Cerita Dewasa – Sweet Honeymoon

Dalam perjalanan pulang, Bima menceritakan tentang keunikan air terjun itu. Ia mengaitkan keterangan yang diberikan Pak Wayan dengan pengalaman yang mereka buktikan sendiri. “Air terjun itu memang punya aura birahi. Jadi jangan heran kalau saat di sana kita mau bersetubuh terus. Hebatnya kita bisa berkali-kali ya, tubuh kita juga mendukung untuk bisa terus-terusan,” ujar Bima.

“Ooo begitu. Tapi kalau soal tubuh kita, menurutku, itu karena makanan Mas. Bu Wayan mengajarkan aku makanan dan minuman apa saja yang bisa membuat tubuh kita punya stamina bagus. Beberapa hari ini Bu Wayan memberikan makanan itu untuk kita,” jelas Rina.

“Ooo begitu. Keluarga itu menang sangat baik untuk kita. Entah bagaimana membalas budi mereka,” ujar Bima.

Saat sampai di rumah, Pak Wayan dan isterinya sudah menunggu. Mereka tertawa-tawa saat Bima dan Rina jalan bergandengan menuju rumah. Bu Wayan berseloroh, jika sampai jam lima mereka belum pulang, Pak Wayan akan menyusul untuk mengingatkan pulang. “Biasanya kalau sudah di sana lupa pulang,” ujar Bu Wayan.

Sebelum mereka benar-benar beristirahat, Bu Wayan menarik Rina untuk berpisah dari Bima dan suaminya yang berada di saung. Bu Wayan menggoda Rina dengan bertanya berapa kali? Rina bingung pertanyaan itu. Namun Bu Wayan langsung meraba panggul Rina, dan menekan salah satu titik di atas pantat. Beberapa kali Bu Wayan menekannya.

“Aha. Ibu tebak delapan kali ya?” Ujarnya sambil senyam senyum.

“Delapan kali apaan Bu?” Rina bingung.

“Delapan kali kamu keluar, ha ha ha,” ujar Bu Wayan. Rina langsung merah mukanya menahan malu. Ia tak bisa berkata apa-apa, bagimana Bu Wayan bisa menebak dengan tepat hanya dengan menekan salah satu otot di panggulnya.

“Sudah gak usah malu. Kamu hebat delapan kali untuk pemula. Dulu ibu 17 kali,” ujarnya terkekeh.

“Kok malah saya yang hebat Bu? Kan ibu lebih banyak?” Tanya Rina.

“Iya hebat, karena kamu masih ingat pulang dari tempat itu. Dulu ibu sama bapak sampai lupa pulang. Maunya main terus. Bahkan ibu sampai tidak kuat jalan, sehingga saat kembali, ibu digendong Bapak sampai di rumah ini,” cerita Bu Wayan.

“Ha ha ha,” dua perempuan itu tertawa bersama.

Di saung, Bima mengutarakan niatnya. Ia mengucapkan rasa terima kasih yang besar kepada Pak Wayan. Ia mohon pamit akan melanjutkan perjalannya dua hari ke depan. Bima ingin membalas kebaikan Pak Wayan dan keluarga, tapi sepertinya Pak Wayan tidak mengharapkan apa-apa. Pak Wayan hanya mengatakan, bahwa persaudaraan lebih penting dari segala materi. Maka Bima pun berjanji akan datang kembali ke rumah itu pada masa yang akan datang.

Hari-hari terakhir, pasangan Bima dan Rina disibukkan dengan persiapan kelanjutan perjalanan mereka. Hotel di Kuta yang sudah dibatalkan sebelumnya, dipesan kembali.

Selain itu, mereka juga disibukkan dengan oleh-oleh dari keluarga Wayan. Ternyata banyak sekali barang bawaan yang disiapkan. Mulai dari makanan, bahan herbal, juga berbagai barang lainnya. Bima dan Rina tak enak hati ketika menerima barang-barang itu. Namun Pak Wayan dan Bu Wayan setengah memaksa. Bima pun meminta Pak Wayan, jika suatu hari ada kiriman barang darinya, Pak Wayan tidak boleh menolak. Bima berencana akan mengirimkan sejumlah barang untuk Pak Wayan setelah bulan madunya selesai. Bahkan ia berencana datang lagi untuk mengembangkan perekonomian banjar di pinggir hutan itu. Bima ingin meningkatkan pendapatan penduduk di sana dengan cara yang tepat.

