Cerita Dewasa – Sweet Honeymoon

Keesokan harinya, saat subuh, Bima dan Rina kembali melakukannya. Mereka kembali mendapatkan seks yang penuh arti. Baru setelah itu mereka bersiap-siap untuk melakukan aktivitasnya.

Sudah satu minggu mereka tinggal di rumah keluarga Wayan, padahal sebelumnya mereka hanya ingin tiga hari saja. Bima dan Rina benar-benar betah, keluarga Wayan seperti saudara mereka sendiri.

Bima selalu menemani Pak Wayan saat ke sawah, begitu pula Rina membantu pekerjaan rumah Bu Wayan. Dari sanalah mereka belajar bagaimana menata sebuah keluarga. Dan yang menghiasi kebersamaan mereka adalah Rina mendapatkan ilmu baru tentang urusan ranjang.

Pengetahuan itu tak hanya soal gaya dan cara, tapi juga hal-hal yang mendukungnya, seperti jamu-jamuan, makanan, serta terapi fisik. Sebagian ilmu itu bisa langsung dipraktekkan, tapi sebagian lagi Rina simpan dalam ingatannya. Bahkan untuk jamu-jamuan dan makanan, Rina membuat catatan tersendiri. Ia berpikir, suatu saat nanti pasti akan berguna, tidak hanya untuk dirinya, tapi juga orang lain.

“Mas kita sudah satu minggu di sini ya, tidak terasa ya,” ujar Rina suatu sore.

“Iya ya, padahal kemarin rencananya kita cuma tiga hari, jadi keenakan di sini,” balas Bima. “Terus kita pamit besok?” Tanya Bima.

“Terserah, aku sih masih betah. Kayanya masih banyak ilmu yang belum kudapat. Bu Wayan itu jago loh bikin masakan, aku masih pengen belajar,” ujar Rina.

“Ya terserah kamu aja sih. Aku juga banyak tukar pikiran dengan Pak Wayan. Dia orang yang sangat bijaksana,” ujar Bima.

Canda gurau selalu menemani keluarga Wayan bersama tamunya. Puja dan Putu bahkan juga ikut meramaikan suasana. Bima tak ragu menawarkan Puja untuk meneruskan kuliahnya di Jakarta. Bima siap menanggung beasiswanya. Namun Puja belum mengiyakan, ia hanya berterima kasih atas tawarannya.

“Besok aku diajak Pak Wayan masuk ke dalam hutan, katanya dia mau ambil beberapa tanaman. Katanya kamu mau bawa ramuan ya? Ramuan apa sih?” Tanya Bima.

“Iya. Ramuan itu kan sebenarnya herbal Mas. Aku sempat terucap kalau-kalau bisa bawa pulang beberapa bahan herbal. Rupanya Bu Wayan menyampaikan ke suaminya. Jadi gak enak,” ujar Rina.

“Gak apa-apa, mereka menolong tanpa pamrih kok. Buktinya aku diajak, sekalian jalan-jalan katanya.”

“Ooo ya udah. Kalau gitu kita cepet istirahat deh. Biar besok kamu gak kesiangan.”

“Iya, jadi malam ini gak ada pelajaran ‘praktek’ kan?,” tanya Bima.

“He he he, kalau mau praktek juga boleh,” tantang Rina.

Mereka tertawa bersama, dan malam itu mereka benar-benar istirahat. Keesokan harinya, sebelum matahari benar-benar muncul, Bima sudah bersiap menemani Pak Wayan. Mereka akan masuk ke dalam hutan.

Setelah Pak Wayan selesai dengan ritual doa paginya, mereka pun berangkat. Sebuah tas yang berisi air minum dan makan siang menggantung di pundak Pak Wayan. Sepanjang perjalanan, Pak Wayan menceritakan tentang hutan itu. Pak Wayan sudah mewanti-wanti jika perjalanan mereka akan memakan waktu hingga siang, karena beberapa tumbuhan yang dicari berada di sisi hutan yang berlawanan.

Satu jam perjalanan, mereka berpapasan dengan air terjun. Bima terpukau dengan pemandangan itu. Apalagi alamnya yang masih asli. “Bagus ya? Nanti saat pulang kita ke sana,” ujar Pak Wayan kepada Bima yang berhenti untuk menikmati pemandangan itu.

Sebenarnya hutan itu tidak seperti hutan-hutan di Kalimantan atau Papua yang benar-benar belum terambah. Hutan yang dijaga Pak Wayan sudah tersentuh manusia, namun kerimbunannya masih terjaga. Para warga biasanya hanya mengambil hal-hal yang perlu saja. Seperti kayu atau tumbuhan untuk obat. Pak Wayan merupakan orang yang dipercaya untuk mengatur hal itu. Sebelum mengambil kayu untuk rumah, biasanya warga datang ke rumah Pak Wayan sekadar untuk memberi tahu.

