Cerita Dewasa – Sweet Honeymoon

Bima dan Rina menikmati masa-masa bulan madu mereka. Perjalanan hidup mereka seakan seperti mimpi saja. Mereka sangat menyadari hal itu sebagai anugerah yang harus disyukuri. Sebelum ini, perjalanan jodoh mereka seperti terombang-ambing. Keduanya bahkan sempat pasrah dengan takdir jodoh mereka. Bima dan Rina tahu betul akan masa-masa seperti itu. Maka ketika semua doa mereka terjawab, tak ada keinginan lain kecuali mengucap syukur.

Satu minggu mereka berada di Yogyakarta. Berbagai tempat dikunjungi, mulai dari Borobudur, Prambanan, hingga pelosok-pelosok yang desa yang sebenarnya tak ada tempat wisata. Tapi perjalanan ke pelosok-pelosok itulah yang membuat Bima dan Rina menemukan pengalaman baru. Ketika tersesat, mereka harus mampu menemukan jalan pulang kembali. Di sanalah kebersamaan mereka diuji.

“Kamu kok gak minta lagi Mas? Hebat ya,” ujar Rina dalam perjalanan ke Bali.

“Minta apa?”

“Minta itu…”

“Itu apa?” Bima penasaran.

“Itu loh, sprei…”

“Oooo sprei kenangan, he he he…. Mau sih, tapi aku gak tega kalau kamu kesakitan begitu. Aku bisa tahan kok. Nanti aja kalo kamu dah hilang sakitnya,” ujar Bima.

“Aku kira, laki-laki pikirannya cuma soal itu doang, gak juga ya?”

“Ya kalau mau terus terang sebenarnya aku memang ingin terus, tapi ya itu tadi, aku masih bisa tahan, gak tega kalau kamu malah kesakitan. Seks itu, menurutku, adalah sesuatu yang indah, wujud dari cinta. Makanya aku kira ada baiknya kalau aku berusaha menguatkan cinta kita lebih dalam lagi,” Bima kali ini coba berfilosofi.

“Memangnya kurang dalam Mas? Aku kira cukup kok, buat permulaan,” ujar Wita. “Sampai berdarah-darah lagi,” sambungnya sambil bercanda.

“Ha ha ha, kasihan ya kamu,” ujar Bima.

“He he he.”

Perjalanan dari Yogya ke Banyuwangi ditempuh dalam 12 jam melalui jalur selatan. Mereka benar-benar menikmati perjalanan. Tak hanya pemandangan, tapi juga kebersamaan. Bima dan Rina tahu, suatu saat nanti, perjalanan ini akan jadi kenangan yang tak terlupakan. Bahkan mungkin kelak punya anak, mereka sudah berencana melakukan perjalanan itu lagi bersama anak mereka.

“Mas, nanti kalau sudah masuk Bali, biar aku saja yang bawa mobil, kamu bisa istirahat dulu. Gak jauh kan dari Gilimanuk ke Denpasar,” ujar Rina ketika mobil mereka sudah naik di atas ferry menyebrang Selat Bali.

“Nggak, paling lama empat jam. Jadi perkiraannya bisa sampai Denpasar tengah malam. Bisa langsung check in di hotel,” ujar Bima.

Satu jam mereka terombang ambing bersama ferry yang mengangkut mereka. Sampai akhirnya tiba di Gilimanuk. Setelah ferry benar-benar menyandar di pelabuhan, mereka pun meneruskan perjalanan. Kali ini Rina yang mengemudikan mobil. Bima hanya memberi instruksi seputar jalan, dan ia meminta izin untuk tidur sebentar.

Tak seperti jalanan di Jawa, di Bali jalanan cenderung lengang. Rina sebenarnya agak khawatir dengan kondisi jalan yang gelap dan kiri kanannya masih hutan belantara. Seumur-umur ia tak pernah mengemudikan mobil di luar kota, dengan kondisi jalanan yang gelap. Apalagi teman seperjalanannya sedang tidur. Tapi ia berusaha menenangkan diri, bahwa dia berada di Bali, di mana mayoritas penduduknya relatif lebih ramah di banding warga Jakarta.

Tiba-tiba saja Rina melintas wilayah yang sedang hujan deras, mau tidak mau ia mengurangi laju kendaraannya. Jarak pandangnya mulai terbatas. Ia berusaha menghibur diri dengan lagu-lagu kesayangannya. Sampai akhirnya Rina terpaksa membangunkan suaminya. Ia menyadari kalau sudah tersesat.

Ia keluar dari jalan utama yang menghubungkan Gilimanuk-Denpasar. Jalanan yang dilewatinya tak lagi beraspal mulus, tapi berupa batu-batuan yang semakin lama semakin menyempit. Di kanan-kiri mereka masih hutan yang gelap, hanya lampu mobil mereka yang memberikan cahaya di tengah hutan yang diguyur hujan deras.

“Maaasss bangun Mas. Kayaknya aku tersesat nih. Gak tahu sampai di mana,” Rina panik.

“Hmm. Tersesat ya. Coba aku lihat,” Bima berusaha tenang dan mengamati keadaan. Ia tak tahu apa-apa, tapi coba mencocokan kondisi sekitarnya dengan petunjuk di peta. Bima menduga kalau mereka masih berada di kawasan Bali bagian barat.

“Hhmm putar balik aja kalo gitu,” ujar Bima tenang. Namun sampai sepuluh menit Rina mencari celah agar mobilnya bisa putar balik, mereka malah terus masuk lebih jauh. Mereka melihat cahaya pelita di kejauhan, pertanda ada kehidupan manusia di sekitar wilayah itu. Dan tak beberapa lama, mereka menemukan jalan yang lebih lapang untuk memutar balik kendaraan mereka.

Rina langsung memutuskan untuk memutar kendaraannya dan kembali ke jalan utama. Hanya saja sebelum mereka benar-benar bisa memutar, dua ban belakang mereka terperosok ke tanah yang lembek. Semakin menekan pedal gas, malah membuat mobil mereka terjebak. Ban mereka terperangkap lumpur.

Sadar kalau ada situasi genting, Bima keluar dari mobil dan berusaha untuk mengangkat mobilnya. Di tengah derasnya hujan, ia memasukkan batu-batu ke lubang tanah agar bannya memiliki pijakan yang kuat. Tapi usaha itu sia-sia, tanah di sisi jalan itu terlalu lembek untuk menopang berat mobil Bima yang besar. Sampai Bima kehabisan batu di sekitarnya, mobilnya masih terjebak.

