Cerita Dewasa – Sweet Honeymoon

Sebelum tengah malam, mereka benar-benar sampai di Jogya. Mereka pun mendapatkan hotel yang tak kalah mewah dengan hari sebelumnya. Namun kamar mewah itu hanya untuk istirahat saja. Benar-benar istirahat, karena keesokan harinya mereka bangun jam sepuluh siang. Rina tak tega membangunkan suaminya yang sepertinya kelelahan dalam perjalanan kemarin.

“Dah siang ya Na?”

“He he he, bangun juga kamu. Aku kira dah nempel sama kasur?”

“He he he, enak banget tidurnya Na. Puas banget.”

“Iya, aku juga. Mungkin karena kita kecapekan dari kemarin ya Mas? Beberapa hari sebelum nikah, kita sudah capek, terus acara nikah, terus perjalanan kemarin. Kayanya plong ya kita bisa istirahat.”

“Iya, kayanya hari ini aku mau di hotel aja, tidur-tiduran. Nanti malam aja jalan keliling kota.”

“Iya, setuju. Paling aku mau berenang aja nanti. Kamu temenin aku berenang ya,” ujar Rina.

“Iya.”

Tak ada batas waktu yang mereka tentukan di Kota Gudeg itu. Mereka akan meneruskan perjalanan jika sudah tak ada tujuan di kota itu. Hari itu digunakan untuk istirahat. Sepanjang hari hanya berada di dalam kamar. Televisi dan tidur siang jadi menu utama mereka. Hanya pada malam hari mereka keliling kota sambil mencari makan malam.

Saat kembali ke hotel, mereka istirahat lagi.

Bima tak bosan-bosan memeluk Rina. Bima memeluk isterinya dengan erat setelah memberikan ciuman sebelum tidur. Mereka terbangun usai subuh menjelang pagi.

“Mas bangun, dah subuh. Sholat yuk,” Rina membangunkan suaminya.

“Ooh subuh ya,” Bima yang masih mengantuk kemudian bergegas bersiap untuk melaksanakan kewajibannya. Meski bukan pribadi yang religius, tapi di awal pernikahannya ini Bima ingin melakukannya dengan kebaikan. Mereka pun sholat berjamaah dengan Bima menjadi imam.

Seusai sholat, Rina beringsut ke depan untuk mencium tangan suaminya. Sebagai bukti kalau ia menghormati Bima sebagai pemimpin keluarga di dunia dan akhirat. Bima yang belum terbiasa pun kaget, tapi ia kemudian menerima salam itu, dan kemudian membalas dengan mencium kening Rina.

“Na, kalau kamu sholat, berarti kamu sudah selesai dong haidnya?” Ujar Bima sebelum melepaskan isterinya menjauh dari dirinya.

“Iya Mas, terus kenapa?”

“Ya gak kenapa-kenapa. Kamu sudah tidak palang merah lagi,” Bima tak bisa mengutarakan keinginannya dan hanya memutar kata-katanya.

Seusai sholat, Bima kembali ke tempat tidur. Ia sebenarnya penasaran dengan hasrat seksualnya. Namun ia tak bisa mengungkapkan kepada istrinya. Bima berusaha menenangkan diri sambil rebahan dan menonton siaran televisi pagi hari. Sedangkan Rina membuatkan teh hangat untuk Bima.

“Mas, ini tehnya. Kamu suka teh kan kalo pagi?” Ujar Rina yang kemudian ikut rebahan dengan Bima di kasur.

“Kok diam aja. Gak mau teh ya?” Tanya Rina.

“Bukan, mau kok,” ujar Bima yang kembali menonton televisi.

Mereka sempat terdiam lama sambil menyaksikan televisi, hingga Bima akhirnya bersuara.

“Na.”

“Iya Mas?”

“Eeee anu. Eee soal haid.”

“Iya soal haid, kenapa?” Ujar Rina pura-pura tak mengerti.

“Sudah selesai ya?”

“Iya, kan dah sholat, kemarin juga dah berenang.”

“Oooo, kalo gitu bisa dong?”

“Bisa apa Mas?” Ujar Rina terus pura-pura tidak mengerti.

“Ya bisa.”

“Iya bisa sholat kan Mas?, tadi udah kok,” Rina tetap memainkan kepura-puraannya.

“Selain sholat kan ada ibadah lainnya Na, apalagi pengantin baru,” pancing Bima.

“Yang lainnya seperti apa Mas?”

“Ah kamu pura-pura gak tahu ya?”