“Mereka seringnya bilang minta izin, tapi sebenarnya bagi saya hanya pemberitahuan saja. Hutan ini bukan milik saya, jadi tidak perlu izin saya. Tapi alangkah baiknya kalau mau masuk ke dalam hutan ada orang lain yang tahu, sebab jika terjadi sesuatu, kita bisa membantunya,” jelas Pak Wayan.

Sebagian besar warga di banjarnya, percaya kalau ada beberapa tempat di hutan itu yang dianggap keramat. Menurut Pak Wayan, anggapan keramat itu hanya penafsiran yang disederhanakan saja. “Semua itu kembali kepada Saang Hyang Widhi Wasa. Saya bukannya tidak percaya ada kekuatan lain selain kekuatan manusia di alam ini. Tapi kita tidak bisa tunduk kepada kekuatan itu. Kita hanya bisa tunduk dengan kehendak Saang Hyang Widhi Wasa. Saya kira Bli Bima sependapat tentang hal itu,” jelas Pak Wayan.

Bima hanya bisa mengangguk. Meski dalam setiap ajaran agama memiliki konsep detail yang berbeda akan pengakuan terhadap Sang Pencipta, namun secara umum sebenarnya tidak jauh berbeda. Tuhan adalah di atas segala-galanya, yang kekuatannya mutlak, tak bisa diragukan dan tak tertandingi.

“Tempat-tempat yang dianggap keramat itu memang memiliki keunikannya sendiri. Biasanya di tempat itu ada energi lain yang bisa dirasakan bagi orang-orang tertentu. Bahkan saking besarnya energi itu, kadang kala orang awampun bisa merasakan. Namun karena keterbatasan inderanya, disederhanakan dengan menyebut sebagai tempat keramat. Energi itu bisa berasal dari kekuatan alamnya itu sendiri, atau ada makhluk lain selain manusia. Semua itu adalah hal yang wajar, karena mereka sama-sama ciptaan Saang Hyang Widhi Wasa. Yang perlu kita lakukan hanyalah menjaga keseimbangan untuk dapat hidup bersama,” jelas Pak Wayan.

Pak Wayan mencontohkan salah satu tempat yang dianggap keramat itu adalah air terjun yang Bima lihat tadi. Menurut Pak Wayan, warga percaya bahwa air terjun itu memiliki berkah tersendiri. Terutama bagi mereka yang menginginkan keturunan. Dan banyak orang yang percaya, jika suami isteri yang melakukan hubungan badan di sana akan mendapatkan anak.

“Sebenarnya logikanya bukan seperti itu. Buat orang awam yang hanya mengandalkan inderanya saja, tempat itu sesungguhnya sangat indah. Siapapun yang ada di sana pasti akan merasakan kedamaian hatinya karena keindahan alamnya. Seseorang yang sedang rileks saat melakukan hubungan badan, pasti punya peluang lebih besar memiliki anak dibanding oleh mereka yang sedang stres. Nah Bli Bima besok ajak Gek Rina ke sana, buat merasakan keindahannya, ha ha ha,” canda Pak Wayan.

“Nah kalau dilihat dengan mereka yang punya mata batin, tentu punya logika yang berbeda. Di air terjun itu, selain indah, juga terkumpul energi positif yang berkaitan dengan birahi. Energi inilah yang mendorong mereka yang datang untuk mewujudkan rasa cintanya, dalam bentuk hubungan badan. Mungkin Bli Bima pernah ke tempat-tempat lain yang bisa dikaitkan dengan energi alam.

Ada tempat ibadah yang sengaja di buat dipinggir laut, seperti di Tanah Lot, atau padepokan santri yang dibangun di satu tempat tertentu. Pemilihan tempat itu, sebenarnya tidak asal menunjuk saja, bagi mereka yang mengerti biasanya melihat energi alam yang ada. Apakah cocok dengan tujuan bagunan itu atau tidak. Cara ini digunakan dalam beberapa masyarakat, di Tiongkok ada istilah feng shui, di Jawa ada istilah weton, dan sebagainya.

Sejak dahulu hal itu sudah dipelajari untuk membantu kehidupan manusia. Karena hal itu hanya hasil proses pembelajaran, jadi kita tidak boleh mempercayainya sebagai kebenaran yang mutlak. Ramalan, hitung-hitungan tanggal, posisi bangunan, itu hanya hasil belajar, sama hal seperti hasil belajar manusia akan ilmu pengetahun yang lain. Intinya kita hanya berusaha menyelaraskan kekuatan alam dengan tujuan kita. Jadi kalau besok Bli Bima dan Gek Rina ke sana, jangan meminta anak kepada air terjun itu, tapi kepada Sang Pencipta, ha ha ha…,” jelas Pak Wayan.

