Cerita Dewasa – Sweet Honeymoon

Cerita Dewasa – Sweet Honeymoon

Cerita Dewasa – Sweet Honeymoon – Pesta sudah bubar. Para undangan sudah kembali ke rumah masing-masing. Hanya kerabat dan keluarga yang masih tersisa. Beberapa sahabat dekat kedua mempelai terlihat hilir-mudik di sekitar gedung tempat pernikahan itu. Sedangkan kedua mempelai berada di kamar rias, mengganti salin.

Bima, pengantin pria, keluar lebih dulu. Setelah berpakaian biasa, ia menyapa teman-temannya yang belum pulang.

“Ma kasih Bro, dah nemenin gue sampe acara selesai. Tengkyu berat,” ujarnya kepada dua sahabatnya yang masih menunggu.

“Gak masalah Bro. Sekarang tinggal elu jalanin aja. Everything will be all right Man! Santai aja,” ujar Doni, sahabatnya.

“Udah Bim, gak usah dipikirin, jalanin aja. Kalo cuma berantem kecil mah biasa, ntar juga biasa,” ujar Ferdy.

“Biasa berantem maksud lo Fer?” Tanya Bima.

“Ha ha, bukan itu maksud gue, jadi biasa bersama, bisa terima apa adanya. Lu kan gak sempet pacaran sama bini lo, jadi sekarang lu anggap aja pacaran. Malah asyik Bro, he he he,” ujar Ferdy.

Dua sahabat Bima memang mendukung rekannya untuk segera menikah. Karena tinggal Bima saja yang belum menikah. Usianya sudah 34 tahun.

*****

Tiga bulan lalu, Bima menyetujui usulan orangtuanya untuk menjodohkan dirinya dengan Rina. Rina adalah anak sahabat ayahnya yang lama tidak bertemu. Bima menyetujui usulan orangtuanya dengan syarat ia harus mendapatkan kecocokan dengan calonnya. Maka kedua keluarga pun akhirnya mempertemukan Bima dan Rina.

“Bima.”

“Rina,” sambil menyambut tangan perkenalan Bima saat mereka pertama kali bertemu di rumah Rina. Bima kemudian mengajak Rina untuk berbincang di tempat lain. Ia ingin mengetahui pribadi Rina tanpa harus berbasa-basi.

Bima mengajak ngobrol di sebuah kafe yang suasananya santai. Namun sepanjang perjalanan, keduanya lebih banyak diam. Kalaupun ada obrolan, itu hanya seputar profesi masing-masing yang sebenarnya sudah diketahui lewat informasi orangtua mereka.

Bima adalah anak tunggal di keluarganya. Ia seorang manajer yang dipersiapkan ayahnya untuk mewarisi sejumlah perusahaan. Sedangkan Rina adalah general manajer perusahaan minyak internasional. Rina anak pertama, dan adik laki-laki satu-satunya sudah menikah.

“Ada baiknya kita lebih dulu mengenal satu sama lain sebelum kita memberikan keputusan kepada orangtua kita. Mudah-mudahan kamu setuju dengan pendapat saya,” ujar Bima setelah sampai di kafe itu.

“Setuju,” balas Rina yang usianya terpaut dua tahun lebih muda dari Bima.

“Masing-masing dari kita pasti punya visi dan keinginan di masa depan. Mungkin Rina mau berbicara lebih dulu atau bertanya lebih dulu, silahkan.”

“He he, tidak. Karena ini urusan yang akhirnya adalah membentuk keluarga, dan budaya kita menganggap laki-laki sebagai pemimpin, lebih baik kamu dulu yang bicara dan bertanya,” balas Rina.

“Baik. Sebelum bicara panjang lebar, mohon dimaklumi kita baru saja bertemu dan dipaksa untuk mendapatkan bahan pertimbangan untuk membuat keputusan. Saya sendiri hanya diberikan waktu satu minggu oleh ayah saya, apakah mau menerima Rina atau tidak. Saya merasa itu tidak masuk di akal, karena tidak mungkin perjalanan hingga akhir hayat hanya diputuskan dalam satu minggu. Saya tidak menjanjikan apa-apa, hanya bisa bilang akan mencobanya,” ujar Bima.