“Sayang, batunya habis. Aku cari batu di sebelah sana dulu ya,” ujarnya kepada Rina.

Rina khawatir, jika usaha yang dilakukan suaminya tidak membuahkan hasil, apa yang harus mereka lakukan? Mungkin salah satu dari mereka harus mencari pertolongan, karena di depan sana ada cahaya pelita dan berharap saja rumah penduduk.

“Selamat malam Gek,”sebuah suara mengagetkan Rina di tengah gemuruh derasnya hujan. Tiba-tiba saja, di sampingnya sudah berdiri seorang bapak tua bertelanjang dada dan membawa daun pisang untuk memayungi kepalanya.

Rina kaget tak bisa berkata apa-apa. Ia takut sekali, sampai-sampai ia mengira laki-laki itu hantu. Tapi kemudian ia melihat seorang remaja yang juga bertelanjang dada namun tidak membawa daun pisang. Rina merasa lega, ketika melihat senyum di orang tua itu.

“Ma ma malam Pak,” ujar Rina gugup. Ia mencoba mencari Bima, tapi suaminya tidak terlihat. Orang tua itu kemudian berpaling ke arah lain, dan mengangguk. Rupanya ia memberi anggukan kepada Bima yang datang sambil membawa batu.

“Kenapa mobilnya Bli? Terperosok?,” ujar bapak tua itu hangat.

“Iya Pak, kami tersesat. Mau kembali ke jalan utama malah terperosok.”

“Oooo boleh kami bantu?” Bapak tua itu menawarkan pertolongan yang diiyakan Bima.

Mereka pun kemudian berusaha mengeluarkan mobil Bima dari lubang itu. Namun tiga orang lelaki ternyata tidak berhasil membuat mobil keluar dari lumpur. Sampai akhirnya, bapak tua itu menyuruh anaknya untuk kembali ke rumah mengambil dua kerbau mereka. Dengan dua tenaga kerbau, mereka berharap bisa menarik mobil itu dari lumpur. Ternyata memang benar, kedua kerbau itu berhasil menarik mobil Bima.

“Terima kasih Pak, terima kasih banyak,” ujar Bima.

Rina yang merasa sudah ditolong ingin memberikan imbal balik, namun ia tak punya sesuatu yang bisa diberikan kecuali uang. Ia pun memanggil anak bapak tua itu dan memberikan sejumlah uang. Tapi anak itu menolaknya.

“Tidak ibu, tidak usah,” ujarnya halus.

Si bapak pun menyetujui tindakan anaknya. Bahkan ia mengajak Bima dan Rina untuk mampir sebentar ke rumahnya, sekadar untuk membersihkan diri karena Bima sudah belepotan lumpur dan kuyup oleh air hujan.

Tidak ada alasan yang membuat mereka menolak ajakan itu. Sekilas bapak dan anak itu adalah orang baik, sehingga Bima dan Rina tidak perlu memberi rasa curiga berlebihan. Hanya mungkin perjalanan mereka ke Denpasar akan menjadi molor.

“Silahkan masuk Bli, ini rumah kami. Sederhana tidak seperti hotel di Denpasar atau Kuta, tapi kalau Bli dan Gek mau, silahkan menginap di sini. Besok baru melanjutkan perjalanan ke Denpasar,” ujar bapak itu.

Rumah itu sederhana namun terlihat bersih. Di terasnya sudah tersedia dua gelas teh hangat. Bapak itu kemudian berteriak meminta isterinya membuatkan dua teh lagi karena ada tamu. Dengan sigap, sang isteri menuju teras menyambangi tamu mereka. Bima dan Rina pun akhirnya berkenalan dengan sang penolong. “Bli Bima minum tehnya saja duluan, kasihan badannya kedinginan. Biar bisa langsung mandi, salin,” ujar bapak tua yang diketahui bernama Wayan itu.

Sambil menunggu Bima selesai mandi, Pak Wayan dan isteri menemani Rina ngobrol. Rina bercerita tentang mereka yang masih pengantin baru dan sedang melakukan liburan ke Bali. Pak Wayan dan isteri hanya senyum-senyum saja mendengarnya.

Pak Wayan juga menceritakan tentang keluarganya. Mereka adalah petani dengan dua anak. Yang pertama, yang membantu Bima dan Rina adalah Puja, baru kelas satu SMA. Sedangkan adiknya, Putu, baru kelas enam SD. Keluarga mereka sederhana, hanya mengandalkan pertanian saja. Tapi Pak Wayan mengaku tak pernah kekurangan, selalu ada rezeki saat ada keperluan mendesak.

Saat Bima sudah selesai mandi dan berganti baju. Bu Wayan membujuk Bima dan isterinya unuk menginap. Kebetulan di samping rumah mereka ada empat bagunan-bangunan rumah panggung dari kayu yang disiapkan untuk tempat menginap sementara. Rumah panggung itu hanya terdiri dari kamar tidur dan kamar mandi.

Bu Wayan menjelaskan bahwa bangunan itu memang dipersiapkan untuk tempat menginap, karena mereka sering didatangi saudara dari wilayah lain. Bima dan Rina pun akhirnya menyetujui hal itu. Perjalanan mereka ke Denpasar harus tertunda, dan kini ditampung oleh sebuah keluarga sederhana di tengah hutan.

Bu Wayan segera menyiapkan salah satu rumah panggungnya. Sedangkan Bima mengambil beberapa barang yang dibutuhkan dari mobil. Rina yang menemani Bu Wayan membereskan rumah panggung itu sangat terkesima. Awalnya ia membayangkan sebuah gubuk reyot yang kotor, namun ternyata rumah panggung itu sangat bersih dan nyaman.

“Silahkan Gek Rina, begini keadaannya, mudah-mudahan betah,” ujar Bu Wayan.

“Ini sudah luar biasa Bu. Saya bisa menumpang tidur di sini,” balas Rina.

Setelah selesai membereskan kamar itu, Bu Wayan melakukan doa di kamar itu. Menurut Bu Wayan agar yang tidur di kamar ini diberikan berkah dan dijauhkan dari cobaan.

Bima yang datang kemudian mengucapkan terima kasih kepada Bu Wayan yang sudah selesai berdoa. Ia juga mengagumi interior kamar itu.

“Kalau ini mah bersih, nyaman, jangan-jangan kita malah betah di sini,” ujar Bima.

“Bisa jadi Mas, he he he,” balas Rina.