“Ah bapak bisa aja,” Bima tersipu.

“Besok Bli harus bawa isteri ke sana, indah kok tempatnya. Sekalian coba di alam bebas, belum pernah kan? Ha ha ha,” tawa Pak Wayan lebih keras.

Mereka meneruskan perjalanan. Pak Wayan mengajak Bima ke beberapa lokasi, di tempat itu mereka mengambil tumbuh-tumbuhan. Pak Wayan menjelaskan khasiat tumbuhan yang diambilnya. Ia sengaja mengambil agak banyak untuk persediaan warga banjar. Saat matahari tepat di atas kepala, keduanya sudah sampai di lokasi terjauh, dan mereka kembali pulang.

Seperti janji Pak Wayan sebelumnya, mereka menyempatkan diri untuk singgah di air terjun. Ternyata apa yang dikatakan Pak Wayan memang benar, Bima bisa merasakan keindahan yang menentramkan hati. Suara gemuruh air terjun seakan meredam kegelisahan dan kemudian melarutkan dalam aliran air dan terbawa ke kali kecil.

Di titik jatuhnya air, terbentuk kolam yang cukup besar, cukup untuk berenang. Airnya yang bening menggoda setiap orang untuk mandi. Bahkan di dalam air terlihat beberapa ikan berenang bebas. Batu besar dan kecil bertebaran di sekitar lokasi

Pak Wayan melakukan ritual doa di salah satu batu besar dekat jatuhnya air. Ia membakar dupa dan memberikan sesembahan. Sedangkan Bima masih menikmati pemandangan.

“Kamu mau mandi dulu, apa besok saja sama istrimu?,” Pak Wayan menyadarkan Bima dari keterpesonaannya di tempat itu.

“Besok saja Pak,” jawab Bima cepat.

“Ya sudah besok ajak Gek Rina ke sini, bagus buat kalian, he he he,” ujar Pak Wayan.

Bima hanya tersipu, mereka pun melanjutkan perjalanan pulang.

Dalam perjalanan pulang, keindahan air terjun itu masih membekas dalam ingatan Bima. Sejak sampai di tempat itu ia sudah berencana mengajak isterinya.

Ketika sampai di rumah, rasa lelah Bima terkalahkan dengan cerita air terjun yang dia sampaikan ke isterinya. Bima menceritakan saat Rina masih membantu Bu Wayan. Bu Wayan hanya senyum-senyum saja. “Sudah besok kalian ke sana, berangkat pagi. Nanti saya siapkan bekalnya,” ujar Bu Wayan.

Saat Bima kembali ke rumah panggungnya, Bu Wayan menceritakan tentang air terjun itu ke Rina. Rina mendengarkan dengan seksama. Ia menanggapi kisah itu dengan biasa saja.

Namun pada malam hari, Bima sangat bersemangat untuk mengajak isterinya. Hingga Rina mengiyakan ajakan itu. Keesokan paginya, mereka sudah siap. Bu Wayan sudah mempersiapkan bekal mereka. Tak lupa, Bu Wayan menyuruh Rina membawa kain jika sewaktu-waktu mereka akan mandi di tempat itu. Semua bekal itu dimasukkan ke dalam tas, dan dibawa Bima.

“Anggap saja hiking, kamu sudah pernah masuk hutan belum? Camping?” Bima mencairkan suasana dalam perjalanan.

“Kalau masuk hutan belum, tapi kalau camping pernah, dulu di Cibubur,” ujar Rina.

Bima hanya tersenyum mendengar jawaban Rina. Suatu saat nanti ia ingin mengajak Rina untuk camping di alam bebas, salah satunya adalah di air terjun yang akan mereka datangi. Tapi mungkin untuk melakukan itu harus berkonsultasi dulu dengan Pak Wayan.

Belum sampai satu jam, gemuruh air terjun sudah terdengar. Rina penasaran dengan tempat yang jadi tujuannya. Perlahan-lahan Rina mulai melihat air terjun dati balik rerimbunan pohon.

“Wooowwww, indahnya..” Ujar Rina.

“Tuh kan aku bilang juga apa?”

Rina tidak sabar untuk segera menuju air terjun itu. Mereka harus menuruni jalan setapak ke lokasi jatuhnya air. Setelah sampai di sana, Rina benar-benar mengagumi keindahannya.

Sambil istirahat dan membuka bekal, mereka menikmati alam di sekelilingnya. Di pinggir kolam air terjun itu ada sebidang tanah terbuka yang hanya ditumbuhi rumput. Mereka menggelar alas plastik di sana.