Hingga saat perpisahan terjadi, mereka tidak bisa membendung rasa haru. Bima yang merupakan anak tunggal, kali ini bisa merasakan bagaimana rasanya harus pamitan kepada seseorang yang dianggap kakaknya sendiri. Begitupula Rina dan Bu Wayan.

“Sudah tidak perlu sedih. Nanti Bli Bima akan sering datang ke sini. Bahkan Bli akan jadi warga di sini kok he he he,” ujar Pak Wayan sambil bercanda.

Berat rasanya meninggalkan tempat itu, namun Bima dan Rina harus meneruskan perjalanan lagi. Mereka tidak bisa terus berlama-lama di tempat itu. Memang tidak ada target dalam bulan madu mereka, tapi mereka juga tidak bisa bersama keluarga Pak Wayan terus. Kini mereka mengarahkan mobilnya menuju Denpasar, kali ini mereka melakukan perjalanan pada siang hari, sehingga bisa mendeteksi jika tersesat.

Bima dan Rina masih merasakan kehilangan saat mereka dalam perjalanan ke Denpasar. Keduanya lebih banyak diam, dan membiarkan lagu-lagu dari mobilnya menghiasai suasana perjalanan mereka. Dua jam lebih, mereka akhirnya sampai di Denpasar. Rina dan Bima kemudian melanjutkan ke Kuta, langsung menuju hotel yang sudah di pesan.

Sampai di hotel, mereka meminta petugas untuk mengirim paket ke Jakarta. Sebagian oleh-oleh dari PakWayan dikirim lebih dulu ke Jakarta. Mereka pun beristirahat di kamar yang mewah. Berbeda sekali dengan tempat tinggal mereka sebelumnya di rumah Pak Wayan. Tapi hal itu malah membuat mereka kurang nyaman.

Bima dan Rina memutuskan hanya dua malam di Kuta. Mereka melanjutkan perjalanan menuju Lombok. Di Lombok, mereka menghabiskan waktu selama dua minggu sebelum memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Berbagai tempat mereka kunjungi, termasuk kaki Gunung Rinjani.

Bima memutuskan kembali ke Jakarta menggunakan pesawat. Sedangkan mobil mereka dan sejumlah barang dikirim lewat ekspedisi. Bima menyelesaikan bulan madunya lebih cepat, karena ia memiliki rencana berkaitan dengan Pak Wayan dan warga banjarnya.

“Mas aku mau bicara,” ujar Rina suatu malam di kamar rumah baru mereka.

“Ya, ada apa sayang,” balas Bima penuh mesra, meski ia sedang menganalisis laporan-laporan anak buah di laptopnya.

“Kita menikah sudah berapa lama ya?” Pancing Rina.

“Hampir tiga bulan. Kenapa sayang?”

“Ingat gak, waktu kita nikah aku sedang haid?”

“Iya.”

“Sampai sekarang aku belum haid lagi Mas.”

“Maksudnya?” Bima ingin mempertegas kabar baik yang akan meluncur dari mulut isterinya.

“Iya, aku belum haid lagi. Aku kira telat, tapi barusan aku coba pake test pack, ternyata positif Mas,” ujar Rina.

“Apa? Mana coba lihat,” ujar Bima sambil meraih test pack isterinya. Malam itu juga Bima mengajak Rina mencari dokter praktek yang masih buka. Di sebuah klinik dekat rumahnya, Bima mendapat kepastian bahwa isterinya hamil. Ia sampai berteriak rasa syukur saat dokter memberi tahu hasil pemeriksaannya. Sejak itu Bima dan Rina mempersiapkan kelahiran anak pertama mereka.

Kebahagiaan pasangan itu semakin lengkap ketika lahir bayi laki-laki beberapa bulan kemudian. Tak hanya itu, Bima diserahi tanggung jawab mengurus semua perusahaan ayahnya. Rina di sela-sela kesibukannya mengurus bayi, masih sempat membantu suaminya mengurus perusahaan keluarga mereka. Ia sudah berhenti dari perusahaan lamanya. Perlahan namun pasti, Bima pun mewujudkan keinginanya membantu warga banjar Pak Wayan di Bali.