dah sini tidur sama aku, anggap aja aku guling oke,” pinta Rina dengan sedikit memaksa.

Bima pun menuruti kemauan isterinya itu. Dengan terpaksa ia Bima tidur di samping Rina. Selama lima menit mereka hanya diam saja tidak ada suara. Sampai kemudian Rina membuka suara.

“Mas gulingnya dipeluk dong,” ujar Rina.

Bima pun menuruti isterinya dengan memeluk guling yang ada.

“Bukan itu Mas, ini gulingnya nih,” ujar Rina sambil mendekatkan tubuhnya yang menyamping ke arah Bima.

Bima tak bisa menyembunyikan kekakuannya. Ia benar-benar canggung ketika menyampirkan tangannya ke tubuh Rina. Sedangkan Rina tersenyum ketika ia mendapatkan kemenangan atas godannya.

“Kok kaku gini Mas. Santai aja pegangnya. Kamu benar-benar gak pernah peluk perempuan ya, selain ibumu?”

“Heee’ eeeh,” sahut Bima pendek.

“Masa sih? Bohong kamu,” pancing Rina.

“Beneran, aku gak pernah.”

“Kok bisa sih, hari gini. Cowok lain aja dah pada unjuk kehebatan kalo soal perempuan. Temenmu yang namanya Ferdy juga kayanya suka jelalatan kalau liat perempuan.”

“Kalau dia iya, suka gonta-ganti pacar. Kalau Doni dan aku gak jauh beda. Tapi yang paling parah aku, aku gak pernah pacaran,” ujar Bima.

“Rada aneh sih sebenarnya. Kamu ganteng, anak konglomerat. Kalau kamu mau perempuan, pastinya tinggal tunjuk aja. Aku yakin banyak perempuan yang ngantri sama kamu, tapi kok ngakunya masih perjaka. Terus sekarang diajak memeluk perempuan malah kebingungan dan ketakutan,” tanya Rina.

“He he he, orangtuaku memang mengajarkan seperti itu. Ayahku sangat menghormati ibuku. Meski ayahku kepala keluarga, tapi dia menjadikan ibuku sebagai orang yang paling dihormati di rumah. Dia pernah bilang, perempuan adalah penerus kehidupan. Hanya perempuan yang bisa melahirkan anak, dan anak-anak akan tumbuh menjadi manusia yang melanjutkan kehidupan di alam semesta. Jadi jangan pernah durhaka terhadap perempuan, apalagi perempuan yang melahirkan kamu. Ucapan itu terngiang dalam otakku. Jadi aku tidak mau macem-macem, takut durhaka,” jelas Bima.

“Ooooo, hebat ya ayahmu, juga ibumu. Nanti kalau kamu punya anak, akan kamu didik seperti itu juga?”

“Iya, sejauh ini pandangan itu belum terbukti salah. Jadi itu prinsip yang benar,” jawab Bima.

Rina tidak berkata apa-apa. Ia hanya diam dan meraih tangan Bima agar memeluknya lebih erat lagi. Dalam hatinya, Rina merasa bersyukur, jika apa yang diutarakan Bima adalah kenyataan tentang pribadi Bima, maka ia mendapatkan suami yang sempurna. Tapi ia ingin mengujinya lagi.

“Kamu benar masih perjaka?”

“Iya, meski aku gak bisa membuktikannya.”

“He he. Gak pernah peluk perempuan juga, seperti ini?”

“Ini baru pertama kalinya.”

“Kalau ciuman?”

“Belum pernah juga.”

“Jadi aku benar-benar dapat yang belum pengalaman dong, masih fresh graduate,” goda Rina.

“Iya, kamu maunya yang dah pengalaman ya. Yaah, aku adanya seperti ini. Kamu ajarin aku aja ya,” Bima berkata apa adanya.

“Kita belajar bersama aja ya,” ujar Rina. Selepas berkata seperti itu, Rina membalik badannya dan mencium Bima. Bima kaget, mendapat serangan mendadak. Dia hanya diam saja. Namun Rina kemudian memeluk Bima dan mencium bibir suaminya.

Ciumannya lembut. Lewat bibirnya, Rina ingin mengatakan bahwa ia bersyukur dengan perjalanan hidupnya dalam tiga bulan terakhir ini. Ia menemukan pria yang pantas untuk dicintai dan menjadi tempat sandaran hidupnya hingga akhir hayat. Lewat bibirnya, Rina berjanji akan memberikan seluruh hidupnya pada Bima.