“Kalau kamu mau berenang, duluan aja. Aku mau rebahan dulu di sini,” ujar Bima.

“Yakin Mas boleh berenang? Nggak ada yang ngintip gitu?” Rina ragu-ragu.

“Boleh, Pak Wayan bilang begitu. Bahkan lebih dari berenang juga boleh. Tenang aja gak ada yang intip, paling monyet sama burung. Kalau manusia mah, biasanya datang ke rumah Pak Wayan dulu sebelum ke sini. Nah dari kemarin tidak ada yang datang untuk minta izin ke sini, jadi cuma kita yang ke sini,” jelas Bima.

Rina kemudian mengambil kain di dalam tas mereka. Bu Wayan menyuruh Rina menggenakan kain jika akan berenang di kolam air terjun, agar lebih nyaman. Kalau pun kainnya terlepas saat berenang, hal itu tidak melanggar aturan apa-apa. “Justru saya suruh pakai kain saja supaya lebih mudah melepasnya, kalau pakai baju pasti butuh waktu,” goda Bu Wayan sebelum berangkat.

Rina kemudian berganti pakaian di balik batu besar. Ia masih belum yakin jika tidak ada orang selain mereka di tempat itu. Rina keluar dengan hanya mengenakan kain yang melilit tubuhnya. Bima tersenyum melihat isterinya. Kecantikan isterinya menambah indah pemandangan di air terjun itu.

Rina menceburkan diri ke kolam. Airnya yang dingin langsung menyegarkan seluruh otot tubuhnya. “Ayo Mas, seger nih,” teriak Rina mengajak suaminya.

“Iya, sebentar lagi,” ujar Rina di pinggir kolam. Bima masih menikmati keindahan alam itu. Ditambah lagi ia melihat Rina berenang ke sana ke mari dengan kain yang membungkus tubuhnya. Ia melihat isterinya sangat senang berenang di kolam itu. Kadang kala Rina bermain-main dengan ikan yang ada di kolam itu.

Bima pun ingin menyusul isterinya. Ia langsung melepaskan semua pakaiannya, termasuk celana dalamnya. Ia langsung menceburkan diri menuju tempat Rina.

“Mas seger ya, dingin tapi asyik,” ujar Rina ketika suaminya menghampirinya. “Lho kamu telanjang polos? Gak takut ada yang datang nanti?” Rina kaget dengan ulah suaminya.

“Gak ada yang datang sayang, lagian kapan lagi bisa telanjang bebas di alam seperti ini. Kamu lepas aja kainnya,” ujar Bima.

Rina sejenak ragu, tapi melihat suaminya yang yakin, ia pun melepas kainnya, dan menaruh di atas salah satu batu sungai. Kini mereka benar-benar telanjang polos.

Bima dan Rina bercengkrama di kolam itu. Mereka berenang ke sana kemari sambil bermain dengan ikan-ikan yang ada. Sesekali mereka saling berpelukan dan berciuman di kolam itu.

“Mas, indah banget ya. Kita kaya Tarzan sama Jane,” ujar Rina.

“Iya, kapan lagi kita bisa begini. Makanya aku maksa ajak kamu ke sini, apalagi kita lagi honeymoon,” ujar Bima sambil merangkul tubuh isterinya agar lebih rapat.

Mereka berpelukan di dalam air. Bima mencium isterinya dengan lembut. Ciuman itu ternyata cukup untuk membangkitkan birahi mereka. Apalagi alam sekitarnya juga mendukung. Sekejap saja keduanya sudah terlibat dalam pagutan dan rabaan memancing birahi. Bima dan Rina sama-sama merintih-melenguh namun suara mereka tertutupi suara air terjun.

Meskipun air kolam itu dingin, namun penis Bima bisa mengeras sempurna. Rina yang merasakan penis suaminya menegang langsung mengarahkan ke vaginanya. Dengan berdiri di dalam kolam seperti ini, Rina ingin mengikuti salah satu gaya yang diberitahu Bu Wayan.

Tangan Rina bergelantungan ke leher suaminya, dan meminta digendong dari depan. Kedua kaki Rina membelit pinggang Bima. Ia pun membisikan agar Bima memasukkan penisnya karena vaginanya sudah terbuka. Meski agak susah, namun penis Bima bisa masuk ke lobangnya. Rina pun mulai menaikkan dan menurunkan tubuhnya.

Jika melihat dari atas kolam, kedua orang itu hanya terlihat leher dan kepalanya saja di atas air. Tapi kalau mencermati di bawah permukaan air, vagina Rina sedang menikmati sodokan penis Bima.