Malam itu mereka tidur pulas. Meski kasurnya tidak seempuk kasur hotel, tapi cukup untuk membuat mereka melepas lelah. Tidak ada nyamuk mengganggu meski mereka berada di tengah hutan. Bima dan Rina harus tidur berpelukan di dalam selimut karena udara malamnya sangat dingin. Untuk tinggal di tempat itu, Pak Wayan dan keluarga tidak butuh AC.

Bima dan Rina bangun setelah sinar matahari terang benderang. Keduanya merasa sungkan karena bangun kesiangan. Rina langsung ke luar ketika melihat Bu Wayan sedang membersihkan pekarangan.

“Eh pengantin baru sudah bangun..?” Sapa Bu Wayan.

“Ah ibu bisa aja, jadi malu,” ujar Rina.

“Capek ya?” Tanya Bu Wayan dengan kesan menggoda.

“Iya capek bu, sampe tidurnya pulas, nggak ngapa-ngapain,” balas Rina dengan canda.

“Ha ha ha. Itu ada sarapan, mudah-mudahan Gek Rina sama Bli Bimanya mau,” ujar Bu Wayan.

“Kok repot-repot Bu,” ujar Rina sambil mengikuti Bu Wayan ke rumahnya mengambil sarapan.

“Ah gak repot, biasanya juga bikin sarapan. Tapi seadanya ya,” balas Bu Wayan.

Bu Wayan membuat jagung marning rebus yang ditaburi parutan kelapa muda dan gula pasir. Meski bukan nasi, tapi jagung itu cukup mengenyangkan sebelum beraktivitas.

Rina pun mengajak suaminya ikut sarapan bersama di saung yang ada di pekarangan keluarga Wayan. “Ibu makasih banyak sudah membantu kami, sekarang malah dikasih sarapan,” ujar Bima.

“Gak apa-apa. Biasa kok, tapi cuma jagung ya, gak ada makanan mewah,” ujar Bu Wayan.

“Ini juga mewah Bu,” balas Bima.

Bu Wayan menemani Bima dan Rina sambil sarapan. Bima sangat berterima kasih dengan pertolongan keluarga Wayan sejak semalam hingga saat itu. Bima pun menyatakan ingin meneruskan perjalanan ke Denpasar. Namun Bu Wayan berpesan untuk tinggal beberapa hari di tempat mereka jika berkenan. “Mungkin tempatnya kurang bagus ya, kurang nyaman?” Tanya Bu Wayan.

“Bukan itu Bu, kalau kelamaan di sini malah gak enak Bu, ngerepotin,” ujar Bima.

“Bapak tadi pesan, supaya Bli Bima dan Gek Rina mau beberapa hari tinggal di sini, baru nanti ke Denpasar,” ujar Bu Wayan.

“Eh Bapak mana Bu?” Bima sadar hanya ada Bu Wayan di rumah itu.

“Bapak sudah ke sawah, anak-anak ke sekolah. Apa Bli Bima mau ketemu Bapak? Nanti saya antar ke sawah, sekalian antar makan siang,” ujar Bu Wayan.

“Boleh bu,” ujar Bima.

“Saya tinggal dulu ya, saya mau beres-beres rumah dulu. Kalo ada apa-apa panggil saja ya,” ujar Bu Wayan.

Sepeninggal Bu Wayan, Rina dan Bima menikmati sarapan pagi alakadarnya. Mereka terpesona dengan lingkungan sekitar rumah keluarga Wayan. Semalam mereka hanya tahu kalau mereka berada di tengah hutan. Ternyata rumah keluarga Wayan berada di pinggir hutan. Tepatnya di lereng bukit yang landai, tak heran kalau udaranya sejuk.

Saung yang dibangun Pak Wayan berada pinggir rumahnya, menjadi tempat paling tepat untuk menikmati pemandangan lembah yang indah. Hamparan sawah menghijau di bawahnya. Terasering tersusun rapi, meski tidak dengan pola yang simetris. Di bagian paling bawahnya mengalir kali yang airnya deras. Rina bahkan merasa terpesona dengan pemandangan itu.

“Bagus ya Mas, gak kalah sama di Ubud,” ujarnya.

“Iya, beberapa kali ke Bali, ternyata di sini ada tempat yang indah. Sepi lagi, mungkin cuma beberapa orang saja yang tahu,” ujar Bima.

“Iya, Mas. Biasanya aku kalo ke Bali paling ke Kuta, Ubud, Kintamani, Ulu Watu. Ini belum pernah. Apa kita terima saja tawaran Pak Wayan Mas, kita di sini dulu,” tanya Rina.

“Aku sih gak apa-apa, kamu mau? Tapi jangan lama-lama ya, tiga hari aja, gak enak lama-lama. Nanti jadi ngerepotin,” ujar Bima.

“Iya Mas,” ujar Rina.

Siang hari, mereka bertiga bertemu dengan Pak Wayan di sawah sambil makan siang bersama. Bima kembali mengucapkan rasa terima kasih kepada Pak Wayan. Atas pertolongannya, Bima dan isterinya tidak jadi terjebak di dalam mobil. Padahal menurut Bima, jika semalam ia tidak berhasil mengatasi masalahnya ia akan bermalam di dalam mobil dengan segala resikonya.

Pak Wayan hanya tersenyum dan mengajak mereka untuk tinggal di rumahnya beberapa hari lagi. Ajakan itu disetujui Bima, hanya saja ia berharap keluarga Pak Wayan tidak direpotkan dengan kehadiran dia dan isterinya.

“Tak ada yang direpotkan kalau keinginan yang muncul adalah untuk kebaikan bersama,” ujar Pak Wayan.

Pak Wayan pun menceritakan tentang banjarnya yang terkesan terpencil. Menurut Pak Wayan, ada jalan yang lebih mudah untuk menuju rumahnya dibanding jalan yang ditempuh Bima semalam. Hanya saja memang tidak bisa dilalui mobil. Ia bercerita ada jalur setapak melintas sawah untuk sampai di pemukiman penduduk. Jalur itu biasa dilewati Puja dan Putu jika akan berangkat sekolah. Selanjutnya mereka akan naik motor yang dititipkan di tetangga yang rumahnya di pinggir jalan.

Pak Wayan memilih rumah tepat berada di pinggir hutan karena memang ia adalah seorang pecalang yang tugasnya menjaga hutan. “Jangan berpikir yang aneh-aneh, tidak ada yang dikeramatkan secara berlebihan di hutan ini, he he he,” ujar Pak Wayan ketika Rina menyinggung hal mistis.