“Ha ha ha, aku gak tahu Mas. Kan baru kali ini jadi pengantin.”

“Uuuuhhhh, ya udah deh kalo gak mau,” Bima merasa gagal merayu.
“Ha ha ha ha, jangan ngambek Mas Bimaku. Ya sudah, kamu sudah siap sekarang?”

“Kok malah kamu yang tanya aku, apa aku siap? Dari kemarin juga siap. Biasanya perempuan yang ditanya siap apa nggak.”

“Tuh kan sekarang dia yang lupa. Ingat gak kamu pernah tanya ke aku apa aku pernah ngelakuinnya apa belum. Kalau kita melakukannya sekarang, artinya kamu akan tahu jawabannya. Nah sekarang kamu benar-benar siap dengan jawaban yang akan kamu dapatkan?”

“Aku siap. Apapun kondisi kamu, sudah pernah atau belum, tidak akan mempengaruhi komitmen pernikahan kita, tidak akan mempengaruhi cinta yang akan tumbuh di antara kita,” ujar Bima tegas.

“Kamu berjanji Mas?”

“Aku berjanji.”

“Berjanji akan menerima aku apa adanya?”

“Berjanji.”

“Berjanji akan belajar mencintaiku?”

“Berjanji.”

“Sungguh?”

“Sungguh.”

“Hmmm. Aku percaya sama kamu Mas. Aku juga akan melakukan hal yang sama,” ujar Rina sambil mengecup pipi suaminya. Setelah itu Rina beranjak dari kasur dan ke kamar mandi. Bima kebingungan dengan tingkah isterinya. Setelah Bima menyatakan sikapnya, isterinya malah meninggalkannya.

“Mas, nanti jangan ketawain aku ya. Aku cuma ikuti saran teman-teman nih,” ujar Rina dari dalam kamar mandi.

“Loh kamu ngapain?”

“Udah pokoknya jangan ketawain, aku malu.”

Rina kemudian keluar dari kamar mandi hanya mengenakan lingerie hitam. Ia memadukan lingerie trasparan itu dengan bra hitam dan celana dalam hitam yang hanya menutupi bagial vitalnya saja. Lingerie hitam itu sangat kontras dengan kulitnya yang putih.

Bentuk tubuhnya tercetak jelas. Meski Rina bukan remaja atau perempuan usia 20-an, namun itu tidak mempengaruhi kecantikan alamiahnya. Rina pun sebenarnya adalah perempuan yang pandai menjaga tubuhnya.

Awalnya Rina canggung ketika keluar dari kamar mandi. Namun ketika ia melihat Bima terbengong-bengong, menelanjangi tubuhnya lewat sorotan mata, Rina memiliki kepercayaan diri. Ia yakin bahwa suaminya mengagumi dirinya.

“Kamu cantik sekali…” Ujar Bima ketika Rina rebahan ditempat tidur.

“Aku cantik ya Mas?”

“Sangat cantik. Aku nggak kira kamu ternyata benar-benar cantik,” Bima mengucapkan sambil menatap Rina tanpa lepas.

“Kan sudah aku bilang. Jangan hanya sibuk dengan perkiraanmu saja, kadang kala realita berbicara lain, he he he.”

“Aku percaya sama kamu. Aku cinta kamu,” ujar Bima sambil mengecup kening isterinya.

“Aku juga Mas. Kita akan belajar saling mencintai,” balas Rina sambil menatap mata suaminya. Mereka kemudian berciuman mesra. Bima mencium lembut bibir isterinya. Tubuhnya diposisikan di atas tubuh Rina. Seakan ingin melindungi wanita yang akan mendampingi seumur hidupnya.

“Mas, aku yakin sekarang jika kamu akan benar-benar menerima aku apa adanya. Miliki aku Mas, miliki hati dan tubuhku Mas. Ini kupersembahkan untukmu. Sebenarnya aku sama sepertimu, aku juga belum pernah melakukannya,” ujar Rina lembut.

“Kamu belum pernah? Masih perawan?” Tanya Bima ingin memastikan.

“Iya, seluruh tubuh dan hatiku hanya untuk suamiku, dan itu adalah kamu,” ujar Rina.

Bima sangat senang mendengar jawaban Rina. Memang bukan sesuatu yang penting lagi untuk dirinya, tapi hal itu membuat dia semakin memiliki perasaan yang dalam untuk isterinya. Dalam hati ia berjanji tidak akan menyia-nyiakan Rina.