Dengan tubuh di dalam air, berat tubuh Rina lebih ringan, sehingga Bima dengan mudah membantu mengangkat dan menurunkan untuk meyesuaikan irama sodokannya. Rina sangat menikmati percintaannya di alam bebas itu. Ia memeluk erat suaminya, dan pasrah untuk mendapatkan kenikmatan.

Tak sampai 15 menit, keduanya seperti akan mendapatkan orgasmenya. Dan benar saja, Bima ingin segera mengeluarkan spermanya di dalam vagina Rina. Mereka berpelukan erat, karena Rina juga mengalami kontraksi yang hebat di dinding vaginanya. Mereka hanya berpagutan ketika mendapatkan orgasme bersamaan.

Sejenak mereka menikmati orgasme di alam bebas. Bima dan Rina pun merenggangkan pelukannya. “Apa tadi itu Mas? Cepat tapi kok kayanya nikmat banget, aku puas banget sih,” ujar Rina.

“Aku juga begitu. Mungkin bener apa yang dibilang Pak Wayan, tempat ini memang unik,” ujar Bima.

Bima kemudian mengajak isterinya untuk ke pinggir kolam, menepi untuk istirahat. Namun saat tangan Rina menyentuh penis Bima di dalam air, tiba-tiba gairah muncul lagi. Rina menghentikan langkah Bima, menarik tangan Bima, dan langsung menyosor bibirnya. “Mas aku pengen lagi. Di balik batu itu yuk,” ujar Rina tanpa basa basi.

“Ha? Lagi?” Bima sempat bingung namun tak menolak ajakan isterinya. Ia ingat pesan Pak Wayan bahwa di balik air terjun itu ada ruangan seperti goa yang cukup lebar. Di tengah ruangan itu ada batu yang berbentuk seperti meja panjang. Di dalam ruangan itu energinya sangat besar. Bima pun mengajak isterinya ke tempat itu.

Meski harus sedikit bersusah payah, namun mereka berhasil menyelinap ke balik air terjun. Dan ternyata memang benar ada ruangan yang cukup besar. Di tengah ruangan itu ada batu kotak memanjang yang mirip meja.

Rina awalnya ragu untuk tetap berada di tempat itu. Selain agak gelap, ruangan itu dipenuhi suara gemuruh air terjun. Mereka tak bisa mendengar apa-apa kecuali suara jatuhnya air deras. Tapi Bima sependapat dengan perkataan Pak Wayan, di ruangan ini energinya lebih besar. Hanya melihat Rina yang berdiri mematung memperhatikan ruangan itu dengan tubuh telanjang, gairah Bima langsung naik.

Bima langsung memeluk isterinya dan meraba payudaranya. “Di sini Mas?” Teriak Rina meski mereka sedang dalam pelukan. Ia harus berteriak untuk mengalahkan suara air. Bima mencumbu tubuh isterinya sambil berdiri. Ia meraba dan mengusap bagian-bagian pentingnya saja.

Bima mengarahkan isterinya untuk rebahan di atas batu meja itu dan mengarahkan penisnya menuju sasaran. Tanpa basa basi, Bima langsung memompa vagina isterinya. Entah suara apa yang mereka keluarkan karena tak terdengar, kalah dengan suara air. Bima memompa vagina isterinya dengan nafsunya. Kaki Rina dikangkangkan, dirapatkan, atau ditekuk agar ia mendapatkan sensasi cengkraman yang maksimal dari vagina Rina.

Bima seperti memiliki tenaga ekstra. Ia memompa vagina Rina dengan sodokan yang keras dan dalam. Gerakan maju mundurnya lebih cepat dari biasanya, dan ia mempertahankan kecepatan itu dengan konstan.

Rina pun tak jauh berbeda. Meski tubuhnya langsung bersentuhan dengan batu yang keras, namun ia sepeerti tidak merasa kesakitan. Ia seperti tak peduli dengan kulit punggungnya yang bergesekan dengan batu. Ia ingin mendapatkan hujaman yang lebih keras. Ia ingin penis suaminya mendobrak rahimnya. Hingga kemudian keduanya terengah-engah.

Tapi itu hanya sejenak saja, puas dengan konvensional, Bima berganti posisi dengan Rina. Kali ini Bima yang tiduran di meja batu, dan Rina naik ke atas tubuh Bima. Setelah lubang vagina Rina terasa pas pada tempatnya, tubuhnya naik turun. Kali ini Rina yang sepertinya lupa diri. Ia menjadikan tubuh Bima seperti mainan kuda-kudaan.

Selain naik-turun, Rina juga memaju-mundurkan pinggulnya. Sensasinya luar biasa. Penis Bima yang besar rerasa mengganjel kemaluannya. Gesekan batang penis itu ke diding vaginanya membuat Rina tak bisa menahan kenikmatannya. Ia pun memutar pinggulnya untuk memberikan sensasi yang lebih hebat.