“Dulu orang tua memang membumbui cerita mereka dengan hal-hal mistis, tapi sebenarnya hal itu agar kita patuh pada nasehat mereka. Pendekatan saya sekarang tidak seperti itu, meski saya tetap percaya ada kekuatan lain di luar kekuatan manusia. Tugas saya adalah menjaga keseimbangannya,” jelas Pak Wayan.

Bima coba memahami bahwa ia kini berhadapan dengan orang yang sangat arif, yang hidupnya sudah memiliki fungsi yang jelas, dan menerima jalannya dengan ikhlas.

“Tapi pasti Pak Wayan punya kemampuan batin ya, sampai dipercaya sebagai pecalang menjaga hutan,” kejar Rina.

“He he he, itu gak perlu saya jawab Gek. Gak penting,” ujar Pak Wayan bercanda. Ia memang sengaja menutupi bahwa beberapa hari sebelumnya, Pak Wayan mendapat firasat akan kedatangan tamu besar. Tamu yang akan membawa perspektif berbeda.

Sebaliknya, Pak Wayan pun mengerti siapa tamunya kali ini. Mereka adalah orang-orang dengan hati yang bersih dan tulus. Yang memiliki jiwa besar dan mau menjalani hidupnya dengan ikhlas. Pak Wayan menerka, suatu saat tamunya itu akan melakukan pekerjaan besar yang memberikan kebaikan untuk orang banyak.

“Saya berharap Bli Bima dan Gek Rina mau tinggal di rumah saya barang beberapa hari. Saya senang ada tamu, karena bisa bertukar pikiran. Apalagi Bli Bima dan Gek Rina orang terpelajar, berbeda dengan saya yang belajar dari alam,” ujar Pak Wayan.

“Eh ngomong-ngomong mau punya anak berapa? Lima, tujuh, delapan? Ha ha ha,” Pak Wayan mengubah suasana jadi santai.

“Ha ha ha,” Bima tertawa keras. Dalam hati jangankan anak, membuatnya saja masih dalam proses belajar. “Belum kepikiran Pak, belum dua minggu nikahnya,” ujar Bima sekenanya.

“Ha ha ha ha, memang nikmati dulu masa bulan madunya. Pacaran dulu, kuatkan dulu ikatan batinnya, nanti dengan sendirinya Tuhan akan mengabulkan harapan kita,” ujar Pak Wayan.

“Pacaran dulu? Maksudnya Pak?” tanya Rina penasaran dengan pernyataan Pak Wayan.

“Ya pacaran dulu. Kalian kan belum pacaran, tiba-tiba langsung menikah. Tiga bulan bertemu terus sepakat menikah. Memang ada baiknya pacaran dulu, biar indah,” canda Pak Wayan.

Kini giliran Rina dan Bima yang bingung, karena selama mereka ngobrol dengan Pak Wayan dan isterinya mereka tidak pernah menceritakan tentang proses perkenalan hingga sampai akhirnya menikah. “Kok bisa tahu Pak,” tanya Rina bingung.

“Ah gak penting Gek. Yang penting Bli dan Gek sangat bahagia, karena sudah bertemu jodohnya kan. Nah kalo ngomongin soal anak mending Gek Rina ngobrol sama Ibu, dia pasti punya banyak nasehat tuh,” canda Pak Wayan.

“Ah Bapak, malu tahu. Biar urusan perempuan aja nanti,” sergah Bu Wayan.

“Ha ha ha ha,” mereka tertawa bersama.

Mereka pun meneruskan obrolannya hingga matahari tergelincir ke arah barat. Setelah itu, Bima menemani Pak Wayan di sawah, sedangkan Rina ikut kembali ke rumah menemani Bu Wayan melakukan pekerjaan rumah.

Itulah pengalaman baru mereka. Selama ini Bima dan Rina tak pernah tahu pekerjaan yang paling sederhana dalam sebuah keluarga. Mereka bisa belajar bagaimana pembagian tugas antara suami dan isteri untuk menjamin kelangsungan hidup mereka. Juga kelangsungan cita-cita mereka.

Bima belajar apa artinya bekerja keras, membanting tulang. Benar-benar mengandalkan kekuatan fisiknya, sedangkan Rina belajar bagimana menjadi pendamping, menjadi ratu di dalam rumahnya.

Hingga sore mereka akhirnya bertemu lagi. Setelah membersihkan diri, mereka berempat kembali terlibat dalam pembicaraan santai di saung. Bu Wayan menghidangkan camilan khas dan minuman tradisional banjar mereka. Suasana semakin hangat dengan kehadiran Putu yang beranjak remaja.

Mereka baru berhenti ketika matahari mulai terbenam seluruhnya. Pak Wayan mempersilahkan mereka untuk kembali ke dalam kamar rumah panggung sampai makan malam. Dan saat makan malam, mereka kembali terlibat dalam obrolan, hanya saja kali ini tidak lama. Pak Wayan maklum jika tamunya kelelahan akibat ikut bekerja di sawah.

“Wah capeknya. Aku baru tahu bagaimana susahnya kerja di sawah. Kayanya badanku mau rontok semua nih,” ujar Bima sambil rebahan di kasur kamar mereka.

“Mau dipijit?” Tanya Rina.

“Kamu mau pijitin aku?”

“Ya maulah, kamu kan suamiku,” ujarnya penuh rasa sayang.

“Asyik..”

“Ya udah buka kaos sama celana pendekmu, biar gampang pijitnya,” ujar Rina.

“Buka kaos dan celana? Ini mau pijit apa “pijiiit”,” canda Bima.

“He he, udah buka aja dulu. Aku pijitin, nanti kalo ada efek lain kita tanggung bersama, he he he,” balas Rina.

Bima pun tertawa dengan candaan isterinya. Semakin lama ia merasakan isterinya adalah orang yang tepat mendampingi hidupnya. Setelah menuruti permintaan isterinya, Bima tengkurap di atas kasur. Jari-jari Rina pun terasa menyentuh tubuhnya.

Sambil dipijit, Bima menceritakan tentang kegiatannya di sawah. Ia juga memberi informasi tambahan tentang Pak Wayan yang tidak didengar Rina. Sedangkan Rina bercerita tentang kegiatannya membantu Bu Wayan.

Rina bercerita bahwa ia menceritakan tentang hubungan mereka kepada Bu Wayan, termasuk proses pernikahannya. Rina juga bercerita bahwa tadi sore ia dipijat oleh Bu Wayan. Dan anehnya, Bu Wayan bisa menerka kalau dia baru sekali melakukan hubungan seks.