Sepanjang hidupnya, momen seperti ini adalah salah satu yang ditunggunya. Ia mengakui kalau urusan tempat tidur sebenarnya hanya untuk menuntaskan rasa penasarannya saja. Seperti bunga-bunga dalam perjalanan hidupnya. Ia sangat bersyukur, penantiannya, kesabarannya, dan keteguhan hati, memegang nilai yang ia anggap benar ternyata berbuah manis.

Selama ini ia hanya berharap bisa mendapatkan pendamping yang tak hanya bisa menjadi teman hidup, tapi juga seseorang yang menyempurnakan perjalanan hidupnya. Dan kini ia memiliki Rina. Perempuan yang ideal untuk dirinya. Tak hanya pintar, Rina juga dewasa dan cantik. Rina adalah tulang rusuknya yang selama ini dicari-cari. Bima pun mencium bibir Rina, mengatakan hal itu lewat bibirnya.

“Mas pelan-pelan ya. Aku tetap ketakutan,” ujar Rina.

“Iya, kamu kasih tahu kalau ada apa-apa ya. Jangan biarkan aku sibuk dengan perkiraan-perkiraanku saja,” ujar Bima.

“Iya kita belajar bersama ya.” Rina kemudian memasrahkan dirinya. Ia merilekskan seluruh tubuhnya, memberi kesempatan kepada Bima untuk menuruti insting laki-lakinya.

Rina mendapatkan ciuman lembut di sekitar wajahnya. Seluruh badannya terasa bergetar ketika mendapatkan rangsangan-rangsangan yang belum pernah didapatkan sebelumnya. Ciuman di kuping saja sudah membuat Rina melenguh. Ada rasa yang aneh ketika bibir Bima menyentuh kupingnya. Bulu kuduknya berdiri, tapi ia juga merasakan geli. “Aaaahhhh…”

Bima kaget, takut kalau ia menyakiti isterinya, ia menghentikan aksinya. “Kenapa sayang?”

“Gak apa Mas terusin aja,” ujar Rina.

Bima kembali meneruskan aksinya. Kini ia ingin mempraktekkan pengetahuan yang sebelumnya hanya ia dengar lewat cerita atau tontonan vulgar saja. Ia ingin mendapatkan pengalamannya sendiri.

Ciuman Bima kini mengarah ke leher. Leher Rina yang jenjang ditelusuri dengan perlahan. Bima seakan tak percaya dengan momen ini, seperti mimpi yang jadi kenyataan. Bahkan Bima masih tak percaya kalau ia menikah, memiliki isteri. Sebelumnya hal itu hanya berbentuk harapan dan doa saja.

Perlahan demi perlahan ia telusuri leher isterinya. Bima sangat menikmati leher Rina yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Ia tak hanya mencium, tapi juga menjilatnya. Rina melenguh lagi. “Uuuhhhh….Mass….”

Bima yang mulai paham dengan arti lenguhan itu meneruskan aksinya. Lidahnya meluncur ke bagian bawah menuju payudara Rina. Ia memperhatikan bentuk payudara Rina yang masih terbungkus bra dan lingerie hitam. Sungguh pemandangan yang selama ini hanya menghiasai mimpinya saja.

Lidah Bima terbentur dengan tepi lingerie Rina saat ia ingin mendaki bukit kembar isterinya. Rina paham dengan keinginan suaminya. Ia pun memberi isyarat kepada Bima ketika ia akan membuka lingerienya. Bima ikut membantu meloloskan pakaian yang membuat tubuh Rina terlihat sangat sensual.

“Kamu jangan tertawakan aku ya. Aku malu,” ujar Rina.

“Kenapa malu? Aku tidak akan menertawakan isteriku sendiri,” balas Bima.

Sungguh pemandangan yang luar biasa ketika lingerie Rina terlepas dari tubuhnya. Bra hitam dan celana dalam hitam sangat kontras dengan kulit Rina yang putih. Bima sampai menelan ludah ketika melihat tubuh isterinya yang hanya menyisakan bra dan celana dalam.

“Ini sekalian juga Mas?” Tanya Rina sambil memenang branya.

“Eee, boleh..” Bima hanya berharap.

“Tapi aku malu Maasss,” ujarnya manja.

“Sayang. Aku mau terus terang sama kamu. Sebulan ini, aku suka ngebayangin tubuh kamu kalau malam. Kadang-kadang aku terangsang kalau membayangkannya. Maaf ya, tapi aku memang menginginkan tubuh kamu. Hatimu juga, semuanya. Jadi jangan malu, aku gak akan merendahkan kamu. Justru karena kamu hanya memberikannya untuk aku, kamu sangat berarti buatku. Kamu akan aku jaga sebaik-baiknya,” ujar Bima.