Gerakan itu dilakukan berulang-ulang. Dan sensasinya ditambah dengan cumbuan Bima di payudaranya. Rina benar-benar menjadikan tubuh Bima seperti boneka seks. Ia tak peduli, apakah Bima kesakitan karena pantatnya menghentak-hentak pinggul suaminya, atau tidak. Ia ingin mendapatkan kenikmatannya. Ia ingin penis suaminya terus menyumpal vaginanya.

Akhirnya setelah Rina terengah-engah, Bima mengajak mereka mengubah posisi. Kali ini Bima mengajak Rina mendekati dinding ruangan. Bima meminta Rina untuk menungging dan berpegangan dengan dinding itu. Bima membukan kaki Rina sedikit lebih lebar, dan langsung memasukkan penisnya ke dalam vagina Rina. Sensasinya tidak berubah. Dengan leluasa, penis Bima menyodok vagina isterinya. Panggul Rina menjadi kemudi Bima untuk mengarahkan irama sodokan.

Gemuruh air terjun seakan merasuki tubuh Bima. Semua gelora birahinya ia tumpahkan saat itu. Sodokan-sodokan Bima tak berubah, keras, dalam, dan cepat. Ia sangat menikmati saat pantat isterinya beradu keras dengan panggulnya. Seakan-akan penisnya adalah linggis yang ingin menjebol tembok rahim isterinya. Ia hamtamkan sekeras-kerasnya, dan berulang-ulang. Cukup lama mereka melakukan gaya itu, sampai akhirnya Bima menyerah dan mengajak Rina keluar dari ruangan itu.

“Ya ampun nggak nyangka,” ujar Rina ketika mereka sudah menceburkan diri kembali ke kolam.

“Iya, kok bisa ya?” Ujar Bima terheran-heran. Bima dan Rina mengaku bahwa sebenarnya saat di dalam ruangan tadi mereka sudah beberapa kali orgasme. Bima mengakui sudah tiga kali menyemprotkan spermanya. Rina ternyata juga mengakui jumlah yang sama. Tapi setelah selesai orgasme, insting mereka meminta untuk terus memasukkan penis ke vagina.

“Sama Mas, aku kaya nggak puas-puas. Sudah orgasme, masih minta dimasukin lagi. Semua gaya sudah dipakai, tapi terus saja pengen lagi. Penismu keras banget, enak banget. Vaginaku juga gak mau lepas-lepas, maunya disodok terus, he he he,” ujar Rina.

“Bener kata Pak Wayan,” ujar Bima singkat.

“Bener apa sih Mas?” Rina penasaran.

“Nanti saja saat pulang aku kasih tahu. Sekarang kita istirahat dulu yuk. Kasihan badan, nanti malah sakit,” ajak Bima.

Bima dan Rina tak malu-malu lagi untuk telanjang di alam bebas. Mereka menuju tempat penyimpanan tasnya sambil bergandengan tangan tanpa ditutup pakaian. Setelah mengeringkan badan dengan handuk yang dibawa dari rumah, mereka mengenakan pakaian kembali.

Bima mengeluarkan kompor gas portable yang dipinjamkan Pak Wayan, sedangkan Rina mengeluarkan bekal makanan mereka. Dengan kompor gas itu, mereka tidak perlu membuat api untuk mendapatkan makanan yang hangat. Teh hangat menjadi minuman yang sangat spesial.

Bima mengetahui kalau saat itu sudah jam 10 siang. “Habis berapa ronde kita Mas, lapar nih?” Ujar Rina.

“Lapar ya, yuk kita makan,” balas Bima.

Rina kemudian mengeluarkan bekal mereka. Nasi dengan lauk pauk sederhana buatan Bu Wayan terasa sangat lezat. Makanan itu pun memberikan tenaga baru untuk Bima dan Rina.

Sambil makan, mereka ngobrol-ngobrol tentang tempat itu. Rina mengaku sangat terkesan, meski tetap banyak pertanyaan yang belum terjawab. Bima kemudian mengalihkan pembicaraan ke rencana perjalanan mereka. Menurut Bima sudah saatnya mereka melanjutkan perjalanan ke Denpasar, mungkin dalam beberapa hari ke depan. Rina menyetujui usulan itu. Bima menyebutkan masih ingin ke Lombok, ia ingin menyambangi kaki Rinjani. Rina setuju saja, toh mereka masih punya waktu banyak.