“Aku kaget Mas, dia bisa tahu. Tapi kemudian aku malah dapat masukan banyak. Aku dapat banyak ilmu he he he,” ujar Rina.

“Ilmu apaan?” tanya Bima.

“Ilmu di atas ranjang he he he,” goda Rina.

“Ha? Wah aku jadi kepengen nih,” Bima mulai berani memancing. “Eh tapi kayanya aku capek Na, tadi di sawah kerja berat. Takutnya malah gak bagus,” tambah Bima.

“Ah seharusnya nggak. Tadi aku dikasih tahu. Kegiatanmu di sawah sebenarnya malah membantu fisikmu lebih kuat. Pak Wayan pasti meminta kamu melakukan beberapa pekerjaan kan, katanya itu bagus untuk latihan nafasmu, biar panjang, tidak cepat ngos-ngosan. Nah yang paling penting, makanan yang kita makan tadi sengaja dibuat untuk membantu stamina kita. Aku ikut membuatnya loh, jadi aku tahu cara bikinnya nanti-nanti,” jelas Rina.

“Wah makin gak sabar nih Na,” Bima mulai gelisah karena hanya dengan mendengar ceritanya saja ia sudah terangsang.

“Yuk kita coba Mas. Aku salin dulu ya. Kamu sabar,” ujar Rina meninggalkan Bima menuju kamar mandi.

Keluar dari kamar mandi, Rina hanya membebatkan tubuhnya dengan kain saja. Ia tak ubahnya perempuan desa yang ingin mandi di sungai. Kainnya menutupi pangkal payudara hingga bagian atas pahanya. Bima yang terbaring terlentang terpesona dengan pemandangan itu. Rina tak ubahnya perempuan desa yang sederhana, cantik, dan seksi.

Rina mengambil sebuah tembikar seperti tungku kecil. Di bagian atas tembikar itu ada wadah untuk menampung cairan, sedangkan di bawahnya ada tempat untuk menaruh lilin. Saat lilin dinyalakan, maka akan memanaskan minyak di atasnya, dan tak lama kemudian tercium bau wangi.

“Itu apa sayang?” Tanya Bima.

“Ini sejenis minyak aroma. Kata Bu Wayan ada warga di sini yang khusus membuatnya. Wanginya bikin kita rileks, sekaligus bikin serangga pergi. Orang di sini biasa memakai untuk semadi, berdiam diri, atau yoga. Aku disarankan untuk membakar ini kalau mau tidur atau mau berhubungan sama kamu. Biar rileks,” ujar Rina.

“Ooooo.”

Rina kemudian menghampiri suaminya yang sudah terlentang di atas kasur. Sekilas ia melihat tonjolan di bagian depan celana dalam Bima. Rina pun menggoda dengan mengelus tonjolan itu. “Belum apa-apa, bim-bim dah bangun,” godanya.

Ia kemudian coba mempraktekkan anjuran Bu Wayan. Pertama-tama ia mengecup bibir Bima dengan lembut. Kecupan itu untuk mewakili rasa sayang pada pasangan. “Semua perlakuan kita harus disertai rasa di dalam hati. Meski di dalam hati, pasangan kita pasti bisa merasakannya.

Jangan biarkan perasaan kita kosong ketika kita melakukan satu tindakan, itu malah akan membuat pasangan kita hanya merasakan rasa dirinya sendiri. Jika hal itu terus terjadi, maka yang ada hubungan seks menjadi hambar. Itulah pentingnya rasa, karena akan menguatkan batin pasangan. Dan itu kenapa hubungan seks sering disebut sebagai nafkah batin,” Rina teringat pesan Bu Wayan.

Itu kenapa kecupan lembut Rina mendapat sambutan hangat dari Bima. Bima membalas dengan lembut dan penuh kemesraaan. Dan selanjutnya, kemesraan itulah yang memancing rangsangan untuk meningkat lagi. Rina pun mengecup lebih keras, dan menyentuhkan lidahnya. Hingga mereka berpagutan.

“Biarkan saja birahimu keluar. Jangan dibatasi. Birahi adalah salah satu bentuk rasa. Tapi rasa harus dilandasi oleh cinta. Kamu sudah punya cinta, itu awal yang sangat bagus,” penjelasan Bu Wayan masih terngiang dalam ingatan Rina.

Rina kini menggunakan lidahnya untuk meraba seluruh wajah Bima. Namun perlahan lidahnya turun ke leher dan berhenti di dada. Di sana Rina berusaha memancing Bima dengan jilatan-jilatan kecil di bagian putingnya. “Puaskan birahimu di tempat yang kamu sukai. Biarkan dia mengetahuinya, karena dia akan merasa senang dengan apa yang dia miliki. Beri kesempatan kepada pasanganmu untuk memiliki kehebatannya, setiap orang senang memuji dirinya sendiri.”

Jilatan di puting Bima memang tidak memberikan rangsangan berarti, selain rasa geli. Namun itu memberikan efek lain, Bima merasa apa yang dilakukan isterinya memiliki sensasi tersendiri. Baru kali ini ada perempuan yang berusaha menyenangkan dirinya hingga harus melakukan itu.

Tapi itu belum seberapa, jika Bima tahu apa yang akan dilakukan Rina selanjutnya. Puas menjilati dada suaminya, Rina mengarahkan lidahnya terus ke bawah. Saat tiba di pusar, lidah Rina memutar lubangnya. Tak hanya itu, tangannya mulai mengelus-elus penis Bima yang masih bersembunyi di balik celana dalam. Penis Bima yang mengeras mendapat belaian mesra.

“Buka ya Mas?”

“Iya Na,” ujar Bima cepat.

Rina langsung melucuti satu-satunya pakaian suaminya yang masih tersisa. Rina sempat kaget ketika melihat penis suaminya yang sudah membesar dan mengacung ke atas. Ia bahkan sempat menutup mulutnya.

“Kenapa sayang?” Bima menyadarkan Rina.

“Besar sih Mas. Aku pernah lihat di film porno, ternyata memang aslinya seperti ini ya,” ujar Rina takjub.

Sesaat ia lupa apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Rina memperhatikan penis suaminya. Ia melihat bentuknya, kulitnya yang berurat, serta rambut-rambut di sekitarnya. Rina juga memperhatikan buah zakarnya yang mengelantung di bawah.

“Kamu ngapain sayang?” Bima penasaran.