“He he, ya udah bantuin buka,” Rina kembali manja sambil membalik tubuhnya membelakangi Bima. Rina minta tolong untuk membuka kaitan branya. Bima yang baru pertama kami membantu membuka bra perempuan terlihat kesulitan, namun akhirnya berhasil juga.

“Celananya juga Mas?”

“Iya, sekalian aja sayang,” Bima sudah tak bisa menyembunyikan birahinya.

Rina awalnya ragu, namun ia akhirnya meloloskan satu-satunya pakaian yang tersisa di tubuhnya. Rina sangat malu. Itulah pertama kalinya, seorang laki-laki melihat tubuh telanjangnya. Satu tangan Rina menutupi payudaranya, sedangkan satu lagi menutup selangkangannya. Rina kemudian berbaring terlentang.

Rina hanya bisa senyam-senyum saja. Ia benar-benar malu. Tapi bagi Bima, itu adalah pemandangan paling indah sepanjang hidupnya. Untuk kali pertamanya ia benar-benar melihat tubuh perempuan telanjang. Tak hanya itu, tubuh itu adalah isterinya yang mulai dicintainya.

“Kok ditutup sayang, buka dong. Aku mau lihat,” rayu Bima.

“Malu mas…” Ujar Rina. Namun Rina kemudian mengalah dan melepaskan tangan yang menutup bagian paling privasi dari tubuhnya. Rina kini menutup mukanya. Ia benar-benar malu, menyadari Bima memandangi tubuhnya.

Bima tak bisa berkata-kata. Ia benar-benar takjub dengan tubuh Rina. Kulitnya yang putih mulus, payudaranya yang menantang, juga kemaluannya yang ditumbuhi rambu-rambut halus. Bima tak bisa lagi menahan birahinya. Secepat kilat, ia langsung melepaskan seluruh pakaian di tubuhnya saat Rina masih menutup wajahnya.

Kini mereka benar-benar tanpa busana. Bima menempatkan tubuhnya di atas tubuh Rina. Kaki Rina yang rapat, direnggangkan dengan kaki Bima. Bima juga mendekatkan wajahnya ke wajah Rina yang masih tertutup kedua tangannya.

“Sayang lepas tangannya, lihat aku. Nggak usah malu, aku juga sudah gak pakai baju,” ujar Bima.

Setelah Rina melepas tangannya, Bima menatap lekat mata Rina. Ia ingin mengatakan kalau ia tak mau kehilangan isterinya. “Sayang, meski kita belum terbukti benar-benar saling mencintai, tapi aku berjanji tak akan melepaskan kamu. Kamu adalah milik aku, dan aku hanya untuk kamu. Ini adalah awal perjalanan kita yang panjang. Kita akan melewati suka-duka bersama-sama,” ujar Bima.

“Iya Mas, aku janji. Miliki aku Mas. Ini hanya untukmu Mas,” ujar Rina.

Rina pasrah. Ia benar-benar siap merelakan keperawananya untuk Bima. Tubuhnya secara perlahan berangsur rileks. Rangsangan semakin menjadi saat payudaranya tersentuh lidah Bima. “Massss…”

Bima gemas dengan payudara isterinya, putingnya yang mendongak menjadi sasaran lidahnya. Beberapa kali, Rina tak kuasa menahan rangsangan, hingga tubuhnya harus melengkung.

Saat itu, kedua kaki Rina sudah mengangkang, dan membuat penis Bima yang tegang bersentuhan dengan tubuhnya. Rina menarik wajah Bima, ia mendaratkan bibirnya ke bibir Bima. Mereka berpagutan. Sementara penis Bima menggesek-gesek di luar vagina Rina.

“Mas, aku mau kamu…”

“Iya sayang. Kalo sakit bilang ya,” ujar Bima.

“Pelan-pelan ya Mas.”

Bima berusaha memasukkan penisnya ke vagina Rina. Namun ia selalu gagal. Dalam hatinya, ia bertanya apakah seperti ini jika masih perawan. Bima memang tak punya pengalaman apa-apa. Bahkan ia sendiri tak tahu pasti di bagian sebelah mana lubang vagina isterinya.

“Susah sayang,” ujar Bima.