Rina benar-benar sangat senang dengan perjalanan bulan madunya. “Lucu ya Mas, kita bisa seperti ini. Kemarin-kemarin kan nggak terbayang kaya gini. Ketemu kamu nikah, bulan madunya seperti ini. Beruntung kita ketemu Pak Wayan dan keluarga. Terus terang aku belajar banyak, hidup dalam kesederhanaan ternyata indah sekali. Seperti di tempat ini, tanpa pakai baju pun terasa indah. Kita seperti benar-benar menyatu dengan alam. Berbeda sekali dengan di Jakarta, di sana kita menganggap alam adalah musuh, alam harus bisa ditaklukkan, di sini kita adalah bagian dari alam, kita belajar untuk bersama-sama,” ujarnya.

“Iya, mungkin itu yang ingin disampaikan Pak Wayan. Dia itu sebenarnya orang sakti. Dia tahu kita tanpa kita bercerita. Buatku, ini bekal yang sangat baik,” ujar Bima.

“Sakti gimana Mas? Punya ilmu kebatinan begitu?”

“Iya, dia tahu loh sewaktu mobil kita masuk ke dalam hutan. Bahkan dia sudah bisa memperkiarakan kedatangan kita,” ujar Bima.

“Yang bener Mas, apa bisa terbang juga kaya di film-film?”

“Ha ha ha, kalo itu aku gak tahu, tapi bisa jadi. Kekuatan seperti itu memang dikembangkan dalam budaya Timur, berbeda dengan budaya Barat yang mengembangkan ilmu pengetahuan berdasarkan logika saja. Budaya Timur lebih menekankan pada rasa dan perasaan serta kekuatan alam, tanpa mengesampingkan logika indrawi. Makanya jangan heran kalau di budaya Timur lebih banyak cerita tentang ilmu batin, bukan ilmu pengetahuan seperti yang kita pelajari di sekolah,” jelas Bima.

“Eh ngomong-ngomong kita mau punya anak berapa ya sayang?” Ujar Bima coba berandai-andai.

“Kalau aku sih terserah Yang Di Atas, dikasih berapapun aku harus siap. Kan anak itu bentuk tanggung jawab kita Mas. Kok kamu bicara soal anak, memang sudah gak sabar momong anak?” Rina bertanya.

“Ya namanya orang menikah, harapannya punya anak. Membesarkannya, sama seperti orang tua kita,” ujar Bima.

“Ooo, kirain mau ngajak bikin anak sekarang?” Canda Rina.

“Itu sih iya. Bikin yuk?” Bima menimpali.

“Ayuk, nih dah siap kok,” ujar Rina sambil memposisikan tubuhnya dengan gaya mengangkang menantang.

“Ha ha ha. Tempat ini memang punya aura yang besar,” ujar Bima. “Di sini sayang?” Bima mendekati isterinya.

Rina pun megangguk. Mereka kemudian membereskan perlengkapan makan dan melebarkan alasnya plastiknya. Rina langsung rebahan dan siap menerima tubuh suaminya. Tapi kemudian Bima menyarankan agar mereka membuka baju agar tidak kotor terkena tanah. Segera sepasang manusia ia kembali tanpa pakaian di alam bebas.

Rina memberi isyarat kalau dia ingin mengulum penis suaminya. Maka segera, Bima memberikan penisnya. Rina mulai pandai memanjakan suaminya. Sekarang ia tahu di mana titik-titik rangsangan yang tepat pada tubuh Bima. Tak lama, penis Bima sudah ereksi dan siap tempur.

Bima membuka paha Rina dan memposisikan tubuhnya dengan tepat. Sesaat saja, penisnya sudah tenggelam di dalam kemaluan Rina.

“Aaaaahhhhh…..Mas….” Ujar Rina di sela-sela gemuruh air terjun. Mereka kembali berpagutan. Tangan Bima tak bosan-bosan meraba payudara isterinya. Bentuk bukitnya, dan putingnya selalu membuat dia terbang ke awan.

“Enak sayang?” Tanya Bima sambil memompa isternya.

“Banget Mas…. Punyamu gak pernah bikin bosan. Aku bisa ketagihan,” Rina membalas dengan berani.

Kembali mereka berlomba mengejar kenikmatan birahinya. Kali ini Bima dan Rina tak hanya mengejar nafsu saja, mereka ingin persetubuhannya mendapatkan hasil, mereka ingin memiliki anak.

“Kamu mau anak berapa sayang?” ujar Bima disela-sela memompa tubuh isterinya.

“Berapapun sayang. Aku ingin anak dari kamu,” balas Rina.

Mereka sangat menikmati persetubuhan itu. Di alam bebas, mereka merasa bebas, mengekspresikan salah satu insting paling dasarnya. Seperti halnya persetubuhan tadi, dengan satu gaya saja, mereka sudah bisa mencapai orgasme. Bima dan Rina sama-sama mendapatkan klimaksnya.

Mereka saling berpagutan ketika badan mereka kembali mengendur dari ketegangan. Tapi itu tak bertahan lama. Rina yang sebelumnya ditindih Bima, bangkit dan membalik posisinya di atas Bima.