“Setuju. Sama, saya juga diberikan deadline seperti itu. Tidak mungkin bisa menghasilkan keputusan yang bisa dipertanggung jawabkan dalam satu minggu. Padahal dengan waktu yang bertahun-tahun pun saya tidak bisa membuat keputusan,” balas Rina.

“Kita punya pandangan yang sama. Saya mau tahu, apa pandangan Rina soal perjodohan ini?” Tanya Bima.

“Terus terang saya tidak terlalu menganggap penting perjodohan ini. Pertama-tama mungkin saya hanya ingin membuat Papa senang. Kedua, saya bisa dapat teman baru, ketiga tidak ada yang memberatkan saya untuk menerima atau menolak. Saya nothing to lose,” ujarnya.

“Sama. Tapi saya menghormati keinginan Ayah saya. Satu sisi perjodohan ini mungkin menganggap saya seakan-akan tidak mampu mencari jodoh saya sendiri. Tapi di balik itu, bisa jadi ini memang jalan yang diberikan Tuhan lewat kemauan Ayah saya. Jadi saya tetap menganggap hal ini sebagai sesuatu yang baik,” jelas Bima.

Obrolan mereka pun semakin lama semakin dalam. Kedua orang itu pada dasarnya sudah memiliki dasar yang kuat untuk memilah logika dan perasaannya. Bahkan mereka sependapat bahwa perasaan bisa dikesampingkan untuk mewujudkan visi yang dimiliki. Artinya mereka bisa saja menikah meski keduanya belum memiliki rasa cinta.

Seiring mencairnya obrolan, mereka mulai tertarik satu sama lain. Tidak ada keputusan hari itu. Bima dan Rina hanya mengetahui kalau masing-masing merasa bisa menerima lawan bicaranya.

Keesokan harinya, Bima dan Rina bertemu lagi. Seusai kerja, mereka ngobrol lagi di tempat yang sama. Obrolan mereka semakin cair dan ketertarikan semakin terlihat. Bima pun meminta Rina untuk bertemu lagi besok. Namun kepada orangtua mereka, keduanya tetap menyatakan belum bisa memberikan keputusan apa-apa.

“Terus terang, aku hanya satu kali pacaran. Itupun waku SMA dulu. Ada beberapa cowok yang mendekati aku, tapi baru kali ini aku merasa cocok,” ujar Rina coba terus terang kepada Bima, saat bertemu lagi.

“He he he, sama. Aku pernah mendekati beberapa wanita, tapi baru kali ini juga merasa klop,” balas Bima.

“Terus apa bisa kalau kita dibilang pacaran sekarang ini?” Pancing Bima.

“Hhhmmm bisa. Eh kamu nembak aku ya? Kok gak romantis amat sih, gak ada rayuan-rayuan gombal,” ujar Rina.

Mereka akhirnya tertawa lepas. Itulah pertama kali mereka sama-sama mengakui satu kebersamaan. Satu tahap sudah mereka lalui, meski semua dikemas dengan bercanda. Waktu satu minggu yang dianggap tidak masuk akal, ternyata terbantahkan. Mereka bahkan sudah menyatakan pacaran dalam tiga hari saja.

Tapi hal itu mereka sembunyikan dari orangtua masing-masing.

Sampai batas satu minggu yang diberikan, kedua orangtua mereka tidak bertanya tentang hubungan mereka. Namun kedua orangtua mereka ternyata sudah menyiapkan acara lamaran.

“Bima, besok kamu gak boleh pergi kemana-mana. Semua keluarga besok kumpul di sini. Kita mau ke rumah Om Harjo, melamar Rina buat kamu,” ujar ayahnya Bima.

“Apa? Ayah kok gak tanya aku dulu. Ayah yakin sekali kalau aku setuju. Terus apa Rinanya mau? Nanti malah ditolak lagi,” protes Bima.

“Wah mana mungkin ditolak. Lah wong kita tahu kok, seminggu ini kamu setiap hari ketemu Rina kan? Kamu juga sering telepon-teleponan. Pakai panggilan Mas-mas, aku-kamu. Kita tahu. Om Harjo juga tahu, kalau anaknya lagi kasmaran. Ya sama siapa lagi kalau bukan sama kamu. Dah besok kamu siap-siap,” ujar ayahnya Bima.