“Aku bantu Mas,” ujar Rina. Rina ingin menunjukkan letak lubang vaginanya. Ia mengarahkan penis Bima agar mudah mendapatkan posisi yang tepat, namun saat tangannya memegang penis Bima, matanya mendelik.

“Sebesar ini Mas? Besar ya. Pelan-pelan ya Mas..”

Vagina Rina sebenarnya sudah penuh dengan cairan pelumas, sehingga penis Bima tak akan kesulitan menerobos ke dalam. Namun Bima tak mau memaksakan kehendaknya. Ketika penisnya terasa sudah tepat pada mulut vagina Rina, dia hanya menekan sedikit saja.

“Hhheeeggggghhhhh….” Rina menahan nafas ketika mendapat tekanan pertama dari penis Bima. Ia berusaha menahan nyeri.

“Sakit ya yang?”

“Iya, tapi nggak apa-apa.”

Bima tahu bahwa isterinya masih gugup, maka ia tidak meneruskan tekanan penisnya. Berdasarkan teori yang dia tahu, ia mencoba memberi rangsangan pada bagian tubuh yang lain. Payudara menjadi alternatif Bima. Lidahnya kembali memberikan rangsangan yang intensif.

Cukup lama Bima melakukan rangsangan di payudara Rina. Ia mencoba sabar, hingga Rina benar-benar merasa nyaman dengan benda asing yang memasuki vaginanya. Bima meneruskan hujaman penisnya setelah Rina benar-benar terangsang dengan menggoyang pinggulnya.

“Hheegghhh..”

Bima langsung mencium bibir Rina. Mereka berpagutan lagi. Seperti sebelumnya, Bima berusaha membantu isterinya menahan kesakitan. Rangsangan demi rangsangan di bagian tubuh lain menjadi cara Bima untuk mengalihkan kesakitan isterinya.

“Maaassss, terusin aja,” pinta Rina.

“Tahan ya,” Bima memberi aba-aba.

Sekali tekan, penis Bima amblas ke dalam vagina Rina. “Hhheeggghhhh. Aaaauuuu Mass…” Pekik Rina tertahan.

“Maaaf sayang. Sakit ya..”

“Iya perih.”

Wajah Rina menampakkan rasa sakit. Ia tak bisa memungkiri, benda keras telah mengoyak vaginanya. Terasa perih sekali, tapi ia bisa menahan. Rina beranggapan setiap perempuan pasti merasakan hal ini. Rasa perih tak akan bisa dihindari, termasuk nyeri saat datang haid.

Bima tahu, isterinya sedang menahan kesakitan, maka ia hanya mendiamkan penisnya di dalam vagina Rina. Ia terus merangsang Rina dengan rabaan di payudara Rina. Perasaan Bima berkecamuk. Satu sisi ia penasaran, satu sisi merasa tidak tega, sedangkan syaraf-syaratnya mengatakan bahwa birahinya benar-benar mendapatkan saluran yang selama ini dicari-cari. Ia menikmati kehangatan di penisnya ketika tertanam di dalam vagina Rina.

“Mas pelan-pelan ya,” pinta Rina.

“Iya sayang maaf ya.”

“Aku sayang kamu Mas.”

“Aku juga sayang kamu Na.”

Mereka kembali berciuman. Tangan Bima terus meraba payudara isterinya. Sampai ia merasa sudah cukup, perlahan-lahan ia menarik penisnya.

“Aaahhhhh…” Lenguh Wita.

Secara perlahan pula, Bima kembali menekan penisnya.

“Heeggghhh.” Terasa, bahwa pada hujaman kedua, vagina Rina terasa lebih licin. Mungkin karena cairan pelumasnya sudah benar-benar bercampur di kelamin mereka. Bima mengulang gerakan maju mundur penisnya secara perlahan. Ia tak mau isterinya seperti tersiksa.

Butuh beberapa waktu untuk menunggu lenguhan Rina berubah dari kesakitan menjadi kenikmatan.

“Ah, ahh, ahhh.” Kali ini lenguhan Rina tak lagi mengesankan kesakitan. Bima coba mempercepat hujamannya. Efeknya, lenguhan Rina semakin keras. “Maaaassssss…. Oohh…oohhh…oohh…”

Tiba-tiba saja Bima merasakan denyutan keras di di urat bahwa penisnya. Ia sebentar lagi akan mencapai orgasme. Maka instingnya mengarahkan Bima untuk mempercepat gerakannya. Puncaknya adalah ketika Bima menghujamkan penisnya dalam-dalam ke vagina Rina.