“Sebentar sayang. Aku lagi ngeliatin punya kamu. Bentuknya begini ya. Kalo aku pegang begini sakit gak?” Tanya Rina.

“Hhhmmmm…gak sakit. Malah enak,” ujar Bima polos.

Rina kembali memperhatikan bentuk penis suaminya. Namun Bima meminta dirinya agar menyentuh penisnya lagi. “Sayang diusap lagi dong,” ujarnya.

Kali ini Rina tak mengusapnya, tapi menjilati penis Bima. Dari ujungnya hingga ke pangkal bawahnya. “Aaahhhh…. Kamu ngapain sayang..” Bima merasakan sensasi yang luar biasa saat Rina menjilati penisnya. Ternyata masih masih ada yang lebih luar biasa, gumam Bima.

Rina puas menjilati penis Bima hingga penis yang kecoklatan itu penuh dengan air liurnya. Ia pun melangkah ke tahap berikutnya, memasukan penis Bima ke dalam mulutnya. “Ooooohhhhh….sayang…” Lenguh Bima yang merasa dirinya terbang ke awan.

Rina benar-benar mengikuti petunjuk Bu Wayan. “Lepaskan semua yang membelenggu, ini adalah cinta bukan sekadar birahi. Seks adalah wujud cinta. Jangan terpaku pada nama dan nilai. Ini adalah soal rasa dan perasaan. Bimbing suamimu memiliki cinta seperti cinta yang kamu miliki.”

Wejangan itu yang mendorong Rina berani mengulum penis suaminya. Selama ini ia tidak pernah membayangkannya. Jangankan mengulum dan memegang, melihatnya dengan seksama saja baru sekali. Rina melepaskan kesan jijik dan takut. Ia malah ketagihan melumat penis suaminya. Seakan-akan ia sedang makan es krim yang tak pernah habis.

Bima melenguh semakin kencang. Ia tak percaya mulut isterinya sedang mengoral penisnya. Sensasinya luar biasa. Rangsangan itu membuat Bima seperti tak kuasa dengan birahinya. Setiap kali bibir Rina turun naik mengurut penisnya, Bima merasakan kenikmatan yang luar biasa.

Sejenak Rina menghentikan aksinya. Ia ingin melihat hasil kerjanya. “Enak Mas?” Tanyanya.

“Banget. Ini pelajaran dari Bu Wayan juga?” Tanya Bima.

“Iya. Mau lagi Mas?”

“Untuk sekarang cukup dulu sayang. Sekarang gantian, aku mau manjain kamu,” ujar Bima.

Bima pun bangkit. Memeluk tubuh isterinya sambil duduk. Mereka berpagutan. “Kamu tahu gak sayang, kalau kamu cantik sekali. Kamu bidadariku,” ujar Bima saat melepas pagutannya. “Sekarang ajari aku, apa yang harus aku lakukan,” tambah Bima.

“Coba Mas lakuin seperti yang aku lakukan tadi,” pinta Rina sambil melepas kainnya.

Saat kain Rina terlepas, tubuhnya tidak tertutup apapun. Bima kembali terpesona, apalagi Rina kemudian rebah terlentang. Bima sangat memuji tubuh isterinya. Kulitnya yang putih dan halus, lekuk luarnya yang aduhai, serta payudaranya yang proporsional. Bima mengagumi payudara Rina yang masih kenceng. Namun yang paling dikagumi dan dihormatinya adalah wilayah sekitar vagina Rina.

Sejak ‘pagi pertama’ di Yogya kemarin, Bima sangat menghormati bagian tubuh itu. Sebenarnya bagi Bima bukan soal perawan atau tidak perawan, tapi hal itu adalah bukti keteguhan Rina mempertahankan nilai yang dianggapnya benar. Dan itu bukanlah sebuah hal yang mudah di zaman seperti ini.

Bima memposisikan tubuhnya di atas Rina. Ia mulai mencium bibir Rina dengan lembut, sama seperti yang dilakukan kepadanya. Ia pun meneruskannya dengan mengusap wajah Rina menggunakan lidahnya. Hampir seluruh wajah Rina tak lepas dari usapan lidahnya. “Aaahhh…” Rina melenguh ketika lidah Bima menyentuh telinga kirinya. Lenguhan itu menjadi petunjuk untuk mengintensifkan jilatan lidahnya di tempat itu. Rina kembali melenguh. Bima berimprovisasi dengan memberikan gigitan-gigitan kecil. Rina kegelian, tapi ia meremas kepala Bima. Puas dengan telinga kiri, Bima berpindah ke kanan. Hal yang sama pun terulang lagi.

Kini lidah Bima beranjak ke bawah. Ia menelusuri leher Rina yang jenjang. Rina melenguh lagi. Ingin rasanya ia menandai leher itu dengan cupangan, namun Bima ragu melakukannya. Ia mengganti keinginannya itu dengan mengaktifkan tangannya. Tangan Bima mulai meraba payudara kanan Rina. Bima menggunakan jarinya untuk menyentuh payudara Rina. Ia tahu bahwa bagian itu adalah salah satu bagian sensitif perempuan, maka ia tak mau terburu-buru dan coba memancing Rina.

Sambil menjilati lehernya, jari Bima melingkari payudara Rina. Jarinya mengikuti lingkar luar payudara Rina yang menantang. “Aaaahhhh… Mass…” Lenguh Rina. Tangan Rina pun mengusap rambut Bima.

Rabaan tangan Bima membuat gairah Rina terpancing. Rina kini memegang tangan Bima untuk menyentuh payudaranya lebih intensif lagi. Rina ingin tangan Bima yang lebar meraup payudaranya. Bima tak kuasa menolak itu, karena ia memang menginginkannya juga.

“Aaaahhhhh…Mass….,” lenguh Rina saat tangan suaminya meraup payudaranya. Putingnya yang menonjol tertekan saat Bima meremasnya. Berkali-kali Bima meremas payudara Rina, kiri dan kanan berulang-ulang. Ia bahkan melepaskan lidahnya dari lehernya, dan menggunakan kedua tangannya untuk mengerjai payudara Rina, kiri dan kanan secara bersamaan. Hasilnya, leguhan yang tiada henti. “Ooohhhh…oohhh…ooohhhh..”

Bima puas melihat isterinya mendapatkan kenikmatan. Wajah Rina menggeleng ke kiri dan kanan. Matanya terpenjam menikmati kenikmatan itu. Namun Bima merasa belum maksimal, ia mengganti tangannya dengan lidahnya.