Penis Bima yang masih tegang dimasukkan kembali ke dalam vaginanya. Rina kini memegang kendali permainan. Goyangannya naik-turun, mengurut penis Bima. Ia juga improvisasi dengan gerakan maju mundur. Gerakan pinggulnya terlihat sangat piawai. Bagi Bima, itu adalah pemandangan yang sangat indah, ia bisa melihat bagaimana tubuh isterinya, payudaranya yang ikut bergoyang-goyang, juga ekspresi Rina yang keenakan. Sensasinya sangat berbeda, dengan latar belakang alam terbuka yang indah, mereka seperti kembali ke fitrah dasarnya.

Sekilas mereka seperti hewan, tumbuhan, atau makhluk lain yang sedang menikmati insting birahinya. Tapi mereka adalah manusia yang memiliki akal budi dan rasa. Akal budi dan rasa yang membuat mereka berbeda dengan mahkluk lain di air terjun itu. Mereka tidak sekadar menyalurkan hasrat birahinya, tapi ada landasan rasa, cinta, dan kemanusiaan di dalamnya.

Tak lama kemudian mereka kembali mendapatkan orgasmenya. Rina menghentak keras ketika dinding vaginanya terasa menegang. Ia juga merasakan penis suaminya berkedut-kedut. Vaginanya dibanjiri cairan kenikmatan mereka berdua. Rina ambruk di tubuh Bima.

Tak sampai satu menit, mereka mengatur nafasnya. Penis Bima tetap tegang meski sudah dua kali orgasme. Maka ia pun meminta Rina untuk nungging. Ia ingin menyodok Rina dari belakang. Dengan berlutut, Bima mulai memompa vagina Rina. Pinggul Rina terlihat maju mundur terkena sodokan suaminya. Entah sudah berapa kali mereka melenguh, merintih, bahkan berteriak mengekspresikan kenikmatan, tapi sepertinya tidak ada rasa bosan. Bima terus menyodok dengan pelan ataupun keras. Hingga mereka kembali mendapatkan orgasme sekali lagi. Bima membenamkan penisnya dalam-dalam. Ia berharap agar spermanya membuahi ovum isterinya. Ia ingin agar spermanya berenang bebas ke rahim isterinya.

Mereka pun rebahan di alas plastik itu sambil berpelukan. Peluh membasahi tubuh mereka. Matahari sudah mulai meninggi.

“Kalau dihitung-hitung, belum tiga jam kita di sini, tapi sudah tujuh kali orgasme, he he he,” ujar Rina.

“Iya, memang tempat ini seperti surga,” ujar Bima. “Tapi aku masih kuat sekali lagi,” canda Bima.

“Wah masih kuat? Hebat. Sabar ya,” ujar Rina. Mereka pun kembali berpelukan, lalu terlentang menghadap langit. Keduanya menikmati alam yang indah di sekitar mereka. Jarang sekali mereka mendapat kesempatan seperti itu.

Tak sengaja tangan Bima menyentuh payudara Rina, seketika itu rangsangan muncul kembali. Rina pun mengelus penis Bima. “Mas aku ingin anakmu Mas,” ujar Rina lembut.

Maka mereka pun kembali terlibat dalam persetubuhan. Rina yang berada di bawah, pasrah menerima hujaman Bima. Vaginanya bersiap mendapatkan siraman sperma Bima. Ia ingin agar sperma itu memberi kehidupan di dalam rahimnya. Hal yang sama juga dirasakan Bima. Ia tak hanya menyalurkan birahi dan cintanya kali ini, ia berharap ada kehidupan yang tumbuh. Maka Bima mengantarkan benihnya ke rahim Rina.

Seusai persetubuhan itu Rina terlihat menitikkan air mata. Ia terharu dengan kebahagiaan yang diterimanya. Sangat indah.

“Aku akan ingat momen ini Mas. Aku sangat bahagia. Tuhan sudah memberikan yang terbaik buat aku. Keluargaku, perjalananku, dan kini kamu. Mudah-mudahan kita punya anak ya Mas,” ujar Rina sambil memeluk suaminya.

“Iya sayang, akan kita besarkan menjadi manusia berguna,” balas Bima.

Itulah persebutuhan terakhir mereka di tempat itu. Mereka kemudian membersihkan diri di kolam dan bersiap kembali pulang. Sebelum matahari benar-benar condong ke arah barat, Bima dan Rina sudah meninggalkan tempat itu. Bagi mereka, air terjun itu memiliki kenangan yang tak terlupakan. Mereka berjanji, suatu saat nanti akan datang kembali.

Cerita Dewasa – Sweet Honeymoon