Bima menerima ciuman Rina. Ia tak tahu harus berbuat apa. Instingnya mengatakan kalau ia harus membalas ciuman itu. Maka ia pun melakukannya. Ketika ciuman itu semakin panas, Bima merasakan ada ketegangan dalam tubuhnya. Saat lidah mereka saling bertemu, Bima merasakan sengatan listrik di dalam tubuhnya. Bima terhenyak, takjub dengan apa yang dia rasakan. Ciuman mereka sempat terlepas.

Namun ketika mata Bima beradu dengan mata Rina, Bima kembali ingin mencium Rina. Di dalam sorot mata mereka, mulai terpancar benih-benih cinta yang sesungguhnya. Bima mencium Rina dengan lembut, ia ingin mengabarkan bahwa rasa sayangnya bertambah. Ia tak peduli dengan apapun, ia ingin memiliki Rina sepenuhnya.

Sambil berciuman, Bima kemudian memposisikan badannya menindih Rina. Mereka masih berpakaian lengkap, meski itu hanya pakaian tidur. Ciuman Bima semakin membara, tak hanya bibir, ia juga menjelajah wajah Rina yang cantik.

Sedangkan Rina yang pasrah hanya bisa melenguh. Ia menerima apapun perlakuan suaminya. Sampai pada satu titik, Bima memberanikan diri meraba payudara istrinya.

Payudara Rina boleh dibilang tidak besar, tapi tidak kecil juga. Gundukan itu terlihat jelas, meski Rina tidur terlentang. Bima mengusap payudara Rina yang masih terbungkus pakaian. Rina pun melenguh. Hanya saja kemudian Rina berkata,” Maaf ya Mas. Kamu mau cari jawabannya sekarang ya? Aku masih haid. Nanti kamu malah dapat jawaban yang tidak valid.”

“Eh maaf ya. Aku gak sengaja,” ujar Bima gugup dan menghentikan semua aksinya. Bima pun merebahkan diri ke samping Rina. Sejenak ia merasa bersalah. Ia mengira Rina sakit hati atas perlakuannya.

“Bukan masalah sengaja atau tidak sengaja Mas. Aku ini isterimu, boleh kamu gauli, boleh kamu apain aja. Tapi aku sekarang masih haid. Jadi gak bisa,” jelas Rina.

“Oooo, aku kira, aku sudah nyakitin kamu. Maaf ya kalau aku nyakitin kamu,” ujar Bima.

“Nggak ada yang sakit Mas. Aku gak apa-apa. Kita pelukan aja ya, besok kita berangkat,” ujar Rina. Mereka pun tidur berpelukan sampai esok hari.

Setelah sarapan pagi, mereka kemudian bersiap-siap untuk berangkat ke Jogya. Bima sengaja menggunakan mobil cruisernya untuk bulan madunya.

“Dua bulan nih Mas? Kamu yakin?”

“Yakin. Perjalanan ini akan membantu kita memperkuat hubungan. Nanti pasti akan ada konflik, ada pertentangan, tapi ada penyesuaian juga. Tantangan di perjalanan akan menguji kita. Karena kita hanya punya waktu sedikit untuk perkenalan, jadi ini cara yang efektif buat kita.”

“Siap Bos. Bismillah ya,” ujar Rina.

“Bismillah Na.”

Mereka pun berangkat ke Jogya. Mereka sepakat untuk melakukan perjalanan itu dengan santai. Tidak ada target waktu yang harus dikejar. Tujuan mereka bukanlah kota yang akan disinggahi, tujuan mereka adalah perjalanannya itu sendiri. Sepanjang perjalanan, mereka benar-benar bisa merasakan kebersamaan. Bertukar pikiran, bicara tentang hobi, dan lainnya. Bahkan mereka juga membicarakan tentang ide-ide di masa depan.

“Jam berapa Na?”

“Jam setengah tujuh Mas, kenapa kamu? Laper ya atau capek?”

“Di mana kita Na?”

“Mau masuk Salatiga Mas,” ujar Rina yang memegang peta Pulau Jawa.

“Kita bablas langsung Jogya aja ya? Kayanya masih bisa sampai sebelum tengah malam.”

“Kamu gak capek?”

“Masih kuat kok, dulu aku juga suka begini sama Ferdy dan Doni,” ujar Bima.

“Oke, kalau gak kuat bilang ya.”

Cerita Dewasa – Sweet Honeymoon