Kini rangsangan muncul lewat sapuan lidah Bima. Lidahnya juga menyapu dari pinggir luar ke bagian tengah. Perlahan namun pasti lidahnya mendaki bukit isterinya. Saat akan mencapai puncak bukit, Bima coba mengitari lingkaran hitam di sekitar putingnya. “Aaaaaahhhhh….Maaassss…”

Rintihan yang keras itu membuat Bima menjilat puting Rina. Rina terkejut dengan pelakuan itu, badannya melengkung. Bima menambah serangannya lagi, ia menghisap puting isterinya. “Ooooohhhhh…Mas Bimaku….enak Mas, terus dihisap Mas,” Rina mulai berani meminta.

Puas dengan puting kiri, Bima pindah ke kanan. Ia tak peduli jika Rina sudah merintih keenakan. Ia juga mengabaikan meski badan isterinnya sampai melengkung ke atas menahan kenikmatan. “Maaasssss….aku gak kuat Massss….”

Rina merasa tak bisa menahan kenikmatannya. Tapi sebenarnya itu belum seberapa, karena Bima masih memiliki jurus yang lainnya lagi. Lidah Bima kini menuju daerah paling vital Rina, vaginanya.

Perlahan-lahan lidah Bima turun ke bawah. Sambil menyusuri perut, tangan Bima mulai meraba labia mayora Rina. Terasa di tangannya rambut-rambut halus yang tumbuh di wilayah itu.

Bima sangat kagum dengan wilayah selangkangan Rina. Rambut-rambut di sekitarnya tertata rapi secara alami, membuat kesan seksi. Vaginanya sudah merekah, karena Bima membuka tungkai pahanya.

Lidah Bima mulai membelai bagian luar vagina isterinya. Rina pun melenguh. Sambil membelai, Bima mengamati dengan seksama kelamin isterinya. Itulah pertama kali ia melihat dengan jelas kelamin perempuan. Ia memperhatikan dengan detail, bentuknya, tekstur, warna, dan lainnya. Ia seperti sedang belajar biologi.

Tangan Bima membuka celah vagina dan menemukan satu bagian yang ia duga clitoris. Di celah bagian atas, ada tonjolan daging kecil yang dilingkari kulit dengan tekstur lebih halus. Tekstur itu terlihat licin karena dipenuhi lendir.

Bima tak mau langsung menyerang clitoris isterinya karena kata orang, itulah bagian paling sensitif selain dinding vagina. Bima coba memberi rangsangan di sekitar clitoris, di kulit melingkar yang teksturnya licin penuh cairan. Ia pun menyapu cairan itu dengan lidahnya.

“Mmmaaaasssss….Bima…” Rina meringis menahan kenikmatan padahal Bima baru menyentuh pinggirnya saja. Berkali-kali Bima melakukan itu, terasa asin di lidahnya. Rasa itu malah menimbulkan sensasi tersendiri. Maklum ini adalah pengalaman pertamanya.

Rina terus melenguh dan merintih. Ketika lidah Bima benar-benar menyentuh clitorisnya Rina tak bisa menahan suaranya, ia setengah teriak. Rina mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi, sedangkan tangannya menekan kepala Bima agar terus menekan clitorisnya.

Bima mulai menghisap dan memberikan gigitan-gigitan kecil pada tonjolan itu. Rina semakin meracau. Pinggulnya terangkat-angkat, wajahnya menggeleng ke sana kemari. Nama Bima pun disebut berkali-kali. “Mas Mas, aku gak kuat Mas.. Mass… ooohhh…. maassss… Maaassss Bima sayang… ooohhhh…” Rina memang sudah tidak bisa mengontrol dirinya. Kenikmatannya semakin dekat. “Mmaaasss… Terus masss… Hisap Maassss…aku mau pipis maassss…”

Namun bukan pipis yang terjadi, badan Rina mengejang beberapa kali, pinggulnya terangkat tinggi-tinggi. Matanya terpejam, sedangkan mulutnya berteriak, “aaaaaahhhhhhh…….” Rina mencapai puncaknya.

Bima menghentikan aksinya. Ia kaget apa yang sudah terjadi pada isterinya. Ia takut kalau ia memberikan kesakitan lagi pada isterinya. Ia takut kalau ia ternyata menyentuh bagian yang lecet dari vagina Rina.

Apakah begitu sakitnya hingga pinggul Rina terangkat ke atas? Apakah sakit sekali hingga membuat Rina terlihat seperti orang yang kehabisan napas? Pikiran itu terbersit di kepala Bima.

Bima merasa bersalah. Ia memutuskan menghentikan aksinya dan mencium isterinya yang perlahan mulai tenang.

“Sayang kamu kenapa? Sakit ya? Maaf ya?” Ujar Bima.

Rina masih menikmati orgasmenya. Ia hanya menatap sayu kepada Bima. Namun ia tidak tega melihat wajah Bima yang merasa bersalah. “Nggak sayang, nggak sakit. Malah enak banget, mungkin itu orgasme, seperti kata Bu Wayan,” Rina berkata dan mencium Bima.

“Ooo orgasme, kaya tadi itu ya. Seksi banget sih,” ujar Bima.

“He he he, makasih ya Mas Bimaku,” balas Rina.

Sejenak mereka berdiam, diri. Rina teringat kata-kata Bu Wayan, perempuan kadang kala bisa langsung menikmati orgasme lagi jika mendapat rangsangan yang tepat. Maka ia ingin mencoba mendapatkan orgasme lewat penetrasi.

“Bim-bimmu masih tegang Mas?” Tanya Rina.

“Masih.”

“Masukin aja Mas. Aku pengen bim-bimmu,” ujar Rina memelas.

“Kamu yakin? Nanti sakit lagi,” Bima ragu-ragu.

“Pelan-pelan aja Mas.”

Bima pun kembali menuju vagina Rina. Kali ini ia bersiap-siap untuk melakukan penetrasi. Kedua kaki Rina dikangkangkan, dan memegang penisnya ke lobang vagina isterinya. Berbeda dengan yang pertama kali kemarin, kali ini Bima sudah tahu di mana letak lubang vagina Rina.

Bima benar-benar menghayati momen ini. Sejak awal ia memang ingin mempertemukan bim-bimnya dengan rin-rin isterinya. Ia sempat ragu kalau isterinya akan mendapat kesakitan lagi, dan ia juga sudah merasa puas ketika isterinya ternyata mendapatkan kenikmatan lewat sentuhan lidahnya.