Bima tentu saja kaget, tapi di dasar hatinya ia gembira. Namun ia ingin memastikan, apakah perasaan di relung hatinya memiliki gema yang sama di hati Rina.

“Na, kamu tahu gak kalau besok keluargaku mau datang ke rumahmu?” Bima segera menelpon Rina.

“Iya Mas. Katanya mau lamaran ya?”

“Iya. Aku jadi bingung, kan kita belum benar-benar kasih keputusan. Aku jadi gak enak sama kamu,” ujar Bima.

“Kok gak enak? Gak enak apa dag-dig-dug?” Canda Rina.

“He he he, dag-dig-dug sih. Aku kan belum tahu dengan sikapmu Na.”

“Kok belum tahu? Kita kan sudah pacaran.”

“Iya kita pacaran, tapi kan belum satu minggu pacarannya. Ini kan mau menikah Na, konsekuensinya panjang.”

“He he he, ternyata calon direktur punya kebimbangan juga ya,” goda Rina lagi. “Sekarang aku mau tanya sama Mas Bima. Selama tiga hari pendekatan, tiga hari pacaran, kamu yakin gak kalau aku bisa jadi isterimu?” Tanya Rina.

Bima terkejut dengan pertanyaan itu. Ia pun menjawabnya dengan terbata-bata. “Eeee..,” suara Bima gak jelas.

“Jangan pake ‘eeeee’. Yakin gak?” Sergah Rina.

“Yakin,” Bima berucap.

“Tanpa paksaan?” Rina coba menegaskan.

“Tanpa paksaan.”

“Kamu dalam keadaan sadar?”

“Sadar,” jawab Bima.

“Bagus. Itulah modal kita Mas. Kamu tahu, sejak awal aku nothing to lose menghadapi ini. Sedangkan kamu punya alasan lebih kuat lagi. Kamu menganggap bahwa perjodohan ini bisa jadi sebuah jalan untuk menemukan jodohmu. Mungkin ini memang jalan kita Mas. Bertahun-tahun kita mencari, ternyata hanya dalam satu minggu saja kita dibukakan jalannya,” ujar Rina.

“Itu artinya kamu mau?” Bima mencoba mencari jawaban yang lebih tegas.

“Masa aku harus jawab sekarang? Kan lamarannya besok Mas,” balas Rina.

“Oooooo Alhamdulillah….,” Bima sampai teriak ditelponnya. “Terimas kasih ya Tuhan,” tambah Bima.

“Mas gak usah teriak-teriak, nanti disangka apa lagi,” suara Rina di seberang telepon.

“Eh iya, ibuku sampai nyamperin aku nih.”

“Ya sudah, besok datang ya. Aku tunggu loh, jangan sampai nyasar ke rumahku,” canda Rina.

“Iya, aku gak bakalan nyasar sayang. Aku dah nyasar di hatimu,” balas Bima.

“Eh eh apa tadi?” Tanya Rina.

“Apa? Yang mana?”

“Tadi.. Kamu nyebut apa?”

“Yang mana? Nyasar di hatimu?

“Bukan, sebelum itu.”

“Apa….? Ooo sayang…?”

“He he he iya. Kamu sayang aku Mas?”

“Iya…. Gak apa kan? Kan kita dah pacaran, mau lamaran lagi besok, jadi aku merasa sayang kamu,” ujar Bima mencoba kata-kata gombal.

“Iya gak apa, dah seharusnya kamu sayang aku. Kan aku calon isterimu,” balas Wita.

“Iya, ya sudah. Sudah malam nih, kamu istirahat, met bobo ya,” sahut Bima tersipu.

“Met bobo..apa?”

“Met bobo,” Bima belum menangkap maksud Rina.

“Met bobo apa?” Rina terus memancing.

“Oo, met bobo sayang… Muah-muah,” ujar Bima.

“Gitu dong… Pinter. Met bobo juga Mas Bimaku sayang…daahhh.”

Cerita Dewasa – Sweet Honeymoon