“Oohhhh….oohhh….oooohhhhh…. Hhhhhhh….”

Sperma Bima muncrat di dalam vagina Rina. Badan Bima terasa sangat ringan. Ia merasakan ketegangan di seluruh tubuhnya tiba-tiba hilang. Bahkan kekuatan untuk menopang tubuhnya juga terasa lenyap. Ia ambruk di atas tubuh Rina. Kini seluruh perasaan damai menyertai hati dan tubuhnya. Rasa cinta kepasa isterinya semakin dalam. Ia mengecup kening Rina dengan mesra. “Aku sayang kamu Na.”

Rina membalas kecupan itu dengan rengkuhan tangannya di punggung Bima. Ia memeluk Bima dengan erat. Ia tak mau kehilangan suaminya. “Aku juga Mas. Kita akan terus bersama sampai maut memisahkan kita Mas.”

“Iya sayang. Sampai kakek nenek.”

Posisi mereka tidak berubah hingga beberapa menit. Namun Bima sadar bahwa isterinya tertindih tubuhnya, hingga ia bergeser ke samping.

“Ternyata seperti itu ya Mas. Perih,” ujar Rina tiba-tiba. “Eh kamu kan perlu bukti, coba kita lihat ada darah gak,” tambah Rina.

Bima pun diminta untuk melihat vagina Rina. Ternyata bekas darah tak hanya tersisa di vagina Rina, tapi juga dipenis Bima dan menetes di sprei kasur.

“Tuh kan aku masih perawan. Sakit Mas,” ujar Rina.

“Iya, maaf ya sayang, jadi kesakitan.”

“Nggak apa-apa Mas, aku malah bahagia, bisa memberikan untuk kamu.”

“Eh, spreinya aku beli aja ah. Jangan dicuci. Buat kenang-kenangan kita. Mungkin suatu saat, aku dapat godaan dari perempuan lain. Kamu bisa kasih lihat sprei ini ke aku. Biar ingat, apa saja yang sudah kita janjikan di malam pertama kita. Eh bukan malam ya, pagi pertama kita, he he he…,” ujar Bima.

“Ada-ada aja, tapi ide bagus Mas. Cuma untuk kita aja ya. Kenangan untuk kita,” Rina setuju dengan ide suaminya.

Hari itu mereka kembali hanya ingin bermalas-malan di dalam kamar saja. Setelah sarapan, Rina melipat sprei kenangan mereka dan menyimpannya. Bima pun bernegosiasi dengan petugas housekeeper untuk mendapatkan sprei hotel itu. Mereka hanya keluar hotel untuk berjalan-jalan di pusat kota.

Kali ini keduanya sudah tidak canggung lagi untuk bergandengan tangan dan berangkulan di depan umum. Bahkan Rina selalu saja ingin dimanja oleh Bima. Mereka menjadi pasangan bahagia yang sebenar-benarnya.

“Mas, tadi jalan aku kaya orang ngegang gak?”

“Ngegang?”

“Iya, sedikit mengangkang.”

“Ooo, nggak emang kenapa?”

“Masih terasa, kaya masih ada yang ngeganjel. Perihnya juga masih ada nih. Kayanya lecet deh, nanti aku lihat kalo dah di hotel.”

“Aduh maaf ya sayang, jadi kesakitan gitu.”

“Iya, kamu sih, segede gitu dimasukin. Kalo aku tahu dari awal pasti aku tolak. Pas aku pegang, aku jadi sangsi, apa muat? Ternyata beneran, sakit banget.”

“Iya-iya, maaf ya. Sekali lagi maaf,” Bima sampai merasa tidak enak.

“Dari tadi maaf mulu. Belum lebaran tahu. Aku perih nih, susah jalan,” Rina tak malu-malu untuk manja.

“Terus gimana, mau digendong?”

“Emang kamu mau gendong aku?”

“Ya maulah. Tapi gendong depan menghadap belakang ya.”

“Ha ha ha, serius nih. Aku sakit jalannya.”

“Iya aku gendong, tapi kalo capek ngaso ya. Dari sini ke hotel gak sampai 500 meter kok.”

“Ntar orang-orang lihatin kita Mas.”

“Cuek aja, ntar kalo ada yang tanya, aku bilang penganten baru, lagi gak bisa jalan.”

“Iiiiihhh malu tahu.”

“Mau gak?”

“Iya deh. Tapi gak usah ngomong-ngomong penganten baru dong.”

“Iya, sini aku gendong.”

Cerita Dewasa – Sweet Honeymoon