Bima mengarahkan penisnya dengan satu tangan, sedangkan tangan lain menjadi tumpuan tubuhnya. Ia melihat Rina sudah pasrah menerima penisnya. Perlahan-lahan Bima menurunkan panggulnya dan penisnya mulai menerobos vagina Rina.

Berbeda dengan kemarin, kali ini lebih mudah. Vagina Rina lebih licin. Ia pun seakan tanpa halangan menuju dasar vagina Rina. “Aaaaahhhh….” Rina melenguh sambil menggoyang pinggulnya sedikit. Ia memperbaiki posisi vaginanya agar penis suaminya terasa pas menyentuh dinding vaginanya. “Aaauuu… Pelan-pelan Mas…” Ketika Bima menekan sekali lagi.

Bima menekannya dengan penuh perasaan. Ia ingin memberikan cinta lewat tekanan penisnya. Dan sekali tekanan lagi penis Bima sudah mencapai dasar vagina Rina, tenggelam dalam remasan dinding vagina isterinya.

Sesaat, Bima sangat menikmati momen itu. Ia merebahkan tubuhnya, berusaha mencium bibir Rina. Oooo indah sekali ketika penis sudah masuk ke dalam vagina, sedangkan bibirnya memberikan ciuman penuh cinta kepada isterinya. “Rina sayang, aku cinta kamu,” ujarnya ketika bibirnya lepas dari pagutan isterinya.

“Aku juga Mas Bimaku sayang. Jangan tinggalkan aku, kita akan bersama-sama sampai tua, sampai punya cucu Mas…,”balas Rina.

“Iya sayang,” Bima mengecup kening isterinya. Rina pun membalasnya dengan memeluk punggung suaminya. Pasangan itu benar-benar mabuk cinta, cinta yang tulus, yang menerima satu sama lain, dan membiarkan yang lain menguasai dirinya. Mereka saling memberi dan saling menerima secara bersamaan. Bima dan Rina sama-sama bisa merasakan itu.

Pelukan di punggung Bima menjadi rabaan lembut dari Rina. Bima belajar kalau hal itu mengisayaratkan bahwa isterinya ingin lebih, dari sekadar penis yang tertanam di vagina. Maka perlahan-lahan Bima mulai memompa vagina isterinya. Bima masih hati-hati melakukan gerakannya ketika ia melihat Rina meringis. Namun lama-kelamaan, kesan meringis itu hilang.

Dengan konstan Bima memompa penisnya lebih dalam. Ia ingin isterinya mengetahui kalau dia adalah laki-laki sejati.

“Dah gak sakit sayang,” tanya Bima diantara lenguhan Rina.

“Nggak Mas, terus Mas yang keras, yang dalam,” balas Rina.

Mendapat arahan seperti itu Bima melakukan penetrasi lebih dalam. Kini ia tak lagi hanya memaju mudurkan saja, ia menggunakan kekuatan panggulnya untuk menyodok lebih dalam. Akibatnya badan Rina ikut berguncang ketika penisnya menghujam vagina Rina.

Bima kemudian mengangkangkan kaki isterinya selebar-lebarnya, ia ingin penisnya benar-benar masuk sedalam-dalamnya. Rasanya sungguh luar biasa.

Saat Bima terlihat memburu nafas, Rina kemudian berimprovisasi dengan mengaitkan kakinya di bekalang pantat Bima. Rina terus memancing Bima agar menusuk lebih dalam lagi, dan lebih dalam lagi.

Tapi kemudian, Bima mengendurkan kaitan kaki Rina, agar tubuhnya berada pada posisi yang tepat. Ia ingin meraba payudara isterinya sambil terus memompa. Saat jarinya memainkan puting Rina, Rina seperti orang kelojotan.

“Oooooohhhh…..Mas….”

“Iya sayang, aku ingin kamu dapet kenikmatan lagi..”Ujar Bima.

“Iya Mas…enak. Putingnya Masss….,” pinta Rina.

Maka Bima pun menghisap puting Rina tanpa melepaskan penisnya dari vagina Rina. Rina meracau kembali. Ia merasakan kenikmatan tiada tara. Sungguh, saat vaginanya dijejali penis suaminya yang besar, putingnya mendapat rangsangan yang hebat. “Maassss…”

Bima benar-benar menikmati kepuasan Rina. Sementara penisnya dicengkram erat oleh vagina Rina, ia pun lega bahwa isterinya mendapat kenikmatan yang sama. Bima terus menghisap puting Rina kiri dan kanan bergantian.

Namun pada akhirnya, Bima merasakan urat-urat di bagian bawah penisnya memberikan isyarat kenikmatan yang luar biasa. Badannya menegang, rasa panas menjalar di seluruh tubuhnya. Ia merasa sebentar lagi akan orgasme.

“Sayang aku mau keluar,” ujarnya memberitahu isterinya.

“Iya sayang, aku juga. Tambah keras lagi sayang,” ujar Rina.

Bima pun memfokuskan pada sodokannya. Ia benar-benar membenamkan penisnya sedalam-dalamnya. Berat tubuhnya digunakan untuk membantu hal itu. Efeknya, tempat tidur mereka berderit-derit. Tak sampai lima menit, Bima benar-benar ingin memuntahkan spermanya di dalam mulut rahim Rina. Sodokannya tak terkendali, yang penting dalam dan keras. Dan sekali sentak menyeburlah sperma Bima. “Oooooooohhhhhhhhh…….” Dahsyat sekali klimaks Bima. Hal yang sama juga dirasakan Rina. Dinding vaginanya berkedut keras, dan menyusul teriakan Bima. “Aaaaaahhhhhh……”

Bima langsung menyosor bibir Rina, meski penisnya masih menghentak-hentak vagina Rina. Rina juga membalas memberikan ciuman ganas, karena ia tak ingin kehilangan kenikmatan orgasmenya. Lebih dari tiga kali, hentakan penis Bima dan kedutan vagina Rina terjadi bersamaan. Kini mereka berada di surga dunia.

“Hhhhmmmmm… Mas Bimaku hebat!” Ujar Rina setelah mereka lebih tenang.

“Kamu juga sayang. Punyaku seperti diremas-remas, enak banget, he he he…” Balas Bima.

Malam itu mereka tidur berpelukan tanpa mengenakan pakaian. Bahagia menyelimuti keduanya. Mereka sangat bersyukur dengan perjalanan ini. Terutama setelah berkenalan keluarga Wayan.

Cerita Dewasa – Sweet Honeymoon